pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 6

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR: seiring berjalannya cerita, mungkin akan ada beberapa kejadian yang berbeda dari yang pernah dialami Naruto sebelumnya (beda dari Anime/Manga), meskipun kebanyakan akan sama. Jadi disini Naruto tidak persis mengulang masa lalunya, tapi lebih ke 'membuat alur kehidupan baru'. AT: Time travel. Sedikit OOC karena Naruto jadi bersikap lebih dewasa, typo, bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"Apa... setelah ini aku masih boleh menemuimu Hinata-chan?" tanya Naruto ragu. Sejujurnya dari kemarin Naruto memikirkan hal ini. Lulus dari akademi berarti kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Hinata semakin sedikit. Apalagi setelah dibagi tim, akan ada banyak misi yang membuat mereka semakin sulit bertemu. Kalau boleh memilih, Naruto ingin terus di akademi dan terus bersama Hinata. Tapi dia tahu itu tidak mungkin.
Naruto menunggu jawaban Hinata dengan harap-harap cemas.
"Tentu saja," jawab Hinata. Muka Naruto berubah cerah saat itu juga.
"Aku tidak mau hanya karena kita sudah lulus, kita jadi jarang bertemu," tambah Hinata sambil menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya yang mulai muncul.
"Baiklah, di setiap waktu luang atau disela misi kita akan bertemu. Aku akan menemuimu di rumahmu."
"Eh? Memangnya tidak takut bertemu Tou-san?" tanya Hinata.
"Oh benar juga. Haha."
"Hehe. Kalau begitu kita bertemu di tempat latihan saja seperti biasa."
"Iya."
Naruto berbalik memandang mangkuk ramennya, kemudian menghela nafas.
'Baiklah saatnya serius, ujian Chuunin tinggal sebulan lagi. Disanalah kekacauan dimulai. Aku harus mencegah agar Hokage Ke-3 tidak meninggal dan Orochimaru tidak menggigit Sasuke. Aku harus berlatih keras mulai sekarang. Disaat semuanya berhasil kutangani, semoga aku bisa fokus padamu Hinata-chan dan bisa menyampaikan perasaanku ini padamu. Yosh! Misi segera dimulai!' teriak Naruto dalam hati, kemudian diseruputnya setengah mangkuk ramen yang dari tadi dia acuhkan.
.
.
.
Chapter 6
-Permintaan Terakhir-
Normal POV
"Naruto-kun, istirahat dulu," seru Hinata.
"Sebentar lagi," jawab Naruto tanpa menghentikan latihannya dengan puluhan clone di sekelilingnya.
Itu kedua kalinya Hinata menyuruh Naruto untuk istirahat. Tapi jawaban yang didapat Hinata sama saja. Mereka berdua sekarang sedang berada di tempat yang sering mereka jadikan tempat latihan. Tempat itu adalah tempat yang Naruto temukan saat mengajak Hinata bolos beberapa bulan lalu. Letaknya tidak jauh dari patung Hokage. Tempatnya memang bagus untuk latihan. Sepi dan jarang sekali ada orang yang lewat kesana. Di sebelah selatannya ada sungai kecil, sementara di sebelah timur ada beberapa pohon besar yang bisa digunakan untuk berteduh dan mengistirahatkan badan setelah berlatih.
Setengah jam kemudian Naruto menghentikan latihannya dan mendekati Hinata yang berada di dekat pohon. Sebenarnya Hinata juga latihan, tapi beristirahat lebih dulu dari Naruto, bahkan dia sudah menghabiskan bekal makanannya dari tadi.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu latihan keras sekali Naruto-kun?" tanya Hinata. Naruto kemudian duduk di depan Hinata.
"Oh, itu... Um, agar aku lebih kuat, aku 'kan ingin jadi Hokage suatu hari nanti," jawab Naruto sambil mengepalkan tangannya semangat.
Faktanya adalah Naruto berlatih keras agar saat ujian Chuunin, dia bisa mencegah Orochimaru menggigit Sasuke. Sebenarnya seminggu terakhir ini Naruto mulai khawatir. Ia ragu karena dengan kemampuannya yang sekarang, sangat mustahil mengalahkan Orochimaru. Seberapa keraspun dia latihan, dia tetap tidak bisa mengeluarkan semua kemampuannya dengan maksimal. Pernah dia mencoba mempraktekan rasengan tapi hasilnya nihil, jurus itu tidak keluar sama sekali dari tangannya. Tampaknya dia perlu mengulang belajar rasengan dengan metode bertahap seperti yang Jiraiya ajarkan dulu. Tapi itu tidak membuatnya patah semangat, ia malah semakin keras berlatih.
"Tapi tidak baik kalau kamu berlatih terlalu keras begini," kata Hinata terlihat khawatir.
"Hee? Kamu mengkhawatirkanku ya? Hehe." Naruto tersenyum menggoda Hinata.
"Umm.." Hinata menyembunyikan rona merah di wajahnya, kemudian mengalihkan pembicaraan dengan mengeluarkan bekal dari tasnya. "Aku membawa bekal untukmu. Makanlah."
Bekal yang dibawa Hinata berupa nasi yang dibentuk seperti wajah Naruto dengan lauk dan sayuran di sisi-sisinya.
"Wah, mirip dengan wajahku. Aneh juga, aku seperti memakan diriku sendiri," kata Naruto, tapi akhirnya dia memakannya juga.
Hinata tersenyum dan memandang Naruto, memperhatikan ekspresi wajah Naruto saat memakan bekal buatannya. Ia takut bekal buatannya tidak enak. "Ba-bagaimana Naruto-kun? Apa rasanya... enak?"
"Enak. Kamu pasti akan jadi istri yang baik suatu saat nanti," kata Naruto sambil tersenyum. Entah kenapa dia merasa pernah mengucapkan kalimat itu sebelumnya.
Naruto memang suka sekali menggoda Hinata, mendengar kata-kata Naruto wajah gadis itu langsung merona hebat. "Eh? Istri yang baik?" kata Hinata pelan, ia memainkan jari-jarinya menahan rasa gugupnya. Naruto masih sibuk dengan makanannya, tidak mempedulikan Hinata yang hampir pingsan didepannya.
"Hinata-chan, kamu sudah daftar ujian Chuunin?" tanya Naruto saat selesai makan.
"Iya. Kenapa?"
"Aku hanya khawatir padamu. Peserta ujian Chuunin itu kuat-kuat." Naruto memandang langit, mengingat-ngingat ujian Chuunin dulu. Terutama saat Hinata melawan Neji.
"Tenang saja, kamu 'kan sudah mengajariku selama ini," kata Hinata tersenyum menenangkan.
"Tetap saja..." Naruto menunduk, mengalihkan pandangannya dari langit yang biru ke hamparan rumput hijau di depannya.
"Naruto-kun?" Naruto tidak merespon, pikirannya terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara membuat Hinata mengalah dan tidak melawan Neji saat ujian Chuunin nanti. Akhirnya mereka berdua malah terdiam disana. Hanya suara daun-daun rimbun di atas mereka yang terdengar karena tertiup oleh angin.
"Hinata-chan..." kata Naruto memecah keheningan.
"Ya?"
"Bagaimana kalau seandainya kamu harus melawan Neji di ujian Chuunin nanti?" tanya Naruto tiba-tiba, Hinata yang mendapat pertanyaan itu langsung kaget. Sejujurnya Hinata tidak pernah membayangkan kalau dia harus melawan sepupunya.
"Neji-Niisan? Um..." Hinata terlihat berpikir keras.
"Aku tidak ingin melihatmu terluka Hinata-chan," kata Naruto tanpa menunggu jawaban Hinata. "Jadi, seandainya nanti kamu harus melawan Neji, jangan memaksakan dirimu."
Hinata sebenarnya tidak terlalu mengerti kenapa Naruto mengatakan hal itu padahal ujiannya saja masih seminggu lagi. Tapi Hinata tetap mengangguk dan membuat bocah pirang itu kembali bersemangat.
"Baiklah, ayo kita latihan lagi! Kamu harus mengalahkan 20 clone-ku dalam waktu 30 detik!"
"Hai!"

Tibalah waktunya ujian Chuunin. Ujian tertulis terlewati dengan lancar karena Naruto sudah tahu semuanya. Mulai dari rahasia yang mengharuskan para peserta untuk mencontek menggunakan jurus ninja mereka, sampai rahasia dibalik soal nomor 10 di ujian tertulis itu. Sehingga Ibiki di masa sekarang kembali dibuat geleng-geleng kepala karena Naruto bisa lulus tanpa mengisi satu jawaban pun di kertas ujian.
Saatnya berlanjut ke hutan kematian. Disinilah bagian yang membuat Naruto kembali khawatir kepada Hinata. Terutama teror dari Gaara yang di masa sekarang masih jahat dan dipenuhi dengan aura kebencian.
"Hinata-chan berhati-hatilah, terutama pada ninja pasir itu," kata Naruto memandang Gaara. Hinata mengikuti arah pandangan Naruto.
"Baiklah, Naruto-kun juga hati-hati."
"Oy, Naruto! Cepat kesini, sebentar lagi kita masuk," teriak Sakura yang sudah berada di dekat gerbang masuk.
"Iya, sebentar!" balas Naruto, kemudian Naruto memegang kedua pundak Hinata. "Ingat kata-kataku, jangan paksakan dirimu."
"Iya."
"Cepat Naruto!"
"Aku datang Sakura-chan!"

BUGHH! BRUKH!
Naruto terlempar ke tanah dengan keras. Naruto sudah hampir mencapai limit kekuatannya tapi Orochimaru masih berdiri tegak disana. Ini di luar prediksinya. Sakura pingsan dan Sasuke berdiri tak jauh darinya, ia juga terlihat sudah kehabisan stamina. Ternyata seberapa kuatpun Naruto berlatih, Orochimaru bukanlah tandingannya. Levelnya berada terlalu jauh di atasnya. Andai saja dia sudah bisa memakai rasen shuriken atau sage mode sekarang, pasti akan mudah mengalahkan Orochimaru. Ugh, jangankan itu, rasengan biasa saja dia belum menguasainya.
Naruto bangun dan mengusap darah di dagunya kemudian mendekati Sasuke.
"Sasuke, dengarkan aku. Aku tahu kau tidak suka padaku tapi untuk kali ini aku ingin kita bekerja sama. Kita memang tidak mungkin mengalahkannya, tapi paling tidak jangan biarkan dia mengigitmu."
Sasuke terlihat bingung dengan kata-kata Naruto.
"Percayalah padaku dia itu sangat berbahaya. Kekuatannya jauh di atas ki..."
DZIGHHH!
Kata-kata Naruto terpotong oleh pukulan telak Orochimaru di pipinya. Naruto terlempar jauh ke belakang, tapi sebelum dia bangun Orochimaru sudah mencekik lehernya dan menekan Naruto ke pohon.
"Kenapa kau jadi banyak bicara bocah? Hmm.. Tak kusangka kemampuanmu boleh juga." Orochimaru memperkuat cekikannya di leher Naruto.
"Uhuk, uhuk..."
BUAKHHH!
Sasuke menendang perut Orochimaru membuat pegangannya ke leher Naruto terlepas.
"Kali ini aku akan bekerja sama denganmu Dobe."
Naruto tersenyum kemudian berdiri dan bergabung bersama Sasuke. Dengan serangan kombinasi mereka berdua, Orochimaru mulai kewalahan.
Orochimaru yang terdesak menyadari kalau Naruto telah menghalangi rencananya. Entah kenapa dia merasa Naruto sedikit aneh dan sepertiya Naruto mengetahui rencananya. Orochimau tidak mau rencananya berantakan, Naruto harus disingkirkan terlebih dahulu.
Kemudian serangan Orochimaru mulai fokus kepada Naruto, setiap Sasuke menghalanginya dia akan menendang atau menjauhkan Sasuke. Ia tidak segan untuk menghabisi Naruto. Tentunya menghabisi Naruto adalah perkara mudah baginya. Dengan serangan yang terus-menerus diarahkan padanya, Naruto kehabisan chakra dan akhirnya terkapar disana.
Sekarang tinggal Sasuke melawan Orochimaru. Sasuke memakai kawat untuk menjebak Orochimaru di pohon. Orochimaru yang tidak menduga serangan itu terikat disana. Sasuke kemudian mengeluarkan jurus api dan membakar Orochimaru. Tapi Sasuke kaget karena serangannya tidak berarti bagi pria ular tersebut. Orochimaru memuji Sasuke karena di umur yang masih muda dia bisa sehebat ini. Setelah itu Orochimaru memanjangkan lehernya dan mengigit Sasuke.
"Sasuke!" Terlambat, Orochimaru telah berhasil mengigit leher Sasuke.
Naruto hanya bisa memandang dari kejauhan dan mengutuk dirinya karena tidak bisa melindungi Sasuke.
'Maafkan aku Sasuke...'

Pada babak kedua ujian Chuunin ini, Team 7 berhasil mengumpulkan 2 gulungan atas bantuan Kabuto (Naruto tidak membongkar identitasnya karena ia memanfaatkan Kabuto agar membantunya mengumpulkan gulungan) dan lolos ke babak selanjutnya.
Naruto masih memikirkan kegagalannya menyelamatkan Sasuke. Orochimaru terlalu kuat untuknya, ia tidak bisa mengalahkannya sendiri. Kemudian ia teringat pada Hokage Ke-3, dan memutuskan untuk memberitahu rencana Orochimaru kepadanya.
Seperti sebelumnya, Hokage Ke-3 kembali mengacuhkannya padahal kali ini Naruto sudah meminta bantuan Ino untuk ikut menjelaskan. Ino sempat menawarkan untuk memberitahu ayahnya dan Divisi Introgasi agar pikirannya dibaca dan Hokage percaya. Tapi Naruto menolak karena itu skalanya terlalu besar. Akan mengundang kepanikan dan takut Hinata tahu, seperti yang sering dia bilang sebelumnya. Naruto kemudian menyuruh Ino kembali ke tempat pertandingan dan mengatakan kalau dia akan bicara berdua saja dengan Hokage Ke-3. Ino awalnya ragu tapi memutuskan untuk mempercayai Naruto.
"Ojii-san."
"Ada apa lagi? Sudah kubilang aku tidak percaya pada ocehan-ocehanmu," kata Hokage Ke-3.
"Sekarang aku tidak menyuruhmu untuk mempercayaiku. Aku hanya mau bilang aku sudah memperingatkanmu, jadi... berhati-hatilah. Dan aku ingin kita bisa bertemu lagi setelah ujian Chuunin ini berakhir. Jangan mati Hokage-sama..." Naruto membungkuk hormat kepada Hokage Ke-3.
Hokage Ke-3 menatap Naruto heran. Baru kali ini Naruto memanggilnya 'Hokage-sama' dan membungkuk menghormatinya. Pasti ada sesuatu yang serius sampai-sampai membuat Naruto melakukan hal itu.
"Kita lihat saja nanti," kata Hokage Ke-3.
Naruto tersenyum kemudian meninggalkannya dan menuju ke tempat pertandingan.

"Hyuuga Neji VS Hyuuga Hinata!" kata wasit, membacakan peserta pertandingan selanjutnya.
"Hinata-chan, ingat pesanku, kamu tidak..." Kata-kata Naruto terputus saat melihat Hinata tidak ada disampingnya. Di luar dugaan, Hinata sudah turun ke arena pertandingan.
"Hinata-chan apa yang kamu lakukan? Berhenti! Menyerah saja!" teriak Naruto, tapi Hinata tidak mempedulikan kata-katanya. Naruto yang semakin khawatir menaiki pagar dan bermaksud melompat ke arena pertandingan untuk mencegah Hinata sebelum Kakashi mencegahnya.
"Naruto! Hentikan! Kalau kau turun kesana, kau bisa didiskualifikasi!" seru Kakashi.
"Tapi kalau dibiarkan dia bisa terluka parah!" kata Naruto. Raut wajahnya panik sekali sekarang.
"Tapi itu kehendaknya!" balas Kakashi.
"HINATAA-CHAANNN!"

BUKHHH!
Bersamaan dengan itu Neji melancarkan pukulan terakhirnya kepada Hinata dan membuat gadis itu terlempar. Darah segar keluar dari mulut Hinata. Badannya sudah tidak berdaya sekarang. Wasit yang melihat keadaan langsung menyatakan Neji sebagai pemenang.
Tanpa pikir panjang, saat itu juga Naruto melompat ke arena pertandingan. Dipeluknya tubuh tak berdaya Hinata. Dua kali Naruto menyaksikan kejadian ini. Tapi kali ini, hatinya terasa begitu sakit saat melihat Hinata terluka parah. Kenapa Hinata begitu keras kepala dan tidak mempedulikan kata-katanya?
"Ke-kenapa Hinata-chan? Sudah kubilang kamu menyerah saja..." kata Naruto bergetar. Dipeluknya kembali tubuh itu semakin erat.
"Sudah kubilang, orang lemah tetaplah orang lemah. Mereka tidak bisa berubah!" kata Neji sinis. Naruto menatapnya tajam.
"Naruto, Hinata harus segera mendapat perawatan medis," kata Kurenai sambil menepuk pundak Naruto. Naruto mengerti kemudian melepas tubuh Hinata. Ditatapnya gadis yang disayanginya itu sebelum para petugas medis membawanya ke rumah sakit.
Kemudian tatapan Naruto kembali berpaling ke Hyuuga lain yang berdiri tegak disana. Kedua tanngannya mengepal kuat. Naruto benci melakukan ini. Meskipun dia sudah lama memaafkan Neji. Tapi melihat dia menyiksa Hinata seperti ini, Naruto jadi tidak bisa memaafkannya. Naruto membungkuk dan diusapnya darah Hinata yang menggenang.
"Tarik kata-katamu tadi! Aku bersumpah akan mengalahkanmu Neji!" kata Naruto mengarahkan kepalan tangannya ke hadapan Neji.

Pletak!
Sebuah kerikil beradu dengan kayu kemudian terpental. Tak jauh dari sana Naruto sedang mondar-mandir tidak jelas. Sesekali dia menendang kerikil yang ada di tanah. Pertandingannya melawan Neji akan berlangsung sebentar lagi, tapi sekarang ini dia masih menunggu Hinata. Kalau tidak salah Hinata akan menemuinya sesaat sebelum pertandingannya melawan Neji. Sejujurnya sejak sebulan lalu (sebelum Naruto berlatih bersama Jiraiya untuk menguasai jurus Kuchiyose) Naruto ingin sekali menjenguk Hinata ke rumah sakit, tapi saat itu perawatnya bilang Hinata belum bisa dijenguk. Dan saat dia kembali dari latihan, tidak ada waktu lagi untuk menjenguk Hinata. Karena itu, dia berharap Hinata akan muncul sekarang. Meskipun dia tahu Hinata akan baik-baik saja, tapi hati Naruto tidak tenang. Ia ingin melihat Hinata sebelum pertandingannya dimulai.
"Na-Naruto-kun..."
Naruto menoleh ke arah suara dan menemukan gadis yang dari tadi ditunggunya. Tanpa ragu Naruto menghambur memeluk gadis itu. Membuat gadis lavender itu kaget dengan reaksi Naruto yang tiba-tiba. Mati-matian Hinata menahan dirinya agar tidak pingsan. Jantungnya berdetak menggila, mukanya sudah sangat merah seolah semua darahnya mengalir ke kepalanya.
'Jangan pingsan Hinata! Tahan dirimu!' batin Hinata dalam hati. Ini kedua kalinya Naruto memeluknya dan dia tidak mau dia pingsan seperti sebelumnya. Ini momen yang sangat jarang terjadi dan dia tidak boleh mengacaukannya.
Setelah beberapa saat Naruto melepas pelukannya. Ada sedikit rasa kecewa di hati Hinata saat Naruto melepas pelukannya.
"Hinata-chan? Kamu tidak apa-apa?" tanya Naruto.
"Ti-tidak, aku sudah lama keluar dari rumah sakit. Sekarang a-aku sudah sehat," jawab Hinata. Ia masih berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan.
"Baka!" bentak Naruto.
"Eh?" Hinata kaget karena Naruto membentaknya.
Kemudian Naruto memegang kedua pundak Hinata. Pandangan Naruto melembut. "Aku menghawatirkanmu Hinata-chan. Sudah kubilang kamu menyerah saja waktu itu."
"A-aku hanya ingin membuktikan hasil latihanku," kata Hinata pelan, menunduk merasa bersalah.
"Tidak usah, kamu hanya membuatku khawatir."
Hinata akhirnya menyadari kalau Naruto ternyata sangat mengkhawatirkannya. Menyadari itu membuatnya merasa senang tapi merasa bersalah disaat yang bersamaan.
"Gomen, Naruto-kun," kata Hinata masih saja menunduk.
"Um.. Sudahlah jangan dipikirkan. Sekarang aku harus segera bertarung dengan Neji. Aku duluan ya, kamu juga cepat ke arena pertandingan agar bisa melihatku mengalahkan Neji," kata Naruto sambil tersenyum. Hinata mengangguk. Bersamaan dengan itu Naruto berlari ke arah arena pertandingan.

Tap-tap-tap! Naruto melompat dari dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ia berlari sekuat tenaga untuk kembali ke desa. Neji sudah dikalahkan, invasi Orochimaru sudah berhasil digagalkan, dan Gaara juga telah berhasil dikalahkannya. Dan hal yang mengganggu pikirannya sekarang adalah Hokage. Dia ingin segera sampai di desa dan mengetahui keadaan Hokage Ke-3.
Saat sampai di gerbang Konoha, dia melihat Ino.
"Ino, apa Hokage Ke-3 selamat?" tanya Naruto khawatir.
"Tenang. Dia tidak apa-apa," jawab Ino sambil tersenyum.
"Fiuh. Syukurlah." Naruto menghela nafas lega. Perjuangannya tidak sia-sia.
"Apa yang kau bilang pada Hokage Ke-3 waktu itu?"
"Itu tidak penting, haha."
"Ah kau ini. Ngomong-ngomong selamat ya, misi pertamamu berhasil."
"Ya, tapi tetap saja aku gagal mencegah Orochimaru menggigit Sasuke." Wajah Naruto berubah murung, biar bagaimanapun Sasuke itu sahabat yang sudah dianggap seperti saudara olehnya.
"Sudah jangan murung begitu, paling tidak Sasuke masih di Konoha. Kau masih bisa berusaha mencegahnya pergi."
Ino ada benarnya, kalau Hokage Ke-3 saja bisa selamat. Seharusnya mencegah Sasuke juga bisa berhasil kalau Naruto mau berusaha. Dia hanya tinggal mengalah saat Sasuke mengajaknya bertarung di atap rumah sakit. Dengan begitu Sasuke tidak akan iri pada kekuatan Naruto.
"Na-Naruto-kun." Hinata berlari tergesa-gesa mendekati Naruto dan Ino.
"Aku pulang ya, aku tidak mau Mengganggu kalian berdua. Asal tahu saja Naruto, dari tadi Hinata mencarimu," kata Ino sambil menatap Hinata, menggoda gadis pemalu itu.
"Ino-chan.." Hinata yang digoda begitu tentu saja malu dan menundukkan kepalanya.
"Hehe, gunakan kesempatanmu dengan baik Naruto," kata Ino menepuk punggung Naruto cukup keras sambil berlalu meninggalkan mereka berdua. Naruto tahu apa maksud Ino, dia menyuruhnya menyatakan cintanya kepada Hinata sekarang.
"Apa benar kamu mencariku?" tanya Naruto kepada Hinata, basa-basi sebelum ke pembicaraan inti.
"I-iya," jawab Hinata gugup.
"..." Hening. Entah kenapa jantung Naruto jadi berdetak kencang. Dia belum pernah menyatakan cinta sebelumnya. Ini pertama kali baginya. Ia tidak tahu kalau ternyata akan membuatnya gugup seperti ini.
"..." Hinata juga bingung harus bicara apa. Keadaan malah jadi canggung begini.
"Hinata-chan, umm... aku mau bicara sesuatu padamu," kata Naruto memulai pembicaraan.
"A-apa?" tanya Hinata tidak kalah gugup.
"Aku.. Sebenarnya aku..." Naruto mengumpulkan segenap keberaniannya. Tapi kata-katanya tidak keluar juga.
"Naruto!" teriak seseorang dari belakang Naruto. Sontak kedua orang yang sedang gugup berat itu kaget dan refleks saling menjauh satu sama lain.
"Eh? Apa aku mengganggu?" tanya gadis berambut pink itu dengan wajah tanpa dosa.
'Sangat!' batin Naruto.
"Um.. Tidak... Tidak kok Sakura-chan," jawab Hinata.
"Baguslah. Hokage ingin segera bertemu denganmu Naruto," lanjut Sakura.
"Baiklah, ugh.." kaki Naruto terasa sakit. Rasa sakit karena luka setelah bertarung dengan Gaara rupanya baru terasa sekarang. Tadi dia mengacuhkannya karena saking khawatirnya pada Hokage Ke-3.
"Sini aku bantu Naruto-kun." Hinata menuntun Naruto menuju gedung Hokage.
"Terima kasih Hinata-chan."

"Ojii-san..."
"Masuklah," kata Hokage Ke-3. Dia terlihat tidak apa-apa. Hanya beberapa balutan perban saja yang ada di tangannya.
"Hyuuga-san, bisa tinggalkan kami berdua? Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Naruto," kata Hokage Ke-3.
"Hai, Hokage-sama." Hinata kemudian mohon diri keluar ruangan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Naruto. Naruto tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.
"Seperti yang kau lihat, aku tidak apa-apa. Aku memang tidak berhasil membunuh Orochimaru, aku hanya melukai tangannya dan mendesaknya untuk mundur."
"Tidak apa-apa Ojii-san, yang penting kau selamat. Kenapa tidak istirahat saja?"
"Tidak bisa. Banyak sekali laporan yang harus kuurus, terutama laporan tentang kerusakan akibat serangan Orochimaru hari ini."
"Oh." Naruto mendekati jendela dan memandang para penduduk yang sibuk memperbaiki rumah mereka yang rusak.
"Semua yang terjadi sesuai dengan yang kau bilang Naruto." Tatapan Hokage Ke-3 berubah serius.
"Sudah kubilang 'kan?" Naruto merespon tanpa melepas pandangannya dari pemandangan di luar.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Bukankah sudah kubilang beberapa bulan lalu?"
"Jadi perkataanmu beberapa bulan lalu itu memang benar?"
"Memang itu kenyataannya."
"Oh, Kami-sama... Baiklah, sekarang jelaskan semuanya dari awal. Aku akan mendengarkan."

"Hinata-chan, masih menunggu Naruto?" tanya Sakura. Kebetulan Sakura dan Ino melewatinya di depan Gedung Hokage. Hinata mengangguk menanggapi pertanyaan Sakura.
"Hinata-chan, bagaimana tadi? Apakah sukses?" Kali ini giliran Ino yang bertanya.
"Ma-maksudmu?" Hinata balik bertanya.
"Jangan pura-pura." Ino menyikut Hinata. "Setelah aku pergi tadi, apa yang terjadi? Apa Naruto menyatakan cintanya padamu?"
"APA?" Sakura dan Hinata kaget, terutama Hinata yang tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Ayolah kenapa kalian berdua kaget?" Ino melipat kedua tangannya di dada.
"Ta-tapi... Naruto? Menyatakan cinta? A-aku tidak bisa membayangkannya." Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya.
"I-iya, mana mungkin. Naruto-kun 'kan ti-tidak menyukaiku," timpal Hinata.
"Hei, Naruto tidak sebodoh itu. Dia sudah menyadari perasaanmu Hinata. Dan dia juga suka padamu."
"Ja-jadi tadi itu dia akan menyatakan cintanya?" tanya Sakura memastikan.
"Sepertinya begitu, kenapa?"
"A-aku tadi mengagetkan Naruto. Dan sepertinya aku menggagalkan usaha Naruto."
"Apa kau bilang? Kenapa begitu? Ah dasar kau jidat!"
"Tapi aku tidak tahu. Aku tadi buru-buru, Hokage menyuruhku memanggil Naruto."
"Arghhh!"
Terjadilah duel klasik antara Sakura dan Ino.
"Ano, ber-berhenti membahas itu..." kata Hinata. Dia heran juga kenapa mereka jadi mempermasalahkan urusan dirinya dengan Naruto?
"Iya kenapa jadi kau yang heboh Ino pig?"
"Diam kau jidat! Gomen Hinata-chan, aku hanya gregetan melihat tingkah Naruto yang lambat. Haha."
"Kalau begitu kamu saja yang menyatakan cintamu duluan Hinata-chan," usul Sakura.
"Ah? Tidak mau. A-aku malu," kata Hinata pelan, rona merah di wajahnya semakin pekat. Ia menyatakan cinta duluan kepada Naruto? Yang benar saja! Menahan dirinya agar tidak gugup dekat Naruto saja kadang Hinata harus bersusah payah.
"Ayolah... hehe," goda Sakura dan Ino. Hinata semakin malu, kewalahan meladeni dua kunoichi itu.

"Tolong rahasiakan ini."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin terjadi kepanikan, terutama Hinata. Aku tidak ingin ia tahu masa depannya."
Hokage Ke-3 berpikir sejenak.
"Biar aku yang akan berusaha merubah masa depan," kata Naruto meyakinkan, tangannya yang mengepal di simpan di dada dan memamerkan cengiran khasnya. Hokage Ke-3 tersenyum.
"Baiklah, aku percaya padamu. Lagipula sekarang kau tahu siapa dirimu 'kan? Kau anak Hokage ke-4."
"Ya. Aku pulang dulu Ojii-san."

Saat Naruto keluar dari ruangan Hokage, ia melihat Hinata sedang ngobrol dengan Sakura dan Ino. Kemudian Naruto mendekati mereka. Tapi sebelum Naruto bergabung bersama mereka, Sakura dan Ino segera pergi diiringi teriakan Ino. "Berusahalah Hinata-chan!"
"Apa yang kalian bicarakan? Sepertinya seru," kata Naruto yang saat ini sudah berada di depan Hinata.
"Um, girls talk," kata Hinata sambil tersenyum. Pipinya masih merah, pengaruh godaan Sakura dan Ino masih terlihat jelas di wajah manisnya itu.
"Baiklah-baiklah. Sekarang aku mau makan ramen, mau menemaniku?"
"Tidak. Sekarang kita harus ke rumah sakit. Lukamu harus diobati."
"Apa? Tenang saja masa penyembuhanku cepat sekali, aku tidak apa-aahhhhh..." Kata-kata Naruto terpotong, dia meringis kesakitan saat Hinata memegang sikut tangan kanannya.
"Tuh 'kan."
"Ehehe." Naruto nyengir, dia tidak bisa berbohong lagi sekarang. Akhirnya dia pasrah dan membiarkan Hinata menuntunnya ke rumah sakit.

"Ukh, aku tidak mau disini Hinata-chan," rengek Naruto saat dirinya dipaksa berbaring di kamar perawatan.
"Tapi dokter bilang ada beberapa luka memar dan banyak luka goresan, akan lebih baik kalau kamu dirawat disini sehari."
"Tapi aku bosan disini. Aku mau pulang dan makan ramen," kata Naruto memajukan bibirnya karena sebal.
"Jangan makan ramen dulu."
"Tapi kalau bubur tidak enak, semua makanan rumah sakit itu tidak enak."
"Aku mohon sehari saja. Besok 'kan kamu sudah boleh pulang. Kalau besok terserah kamu kalau mau makan ramen." Hinata menghela nafas. Rupanya dia harus sabar menghadapi Naruto. Kalau saja dia tidak khawatir pada keadaan Naruto, mungkin sekarang dia sudah meninggalkan bocah hiperaktif itu dan membiarkannya bertindak sesuka hati.
"Aaaahhhhhh..."
"Begini saja, tunggu disini, aku akan membawakanmu makanan buatanku," kata Hinata. Naruto kemudian memandang Hinata yang berlalu meninggalkannya. Diam-diam bibirnya membentuk seulas senyum. Ternyata Hinata begitu perhatian kepadanya.

"Enak?" tanya Hinata saat menyuapi Naruto dengan sesendok bubur telur.
"Enak sekali! Lagi, lagi," kata Naruto. Hinata hanya bisa terkekeh geli melihat Naruto yang bertingkah seperti anak kecil. Mungkin karena pengaruh tubuhnya yang kecil sehingga Naruto bertingkah manja seperti itu. Atau hanya karena sedang berada di dekat Hinata saja dia jadi seperti itu?
"Iya sabar, buka mulutmu aaaa." Naruto kembali membuka mulutnya dan memakan bubur itu dengan lahap. Hinata sebenarnya menyuapi Naruto karena memang Naruto menyuruhnya, ia mengaku tangan kanannya sakit. Entah itu benar atau hanya alasan Naruto saja agar Hinata menyuapinya. Yang jelas di dalam hati Hinata, Hinata juga merasa senang bisa menyuapi Naruto.
"Aku tarik kata-kataku tadi. Aku buat pengecualian untuk bubur buatanmu, bubur buatan Hinata itu enaaaaak," kata Naruto sambil tersenyum dan mengangkat jempol tangannya.
"Um, arigato." Hinata membalas senyuman Naruto.
Setelah makan bubur dan minum obat, Naruto berbaring megistirahatkan badannya. Tidak ada obrolan diantara mereka berdua. Hanya terdengar suara jangkrik dari luar sana, menandakan kalau hari sudah gelap. Sesekali Naruto menghela nafas panjang karena bosan. Kemudian Hinata mengingat kata-kata Ino dan Sakura tadi siang: menyatakan cinta kepada Naruto. Ukh, mengingatnya saja membuat pipi Hinata memanas. Ia sadar Naruto dan dirinya memang dekat akhir-akhir ini. Tapi kalau untuk menyatakan cinta...
'Ayolah Hinata, nyatakan cintamu!' batinnya.
Dengan segala keberanian yang dimilikinya, Hinata menarik nafasnya dalam-dalam. Bersiap untuk mengatakan hal yang sudah lama dipendamnya.
'Ayolah Hinata! Sekarang atau tidak sama sekali!'
"Na-Naruto-kun..." Hinata memandang lantai dan memainkan jari-jarinya untuk mengurangi rasa gugup.
"A-aku... Aku..."
Hinata memang merasa tidak sanggup kalau menyatakan cintanya duluan. Kata-katanya tidak juga keluar dari mulutnya.
'Aku suka Naruto-kun.' Padahal hanya 3 kata tapi susah sekali dikatakan oleh Hinata.
"Aku juga suka Hinata-chan..." kata Naruto tiba-tiba.
"Eh?" pipi Hinata seketika jadi merona hebat.
'Apa dia bisa membaca pikiranku?' tanya Hinata dalam hati.
"Na-Naruto-kun..." Ah, sepertinya Hinata tidak siap dengan ini. Naruto yang selama ini disukainya menyukainya juga? Apa ini mimpi?
"Aku juga suka, minta lagi dong Hinata-chan..." Hinata kaget.
'Minta lagi?' Apa maksud Naruto? Hinata mulai bingung.
"Hah? Mi-minta lagi?" Hinata kemudian memberanikan dirinya menatap Naruto. Tapi yang dilihatnya adalah Naruto yang sudah tertidur pulas. Jadi barusan Naruto mengigau! Terbentuklah perempatan urat di dahi Hinata. Hinata rasanya ingin sekali menjitak kepala Naruto saat itu juga. Padahal Hinata sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya dan sudah kaget setengah mati menyangka Naruto menyukainya juga. Tapi melihat wajah Naruto yang sedang tertidur pulas dia mengurungkan niatnya. Diperhatikannya wajah Naruto yang begitu polos, kemudian diusapnya rambut Naruto yang berantakan. Hinata tersenyum sendiri melihat orang yang disayanginya itu.
"Oyasumi, Naruto-kun."

"Naruto-kun! Bangun! Bangun!"
"Pagi Hinata-chaaan. Kamu tidak pulang?" tanya Naruto, masih setengah sadar.
"Pulang. Hei, banguuunn..."
"Aaaahhhh... aku masih ngantuk. Kelihatannya masih gelap."
"Cepatlah bangun, ada hal penting yang ingin kusampaikan." Hinata menarik tangan Naruto, memaksanya bangun.
"Arghhh... ini masih jam..." Naruto mengucek-ngucek matanya kemudian melihat jam di dinding. "Jam 4? Ada apa membangunkanku sepagi ini Hinata-chan?"
"Hokage Ke-3..."
"Ada apa dengan Ojii-san?"
"Dia... meninggal..."
Rasa kantuk Naruto tiba-tiba saja menghilang. Apa dia tidak salah dengar? Apa kesadarannya belum kembali sepenuhnya?
"A-apa katamu?" tanya Naruto memastikan. Sejujurnya Naruto berharap kalau dirinya hanya salah dengar.
"Hokage Ke-3... dia meninggal," ulang Hinata.
Mata Naruto melebar, dia tidak sanggup berkata-kata lagi.

"Naruto." Naruto menoleh saat Iruka menepuk pundaknya. Sekarang semua penduduk Konoha sedang mengikuti upacara pemakaman Hokage Ke-3.
"Hokage Ke-3 meninggalkan ini untukmu." Iruka menyerahkan sebuah gulungan kecil.
"Apa ini?" tanya Naruto penasaran.
"Aku juga tidak tahu. Sepertinya itu surat dan ditulis sebelum beliau meninggal."
Naruto membuka gulungan itu dengan hati-hati, kemudian membacanya.
Naruto, sebelumnya aku minta maaf karena aku tidak bilang padamu mengenai hal ini. Sebenarnya saat bertarung, Orochimaru berhasil menusukku dengan racun mematikan. Racun itu bereaksi di tubuh kurang dari 12 jam, langsung menyerang jantung korban. Aku tahu racun apa ini. Ini tipe racun yang belum ada obatnya dan belum ada satu orang pun yang selamat dari racun ini.
Aku hanya tidak ingin membuat kalian sedih, jadi kusembunyikan ini dari kalian. Dan sekarang aku punya pesan untukmu, ini permintaan terakhirku Naruto. Lindungi Konoha. Lindungi desa kita. Lindungi juga para penduduknya. Aku yakin kau bisa melakukannya.
Kau bilang seharusnya aku mati di tangan Orochimaru saat ujian Chuunin 'kan? Saat aku menulis surat ini, aku masih bisa bernafas dan menikmati teh hangat di kantorku. Itu berarti kau adalah orang yang bisa merubah takdir seseorang. Umurku saja bisa kau ubah, seharusnya hal lain juga bisa kau ubah. Karena itu aku percaya padamu. Ubahlah takdir semua penduduk Konoha, jangan biarkan Konoha hancur. Jangan biarkan masa depan yang kau ceritakan itu terjadi.
Jadilah Hokage yang hebat seperti ayahmu.
-Hiruzen Sarutobi-
Dada Naruto terasa sakit saat selesai membaca surat dari Hokage Ke-3 itu. Tubuhnya bergetar. Hinata yang berada disampingnya berusaha menenangkannya dengan memegang erat tangan Naruto.
Ini benar-benar tidak masuk akal. Ini melenceng dari apa yang Naruto rencanakan. Memang Orochimaru bisa dikalahkan dan dia melarikan diri. Tapi bukan ini yang Naruto harapkan.
Naruto mengharapkan keselamatan Hokage.
Tapi kenyataannya...
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar