pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Today, my live is begins Chapter 3, Relationship

A/N: Fic ini dibuat oleh ahaine-sama dengan pairing sasusaku semoga kalian suka ;D  

Today, My Life Begins
NARUTO © Masashi Kishimoto
Genre: Frienship/Romance
Chapter 3: Relationship
Rated: T
.: oOo :.

Beberapa tipe persahabatan:
1.) Forever enemies
2.) From friends to enemies
3.) From enemies to friends
4
.) Forever friends
5.) From friends to lover

.: Chapter 3 :.
Relationships are like glass. Sometimes it's better to leave them broken than try to hurt yourself putting it back together.
.
Sakura, Sasuke, Hinata, dan Ino adalah teman masa kecil. Sekarang? Tidak. Sakura dan Sasuke yang dulu sangat akrab diantara mereka berempat pun memanggil satu sama lain dengan nama marga keluarganya. Belum lagi sejak kedatangan Ino, teman masa lalu mereka yang tiba-tiba pindah ke sekolah mereka. Dia menantang Sakura, cewek paling jelek disekolah untuk bersaing dengannya di sebuah kontes kecantikan paling besar di Negara itu.
.
.
Speechless.
Itulah perasaan Sakura ketika menerima telepon dari Hinata. Bagaimana tidak, Hinata yang sejak dulu sangat sangat sangat baik dan kalem, sekarang membicarakan kata 'seksi'.
Seksi?
Seksi?
Seksi?
Ehem.
HINATA?
Dunia pasti sudah gila.
Awalnya Sakura pikir, ia masih bermimpi. Setelah peristiwa telepon di pagi buta itu, Hinata datang ke rumah Sakura bersama supirnya dan 'menculik' Sakura ke rumahnya.
Dan kini Sakura kembali berada di kamar Hinata. Gadis berkacamata itu mencubit pipinya sendiri.
Sakit.
Rupanya lagi-lagi ini bukan mimpi.
Sakura melirik jam antik di kamar Hinata yang menunjuk ke angka enam dan enam. Jam 6.30 pagi. Gadis itu menghampiri sahabatnya yang berambut indigo indah.
"Hinata..."
Hinata tetap sibuk mencari baju dalam lemarinya yang terbuka lebar.
"Hinata..." Kata Sakura, duduk disamping Hinata.
Hinata masih saja dengan aktivitasnya membongkar pasang isi lemarinya, sampai akhirnya ia berhenti dari aktivitas itu. Ia lalu menatap Sakura dengan raut muka seperti anak kecil yang tersesat. Sakura meneguk ludah.
"Sakura-chan... Huweee... A—Apa yang harus kulakukan?"
Sakura mengerjap kebingungan mendapati Hinata yang sekarang seperti akan segera menangis, matanya sudah mulai memerah.
Kenapa dia jadi cengeng lagi? Sakura benar-benar tak mengerti perubahan sifat Hinata akhir-akhir ini.
"Serius, Hinata. Apa yang terjadi?" Tuntut Sakura sambil memegang pundak Hinata.
Perlu beberapa saat—detik—eer, menit—sampai akhirnya Hinata tenang. Dia lalu menarik Sakura yang ikut duduk di lantai agar bangun, menariknya ke sofa empuk didekat situ.
"Janji ya jangan ketawa?" Kata Hinata sambil menautkan jari-jarinya.
Sakura menganggukkan kepalanya dengan tak sabar.
"Kau tau Uzumaki Naruto-san?"
"Si cebol kuning itu?"
"Dia nggak cebol!"
"...Iya, iya. Si bukan cebol kuning. Lanjut?"
"..." Muka Hinata memerah.
"Hinata."
"Aku... sudah lama menyukai nya," muka Hinata tenggelam diantara kedua tangannya.
Sakura mengerjapkan matanya berkali-kali. Beberapa detik kemudian, mulut gadis berambut merah jambu itu menganga lebar—untuk kesekian kalinya pagi ini.
"Hinata. Hinata, lihat aku." Sakura memaksa Hinata menyingkirkan tangannya. Wajah gadis beriris mata lavender itu tampak merona merah.
"Setauku, kamu bukan tipe gadis yang suka nonton TV, ataupun mengikuti perkembangan mode. Dan kenapa sekarang kau bilang kau menyukai si bintang idola itu?"
Awalnya Hinata tampak malu dan salah tingkah, namun sejenak kemudian pandangan mata Hinata melembut, bibirnya melengkung ke atas. "Kau percaya cinta pada pandangan pertama?"
"Nggak."
"Sakura-chan!"
Sakura memutar kedua bola matanya. "Oke, oke. Aku percaya dengan sepenuh hatiku. Lalu?"
Awalnya Hinata memberengut kesal, namun akhirnya sebuah senyum merekah di wajahnya. Sakura baru pertama kali melihat muka Hinata yang seperti ini. Bagaimana mengatakannya ya? Yang jelas sekarang Hinata terkesan lebih cantik, lembut, kuat, dan menyilaukan ketika bercerita.
"Sebenarnya, dua bulan lalu, aku pertama kali bertemu Naruto-kun di jalan perkotaan. Saat itu, ia sedang berkeliling kota sambil menyamar. Agak lucu juga sih, dia ternyata lupa membawa dompet. Lalu aku meminjaminya uang. Hari itu kami akhirnya jalan-jalan bersama. Kau tau, Sakura-chan, aku selalu berdebar-debar saat menatapnya, apalagi saat ia tersenyum. Malamnya, ia mengaku namanya Uzumaki Naruto. Reaksiku biasa saja, kau tau kan aku nggak suka bintang idola. Ia tertawa dan melepas kacamatanya. Dia… tampan sekali. Aku terjatuh ke tanah, entah kenapa kakiku lemas sekali karena terlalu malu menatapnya. Dia tertawa lagi dan membantuku berdiri. Saat tangan kami bersentuhan, Sakura-chan, aku seperti merasakan adanya ikatan di antara kami. Tangannya terasa hangat. Tanpa sadar, aku langsung bilang menyukainya—"
"HAH?" Sakura benar-benar tak percaya sahabatnya itu menembak seseorang. Dia memang sering melihat Hinata ditembak, tapi Hinata yang menembak? Kemana sahabatnya yang pemalu itu?
"Sakura-chan." Hinata cemberut.
"Maaf, maaf. Silahkan lanjutkan?" Kata Sakura sambil berusaha tersenyum penuh penyesalan, walaupun pada akhirnya wajahnya malah menjadi aneh.
Pandangan matanya mulai meredup, namun segera dilupakannya ingatannya saat itu. Ingatan tentang sesosok pemuda yang dulu sempat singgah di hatinya, menjadi pusat dunianya.
Hinata nampaknya tak melihat perubahan wajah Sakura itu karena ia melanjutkan bercerita dengan riang.
"Dia… —Dia bilang oke," muka Hinata memerah seperti kepiting.
"HAAAH?" Sakura benar-benar tak mengerti jalan pikiran Hinata dan Naruto.
Atau mungkin karena sirkuit otak mereka yang aneh itu yang menyebabkan mereka klop? Entahlah.
Hinata melanjutkan dengan malu-malu. "Oke katanya. Dia mau mencoba berpacaran denganku selama tiga bulan ini. Jika dihitung, tinggal beberapa minggu hingga masa tiga bulan itu berakhir. Aku benar-benar menyukainya, tapi aku tak tau bagaimana dengannya. Makanya, aku mau menjadi tipe cewek yang disukainya."
Hinata tersenyum lebar ke arah Sakura. Senyum gembira.
Sakura tanpa sadar ikut tersenyum terbawa senyum Hinata. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di otaknya.
"Eer... Hinata, kau bilang dua bulan yang lalu?" Koreksi Sakura.
Hinata menganggukkan kepalanya sambil terus tersenyum.
"Bagaimana kalian tetap saling berhubungan?" Tanya Sakura.
Hinata mengerti arah pembicaraan sahabatnya itu. "Aku dan dia memang jarang bertemu, tapi kami selalu mengirimkan kabar lewat sms setiap harinya. Setelah kejadian itu, aku mulai mengikuti perkembangan berita tentangnya. Sosoknya ada dimana-mana, baik di majalah, koran, TV, maupun internet. Sosoknya saat berusaha meraih mimpinya itu nampak menyilaukan, Sakura-chan. Dan tanpa kuduga, sekarang aku bertemu lagi dengannya di kontes ini. Padahal sebelumnya kami hanya bisa bertemu beberapa minggu sekali. Kau tau betapa senangnya aku diberi kesempatan bisa bertemu dengannya seperti ini?"
Sakura mendesah pelan. Sekarang, hati sahabatnya itu telah terbagi ke orang lain.
Sakura mengerti perasaan itu, perasaan hangat ketika mengejar sosok yang kita kagumi itu. Sampai sekarangpun, jika Sakura berada di dekat orang itu, selalu timbul perasaan aneh dalam dirinya.
Stop, Sakura! Semua sudah berakhir! Batinnya menjerit.
Sakura menghela nafas. Dia harus segera menghapus perasaan ini.
Gadis itu memandang Hinata yang kini tampak bahagia. Yah, kalau Hinata senang, apa yang bisa dilakukannya?
Untunglah akhir cerita cinta Hinata sepertinya akan bahagia, tak seperti dirinya. Sakura tersenyum miris, namun segera disamarkannya menjadi senyum-nya yang seperti biasanya.
"Lalu apa hubungannya hal itu dengan kau yang membuang-buang baju-mu dari lemari di pagi hari seperti ini, nona?" Sakura bertanya sambil tersenyum jahil.
Hinata mengerjapkan matanya beberapa kali seolah ada debu yang masuk ke matanya. "Besok kita ke pantai untuk seleksi kedua, kan?"
Senyum itu dalam sekejap menghilang. "Haa? Bukannya besok kita sekolah?"
Hinata menggelembungkan pipinya tak senang. "Uuh... Sakura-chan gimana sih? Belum baca surat dari The Beauty ya?"
Sakura sama sekali lupa akan surat itu. Hinata tampak semakin cemberut. Dengan cepat Sakura berdiri dan mengambil tas-nya yang ada di dekat ranjang putih Hinata. Seingatnya, saat Hinata menjemputnya paksa tadi pagi, dia sempat memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Dan BINGO! Surat yang sudah tertekuk itu memang ada. Sakura menghela nafas lega. Gadis berambut pink itu lalu membawanya dan berdiri di depan Hinata.
Dengan tergesa-gesa Sakura membuka amplop itu dan membuka lembaran di dalamnya. "Eer.. Sudah!"
Hinata mengerutkan alisnya. "Membaca, Sakura-chan. Bukan membuka. Berbeda. Kau lupa ya? Tipikal Sakura-chan. Isi surat itu kira-kira ucapan selamat kita lolos tahap pertama diantara 30 orang yang terpilih. Pihak sana sudah meminta izin ke sekolah untuk mengijinkan kita tak masuk selama mengikuti seleksi. Besok kita ke pantai untuk seleksi tahap kedua. Nggak disebutin sih jenis lomba nya. Tapi, sepertinya berhubungan dengan baju bantai. Kau tau, bikini."
Raut muka Sakura berubah seperti batu. "Ha? Bikini? Aku? No, noNO WAY."
Hinata bangun dari kondisi duduknya. "Kan belum tentu, Sakura-chan. Tapi aku baca di majalah, Naruto-kun suka tipe cewek yang seksi. Ma...—makanya aku..."
Sakura memutar kedua matanya menghadapi Hinata yang kembali bermuka merah. Ia tak akan bisa membiarkan Hinata.
Sakura melepas kacamata-nya, meletakkannya di dalam tas, lalu mengucir rambutnya ke belakang bentuk ekor kuda. Mata emerald-nya yang indah terlihat jelas.
Hinata tersenyum dan memeluk Sakura. Sudah lama ia tak melihat Sakura dalam sosok seperti ini.
"Seharusnya kau dalam penampilan seperti ini besok, Sakura-chan!" Usul Hinata dengan nada bersemangat sambil bermain dengan rambut Sakura.
Sakura mengerucutkan bibirnya. "Nggak akan. Nah, kembali ke bajumu. Jangan pakai bikini."
Hinata tampak ragu-ragu. "Tapi..."
Sakura menyela omongan Hinata. "Iya, iya. Pangeranmu suka yang seksi. So what? Kata siapa kau nggak cukup cantik untuk menarik perhatiannya? Dan yah, khusus kali ini aku akan membantumu."
Hinata bertanya walaupun sudah tahu jawabannya. "Bagaimana caranya?"
"Kau masih menyimpan mesin jahit yang dulu itu?"
"Tentu saja."
Sepanjang hari itu mereka habiskan dengan membuat baju-baju baru bikinan mereka sendiri.
Baju baru, untuk orang teristimewa.
.: oOo :.
Semilir angin berhembus searah dengan ombak bergelombang yang datang, burung-burung yang berterbangan di atas laut seolah menjadi nahkoda alam. Pantai Kushito adalah pantai pribadi milik keluarga Naruto, pemandangan matahari tenggelam di sore hari disini terlihat sangat indah. Namun sayangnya hari masih siang, matahari berdiri menyalang dan bersinar terang.
Pantai Kushito sendiri adalah hadiah anniversary pernikahan dari Minato, ayah Naruto, untuk Kushina, ibu Naruto. Terlihat dari namanya Kushina dan Minato.
Sepanjang mata memandang, jika lurus menatap pantai, airnya terlihat sangat biru dan jernih, sehingga karang dan terumbu karang bisa terlihat dengan jelas dari atas. Arus air-nya juga tak terlalu deras, temperaturnya tak terlalu dingin. Pasir-nya pun putih, kerang pantai tersebar dimana-mana. Pohon kelapa tegak menjulang ke angkasa. Disebelah kiri pantai ada hutan yang tak terlalu dalam. Tim The Beauty menginap di villa yang berlokasi tepat di sebelah kanan pantai. Villa nya besar, bahkan isinya tergolong mewah.
Villa keluarga Uzumaki memang hebat.
Jumlah staff The Beauty yang datang 50 orang; terdiri dari 5 orang juri utama, 2 fotografer, 10 penata rias, dan sisanya para kru. Peserta nya sendiri berjumlah 30 orang.
Para juri mengumpulkan para kontestan di sebuah panggung mini yang sepertinya baru saja selesai dibuat. Kelima orang juri duduk bersebelahan, sebuah microphone terpasang di depan masing-masing juri.
Tsunade maju ke depan dengan memegang microphone-nya. "Selamat datang bagi semua kontestan yang berhasil lolos ke tahap kedua! Mungkin banyak dari kalian yang sudah menebak akan apa kita disini. Pemotretan! Disini ada dua orang fotografer, adikku Shizune, dan yang seorang lagi Iruka Umino. Tentu saja kan kalian sudah pernah mendengar nama mereka berdua? Shizune akan memotret kalian sebanyak 2x tiap peserta, dan Iruka-san akan mengambil video kalian selama itu. Setiap peserta mendapat waktu satu menit. Tahap dua akan dimulai jam setengah lima sore nanti, lokasinya di pantai menghadap matahari tenggelam. Ada pertanyaan?"
Tangan Ino terangkat ke atas.
"Ya?"
"Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan? Adakah tema khusus?" Tanya Ino dengan suara yang tampak dewasa.
Kali ini Naruto yang bicara dengan senyum yang selalu terpasang di wajahnya. "Kalian bisa memilih dari koleksi pakaian kalian sendiri. Tidak ada tema! Kalian bebas berekspresi!"
Tsunade mengangguk setuju. "Begitulah. Ada lagi?"
Hatake Rin mengacungkan tangannya sambil tersenyum lebar.
"Ya?"
"Apakah saat seleksi kita mengucapakan dialog atau adegan tertentu?" Katanya sambil tetap tersenyum. Tak ada yang tahu bagaimana ia bisa berbicara sambil tetap tersenyum.
Maito Gai menunjukkan senyum-dua-puluh-empat-karat-nya yang sangat tak disukai Sakura. "Tidak ada! Kalian malah dilarang mengucapkan sepatah kata pun. Cobalah ungkapkan maksud kalian dalama gerakan kalian!"
Tsunade lagi-lagi menganggukkan kepalanya. "Ya ya. Lalu? Ada lagi?"
Tokugawa Riri mengacungkan tangannya.
"Ya?"
"Apa ada pertimbangan tertentu kenapa harus menghadap sunset?" Tanyanya. Dari nada suaranya, sepertinya dia kurang setuju dengan ide itu.
Lagi-lagi Naruto yang menjawabnya. "Ada. Pemandangan matahari tenggelam di sini itu indah sekali, makanya kalian akan di potret saat itu. Pasti manis kok!"
Beberapa gadis leleh oleh senyuman Naruto, termasuk Hinata.
"Hmm begitulah. Ada lagi?" Tanya Tsunade tanpa menghiraukan sikap Naruto.
Hiresawa Tine, cewek dengan bando berhias mawar putih besar mengangkat tangannya.
"Ya?"
"Bagaimana urutan maju nya?" Tanya Tine dengan wajahnya yang terlihat cool.
Hokage tersenyum sedikit, sudah lama ia menunggu pertanyaan ini. "Pertanyaan yang bagus. Kalian ingat seleksi pertama kalian? Nah, jumlah akumulasi nilai disitu menjadi nomor urut kalian. Nomor 1 dengan jumlah perolehan tertinggi akan maju terakhir kali, dan nomor 30 akan maju pertama. Hal ini berlaku untuk seleksi kedua dan seterusnya. Hanya nomornya yang permanen, nilai kalian dirahasiakan. Nah, peserta yang kusebut harap maju untuk mengambil nomor kalian."
Semua peserta menelan ludah dan mulai gelisah. Namun ada beberapa peserta yang hanya kaget sesaat, dan sekarang nampak percaya diri bahwa mereka termasuk peringkat tinggi. Sakura, yang memasang tampang cuek sambil tetap duduk diatas batu besar di dekatnya, mendengarkan penjelasan Hokage sambil lalu. Rambutnya tak dikepang, namun tetap dikucir dua yang tampak berantakan. Ia memakai baju lengan panjang dan celana jeans panjang. Nampaknya Hinata belum berhasil membujuknya memakai baju yang 'pantas'. Hinata sendiri memakai dress putih selutut yang sederhana namun tampak pas untuknya.
Hinata mendekati Sakura dan memaksanya berdiri. "Sakura-chan, nggak sopan duduk sendiri seperti itu padahal peserta yang lain berdiri."
Sakura hanya mengangkat kedua bahunya dengan cuek.
"Baiklah, kita mulai dari nomor 30," suara Hokage menggema ke seluruh pantai itu.
Sakura berdiri dan mulai melangkah ke arah panggung. Peserta lain memaklumi tindakan Sakura yang mengira dirinya mendapat nilai terendah.
Namun sayangnya bukan dia yang mendapat nilai terendah.
Oke... Bukan terendah. Tapi pasti sebentar lagi. Pikir Sakura. Hinata lalu mendekatinya dan mereka menunggu bersama.
Mulut Sakura yang awalnya yang awalnya membentuk garis lurus tanpa ekspresi, lama kelamaan semakin menganga. Bagaimana tidak, sudah nomor belasan yang disebut ia belum juga dipanggil.
Hinata tersenyum senang ke arah Sakura. "Yeey. Nampaknya para juri mengakuimu, Sakura-chan. Selamat!"
Se...-Selamat dari Hongkong! Apa-apaan ini? Eh tunggu… Berapa jumlah lampu yang menyala waktu itu ya? Sakura coba mengingat jumlah lampu yang menyala untuknya karena ia menganggap itu tak penting. Belum sempat ia mengingatnya, suara seseorang memecah konsentrasinya.
"Uhhm... Halo? Boleh kenalan nggak?" Sapa seorang gadis berambut pendek dan berwajah imut.
Hinata tersenyum mendapati adanya teman baru. "Tentu saja. Namaku Hinata dan dia Sakura. Namamu siapa?"
Suara Hokage menyela mereka. "Nomor 10; Mitarashi Anko!"
Si gadis nampak terkejut. "Eeeh? Anko katanya? Itu aku. Wawawa... Hinata-san, Sakura-san, aku permisi sebentar ya."
Anko pun ke panggung mengambil nomor dan kembali lagi.
Sakura tersenyum melihat Anko yang tampak senang. "Selamat, Mitarashi-san."
"Anko, Sakura-san." Kata Anko membenarkan.
Sakura mengangguk dan kembali melihat ke panggung.
"Kalian berdua belum dipanggil?" Tanya Anko, menyadari bahwa Hinata dan Sakura belum memegang nomor pin seperti sebagian peserta lainnya.
Hinata dan Sakura menggeleng bersamaan.
"Wow. Keren kalau begitu." Kata cewek berambut dan bermata hazel dari belakang mereka. Dia lalu menutup mulutnya dengan tangannya dengan malu.
"Hehe. Maaf menyela. Namaku Rin. Semoga sukses untuk kalian berdua." Kata Rin dengan malu-malu.
"Salam kenal, Rin." Jawab Sakura, Hinata, dan Anko berbarengan. Mereka berempat lalu tertawa bersama. Sakura sedikit mengerutkan kening. Entah kenapa, senyum Anko mirip dengan senyum seseorang yang dikenalnya.
"Nama keluarga Rin siapa?" Tanya Sakura.
"Eh? Hatake." Kata Rin sambil tersenyum.
Sakura hampir memukul batu di dekatnya.
"Hatake? Apa Rin kenal pria bernama Hatake Kakashi?" Tanya Sakura sambil menatap Rin. Tak tampak adanya kesamaan fisik antara Rin dan gurunya itu.
"Ah, tentu saja. Dia itu pamanku. Sakura kenal?" Rin tersenyum senang mendapati ada orang yang kenal dengan pamannya.
"Bukan kenal lagi, Rin-chan. Dia guru kami di sekolah." Hinata menerangkan menggantikan Sakura yang masih nampak kaget.
"Guru yang tak henti-hentinya memberiku berbagai macam PR. Huuh." Sakura menambahkan sambil cemberut.
Anko, Rin, dan Hinata tertawa.
Bicara soal Kakashi-sensei, Sakura kembali teringat PR melukisnya yang benar-benar terlupakan.
Tugas yang harus diselesaikannya dengan si bungsu Uchiha.
Sakura menatap mata Sasuke yang berdiri bersama para juri lainnya, yang ternyata juga sedang menatapnya. Muka gadis itu memerah, kepalanya refleks mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Sakura menggigit bibir bawahnya. Shit. Oh ayolah Sakura, jangan jadi pengecut seperti ini!
Sakura menolehkan kepalanya lagi ke arah sang pemuda yang masih menatap lekat dirinya. Gadis itu memeletkan lidahnya.
Masa bodo' ah.
.: oOo :.
"Nomor 5; Hyuuga Hinata!" Kata Hokage dengan lantang.
Sakura, Anko, dan Rin menyoraki Hinata sambil mendorongnya ke depan.
"Hehe. Makasih semua." Kata Hinata sambil tersenyum saat turun dari panggung.
"Nomor 4; Hatake Rin!" Lanjut sang Hokage.
Rin menunjuk dirinya sendiri tak percaya. "Hoe? Rin?"
"Tentu saja! Sana maju!" Kata Anko sambil menepuk pinggung Rin.
Ino dan Karin berdiri di sisi lain panggung sambil tersenyum. Keduanya sudah berteman. Entah kenapa, saat mereka tak sengaja mengobrol saat mengambil minum, obrolan mereka nyambung. Selama menunggu pun mereka mengobrol—entah apa yang mereka bicarakan.
"Nomor 3; Yamanaka Ino!" Ucap Hokage yang membuat Ino serasa disambar petir. Ia sudah yakin bahwa tak ada peserta lain yang lebih baik daripada dirinya, hari itu ia sudah berusaha semaksimal mungkin.
"Yamanaka-san?" Panggil sang Hokage lagi.
Ino maju masih dengan wajah tak percaya.
Aku? Kalah? Kenapa aku bisa kalah?Apa yang salah dengan diriku? Pikirnya tak percaya. Harga dirinya terasa terhina.
Setelah turun panggung Ino masih tetap lesu.
Yah, mungkin Karin lebih baik dariku.
"Selamat ya, Karin-san." Ucapnya dengan senyum dipaksakan.
Karin, gadis berambut merah panjang itu balas tersenyum. Senyum kemenangan.
Uh-oh... Nampaknya kau melupakan bahwa masih ada satu peserta selain kau, Karin.
"Nomor 2; Takahebi Karin!" Kata Hokage, menghancurkan senyum Karin. Dia berjalan ke atas panggung dan turun lagi layaknya sebuah robot.
Nggak mungkin. Nggak ada cewek yang lebih cantik dan berbakat daripada aku. Bukankah semua cewek berwajah cantik sudah disebut? Lalu siapa? Siapa? Karin tersenyum miris, lalu menggigit ujung jempolnya, kebiasaan yang ia lakukan ketika sedang frustasi.
Pikiran peserta lain tak jauh berbeda dengan pikiran Karin. Mereka mengerling satu sama lain dalam diam. Sudah tak ada gadis cantik yang tersisa. Suasana menegang.
Hanya dari sebuah gerombolan yang terkikik pelan dan lama-lama semakin keras.
"Nomor 1; Haruno Sakura!"
.: oOo :.
Sakura POV
"Nomor 1; Haruno Sakura!"
Ha? A...—Apa katanya barusan?
Nggak.
Pasti aku salah dengar.
Imajinasi gila.
Sangat, sangat gila.
"Selamat, Sakura-chan!" Teriak Hinata sambil memelukku. Rin dan Anko juga menyusul memelukku.
Semua mata tertuju padaku.
Hey, ayolah! Para juri itu pasti sedang bercanda. Hanya saja, jujur selera humor mereka jelek sekali.
Setelah acara berpelukan selesai, aku menatap para juri tak percaya.
'Kalian pasti bercanda! Ayo katakan itu!' Teriakku dalam hati. Nampaknya pikiranku ini tertulis jelas di dahi—err mukaku.
"Nomor 1; Haruno Sakura. Harap maju." Ucap si kepala abu-abu dengan nada berat dan mengancam.
Brengsek.
Hey hey, Pak Tua! Moto hidupku itu Love and Peace!
Karena pandangan semua orang terus mengarah kepadaku, dengan kaku aku maju kedepan. Cewek-cewek lain menatapku tak percaya.
Jangankan kalian, aku saja sekarang ragu namaku Haruno Sakura atau bukan. Ingatkan aku untuk melihat akta kelahiranku saat pulang nanti. Oh, atau coba kita cari ada berapa orang gadis yang bernama Haruno Sakura.
"Selamat, Haruno-san." Hokage menjabat tanganku. Aku meraih tangannya sambil tersenyum janggal. Tangannya terasa hangat.
Aku menatap pria lanjut usia itu. Seandainya suasananya tak seserius ini, aku sudah tertawa terbahak-bahak.
Baru satu langkah aku hendak turun dan mengubur diriku dalam pasir, sebuah suara yang kukenal berbicara.
"Kenapa Haruno Sakura yang jadi peringkat satu?" Teriak Ino, jelas sekali nada frustasi di suaranya. Tak bisakah kau bertanya setelah aku turun dari sini?
Sang Hokage tersenyum padaku. Maaf, aku benar-benar tak mengerti candaan orangtua.
"Tentu saja karena saat itu Haruno-san mendapat jumlah lampu menyala terbanyak. 9 lampu tepatnya."
Sembilan? Memang ada berapa lampu? Kalian perlu lampu? Bisa kubelikan.
"Kok bisa?" Tanya seorang cewek berambut merah panjang. Hei, kau kan cewek yang waktu itu mau menamparku!
Sang Hokage tersenyum bijak. "Setiap juri di sini punya poin penilaian sendiri-sendiri. Nampaknya, semua juri disini lumayan puas dengan Haruno-san. Dan oh ya, diantara kalian bertiga puluh, hanya Haruno-san yang bisa membuat Uchiha Sasuke menekan lampunya, bahkan sampai dua. Dia memenangkan sembilan dari sepuluh lampu yang ada."
Aku ingin sekali membunuh Uchiha. Seandainya saja tak terlalu banyak saksi mata, aku bisa menggunakan batok kelapa untuk memukul kepala berambut model ayam-nya itu.
Seandainya.
Sayangnya nasib selalu memihak ke Uchiha. Serius. Kami-sama, kapan giliran gadis malang ini?
Hal yang bisa kulakukan saat ini adalah memandangnya dengan penuh amarah.
Dia balas memandangku, lalu menyeringai kecil.
Kau menantangku? Boleh saja. Kuterima tantanganmu, Uchiha.
.: oOo :.
Normal POV
Sore itu dihabiskan para peserta dengan memilih-milih baju yang akan digunakan. Karena pembagian kamar belum diadakan, para peserta terpaksa bergulat di aula besar di villa itu bersama-sama.
"Untung saja aku sudah bisa menebak. Lihat ini. Taa-Daa! Keren, kan?" Anko mengeluarkan dua buah kerang yang setelah diperhatikan merupakan sebuah bikini super seksi. Muka ketiga teman barunya langsung merah padam.
"Anko-chan. Itu... terlalu—" Hinata kehabisan kata-kata.
"—vulgar," Rin menyelesaikan kata-kata Hinata.
Anko tersenyum sambil mengedipkan matanya dengan nakal. "Tsk tsk. Tenang saja. Aku cukup PD dengan dadaku kok."
Nampaknya, suara Anko sedikit terlalu keras sehingga peserta lain melihat ke arah mereka. Memang, dada Anko termasuk besar diantara gadis-gadis di ruangan ini.
Sakura menarik Anko dan menutup mulutnya. "Ssshh. Kau berisik sekali. Jangan terlalu menarik perhatian, oke?"
"..."
"Anko."
"Uuuumpph!" Kata Anko sambil menunjuk ke tangan Sakura yang masih terdiam manis diatas mulutnya.
"Hehehe maaf," Sakura buru-buru melepas tangannya.
"Uuh. Memang Sakura mau pakai baju seperti apa?" Anko mengambil tas hitam yang berlabel 'Haruno Sakura' dan membukanya tanpa izin.
"Lho? Kok kosong?" Tanya Anko sambil memandang bingung ke arah Sakura.
Sakura, Hinata, dan Rin ikut melihat tas Sakura.
Memang kosong.
"Nggak mungkin. Tadi pagi aku dan Sakura-chan setelah sampai sini ganti baju dulu dan baju-baju Sakura-chan masih ada," kata Hinata tak percaya.
"Aku nggak suka ini! Pasti ada yang menyembunyikan. Ayo kita lapor ke panitia." Anko sudah akan berjalan ketika Sakura memegang tangannya.
"Sudahlah. Biar kucari." Kata Sakura sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aku ikut." Ujar ketiga temannya bersamaan.
"Eh, tunggu dulu. Kita tak bisa meninggalkan tas kita begitu saja. Sebaiknya salah satu dari kita menjaganya." Usul Hinata yang memang bisa berpikir dengan tenang dalam situasi apapun.
"Oke. Ayo main Hom-Pim-Pah. Yang kalah yang menjaga, bagaimana?" Sakura menambahkan.
Hom.
Pim.
Pah!
"Huweeeeee... Anko nggak suka sendirian. Kalian bertiga nggak boleh lama-lama!" Kata Anko dengan nada sebal karena kalah.
Ketiga gadis lainnya mau tak mau terkekeh pelan.
.: oOo :.
Mereka berpencar dan mencari di lingkungan villa. Di dapur, kamar-kamar, ruangan-ruangan lainnya, bahkan di tempat sampah pun mereka cari, namun hasilnya nihil.
Hinata melirik arloji-nya. Ya ampun, sudah hampir satu jam kami mencari.
Hinata lalu mencoba mencari di tempat yang agak mustahil, ia merebahkan tubuhnya dan mengintip sudut demi sudut sofa dengan teliti, namun yang terlihat hanya debu dan kotoran. Ia mencari lagi di dalam kamar-kamar yang kosong. 1 kamar... 2... 3... Masih kosong. Saat akan menyentuh gagang pintu keempat, Hinata mengurungkan niatnya karena samar-samar ia bisa mendengar ada orang berbicara.
"—Haha. Iya, iya. Aku nggak bakal selingkuh. Tenang ya."
Deg.
Hinata langsung mengenali suara itu.
Naruto.
Eh? Apa katanya? Selingkuh?
"Tch. Jangan pacaran di depanku." Protes sebuah suara cuek yang Hinata tau pasti Sasuke.
Hinata menyandarkan tubuhnya di dinding, kedua tangannya merapat didepan dadanya.
"Hehe. Sorry 'bout that." Jawab Naruto yang ayahnya memang orang asing.
"Tch. Memang berapa jumlah pacarmu?"
Hinata memejamkan matanya, berharap bahwa tadi Naruto hanya bercanda.
"Heem... Berapa ya? Mungkin lima? Eh tunggu dulu... Eer... 10?" Terdengar Naruto yang kemudian berteriak 'Aduh!' karena dipukul Sasuke.
Tubuh Hinata merosot kebawah. Matanya terbelalak tak percaya.
Sepuluh?
Hatinya terasa sakit, seperti ada sesuatu yang memukul-mukul pembuluh darahnya.
"Hentikan sikap playboy mu itu,"
"Maaf saja, aku tak akan pernah memberikan hatiku hanya untuk seorang cewek!"
Lagi-lagi Naruto menjerit kesakitan karena kepalanya dipukul Sasuke.
Hinata menundukkan kepalanya. Matanya terasa basah. Dengan segera ia menyeka airmatanya dengan siku tangannya.
Dia lalu menepuk kedua pipinya bersamaan, sedikit terlalu keras sebenarnya.
Baru saja Hinata akan berdiri, pintu disampingnya tiba-tiba terbuka.
"Hinata-chan? Sedang apa kau disini?" Tanya Naruto mendapati Hinata yang duduk disamping pintu kamarnya.
"Aaa... Kau dengar ya?" Naruto bertanya ragu-ragu sambil tertawa ganjil.
Hinata malu sekali.
Ingin rasanya tiba-tiba muncul sebuah lubang yang menelannya.
Dia tertangkap basah menguping pembicaraan orang lain!
Naruto mengamati perubahan wajah Hinata yang semakin lama semakin memerah.
Naruto ikut jongkok sehingga jaraknya dan Hinata hanya beberapa senti. Dia menepuk kepala Hinata, tersenyum, lalu senyum itu menghilang.
"Hyuuga-san masih suka padaku? Kalau begitu lupakan saja perasaan itu, 'kay?"
Hinata memberanikan diri mengangkat wajahnya dengan sangaaaat perlahan.
"Eh?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
"Kita putus. Oke?" Hinata hampir menangis.
"Tapi kita bisa tetap berteman, kan, Hinata-chan?" Oh, bagaimana dia bisa menolak senyum itu.
"Ya," ujar Hinata dengan suara serak.
Sasuke hanya menghela nafas mendengar pembicaraan kedua sahabatnya itu. Ketika Naruto masuk kembali ke dalam kamar, pemuda bermata onyx itu meninju perut Naruto. Dengan cukup keras.
"Untuk apa itu, teme?" Naruto hampir saja membalas jika ia tak bertemu mata dengan onyx yang tampak begitu berbahaya. Naruto mundur selangkah.
Sunyi, hanya suara iklan TV yang mengisi ruangan itu.
"Maaf," ujar Naruto.
Sasuke menatap sahabatnya. "Bukan padaku harusnya kau berkata seperti itu."
Naruto hanya diam. Sasuke menambahkan dengan suara kecil, "—jangan sampai kau menyesal."
Naruto memperhatikan perubahan wajah sang pemuda berambut hitam legam itu. Sorot mata pemuda yang selalu tampak dingin itu entah kenapa meredup.
"Apa ini hanya hubungannya denganmu?" Naruto duduk di samping Sasuke.
Sasuke mengalihkan pandangannya ke arah TV, namun Naruto tau pikiran Sasuke tak pada benda kubus itu. "Oi, Sasuke!"
"Dulu—" Sasuke tampak ragu sebelum akhirnya melanjutkan.
Naruto nampak tak sabar.
"—aku pernah melepaskan tangan seseorang, padahal aku bisa saja meraihnya."
Naruto menaikkan sebelah alisnya, tak mengerti. Tetapi Sasuke tetap diam, tak melanjutkan apa yang tadi ia katakan.
Sasuke memejamkan matanya. Yang ada dalam benaknya adalah sesosok gadis berambut merah muda.
Apakah ini benar baik bagimu dan bagiku? Sasuke menghela nafas panjang.
.: oOo :.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Hinata berlari keluar villa, berniat menenangkan diri. Matanya masih sedikit sembab.
Dari lantai dua, Hinata seperti menangkap Sakura yang berdiri diatas sebuah lembah di dalam hutan. Hinata memincingkan matanya, menajamkan pengelihatannya. Tak salah lagi, baju-model-apa-adanya itu pasti Sakura. Sakura tiba-tiba saja jatuh terduduk, membenamkan mukanya dalam kedua tangannya.
Hinata benar-benar khawatir.
Hinata memakai sandal terdekat yang ada disitu, tak mempedulikan siapa pemiliknya, dan dengan tergesa-gesa berlari ke dalam hutan. Butuh beberapa saat bagi Hinata yang notabene lemah dalam olahraga itu untuk menemukan ujung yang lain dari hutan yang tak terlalu lebat itu. Benar saja, sosok gadis berambut merah jambu itu ada disana, namun sekarang tak lagi jongkok, ia berdiri membelakanginya.
"Sakura-chan?" Hinata yang sedikit ngos-ngosan menarik Sakura dan membuatnya menghadap ke arahnya.
Sakura tak mengucapkan sepatah kata pun. Hinata semakin khawatir ketika menyadari air mata tak berhenti mengalir melewati kacamata tebal Sakura, bergerak secara simetris kebawah mengikuti arah gravitasi.
"Sakura, ini bajumu?" Kata Hinata tak percaya sambil mengambil beberapa jeans dan kaos milik Sakura yang sudah kotor terkena tanah.
"Wuaah!" Hinata berteriak kaget ketika mendapati ada sebuah burung yang sayapnya terluka dan terbaring lemah diatas salah satu baju Sakura di situ.
Burung itu nampak begitu lemah, dan ketika melihat darah si burung, memori itu kembali datang.
Ingatan yang membuat hatinya sesak.
Tentang persahabatan.
Tentang cinta.
Tentang pengkhianatan.
.: oOo :.
Sakura POV – Satu tahun yang lalu
Kata orang, perasaan manusia bisa dilihat dari matanya.
Benarkah?
Sadarkah kau bagaimana perasaanku padamu?
Sampaikah?
.
Di usia 3 tahun, aku pertama kali bertemu Uchiha Sasuke.
Kesan pertamaku padanya adalah ia berbeda. Entah kenapa, aku suka sekali berada di dekatnya. Ia selalu tersenyum, jahil, dan baik.
Di usia 5 tahun, aku dan Sasuke bertemu Ino dan Hinata.
Cukup lucu juga awal pertemanan kami, karena saat kami pertama kali bertemu kami berempat langsung berantem karena memperebutkan sebuah es krim. Sasuke yang tersenyum jahil sambil berkata es krim terakhir yang tersedia di toko itu dia yang pertama menyentuhnya, aku yang mengomelinya karena seharusnya ia mendahulukan cewek (aku) untuk memakannya, Hinata yang menangis karena ingin es krim, Ino yang jengkel dan akhirnya ikut ngomel. Pada akhirnya, es krim itu terjatuh dan kami semua berebut mencolek es krim yang terjatuh di lantai toko itu dan memakannya.
Di usia 6 tahun, Aku ingat sekali kejadian sewaktu Usa-chan, kelinci yang aku dan Sasuke pelihara berdua mati. Aku terus menangis. Masih terngiang di kepalaku teriakan frustasi Sasuke yang mengatakan aku egois dan tidak mempedulikan sekelilingku. Benar saja, aku membuat yang lain kerepotan dan khawatir. Aku menyedot ingusku dan meminta maaf dengan terbata-bata. Dan hari itu, padaku yang sudah egois pun Sasuke menemaniku seharian, bahkan menggenggam tanganku untuk menghiburku. Padahal ia tak mengatakan apa-apa, hanya lewat tatapannya saja dia bisa menguatkanku, membuatku merasa tenang. Pada akhirnya, kami malah menangis bersama. Haha.
Di usia 7 tahun, entah kenapa tawa Sasuke mulai berkurang.
Yah, berkurang untuk orang luar luar, tidak untukku, Ino, dan Hinata.
Seluruh sekolah sudah tau kami ini bersahabat baik.
Di usia 12 tahun, nampaknya kepribadian kami mulai tampak semakin jelas.
Banyak yang bilang aku ini cantik, baik, riang, dan mudah bergaul. Masa sih? Yah, kata Ino sih aku suka mencampuri urusan orang. Huuh. Dia sendiri ratu gosip!
Sasuke sih semakin dingin orangnya, nampaknya ia sulit bergaul. Herannya, aku sering melihat cewek-cewek lain menatap Sasuke dengan muka merah. Memang ada apa sih?
Hinata orangnya sangat lembut, kalem, baik, dan paling bisa berpikiran dengan tenang dalam situasi seperti apapun.
Ino adalah orang paling cerewet yang pernah kukenal. Aku dan dia hobi sekali curhat satu sama lain.
Di usia 13 tahun, di antara Sasuke, Ino, dan Hinata, aku paling akrab dengan Sasuke.
Sasuke, Sasuke, dan Sasuke. Setiap hari dalam hidupku, selalu ada pemuda itu. Keberadaan dirinya seperti sesuatu yang wajar dalam hidupku.
Suatu sore di sekolah, aku tinggal sendiri di dalam kelas. Aku tak bisa meninggalkan kursiku karena sedang asik membaca buku yang kupinjam dari Hinata. Kata Hinata, aku harus membacanya. Judulnya 'My Threat, My destiny'. Sampai sejauh ini, sepertinya ceritanya menceritakan tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada sahabat sejak kecilnya. Jujur aku bingung kenapa Hinata menyuruhku membacanya? Tapi karena aku bukan tipe orang yang suka berhenti membaca di tengah jalan, beginilah jadinya.
"...I can feel it, when you take a step closer to me."
Tiba-tiba, aku merasakan hawa keberadaan orang lain di ruanagan ini yang berjalan ke arahku dari belakang tanpa suara.
"Sasuke, kau tak akan bisa mengagetkanku." Kataku datar, tak mengalihkan pandanganku dari buku yang kubaca. Dua buah tangan lalu memeluk leherku, sebuah suara terbisik di telinga kananku.
"Hmm. Nggak seru ah. Kau sedang apa?" Benar saja, suara Sasuke. Ia menempelkan pipinya di pipi kananku, membuat kami tepat bersebelahan, pandangan matanya mengikuti pandanganku yang terfokus pada buku.
Pipiku bergesekan dengannya saat ia berbicara. "Bwahaha. Sejak kapan kau baca novel picisan seperti ini, Sakura?"
Aku menggelembungkan pipiku. "Hinata menyuruhku membacanya. Dan sedang apa kau jam segini?"
Dia melepaskan kedua tangannya dari leherku, menarik sebuah kursi di sebelahku dan duduk di situ. "Aku kapten klub sepak bola lho?"
Sasuke memang memakai seragam sepak bola smp kami.
Aku tersenyum menyemangatinya. "Semangat ya, Sasuke! Harus menang pokoknya! Hehe."
Dia menjangkau ujung rambut panjangku dengan tangan kanannya, lalu menciumnya.
"Keinginanmu adalah perintah bagiku." Kata Sasuke sambil menatap mataku.
"...I can't take my eyes out of you when you see me with those sparkling eyes."
Aku kembali teringat kata-kata dalam novel itu. Sejak kapan mata onyx itu sebegini menarik untuk dilihat?
"Sakura, mukamu merah." Sasuke mengamati mukaku, lalu mendekatkan wajahnya padaku, menempelkan dahinya ke dahiku. Matanya terpejam, membandingkan suhu tubuhnya dengan suhu tubuhku.
"...When you touch me, I can feel those warm feelings inside me."
"Nggak panas kok, syukurlah." Kata Sasuke setelah beberapa saat, menjauhkan kembali wajahnya dariku. Matanya kembali terbuka.
"Kau ini kenapa sih, Sakura? Semakin merah tuh! Hahaha." Sasuke tertawa.
"...When you smile, I can't help but smile too."
Aku bisa merasakan kedua ujung bibirku melengkung ke atas, membuat sebuah senyum.
"Yah, malah ikutan ketawa." Protes Sasuke. Kami lalu tertawa bersama tanpa alasan jelas.
Aku melirik arloji yang kukenakan, lalu beranjak dari kursi. "Pulang yuk?"
Kami berdua lalu berjalan bersama keluar dari kelas, menyusuri lorong-lorong yang sudah sepi, guratan senja langit sore itu semakin terukir jelas di angkasa.
"...When we walk together, I can feel it. I can feel our steps blend together in harmony."
Kiri... kanan... kiri... kanan...
Kaki kami terus melangkah. Di antara semua suara yang kudengar selama perjalanan, entah kenapa aku selalu bisa menangkap suara langkah kami.
"Aduh!" Aku terjatuh karena tersandung sebuah batu di jalan ber-aspal itu.
"Jangan tertawa!" Ancamku kepada Sasuke yang kentara sekali dari wajahnya seperti meledekku.
"Haha. Maaf, maaf." Sasuke jongkok dan mengulurkan tangannya.
"...Your hand is so big, so warm. Hold my hand gently, don't let go."
Lagi-lagi kutipan buku sialan itu terngiang-ngiang di kepalaku. Ada apa sih denganku?
Aku menggapai tangan Sasuke, lalu dia membantuku berdiri.
"Kalau kubiarkan, Sakura pasti terjatuh lagi kan?" Sasuke tersenyum jahil, mengeratkan pegangan tangannya padaku.
Aneh.
Padahal sudah sering kami bergandengan tangan. Tapi... perasaan apa ini?
"...You make me realize that I'm a girl and you're a boy. We have many differents."
Udara sore berhembus lembut, menghempas rambut panjangku ke belakang. Tidak seperti hari biasanya, hari ini jalan yang kami lewati sepi. Mungkin karena sudah sore?
"Sakura, ada apa sih? Kau luar biasa diam sejak tadi." Sasuke memelankan langkahnya. Bahkan hanya lewat bayangan kami, aku jelas melihat perbedaan tinggiku dan Sasuke. Sejak kapan tingginya jauh melampauiku? Sejak kapan tangannya sebesar ini?
"Kau bertambah tinggi ya?" Kataku setelah kebisuan langkah kami. Aku menatapnya, dia menatapku. Mata kami bertemu. Tuh, lagi-lagi ada yang aneh dengan jantungku.
"Tentu saja! Aku kan cowok." Sasuke menatapku dengan tenang.
Melihat matanya, akhirnya aku mengerti.
"...Hug me. I've never felt so secure before. I feel so pleasant, so peaceful, so happy."
Setiap langkah terasa semakin berat, hingga akhirnya aku merosot ke tanah.
Perasaan ini... Kenapa baru sekarang?
"Sakura? Sakura, ada apa?" Sasuke ikut jongkok lagi, mengamati wajahku dengan wajah khawatir. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kananku dengan lembut.
"Sakura, kenapa kau menangis?" Aku bahkan tak sadar kalau ada air mata yang menetes dari pelupuk mataku. Dia melepaskan tangannya dariku, dan kehangatan tangannya yang kurasakan menghilang.
Dia berputar ke depanku, mengamati wajahku dengan tatapan bingung. Kedua tangannya di atas pundakku.
"Ada yang sakit?" Dia bertanya dengan nada lembut.
Aku tak tahan lagi. Aku menatap matanya, lalu menatap dadanya yang tampak bidang, walaupun tersembunyi di balik seragam olahraga yang dikenakannya. Tanpa pikir panjang, aku memeluknya.
Nyaman sekali rasanya dalam pelukannya. Apalagi saat ia balas melingkarkan tangannya di pinggangku, mengeratkan pelukan di antara kami.
" ...Can you hear my heart beats? It beats faster and faster."
Aku memejamkan mataku. Aku bisa mendengarkan detak jantung Sasuke, membuatku semakin malu, bisa kurasakan detak jantungku sendiri yang berdetak tidak karuan. Biarlah.
"...My heart is telling you something."
Yaya, kutipan buku tersayang, kau tak harus terus menyela perkataanku.
I love him.
Puas?
"Sakura?"
"Biarkan seperti ini 1 menit lagi."
"…Can you hear that?"
Sejak hari itu, aku tak lagi bisa menganggap Sasuke hanya sebagai temam sejak kecil lagi.
Terima kasih banyak, buku pintar.
"…I just love you so so so much!"
.
Sayangnya, bukan hanya aku yang memandang Sasuke dengan pandangan berbeda.
.
Usia 14 tahun, pertama kali seorang cowok mengatakan suka padaku.
Aku tak henti-hentinya bengong hari ini. Aku? Ditembak? Serius?
Ino memukul kepalaku dengan cukup keras. "Sakura terlalu nggak peka sih! Sejak dulu banyak tau cowok yang memperhatikan mu!"
"Bohong." Jawabku tak percaya.
Hinata membenarkan Ino. "Benar lho, Sakura-chan. Kamu itu cantik, baik, ramah, dan suka tersenyum. Banyak yang suka padamu. Sayangnya kau terlalu"
"kolot." Ino menyelesaikan kata-kata Hinata.
Aku memeletkan lidahku ke Ino.
Sejak itu, mulai banyak cowok yang menembakku. Aku selalu merasa kikuk saat menolak mereka. Aku merasa berasalah pada mereka, tapi tiap kali mereka mengatakan kalimat itu, otakku secara otomatis memikirkan sosok lain, sesosok pemuda beriris onyx indah yang begitu—oh, ayo fokus.
.
Usia 15 tahun, kami berempat masuk SMA Suna! Yeey, Haruno Sakura yang terkenal malas belajar pun bisa masuk SMA!
"Bagaimana rasanya jadi terkenal, Sakura?" Ino bertanya saat aku, dia, dan Hinata makan bersama saat istirahat.
Aku memandangnya tak mengerti.
Sumpitnya mencubit pipiku seakan aku ini nasi.
"Inooo?" Protesku.
"Sakura, sifat tak peka mu belum sembuh juga ya? Gosip tentangmu sudah tersebar lho. 'HARUNO SAKURA, cewek paling cantik di kelas X. Tinggi 160 cm, berat 38 kg. Model di majalah Chu, Hola Girls, dan blablablah. Menguasai Judo, Aikido, Silat, dan blablablah. Bisa memasak, menjahit, mendesain baju, dan blablablah. Kabarnya ia sudah memenangkan blablablah.' Nah, masih bertanya kenapa kau populer, Sa-ku-ra?" Kata Ino sambil berusaha mencubit pipiku dengan sumpitnya.
Aku memutar kedua mataku. "Kalian berbicara seolah-olah kalian berdua tak terkenal di sekolah ini?"
Halooo? Hinata dan Ino juga terkenal di sekolah. Bagaimanapun aku juga mengetahui perkembangan gosip saat ini.
.
Jam delapan malam adalah jam yang kutunggu-tunggu setiap hari.
HP-ku bergetar pelan.
1 new inbox.
Open / Close
Aku memencet tombol buka.
08.12 PM
From : Uchiha Sasuke
Hei. Sedang apa?
Aku tersenyum kecil. Hatiku berdetak cepat.
.
Masalah mulai nampak seminggu setelah aku bersekolah di sini. Beberapa cewek lain mulai mengusiliku. Mulai dari menyembunyikan buku catatanku sampai menaruh paku payung di kotak sepatuku.
.
Dua bulan setelah mulai sekolah, sekolah libur tiga hari karena ada rapat! Aku, Hinata, Ino, Sasuke, Neji, dan Itachi-nii pergi ke villa Ino yang ada di atas gunung. Udara di sana sangat sejuk.
Sepulang dari villa, Ino sepertinya mulai menjauhiku, begitu pula Sasuke. Keduanya mengabaikanku baik saat aku menyapa mereka maupun mengirimi mereka sms.
Apa lagi salahku kali ini?
.
Aku tak bisa bernafas.
Ino menamparku.
"Kau masih bisa bertanya kenapa aku membencimu? Demi Tuhan, jangan dekati Sasuke. Kau tak puas hanya menggoda cowok biasa, kau bahkan menggoda Sasuke-KU! Hentikan mengiriminya sms ganjenmu itu! SASUKE ITU MILIKKU!"
Pandanganku langsung buram sehingga tak sempat memperhatikan raut wajah Ino yang tampak begitu sedih itu.
.
Kenapa Ino bisa mengetahui perihal sms itu?
Sasuke, kau kah yang memberitahunya? Kenapa?
.
Aku berjalan menyusuri sekolah siang itu, mencari sosok Sasuke. Pelajaran? Sekali-kali bolos pelajaran itu diperlukan demi memupuk pengalaman.
Tak ketemu juga.
Sms nggak dijawab, telepon pun tak diangkat. Ada apa, Sasuke?
.
Aku berjalan lesu saat pulang sekolah, setelah menemukan kembali barang-barangku yang hilang—disembunyikan.
Aku menangkap sosok Sasuke yang sedang bermain basket sendirian di lapangan belakang sekolah yang jarang digunakan.
Segera saja aku berlari ke sana. "Sasuke."
Sasuke sepertinya kaget, karena shoot-nya yang biasanya selalu masuk ring itu kali ini meleset.
"Hei," sapanya singkat sambil melambaikan tangan.
'Hei' katamu? Bukannya biasanya kau datang dan mengacak-acak rambutku sambil tersenyum kecil?
Kemana Sasuke yang dulu kukenal?
Tiba-tiba saja aku merasakan adanya tembok tak terlihat di antara kami.
"Sasuke... Kenapa kau sekarang juga mengacuhkanku?" Tanyaku langsung padanya.
Dia menatapku tanpa ekspresi.
"Apa kau yang memberitau Ino soal sms kita selama ini?" Aku memberanikan diri menanyakannya.
Dia tak bereaksi.
"Apa kita masih berteman?"
Dia mengalihkan pandangannya.
Hei Sasuke, sebegitu tak mau kah kau melihat wajahku?
"Haruno, pulanglah." Katanya singkat.
Haruno?
Haruno katanya?
"Panggil aku Sakura, seperti biasanya." Kataku dengan nada kecewa yang sangat kentara.
Sasuke berjalan menjauhiku, mengambil bola basket yang tergeletak diam di atas lapangan, lalu mulai melakukan shoot.
Seakan aku tak ada disini.
Aku menunduk pelan. Jantungku berdebar cepat. Kali ini, rasanya sakit, perih sekali. Seingatku, aku belum pernah merasakan dadaku sakit se-sakit ini.
"Apakah keberadaanku mengganggumu?" Suaraku terdengar serak.
"Ya. Bisakah kau berhenti bertanya?" Sasuke berhenti dari aktivitasnya semula dan menatapku. Tak ada kehangatan di matanya saat menatapku. Yang ada hanyalah perasaan tidak suka, seolah ingin mengusirku.
Tolonglah, jangan tatap aku seperti itu. Aku juga punya perasaan.
Aku mengepalkan tanganku, memberanikan diri untuk berusaha menatapnya.
Ia tak lagi menatapku, melainkan ring bodoh itu.
"Pernahkah sosokku terlintas di pikiranmu, sekali saja?"
"Tidak." Jawabnya singkat.
"Apakah kau menganggap aku temanmu?"
"Bukan. Berhenti bertanya."
Aku mengerjapkan mataku berulang kali dengan cepat, membendung air mataku yang mau keluar. Ternyata tak hanya Ino, Sasuke-pun kini memusuhiku tanpa aku mengerti alasannya.
Sakura! Jangan nangis! Sakura gadis tegar, kan?
Aku bisa merasakan tanganku sendiri gemetaran. Jadi selama ini Sasuke menganggapku apa? Pengganggu?
Tidak, tidak. Sakura, jangan cengeng! Senyum.
Aku menangkap bola yang jatuh dari atas ring.
"Nice shoot," kataku sambil mengulurkan bola padanya. Dia mengambilnya. Tangannya terasa dingin. Tak bisakah aku menyentuh tanganmu yang hangat lagi, Sasuke?
Aku menarik nafas panjang. Senyum, Sakura! Kau pasti bisa!
Aku mengingat lagi memori-memori yang kupunya, mengingat hari-hari yang aku dan Sasuke lewati bersama.
Tatapannya, suaranya, sentuhannya, kebiasaannya, kesukaannya, sifatnya, semuanya.
Aku tak pernah menyesal mengenalmu, Sasuke. Sungguh. Aku tak menyesal pernah berjalan di sisimu, tertawa, menangis, bercerita, memarahi, menasehati, semuanya.
Dengan membayangkan semua kenangan yang kita lewati bersama, aku bisa tersenyum bahagia. "Terima kasih atas waktumu."
Aku bangga dengan diriku yang bahkan bisa tersenyum di saat seperti ini.
Aku melambaikan tangannya, lalu berjalan pelan keluar lapangan. Aku berbalik menatap sosoknya sekali lagi. Ia membelakangiku, sibuk dengan bola basketnya.
Aku berjalan ke rumah sambil berulang kali menatap langit sore yang indah, menguatkan hatiku. Berkali-kali aku hampir menangis jika mengingat kenangan kita berdua, membayangkan bahwa kau bahkan tak menganggapku teman.
Sakura harus tegar. Senyum, Sakura! Kau harus bisa.
Malam itu juga, aku memotong rambut panjangku yang sudah kupanjangkan beberapa tahun silam. Bersamaan dengan helaian rambutku yang berjatuhan, setiap memori yang kita lalui itu kembali datang, tak memberi hatiku kesempatan untuk memutar balikkan fakta.
Sekarang, kau dan aku, entah apa yang terjadi di antara kita.
Kau tau, Sasuke? Kau orang pertama yang mengatakan rambut pink-ku ini indah diantara orang-orang yang mengatakan rambutku aneh. Membuatku menyukai warna rambutku ini.
Dan kau tau, sebenarnya aku memanjangkan rambutku untukmu. Dan kau tak akan peduli.
"Nona,apa tak sayang kalau rambutnya di potong pendek?"
Aku tersenyum kecil. "Untuk awal yang baru."
.
Esoknya, Ino mengumumkan dirinya dan Sasuke berpacaran.
Aku tak pernah lagi berhubungan dengan Ino dan Sasuke.
.
Hei Ino, tak bolehkah aku mengembalikan kata-kata yang dulu kulontarkan padamu?
Egoiskah diriku menginginkan kebahagiaan?
Sebenarnya, apa yang salah dengan roda rantai kehidupanku? Kenapa di saat semuanya seperti berjalan baik dan aku hampir mendapatkan kebahagiaan, semuanya lenyap?
.
Dua bulan berlalu. Rambut yang kupotong sepanjang telinga kini panjangnya sudah mencapai pundakku.
Time sure flies, huh?
"Sakura, kau berubah ya sekarang?" Tanya Hinata padaku suatu hari.
Aku tersenyum padanya dan kembali menatap langit.
Tentu saja, aku harus melangkah ke depan, kan? Walaupun tertatih-tatih, aku tetap berdiri. Mendongakkan wajahku, menyongsong hari esok.
.
Oke, keadaan semakin memburuk. Entah kenapa image diriku semakin memburuk, apalagi setelah pengumuman hasil UTS itu. Aku peringkat 3 paralel! Banyak yang bilang aku melakukan hal licik karena sebelumnya aku tak pernah masuk peringkat sepuluh besar. Halooo? Kalian kira aku tak tau cara belajar?
"Hahaha. Pasti ada yang salah. Aku lupa cara membaca hingga berhalusinasi nama Haruno Sakura ada di peringkat tiga." Kata Ino dengan suara keras, nadanya melecehkan sekali.
"Kau mau kuajari, Ino? Bagaimana jika dimulai dengan mengeja huruf ABC?" Balasku dengan cuek.
Mukanya memerah dan ia pergi.
Ha. Skor 1 untuk Sakura.
.
"Sakura-chan tambah kuat ya?" Hinata tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.
Maaf ya Hinata, selama ini diantara kita berempat aku kurang akrab denganmu. Tapi justru kau yang ada di sisiku.
.
Sore itu aku berjalan pelan sambil membawa barang belanjaan dari supermarket. Saat sedang berjalan di sebuah jalan yang sepi, lagi-lagi aku bertemu Ino.
Kami-sama, aku sungguh tak tau apa salahku hingga selalu berurusan dengannya.
Hee? Dia menangis?
Ino sepertinya melihatku, lalu langsung menghampiriku. Eer... Hendak menamparku, namun berhasil kuhindari.
Ayolah Ino, kedua tanganku sedang kupakai untuk membawa barang belanjaan. Kau tak berharap aku berkelahi denganmu menggunakan kepalaku kan? Kita akan terlihat menggelikan.
Walaupun tak banyak orang yang lewat, namun lalu lintas kendaraan di sini ramai sekali. Bising. Aku kurang jelas mendengar apa yang Ino teriakkan. Hanya sebagian penggalan katanya yang tertangkap telingaku, seperti "Villa", "Sasuke", "Hancur", "Sia-sia", dan "Ibumu".
Ngapain kau membawa-bawa Ibuku yang sudah tenang di alam sana?
"Aku benci sekali padamu!" Teriak Ino, tangannya mencengkram leherku. Dia memandangku dengan penuh amarah, air matanya menetes.
Samar-samar kudengar Sasuke yang meneriakkan nama kami. Hem, sudah berapa bulan kita tak memanggil nama satu sama lain, Sasuke?
Ino nampaknya juga melihat Sasuke. Bukannya melepaskanku dan memasang wajah manjanya itu dan pergi ke Sasuke, dia justru mendorong ke jalan raya.
Aduh, pantatku sakit sekali. Aku melihat Ino yang tersenyum padaku dan Sasuke yang berlari ke arahku dengan cemas. Ada apa sih?
Bunyi klakson mobil mengagetkanku, dan saat aku menengok ke samping dan menyadari apa yang sedang terjadi, semua sudah terlalu terlambat.
Hal terakhir yang kulihat adalah warna merah pekat, lalu semua tertelan kegelapan.
Hanya rasa sakit di sekujur tubuhku yang menemaniku di dalam kegelapan.
Sakit.
.
Entah berapa lama aku tertidur. Perlahan aku berusaha membuka mataku yang terasa sangat berat untuk kubuka. Aku menyerah, seperti ada besi seberat satu ton yang menghalangiku.
Aku berusaha tenang. Mataku tetap terpejam, tabi aku bisa mulai merasakan pergerakan tubuhku yang lain. Masih sakit. Sepertinya sebagian tubuhku tertutup perban, terutama kepalaku. Perban? Memang apa...—aah, kecelakaan itu.
Sialnya nasibku. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku, bahkan satu jaripun tak mampu. Bunyi alat-alat di kamar ini yang menemaniku. Infus, mungkin? Lagipula aroma obat jelas sekali tercium. Pasti aku di rumah sakit.
Jam berapa sekarang? Sudah berapa lama aku terbaring disini? Aku takut. Gelap sekali di sini.
Seluruh tubuhku terasa dingin. Eh tunggu dulu. Tanganku entah kenapa terasa hangat.
.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan sambil mendengar suara teman-temanku yang datang menjengukku. Lucu sekali, aku seperti seorang psikiater yang sedang mendengarkan curhat pengakuan dosa orang lain.
Hatiku semakin miris ketika mendengarkan pengakuan cewek lain. Kata mereka, Ino-lah yang menyuruh mereka menjahiliku. Beberapa bahkan bilang sebenarnya mereka ingin berteman denganku, tapi diurungkan karena takut dimusuhi Ino.
Ino. Ino. Ino.
Padahal setahun lalu, pada tanggal yang sama, detik yang sama, kami masih berteman. Masih ber-sms. Bergosip bersama.
Sekarang? Kita seperti ada di dunia berkebalikan dengan tahun kemarin.
Aku lelah dengan semua ini.
"Kapan kau akan pergi dari hidupku dan Sasuke? Aku lelah dengan semua ini, Sakura. "Aku yakin sekali itu suara Ino.
Setelah dia pergi, aku membuka mataku. Pandanganku kosong. Aku juga lelah, Ino.
"Sakura! Syukurlah kau sudah sadar!" Ayahku menangis senang sambil memelukku. Hinata juga menangis gembira sambil tersenyum.
"Ayah..." Suaraku terdengar aneh.
"Ya?"
"Boleh aku pindah sekolah?"
.
"Untuk apa kau ikut pindah sekolah?" Tanyaku pada Uchiha Sasuke saat aku dan ayahku di undang makan malam disitu.
Oh ya, sejak insiden itu, aku memakai sebuah kacamata tebal dan rambutku dikepang dua, poniku menutupi wajahku. Wajah Ino terlihat aneh saat aku mengatakan ucapan perpisahan di kelas, namun aku tak peduli. Yang tak kumengerti cowok ini. Tak bisakah dia membiarkanku hidup damai?
Setelah makan malam bersama keluarga Uchiha, dia memintaku untuk ke atap di rumahnya.
Dan dia tak berkata apa-apa. Nah, aku masih tak boleh marah? Kupukul jika ada yang bilang tak boleh.
"Sakura..."
"Jangan sebut namaku." Aku tak mau kau memanggil namaku seperti tak terjadi apa-apa.
Sasuke nampak terluka. Kau pikir aku tak terluka selama ini?
"Maaf," ujarnya singkat.
Aku tak bisa lagi menahan emosiku.
"Maaf? MAAF? Kemana saja kau selama ini? Kemana kau saat aku membutuhkanmu? Kemana kau saat aku ditindas? Kemana kau saat insiden itu? KEMANA DIRIMU YANG DULU KUKENAL?"
Aku menamparnya sekuat yang ku bisa.
Dia tetap menatapku lurus, seakan tamparan itu tak berpengaruh apa-apa padanya.
Dia maju dan memperkecil jarak di antara kami. Hal berikutnya yang kutahu aku sudah dalam pelukannya. Dia memelukku dengan kuat, aku bahkan tak bisa bergerak.
"Maaf, Sakura. Maaf..." Dia terus saja membisikkan hal itu di telingaku. Baru kali ini aku mendengar nada suaranya yang se-menyesal ini.
Aku menghirup dalam aroma tubuhnya yang kukenal ini. Aroma yang selalu membuatku merasa tenang.
Dulunya.
Semua telah terjadi. Roda waktu itu tak dapat diputar kembali.
Aku mendorongnya sekuat tenaga dengan kedua tanganku yang masih sedikit bergetar.
"Sudahlah, Uchiha. Hentikan memberiku harapan kosong. Aku lelah dengan semua ini."
Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tak mengatakan apa-apa.
Aku menatap mata onyx itu.
"Aku menyukaimu sejak kecil, Sasuke. Benar-benar tulus kuakui itu. Aku senang sekali karena kau memberikan perhatian khusus padaku. Dulu. Lalu semua berubah. Kau melukai perasaanku, sangat sangat dalam. Kau memberiku harapan palsu. Dan akhirnya kau menyadarkanku bahwa harapanku padamu terlalu besar. Terimakasih."
"Sakura… Aku—" Aku menatapnya dengan pandangan yang menyuruhnya tetap diam.
"—Dan sekarang, bagiku kau bahkan tak cukup berharga untuk membuatku menyukai ataupun membencimu. Mulai hari ini, aku bahkan tak akan tau pria bernama Uchiha Sasuke ada di dunia ini."
Mulai hari itu, aku dan Uchiha Sasuke adalah dua individu yang asing satu sama lain.
Setiap kali bertemu, kami bagaikan air dan minyak. Tak ada kata-kata lembut yang terucap, yang ada hanya ejekan dan sandiwara.
.: oOo :.
Lagi-lagi aku teringat kejadian itu. Aku menampar mukaku sendiri.
"Sakura-chan?" Hinata bengong melihatku.
Aku hanya tersenyum. Aku bisa melihat dari bola mata Hinata yang berwarna tua itu wajahku sendiri yang terlihat sedikit pucat.
Tenangkan dirimu, Sakura. Jangan terpengaruh masa lalu.
.: oOo :.
Normal POV
Sakura melepas kacamatanya dan mengelap air matanya yang akhirnya mulai berhenti mengalir.
"Aku nggak papa, Hinata." Kata Sakura, mendekati burung yang terluka itu, lalu memeriksanya.
"Bagaimana?" Tanya Hinata takut-takut.
"Lho? Ternyata nggak parah kok. Sepertinya ini bukan darahnya, mungkin darah hewan yang diburunya." Sakura dan Hinata tersenyum lega.
"Sakura-chan... Bagaimana pakaianmu?"
Sakura mencegah Hinata yang hendak mengambil baju-baju Sakura yang sudah nyaris rusak.
Sakura tersenyum cuek sambil menggendong burung itu dengan kedua tangannya. "Sudahlah, Hinata."
"Lalu kau pakai apa saat seleksi tahap dua nanti? Sakura-chan, seleksinya bahkan sudah dimulai!" Hinata menarik lengan Sakura dan membawanya turun secepat yang ia bisa. Mereka langsung ke villa. Rin dan Anko tampak khawatir. Mereka berdua nampaknya sudah berganti pakaian, Anko memakai kostum kerangnya dan Rin memakai kostum maid. Keduanya juga sudah memakai make-up dan menambah aksesoris kecil seperti gelang dan kalung di tubuh mereka.
"Bagaimana?" Tanya Rin dan Anko berbarengan.
Sakura mengangkat bahu. "Rusak. Dibuang."
Raut wajah Rin dan Anko tampak sangat kecewa.
Anko tiba-tiba tersenyum lebar. "AHA!"
Sakura, Hinata, dan Rin menatap Anko dengan kebingungan.
"Kau bisa memakai kerang milikku yang lain!" Sebelum Anko sempat mengambil tas-nya, ketiga temannya itu menghentikannya.
"Jangan."
"Vulgar."
"Terimakasih."
Kata tiga orang itu bergantian. Anko cemberut.
"Lalu apa yang akan Nona Kontestan Nomor Satu pakai?" Anko mengacungkan telunjuknya ke arah Sakura.
Sakura tampak berpikir keras. Ketiga temannya menatapnya dengan cemas.
Mereka tak menyadari Ino dan Karin yang mendekati mereka dengan membawa segelas penuh berisi teh.
Ino menatap Sakura dengan tatapan tak suka. Mengapa setelah ia buang tas yang berisi pakaian Sakura itu, Sakura tetap saja bisa tersenyum? Gadis berambut merah muda itu jahat, baginya. Sakura telah mengambil satu-satunya hal yang Ino inginkan di dunia ini, satu-satunya hal yang Ino tak ingin direbut oleh siapapun.
Cinta-nya.
"Oops." Ino tampak terjatuh dan teh itu membasahi baju Sakura bagian belakang dan sebagian ujung rambutnya.
Sakura terlonjak kaget.
Ino menatap Sakura dengan sinis, dan tanpa di duganya, Sakura menamparnya.
"Berani sekali kau!" Ino hendak menampar Sakura, tapi gadis berkacamata itu menangkap tangannya.
"Aku bisa mematahkan lenganmu jika kau mau. Jangan ganggu aku lagi. Aku bukan gadis lemah yang dulu kukenal." Ino menarik tangannya dan mundur selangkah. Setelah saling menatap dengan tajam, Ino dan Karin pergi.
Karin tampak bicara sesuatu pada Ino, seperti ada perdebatan di antara mereka, namun Sakura tak bisa mendengarnya karena di luar jangkauan pendengarannya.
"Hinata, kau bawa seruling yang sering kau bawa itu?"
"Haa?"
.: oOo :.
Shizune dan Iruka tampak tak bisa menyembunyikan kekecewaan mereka. Peserta nomor 30, Koizumi Eni, sepertinya terlalu malu terlihat di depan umum. Gerakannya sangat kaku. Pada akhirnya ia terjatuh ke dalam air dan melihat ke kamera dengan muka hampir menangis.
Peserta nomor 29, 28, 27, dan seterusnya juga begitu. Baru saat mulai nomor 15 ke atas tampak ada perubahan. Gerakan mereka semakin bagus, senyum mereka tampak alami, sesuai dengan kostum yang mereka pakai.
Yah, karena ini di pantai, tentu saja kebanyakan memakai bikini.
"Nomor 5; Hyuuga Hinata!" Iruka berteriak memanggil peserta selanjutnya.
Hinata berjalan pelan, bukannya menuju pasir pantai, ia malah sengaja memilih masuk ke air.
Ia memunculkan tubuhnya sebatas perut ke permukaan dan menghadap ke orang-orang di daratan, matanya terkunci arah kamera.
Hinata memakai baju cina berwarna perak yang berkilauan terkena cahaya mentari sore. Dirinya berdiri tepat segaris dengan cahaya mentari yang terbias di laut sore itu, membuat kesan dirinya semakin kuat.
Rambutnya terlihat berkilau karena terkena air, tetes demi tetes air terus mengalir dari rambutnya. Semua mata penonton yang melihatnya terkunci pada matanya yang terlihat menyilaukan.
Dia tersenyum memandang Naruto yang juga memandangnya, rona merah muncul di pipinya. Membuatnya terlihat seperti gadis yang jatuh cinta.
Dia lalu berjalan pelan sampai air hanya menggenangi pahanya, baju ala Cina-nya yang pendeknya se paha terlihat jelas.
Ia lalu berbelok sembilan puluh derajat ke arah kanan.
Muka orang-orang memerah. Baju renang Hinata yang ala Cina ini terlihat mengejutkan dilihat dari samping. Bagian samping ini tak di jahit, melainkan di tali dengan sebuah tali berwarna perak yang dibuat menyilang, menyisakan rongga-rongga yang membuat kulit mulus Hinata terlihat. Terlihat jelas lekukan tubuh Hinata yang tampak sangat ramping.
Hinata mengangkat tangan kanannya sampai sedikit lebih tinggi dari kepalanya, memperlihatkan gelangnya yang berhias bentuk hati dalam berbagai bentuk. Ia mendongakkan kepalanya, menggigit hati dalam ukuran paling besar, sambil menatap ke arah penonton yang tampak terpana.
"Ehem. O..-oke. Bagus sekali. Eh, maksud saya, eer... Nomor 4; Hatake Rin!" Iruka tak bisa menutupi rasa kagumnya atas penampilan Hinata.
Rin mengenakan baju balet berwarna pink dengan rok-nya yang melebar ke samping yang berkilau. Rambutnya di sanggul, sebuah tiara dari perak mempercantik rambutnya. Dia memegang dua pita berwarna panjang dan memperagakan gerakan-gerakan balet, tubuhnya lentur sekali. Dia bisa bebas mengangkat satu kakinya hingga benar-benar lurus, kemudian menekuknya dan berputar indah diiringi putaran pita panjangnya. Air pantai yang terhempas saat kakinya naik ke atas jatuh dengan indah seperti mutiara. Sebagai adegan puncak, dia melakukan gerakan seolah-olah ia bisa berdiri di atas air.
Shizune tersenyum senang. Ia bertemu mata dengan Iruka. Level lima besar peserta memang berbeda jauh dari para peserta sebelumnya.
"Nomor 3; Yamanaka Ino."
Ino maju ke depan para juri. Ino memakai jaket tipis berwarna putih yang kelihatan trendy. Di atas jaket itu, dia memakai sebuah kalung yang terbuat dari batu seukuran bola bekel berwarna-warni. Rambut pirangnya di urai bebas, di atas telinga kirinya sebuah bunga Ashee, bunga khas di daerah itu yang berwarna merah merona, terjepit di antara rambutnya yang dibuat agak bergelombang hari itu. Bagian paha nya terlihat jelas karena celana renangnya begitu pendek. Ia berjalan membawa sebuah payung pantai dan sebuah box bekal sambil memandang matahari tenggelam.
'Ooh... ceritanya mau piknik ya?' Pikir Iruka sambil tetap merekam.
Ino dalam hati merasa senang karena sepertinya kedua juri mengerti maksudnya.
Ia lalu duduk dibawah payung pantai itu, seolah sedang sun-bathing, jaket putihnya sudah terlepas.
Ino menatap kamera, wajahnya di condongkan ke arah kiri. Bersamaan dengan datangnya angin, tangan kanannya diangkat ke atas, seolah menyingkap sebagian poninya, rambutnya yang berkilau terbawa derai angin tampak mempesona, mata kanannya terpejam dan ia berkedip manis, barisan giginya yang putih terlihat jelas.
Para peserta lainnya mendecak kagum, karena Ino bisa tampil se-natural dan se-cantik itu walaupun tanpa masuk ke air.
Yah, mereka melupakan pengalaman Ino dalam dunia modelling selama beberapa tahun ini.
"Nomor 2; Takahebi Karin."
Karin maju ke depan. Dia memakai sebuah baju renang terusan yang ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, terutama bagian dadanya yang memang terlalu terbuka. Jika dilihat sepintas, Karin seperti tak memakai apapun.
Kenapa?
Karena warna baju renang itu dibuat sama persis seperti warna kulitnya yang kuning langsat, dan sukses membuat orang-orang yang melihatnya bermuka merah.
Ia menguncir dua rambutnya dengan sebuah kucir berhias kupu-kupu berwarna merah yang cantik.
Karin berlari dan berlompat ke dalam air, lalu setelah beberapa detik ia meloncat keluar. Loncatannya sangat tinggi, jika dipandang dari lokasi kedua fotografer dan peserta lain yang menonton, ia seperti meloncati matahari senja yang tenggelam. Ia lalu menari-nari lagi. Beberapa peserta menggosok-gosok matanya tak percata karena mereka seperti melihat ada lumba-lumba yang ikut menari dengan Karin.
Shizune tersenyum. Bagus sekali penghayatan gadis ini. Berkat gerakan-gerakannya yang seolah sedang menari dengan lumba-lumba itu seolah benar-benar nyata!
Ino lalu masuk lagi ke dalam air, tersenyum penuh arti.
Ia membawa keluar bungkusan yang ia selipkan di bebatuan di dalam air saat ia pertama kali terjun ke air tadi.
Karin muncul dari dalam air, kali ini ia tak melompat seperti biasanya. Ia menggenggam sebuket mawar merah dan tersenyum manis.
Warna mawar itu cocok sekali dengan warna rambutnya.
Ia melempar mawar itu ke atas, entah kenapa kelopak-kelopak dari setiap mawar itu langsung terlepas dan berjatuhan seperti butir-butir air hujan.
Kelopak-kelopak itu ada juga yang berjatuhan dan berkumpul membentuk sebuah tiara.
Dan sekali lagi, ia tersenyum menghadap kamera.
Iruka dan Shizune tampak sangat puas.
Namun setelah Karin keluar dari air pantai, perlahan senyum di wajah Iruka menghilang.
Sebuah masalah menghatam mereka.
"Apa yang harus kita lakukan dengan air pantai yang sekarang berceceran kelopak mawar merah ini?" Semua mata lalu tertuju pada kelima juri.
Ino ambil suara. "Lanjutkan saja. Toh tinggal satu peserta, kan? Apalagi ini Nona Nomor Satu."
Jelas sekali tersirat dia sedang mengejek dari nada suaranya yang mencemooh itu.
Banyak peserta lain yang menganggukkan kepala.
"Lanjutkan saja." Kata sang Hokage.
Ino, Karin, dan beberapa peserta lainnya langsung tersenyum puas.
"Tapi Hokage-sama..."
Hokage menatap Gai dengan pandangan yang tak menerima bantahan.
"Sudahlah, lagipula nomor satu seharusnya mempunyai kemampuan lebih kan?" Kata Tsunade sambil meminum air kelapa segar di depannya.
"Sa..—Sakura-chan! Kau serius mau memakai pakaian seperti itu?" Bisik Rin kepada Sakura saat ia melihat Sakura keluar dari villa dan berjalan menuju kerumunan orang.
"Hmm... ya," jawab Sakura dengan tenang, melewati Rin dan orang-orang yang menatapnya dengan pandangan aneh.
.: oOo :.
~To be Continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar