pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 18

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D  

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Inspired by a Song: Kana Nishino - If
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip.

Cerita Sebelumnya:
'Gomen Sandaime-Jiisan, Ero-sennin, aku tidak bisa melindungi Konoha. Dan... Gomen Hinata-chan, sepertinya aku tidak bisa terus hidup dan mengejar cita-citaku untuk menjadi Hokage.'
"Dunia ini harus mengetahui rasa sakit! SHINRA TENSEI!"
"Tuhan, tolong aku," kata Naruto, tidak melepas pelukannya di tubuh Hinata.
DHUARRR!
Seluruh desa hancur, rata dengan tanah. Saat Naruto memperhatikan tubuhnya, ternyata tubuhnya tidak apa-apa. Kemudian Naruto menyadari ada chakra berwarna orange berbentuk kubah menyelimuti area di sekitarnya.
"Kau tidak apa-apa Naruto?"
Naruto langsung berbalik melihat siapa yang barusan berbicara. Matahari siang itu menerpa sosok tersebut, membuatnya terlihat seperti siluet. Ia berjalan mendekati Naruto. Samar-samar Naruto bisa melihat sosoknya. Seorang laki-laki dewasa, rambutnya pirang agak panjang.
"Tou-san?" tanya Naruto tidak yakin.
Sosok itu tersenyum. Ia berjongkok dan memegang pundak Naruto.
"Siapa yang kau panggil Tou-san?" tanya laki-laki pirang itu sambil menatap Naruto. Membuat Naruto terbelalak menyadari siapa yang berada di hadapannya sekarang.
.
.
.
Chapter 18
- Takdir Yang Sesungguhnya –
"Tou-san?"
Sosok itu tersenyum. Ia berjongkok dan memegang pundak Naruto.
"Siapa yang kau panggil Tou-san?" tanya laki-laki pirang itu sambil menatap Naruto. Membuat Naruto terbelalak menyadari siapa yang berada di hadapannya sekarang.
"Kau..."
"Aku adalah dirimu. Aku adalah Uzumaki Naruto dari masa depan," ujar sosok itu sambil memamerkan cengiran yang sangat dikenal oleh Naruto.
Naruto terkesiap. Sudah cukup Tuhan mengagetkannya dengan mengembalikannya ke masa lalu. Sekarang apa lagi? Tuhan kembali membuatnya kaget dengan menghadirkan sosok lain yang mengaku sebagai dirinya. Naruto tidak terlampau idiot untuk tidak mengenali sosok di depannya. Rambutnya yang pirang, kulit tan-nya, tanda lahir di kedua sisi pipinya, suaranya, bahkan cara bicaranya. Naruto yakin kalau sosok yang dihadapannya memang dirinya, hanya garis wajah mereka yang agak berbeda. 'Naruto' di hadapannya terlihat lebih dewasa, terlihat semakin mirip dengan Minato, Tou-san-nya.
"Ini tidak mungkin."
Lelaki pirang di hadapan Naruto menyadari kekagetan Naruto, ia mengubah cengirannya menjadi sebuah senyuman hangat.
"Ini kenyataan Naruto, kenapa kau terlihat kaget? Kau sendiri juga dari masa depan 'kan?"
"Ta-tapi kita berbeda, hanya jiwaku yang dari masa depan. Tapi kau? Tubuhmu-"
Naruto tidak mampu meneruskan kalimatnya. Ia tidak tahu harus bagaimana ia menjelaskan masalah ini, ini terlalu rumit untuk ditangani otaknya yang berkemampuan terbatas. Tapi Naruto dewasa di hadapannya sudah tahu apa maksud Naruto.
"Ya, aku akui memang cara kita kembali ke masa lalu berbeda. Tapi kita tidak usah membahas itu sekarang. Ceritanya panjang Naruto, aku akan menceritakannya nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan. Oh, bagaimana keadaan Hinata-chan?" tanya Naruto dewasa sambil bergeser mendekati Hinata.
Naruto remaja menunduk, menatap tubuh tak bernyawa yang berada di pangkuannya. Naruto dewasa memegang tangan Hinata, memeriksa nadinya. Mukanya berubah murung. "Jadi ini penyebabnya."
Naruto remaja mengerutkan dahinya, tidak mengerti apa maksud kata-kata Naruto dewasa.
Naruto dewasa berdiri. "Ayo cepat kita selesaikan ini. Tugasmu belum selesai, kau belum mengalahkan Pain Tendo." Naruto remaja masih tak bergeming. "Kenapa diam saja? Aku akan membantumu mengalahkannya. Cepatlah, aku tidak bisa lama-lama berada disini."
"Aku sudah kehabisan chakra," ujar Naruto remaja lemas.
"Sudah kubilang aku akan membantumu. Kau pikir untuk apa aku kesini? Aku akan memberimu sebagian chakra-ku."
Dengan berat hati Naruto remaja melepas jasad Hinata, meletakkannya di tanah dengan hati-hati. Ia melepas tatapan terakhirnya kepada Hinata sebelum dirinya berusaha berdiri. Kakinya terasa kaku dan sendi-sendinya terasa begitu nyeri. Ia meringis kesakitan. Naruto dewasa menyadari itu, ia membantu Naruto berdiri dengan menarik tangannya.
"Ano, aku harus memanggilmu apa?" tanya Naruto remaja. "Membingungkan sekali jika harus memanggilmu 'Naruto', itu membuatku bingung. Rasanya aku seperti memanggil namaku sendiri."
Naruto dewasa terkekeh pelan. "Terserah kau saja Naruto."
"Nii-san?" tanya Naruto tidak yakin.
"Ah, aneh sekali mendengarnya."
Naruto sedikit menunduk. "Aku tahu. Tapi jika aku memanggilmu Nii-san, aku merasa seperti punya kakak. Aku merasa kau kakakku. Kau tahu 'kan sejak lahir aku, maksudku kita, hidup sebatang kara?"
Mendengar kata-kata Naruto remaja, Naruto dewasa jadi berpikir. Memang benar mereka hidup sebatang kara sejak lahir. Mereka melakukan semuanya sendiri. Waktu kecil, tidak ada yang membuatkan mereka sarapan di pagi hari, tidak ada yang menyambut mereka saat pulang ke apartemen. Tidak ada seseorang yang bisa diajak bicara, mendengar cerita tentang apa saja yang terjadi hari itu. Tidak ada yang bisa memperingatkan mereka kalau mereka telah berbuat kesalahan.
Naruto dewasa sadar dirinya bukan bunshin yang selama ini selalu dibuat Naruto untuk mengurangi rasa kesepiannya. Dia nyata, dia adalah individu yang berbeda – dengan otak, pikiran, dan perasaan yang juga berbeda – dengan bunshin yang selama ini dibuat Naruto. Jadi wajar kalau Naruto remaja merasa Naruto dewasa lebih terlihat sebagai sosok 'kakak' baginya. Diam-diam Naruto dewasa merasakan kesedihan yang sama dengan yang dirasakan Naruto remaja.
"Aku mengerti perasaanmu. Baiklah, panggil aku Nii-san, aku juga jadi merasa punya adik." Naruto dewasa nyengir lebar dan mengacak rambut Naruto remaja.
"Hmm." Naruto mengangguk, kini cengiran yang sama terlukis di bibirnya.

Naruto dewasa mendekati kubah yang melindungi mereka, aliran chakra disana menghilang, membiarkan ia dan Naruto remaja untuk melewatinya. Aliran itu menutup kembali begitu dua Naruto itu keluar dari kubah chakra tersebut. Begitu Naruto remaja mendapatkan pandangan yang lebih jelas ke sekeliling desa, ia mengepalkan tangannya kuat. Dengan tingkat kerusakan yang parah begini, ia tidak yakin para penduduk dan shinobi yang berlindung di tempat persembunyian bisa selamat. Efek dari jurus Shinra Tensei Pain sangat parah, nyaris tak ada bangunan yang luput dari kerusakan. Semuanya hampir rata dengan tanah.
Pain yang saat itu sudah kembali menginjakkan kakinya di tanah menatap tajam ke arah kedua Naruto secara bergantian. Ia terlihat kesal karena gagal membuat Naruto sekarat.
"Siapa kau?" tanya Pain, tentu saja pertanyaannya ditujukan kepada Naruto dewasa.
"Apa kau tidak mengenaliku?" Pain mempertajam penglihatannya. Ramput pirang, tanda lahir di pipi, dan chakra Kyuubi. Saat itu juga Pain melotot, ia mengenali pemuda di hadapannya. "Tampaknya kau sudah menyadarinya."
"Dua Jinchuuriki Kyuubi. Bagus sekali."
Naruto dewasa terkekeh. "Jangan senang dulu. Apa kau tidak sadar? Dua Jinchuuriki Kyuubi yang saling bekerja sama sudah lebih dari cukup untuk mengalahkanmu."
Naruto dewasa menoleh ke arah Naruto remaja.
"Bersiaplah Naruto. Kau tidak usah khawatir, Pain Tendo tidak akan mengeluarkan jurusnya dalam beberapa menit ke depan. Serangan Shinra Tensei-nya tadi sudah menguras chakra-nya. Aku akan memberimu chakra kemudian kau yang menyerang. Sedangkan aku akan membantumu menangkap Pain."
Kening Naruto remaja kembali berkerut. "Kenapa tidak Nii-san saja yang menyerang?"
Naruto dewasa menggeleng kemudian menepuk pundak Naruto remaja. "Naruto, ini kehidupanmu, ini zamanmu. Kau yang harus mengalahkannya. Aku tidak punya hak. Tenang saja, kau hanya tinggal menghantamnya dengan Rasengan saat aku berhasil menangkapnya. Sekarang buatlah Rasengan dengan sisa chakra-mu."
Naruto menurut. Dengan chakra yang nyaris habis, Naruto hanya bisa membuat sebuah Rasengan biasa, ukurannyapun kecil, tidak lebih dari ukuran kepalan tangan. Di sampingnya, Naruto dewasa melakukan hal yang sama. Bedanya, ukuran Rasengan-nya lebih besar. Kemudian ia mendekatkan Rasengan miliknya ke dekat Rasengan milik Naruto remaja. Tiba-tiba terbentuk aliran-aliran energi di antara Rasengan mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya Naruto remaja, saat Rasengan milik Naruto dewasa sedikit demi sedikit tertarik ke dalam Rasengan miliknya.
"Ketika dua jenis chakra yang sama berdekatan, akan saling bersesonansi. Dan dengan dua chakra kombinasi ini, Rasengan terkuat akan lahir."
Aliran-aliran energi Rasengan mereka semakin membesar, hingga menyatukan dua Rasengan itu. Seketika itu terbentuklah Rasengan besar yang melebihi ukuran tubuh mereka, dengan aliran-aliran energi yang terbentuk di luarnya. Hanya melihatnya saja, sudah bisa ditebak kalau Rasengan jenis baru ini punya kekuatan yang dahsyat.
Naruto remaja hanya bisa terbengong melihat Rasengan besar yang kini berada di atas telapak tangannya. Kemudian tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu.
"Nii-san, rasanya aku pernah melakukan ini. Maksudku menggabungkan dua Rasengan."
Naruto dewasa menggaruk pelipisnya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Entah kapan aku melakukannya. Sudahlah, fokus pada rencana kita. Kalahkan Pain Tendo dengan Rasengan ini. Kau harus berhasil Naruto. Aku tidak yakin bisa memberimu chakra-ku lagi setelah ini."
Naruto remaja mengangguk mantap. Naruto dewasa memasang kuda-kudanya. "Siap?"
"Siap!"
Naruto dewasa berubah menjadi mode Kyuubi dan secepat kilat berpindah tempat ke dekat Pain.
Pain terlonjak kaget, namun ia berhasil menghindar saat Naruto dewasa melancarkan pukulannya.
"Hiraishin no Jutsu? Hmm, tidak buruk untuk seorang Jinchuuriki Kyuubi," ujar Pain. Sekarang ia sadar dirinya tidak bisa dengan mudah memenangkan pertarungan ini. Ia masih butuh waktu sekitar tiga menit lagi agar bisa kembali menggunakan jurusnya. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah menghindar, mengulur waktu. Pain berlari ke puing-puing bangunan.
"Kau hanya berlari dan mengulur waktu Pain! Aku tahu kau tidak bisa menggunakan jurusmu saat ini."
Naruto dewasa tidak bisa membiarkan Pain mengulur waktu, akan merepotkan sekali kalau Pain bisa kembali menggunakan jurusnya. Saat itulah Naruto dewasa mengeluarkan sebuah tangan besar berwarna orange dari dalam tubuhnya. Tangan itu menyerupai tangan Kyuubi yang memanjang, lengkap dengan cakarnya yang tajam. Tangan itu melesat menembus puing-puing, menangkap tubuh Pain Tendo.
Pain sudah tak mampu bergerak bebas. Naruto dewasa menarik Pain ke arahnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu lolos."
Pain mendengus. "Kau tahu? Aku memang tidak bisa memakai jurusku dalam waktu dekat, tapi jangan kau kira aku tidak bisa melawan."
CLEBH!
"Ugh!"
"Nii-san!"
Pain mengeluarkan dua buah chakra besi tajam dari kedua tangannya, menusuk perut Naruto dewasa di dua tempat yang berbeda.
"Kau memang tidak bisa dianggap remeh Pain." Naruto dewasa meringis kesakitan, tapi sebisa mungkin ia tidak melepas pegangan tangan Kyuubi di badan Pain.
"Seharusnya kau menyadari itu dari tadi Naruto." Pain memperdalam tusukannya ke perut Naruto.
"Nii-san!" Naruto berlari ke arah Pain dan Naruto dewasa.
"Baka! Jangan mendekat dulu Naruto! Aku belum bisa menahan Pain sepenuhnya!"
Naruto remaja tidak mendengarkan kata-kata Naruto dewasa, ia tetap berlari mendekat. Saat itulah Pain melepas tusukannya di badan Naruto dewasa dengan kasar hingga pegangan tangan Kyuubi terlepas dari badannya.
'Sempurna,' batin Pain. Ia berlari menerjang Naruto remaja, chakra besi tajam sudah siap di kedua tangannya.
"Mati kau!"
"Awas Naruto!"
"Taikyoku Rasengan!"
.
.
ZZZSSSSSSSHH!
Pain kaget melihat bola Rasengan telah mengenai dadanya.
"A-apa yang terjadi?"
Saat itulah ia menyadari dua buah tangan Kyuubi besar menahan kedua pundaknya. Ia menoleh ke belakang. Naruto dewasa tengah terengah-engah disana, dengan dua tangan Kyuubi besar keluar dari tubuhnya.
"Aku tidak bisa membiarkanmu menyakiti Naruto, Pain." Pain terbelalak.
"Kaulah yang harus mati Pain!" bentak Naruto remaja, ia menekan Rasengan-nya ke dada Pain semakin kuat, membuat Pain terlempar ke belakang, menghantam tanah, dan terbentuklah kawah yang lebih besar dari kawah hasil Rasen Shuriken Naruto sebelumnya.
Naruto remaja terjatuh dan Naruto dewasa segera menangkapnya dengan kedua tangan Kyuubi-nya. Kemudian ia menariknya, mendekatkan Naruto remaja ke dekat dirinya.
"Aku berhasil Nii-san," ujar Naruto tersenyum tanpa dosa.
Naruto dewasa terlihat mengigit bibir bawahnya. "Baka!"
"Eh?" Naruto remaja kaget karena tiba-tiba dibentak.
"Aku sudah bilang jangan mendekat! Kau hanya tinggal menyerang begitu aku beri isyarat."
"Tapi aku tidak bisa diam saja melihat Nii-san terdesak, apalagi sampai tertusuk begitu."
"Dalam mode Kyuubi, lukaku akan sembuh dengan cepat. Jadi kau jangan khawatirkan aku. Hah, untung saja aku bisa menahan Pain tepat waktu. Kalau tidak, kau bisa terluka. Dasar keras kepala!"
"Hei, jangan menghinaku seperti itu! Aku adalah dirimu, sama saja dengan menghina dirimu sendiri!" bentak Naruto remaja tak mau kalah, telunjuknya menunjuk-nunjuk muka Naruto dewasa.
Naruto dewasa menghela nafas panjang. Susah sekali ternyata bila berdebat dengan 'diri sendiri'. "Sudahlah lupakan itu. Sekarang kita selesaikan semua ini. Kita temui Nagato."
Naruto dewasa menghentikan mode Kyuubi-nya dan membantu Naruto remaja berjalan. Mereka segera menemui Nagato, untuk mengakhiri semua ini.

Nagato menatap dua sosok yang masuk ke tempat persembunyiannya.
"Jadi, 'perdamaian' sudah mendatangiku. Selamat datang Naruto. Dan kalau dugaanku benar, kau yang berpostur lebih tinggi adalah Naruto dari masa depan. Apa aku benar?"
Kedua Naruto tidak mempedulikan kata-kata Nagato.
"Apa kau membenciku Naruto? Apa kau kesini akan membalas dendam?"
Naruto dewasa memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Naruto remaja. Ia melihat kekesalan disana. Ia mengerti bagaimana kesalnya Naruto saat ini, ia pernah merasakan hal yang sama.
"Tidak akan ada yang berubah di dunia ini, meski kau membunuh Pain sekarang dan membalas dendammu. Semuanya hanya akan jadi kepuasan diri semata," tambah Konan yang berdiri di samping Pain.
"Jika kau tak bisa mencari 'jawaban' dari pencarian perdamaian, maka tak ada yang bisa kau lakukan. Korbankan saja dirimu untuk perdamaian yang akan kubuat." Pain menembakkan chakra besi tajam ke arah Naruto remaja.
ZINK!
TRANG!
Tapi Naruto dewasa menangkisnya dengan kunai. "Kami datang kesini untuk bicara."
Naruto remaja kaget mendengar keputusan 'kakaknya' itu. "Nii-san? Apa maksudmu? Bukannya kita harus membunuhnya? Aku tak bisa memaafkannya! Aku ingin membunuhnya. Apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada seluruh penduduk Konoha, termasuk Hinata-chan!" Naruto begitu berapi-api, tatapan matanya dipenuhi amarah.
Naruto dewasa menggeleng. "Tidak Naruto. Kita akan bicarakan ini baik-baik."
Setelah apa yang diperbuat Nagato, rasanya Naruto remaja tidak bisa begitu saja menyetujui ide Naruto dewasa. Bayangan Hinata yang meninggal gara-gara Nagato terus terbayang di kepalanya. Hinata terlalu berharga baginya. Naruto remaja berlari dan mendekat ke arah Nagato. Tangannya sudah mengepal kuat. Bocah itu sudah dikuasai kebencian, bahkan ia sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit di kakinya yang sebelumnya ia rasakan.
"Naruto!" teriak Naruto dewasa.
Konan maju ke depan Nagato untuk melindunginya.
"Heaahhh! Kau harus mati Nagato!" Ini buruk, Naruto akan menyerang Nagato. Naruto dewasa segera melompat ke depan Naruto remaja, menahan kedua tangan Naruto.
"Tenangkan dirimu Naruto! Apa kau ingat kata-kata Jiraiya sensei? Kebencian itu tidak ada gunanya!"
Naruto remaja terdiam mendengar kata-kata Naruto dewasa. Ya, ia ingat Jiraiya pernah mengatakan hal itu kepadanya.
"Aku melihat banyak sekali kebencian di dunia shinobi. Dan aku ingin melakukan sesuatu untuk menghilangkan kebencian itu. Tapi aku masih belum tahu pasti apa yang harus kulakukan."
"Haha, aku senang menjadikanmu muridku, Naruto."
Bayangan-bayangan Jiraiya muncul dalam pikiran Naruto remaja.
"Ero-sennin pernah bilang kalau ia percaya akan datang suatu hari dimana setiap manusia bisa memahami satu sama lain. Apa kau ingat Naruto? Bahkan dia mempercayakanmu untuk mencari jawaban untuk mencapai perdamaian. Apa kau mengerti maksud dari kata-katanya? Mencari perdamaian tidak semudah itu. Apa dengan membunuh Nagato kau akan bisa menemukan perdamaian? Kau salah Naruto! Itu hanya akan memperkuat siklus kebencian di antara para shinobi."
Naruto remaja menunduk mendengar semua itu. Yang dikatakan Naruto dewasa memang benar, perdamaian tidak bisa dicapai hanya dengan membunuh Nagato.
Nagato tersenyum kecut. "Kau ini banyak bicara. Lalu apa jalan keluar yang kau punya? Faktanya tetap saja Naruto tidak bisa memaafkanku. Lagipula kata-kata Jiraiya sensei hanyalah sebuah idealisme zaman dulu yang berbeda dengan kenyataan yang terjadi di dunia ini. Kau bukan Tuhan, yang bisa dengan mudah memunculkan perdamaian di dunia ini. Setelah melihat kenyataan yang terjadi di dunia ini, apa kau percaya pada kata-kata Jiraiya sensei?"
"Dia benar Nii-san, aku masih belum bisa memaafkan Nagato."
"Kubilang diam Naruto!" bentak Naruto dewasa. Kemudian tatapannya beralih kepada Nagato. "Nagato, kau tahu? Ketika aku bertemu dengan Nagato di zamanku, aku juga ingin membunuhnya. Aku marah dan kesal karena semua perbuatannya. Tapi saat itu aku merasa heran bagaimana bisa seorang murid Ero-sennin bisa berubah drastis jadi seorang penjahat? Sebelum akhirnya aku meminta Nagato menceritakan kisahnya. Dan sekarang aku memintamu melakukan hal yang sama. Ceritakan semua kisahmu kepada Naruto, setelah itu aku akan memberikan jawaban untuk mencari perdamaian kepada kalian berdua."
Naruto dewasa memandang Nagato dan Naruto remaja bergantian. Nagato terlihat berpikir sejenak.
"Baiklah, aku akan menceritakan semua 'rasa sakitku'."
"Nagato, ini hanya akan membuang-buang waktu. Kita habisi saja mereka sekarang," protes Konan.
"Tunggu Konan, aku ingin mendengar jawabannya."
Nagato menghela nafas panjang.
"Dua kejadian memberiku rasa sakit terparah dalam hidupku."
"Yang pertama adalah kematian kedua orang tuaku. Itu terjadi saat Ame terlibat dalam perang dan berubah jadi medan perang. Ayah dan ibuku mati dalam perang yang dimulai oleh Konoha. Aku tidak pernah melupakan rasa sakitku saat itu. Aku menanggungnya hingga kini. Rasa sakit ini berubah jadi kebencian. Dan menjadikan kekuatanku bertambah besar. Aku tidak menyadarinya sebelum aku tahu kalau ternyata yang menbunuh dua shinobi Konoha yang membunuh orang tuaku adalah aku."
"Setelah orangtuaku meninggal, makanan semakin jarang, jadi aku meninggalkan rumahku. Lama-kelamaan makananku habis dan aku pingsan di jalan. Saat itulah aku bertemu Konan yang sekarang berada dihadapanmu, dan seorang anak laki-laki bernama Yahiko. Mereka juga sama anak-anak yatim korban perang. Tapi mereka kuat, berusaha sekuat tenaga untuk hidup. Dan akhirnya aku bergabung bersama mereka."
Naruto dewasa melirik Naruto remaja di sampingnya. Ia bersyukur karena perlahan-lahan raut wajah kesalnya menghilang setelah mendengar cerita Nagato.
"Untuk anak yang tidak mempunyai keluarga, kami tidak punya pilihan selain mencuri untuk berusaha agar tetap hidup. Tapi Yahiko tidak pernah kehilangan harapan. Hingga akhirnya kami melihat Jiraiya sensei dan dua temannya, yang kemudian dikenal dengan Sang Legenda Sannin dari Konoha. Musuh mereka adalah Hanzo, pemimpin Ame. Pertarungan semakin sengit dan mengakibatkan ledakan yang membuat kami terlempar. Malangnya, anjingku, yang sudah menemaniku dari awal aku meninggalkan rumah, mati terkena ledakan. Saat itu Yahiko berkata, jika perang tidak berakhir juga, ia akan jadi Tuhan dari dunia ini. Saat itulah impian Yahiko menjadi impianku."
"Akhirnya kami memutuskan untuk mencari shinobi Konoha untuk belajar ilmu ninja. Meski begitu, itu bukanlah hal yang mudah. Mencari shinobi berarti memasuki daerah pertarungan, padahal saat itu kami hanya anak kecil. Seorang shinobi tidak mungkin bergerak lambat, jadi shinobi Konoha sangat sulit untuk ditemukan. Tapi Yahiko menolak untuk menyerah. Kami semakin masuk lebih dalam ke area pertarungan. Kami percaya kalau semakin besar intensitas pertarungan, kami semakin yakin akan menemukan para Sannin. Nasib mempertemukan kami dengan Sannin Konoha. Akhirnya kami menemukan dia, kami menemukan Jiraiya sensei."
Naruto remaja merasakan dadanya bergetar mendengar nama itu.
"Tapi aku tidak bisa benar-benar menerima shinobi Konoha. Aku yakin kau pasti mengerti. Orang tuaku dibunuh oleh shinobi Konoha, tapi Jiraiya sensei terlihat sedikit berbeda dengan mereka. Kami berempat mulai tinggal bersama. Tak lama kemudian terjadi sesuatu, seorang shinobi menyerang kami dan hampir membunuh Yahiko. Saat itulah aku menyerang dan membunuh shinobi itu. Dan aku melakukannya tanpa kusadari. Kelihatannya aku memiliki kekuatan yang spesial. Jutsu okular bernama Rinnegan. Akibatnya, Jiraiya sensei yang awalnya ragu untuk melatih kami, mulai mengajari kami ninjutsu. Dia bilang dia melatih kami agar kami bisa melindungi diri kami. Tapi kukira dalam kasusku, itu dilakukan agar aku bisa mengontrol kekuatan Rinnegan. Tapi aku takut pada kekuatanku, kebencian membuatku sering mengamuk. Kupikir yang sudah kulakukan adalah salah dan aku merasa sangat bersalah. Tapi Sensei menarikku dari keterpurukan, ia bilang aku melakukannya untuk melindungi temanku, tidak ada yang salah dengan itu. Tanpa kusadari saat itu aku telah bisa menerima sensei."
"Mengerti rasa sakit menjadikanmu untuk bersikap baik kepada orang lain dan membuat kita tumbuh dewasa. Dan tumbuh dewasa berarti mampu untuk berpikir dan membuat satu keputusannya sendiri. Untuk mengetahui rasa sakit dan memiliki 'jawabanmu' sendiri. Jiraiya sensei terlihat menanyakan dirinya sendiri dengan pertanyaan yang sama. Dia juga belum menemukan jawabannya. Dulu aku mampu mengungkapkan jawabanku sendiri. Aku hanya ingin melindungi kedua temanku, tak peduli rasa sakit macam apa yang harus kutanggung."
"Tiga tahun terlewati. Aku merasa sudah tumbuh lebih kuat secara mental dan fisik. Tapi kata-kata Jiraiya sensei selalu saja datang padaku jauh dari dalam lubuk hatiku. Sensei mengatakan kalau jawabannya mungkin tersimpan di Rinnegan-ku. Sensei mempercayakan pencarian perdamaian padaku, dan meninggalkan kami. Dengan Yahiko sebagai pemimpin, kami mulai mengambil tindakan. Organisasi kami dikenal dengan cepat. Orang-orang mendukung upaya kami untuk mencapai perdamaian tanpa kekerasan. Tapi dunia sedang dalam perang. Perang antara Konoha, Suna dan Iwa. Hanzo yang mendengar rumor tentang organisasi kami, mendatangi kami. Kami tidak bisa dibiarkan lagi. Ia ingin menggunakan kami sebagai jalan untuk mencapai perdamaian dengan ketiga desa besar lainnya. Kami menyetujui ajakannya."
"Tapi itulah awal dari malapetaka kami. Kami hanya anak-anak yang naif."
Naruto remaja semakin penasaran dengan cerita Nagato. Ia tidak mengerti kemalangan apa yang sebenarnya terjadi. "Kemalangan? Apa yang terjadi?" tanya Naruto remaja. Konan menunduk mendengar pertanyaan Naruto. Ia jadi teringat kembali masa lalunya.
"Karena gara-gara itu, Yahiko mati," lanjut Nagato.
"Mati?" tanya Naruto lagi.
"Semuanya hanya jebakan Hanzo. Ia menuduh kami akan mencuri kekuasaan atas Ame darinya. Suatu hari kami datang ke tempat yang telah dijanjikan untuk melakukan perjanjian. Anak buah Hanzo dan ANBU Konoha sudah ada disana. Hanzo telah merencanakanya dengan seseorang bernama Danzo dari Konoha untuk menyingkirkan kami. Danzo bekerja sama dengan Hanzo untuk merebut posisi Hokage dan Hanzo bekerja sama dengan Danzo untuk mempertahankan kekuasaannya. Hanzo menyandera Konan, ia menyuruhku membunuh Yahiko kalau ingin Konan selamat. Aku tidak mampu kalau disuruh membunuh Yahiko, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Konan mati. Saat itulah Yahiko mendekatiku yang tengah memegang kunai, hingga Yahiko tertusuk kunai dan mati. Ia menyuruhku menjaga Konan dan meraih mimpi kami. Sejak itu aku mengambil alih posisinya sebagai pemimpin organisasi kami. Kupikir aku telah tumbuh dewasa, tapi ternyata tak ada yang berubah. Sama dengan ketika orang tuaku mati. Aku salah. Aku sadar kalau 'jawabanku' waktu itu hanyalah omong kosong. Aku berhutang nyawa padanya. Dia adalah impianku. Dia adalah teman yang tak bisa digantikan, aku dengan senang hati rela mati demi dia."
"Kematian Yahiko adalah rasa sakit keduaku. Sejak saat itu, tak terhitung banyaknya rekanku yang bertarung dan mati. Satu demi satu mereka terus mati. Negara Api hanya mengklaim perdamaian busuk. Komisi yang mereka berikan kepada Konoha dipakai untuk dana perang. Negara Api menyadari keterlibatannya dalam perang, tapi mereka bersikeras mengklaim perdamaian. Padahal perdamaian yang kalian nikmati hanya terbentuk dari pengorbanan kami, para desa kecil. Bagi kami, perdamaian kalian berarti kekejaman. Hanya dengan hidup, manusia menyakiti orang lain tanpa menyadarinya. Selama umat manusia ada, maka kebencian akan selalu ada. Perdamaian yang sejati tidak akan pernah ada di dunia yang terkutuk ini. Semua kata-kata Jiraiya sensei hanya angan belaka."
"Aku sudah menceritakan kisahku. Sekarang, aku ingin mendengar jawabanmu."
Naruto dewasa sudah akan memberikan jawabannya sebelum Naruto remaja menahannya.
"Biar aku yang jawab Nii-san."
Naruto dewasa tersenyum. Mungkinkah Naruto remaja sudah mengerti dan tahu apa 'jawaban' untuk mencari perdamaian itu?
Naruto remaja mengeluarkan sebuah buku dari jaketnya. Itu adalah novel pertama Jiraiya. Kemudian ia menatap Nagato dengan pilu. "Mungkin kau benar, aku juga memikirkan hal yang sama. Setelah mendengar ceritamu, aku tahu dari mana kalian datang. Tapi aku tetap tidak bisa memaafkanmu. Aku masih membencimu."
"Naruto!" bentak Naruto dewasa. Ia takut Naruto remaja akan kembali menyerang Nagato.
"Jadi, kau mau menyelesaikan semua ini?" tanya Nagato.
"Tapi," lanjut Naruto remaja. "Ero-sennin percaya padaku dan meninggalkan pencariannya. Jadi aku akan percaya pada apa yang diyakini Ero-Sennin. Itulah jawabanku!"
Naruto dewasa tersenyum. Inilah yang sebenarnya ia harapkan, Naruto remaja sudah mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Jadi aku tidak akan membunuh kalian, seperti yang aku lakukan dulu."
"Dulu?"
"Ya." Naruto remaja menatap Nagato dan Konan bergantian. "Aku pernah sekali membunuhmu dan juga Konan di kehidupanku sebelumnya. Aku datang dari masa depan. Dulu aku membunuh kalian saking kesalnya. Aku tidak memikirkan cara lain waktu itu. Mungkin itulah awal kesalahanku."
Naruto mengusap pelan pundak Naruto remaja, menenangkannya.
"Jadi karena itu kau tahu kelemahanku."
"Ya."
"Jadi kau akan mempercayai apa yang Jiraiya sensei yakini? Aku mengerti, itulah jawabanmu. Tapi, apa kau berharap kami untuk menunggu sampai kau membuat dunia ini jadi tempat yang penuh perdamaian? Jangan bercanda! Sudah terlambat bagiku untuk mempercayai kata-kata Jiraiya sensei. Tidak ada yang namanya perdamaian yang sejati! Selama kita hidup di dunia yang terkutuk ini! Mustahil ada perdamaian!"
Naruto remaja mengepalkan kedua tangannya. Naruto dewasa sudah menatapnya was-was. Takut 'adiknya' itu tidak bisa menahan amarahnya lagi.
"Kalau begitu... kalau begitu aku akan menghancurkan kutukan itu. Jika ada hal yang namanya 'perdamaian', aku akan meraihnya! Aku tak akan pernah menyerah!"
Naruto dewasa tersenyum. Ketakutannya sirna. Kalimat itulah yang juga dikatakan olehnya dulu kepada Nagato.
"Kau... yang barusan itu..." Nagato tergagap mendengar kalimat yang tadi dikatakan Naruto. Ia sangat mengenal kalimat itu.
"Nagato? Ada apa?" tanya Konan yang menyadari partner-nya bersikap aneh.
"Kata-kata itu."
Naruto remaja mengangkat buku yang dari tadi dipegangnya.
"Kau benar Nagato. Kata-kata itu kuambil langsung dari buku ini. Novel pertama yang ditulis Ero-Sennin. Ero-Sennin benar-benar serius ingin mengubah dunia dengan ini. Di akhir buku ini, ia menulis tentang seorang murid yang membantunya memberikan inspirasi, yaitu kau Nagato."
"Tidak mungkin." Nagato ingat dulu ia pernah mengatakan kalimat yang sama persis dengan yang dikatakan Naruto. Ia tidak menyangka Jiraiya talah memasukkan kata-katanya ke dalam novel karangannya.
"Dan nama pahlawan dalam novel ini adalah... Naruto!"
Nagato kembali kaget. Rangkaian peristiwa ini tidak masuk akal baginya. Apa ini kebetulan? Kenapa nama pahlawan di novel itu harus Naruto? Apa memang benar 'Naruto' akan membawa perdamaian di dunia ini? Semua pertanyaan itu terus terbayang di pikiran Nagato.
"Namaku adalah kenang-kenangan yang berharga dari Ero-sennin." Naruto remaja kembali berkata. "Aku tidak bisa menyerah begitu saja dan menodai kenang-kenangan guruku! Aku akan jadi Hokage! Dan aku akan mendatangkan perdamaian ke Amegakure! Percayalah padaku!"
"Apa kau tidak akan pernah berubah? Tak akan pernah berubah seberapa besarpun rasa sakit yang akan kau hadapi. Apa kau bisa tetap percaya pada dirimu sendiri? Apa kau bisa menjamin itu? Apa kau punya keyakinan pada dirimu sendiri?" tanya Nagato bertubi-tubi.
"Aku juga sudah mengalami rasa sakit. Dan banyak sekali rasa sakit yang berada dalam diriku. Aku tidak tahu rasa sakit apa yang akan datang menemuiku. Tapi jika aku berhenti percaya hanya karena itu..." Naruto memandang lagi novel yang dipegangnya. "Jika pahlawan harus diganti, maka akan berubah menjadi jalan cerita yang berbeda. Akan berubah dari cerita yang guruku tinggalkan. Maka tidak akan jadi Naruto lagi. Aku tidak pandai menulis seperti guruku, karena itu sekuelnya harus datang dari kehidupanku. Tak peduli seberapa besar rasa sakit yang akan aku rasakan, aku akan terus berjalan. Karena begitulah sikap yang namanya 'Naruto'!"
Nagato tersentak, kemudian ia menunduk. Kalau diperhatikan lebih dekat, ada seulas senyum yang terbentuk di wajahnya.
"'Jika pahlawannya berubah, maka jalan ceritanya juga akan berubah.' Kau dan aku adalah saudara seperguruan. Sebagai murid dari guru yang sama, kita seharusnya bisa mengerti satu sama lain. Kau mengingatkanku pada aku yang dulu Naruto. Aku tidak bisa mempercayai Jiraiya sensei, juga percaya pada diriku sendiri. Tapi, aku merasa kalau, tidak sepertiku, kau akan berjalan ke masa depan yang berbeda." Nagato mengeluarkan kedua tangannya kemudian membentuk sebuah segel. "Kupikir aku harus percaya padamu, Uzumaki Naruto."
Naruto dewasa berjalan mendekati Nagato. Ia tersenyum ke arahnya. "Kau melakukan hal yang benar Nagato. Tak lama lagi kau akan bertemu kembali dengan Naruto. Kau akan mengetahui kalau keputusan yang kau ambil sekarang adalah benar. Aku masih ingat kata-katamu waktu itu, aku memegang teguh kata-katamu waktu itu."
"Apa yang aku katakan?"
Naruto dewasa menggeleng. "Tidak seharusnya aku mengatakannya sekarang. Jika saatnya tiba, kau yang akan mengatakannya langsung kepada Naruto."
"Baiklah, aku akan meunggu sampai saat itu tiba." Nagato mengumpulkan chakra yang masih dimilikinya. "Gedou: Rinne Tensei no Jutsu!"
Konan langsung kaget, ia tahu betul apa jurus yang akan dipakai Nagato sekarang. "Nagato, jangan!"
"Tidak apa-apa Konan. Aku membuat keputusan lain. Keputusan yang dulu tidak aku percaya."
Naruto remaja yang dari tadi hanya diam saja mulai bingung dan angkat bicara. "Apa yang dilakukannya? Jurus apa itu?"
"Mereka yang memiliki Rinnegan mampu memanipulasi jurus yang dimiliki keenam Pain dan dikatakan mampu memanipulasi kehidupan dan kematian. Dia adalah Pain ketujuh," jawab Konan.
"Lalu, apa yang baru saja terjadi?" tanya Naruto lagi.
"Tenanglah Naruto." Naruto dewasa kembali mengusap pundak Naruto remaja, menenangkannya yang sudah mulai panik.
Tiba-tiba saja muncul sosok lain di samping Naruto dewasa. Seorang perempuan dewasa berkulit putih, berambut indigo panjang dan bermata lavender.
Naruto remaja awalnya kaget mengetahui ada sosok manusia yang tiba-tiba saja muncul di dekatnya. Tapi setelah diperhatikan, sosok itu begitu familiar baginya, hanya ia belum begitu yakin apa dugaannya benar. Berbeda dengan Naruto remaja, Naruto dewasa langsung memeluk sosok itu, seolah tidak bertemu dengannya sangat lama.
"Naruto-kun, kita dimana?" tanya sosok itu.
"Aku akan menceritakannya nanti."
Kemudian perhatian mereka kembali kepada Nagato.
"Aku masih sempat menghidupkan semua yang kubunuh di Konoha. Paling tidak, inilah yang bisa kulakukan untuk mereka."
Mata Naruto melotot. "Nagato, kau... berarti Hinata-chan dan semua penduduk desa..."
Nagato mengangguk. "Naruto, perang menimbulkan kematian, luka, dan rasa sakit di kedua belah pihak. Kematian orang terdekat sangat sulit untuk diterima. Kau tidak tahu perang. Kau mungkin mencari tahu arti kematian, tapi yang kau dapat hanya rasa sakit dan kebencian yang tak tertahankan. Kematian konyol, kebencian yang sejati, dan rasa sakit yang tak bisa sembuh, itulah perang yang akan kau hadapi. Mengenai buku itu dan kau. Sepertinya seseorang telah merancangnya sedemikian rupa. Atau mungkin ini pekerjaan Tuhan yang sesungguhnya. Naruto, sepertinya pekerjaanku berakhir disini. Aku percaya kau bisa mendatangkan perdamaian sejati di dunia ini."
Setelah mengatakan itu Nagato mati dengan senyuman di bibirnya. Konan akhirnya bisa menghargai keputusan Nagato. Ia membawa jasad Nagato dan Pain Tendo (Yahiko) bersamanya. Ia juga berjanji akan keluar dari Akatsuki dan mendukung Naruto, seperti yang dilakukan Nagato, agar bisa menciptakan perdamaian di dunia ini.

Setelah urusan dengan Nagato selesai, Naruto dewasa mengajak Naruto remaja dan 'sosok' yang baru muncul itu untuk kembali ke kubah chakra tempat Hinata berada.
Nagato memang telah menghidupkan kembali Hinata, namun luka di perutnya cukup parah dan belum sadarkan diri. Hingga akhirnya Naruto dewasa menyuruh 'sosok' itu untuk mengobati luka di perut Hinata.
Naruto remaja berdiri di samping Naruto dewasa. Memandang sedih Hinata-chan-nya yang belum juga sadarkan diri. Tapi selain itu, ada pertanyaan yang dari tadi mengganggu pikirannya.
"Nii-san," panggilnya kepada Naruto dewasa disampingnya.
"Hmm?"
"Nee-san yang disana itu, apa dia... Hinata-chan?"
Naruto dewasa nyengir lebar. "Tentu saja baka! Memangnya siapa lagi? Haha."
Naruto melongo. Pandangannya kembali beralih ke sosok Hinata dewasa yang tengah mengobati Hinata remaja. Ia memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut indigonya lebih panjang dari milik Hinata remaja, dan yang paling membuat Naruto melongo adalah wajahnya yang... cantik. Bukannya Hinata remaja tidak cantik, tapi Hinata dewasa lebih cantik lagi. Wajahnya lebih feminim dan penampilannya menggambarkan kedewasaan dan keanggunan.
"Baiklah, kau sudah semakin bingung. Kurasa sekarang saatnya aku menepati janjiku padamu. Aku akan menceritakan bagaimana aku bisa kesini, ke zamanmu. Ayo kita dekati mereka. Hinata-chan-ku juga berhak mendengarkan ceritaku ini." Naruto dewasa menarik leher Naruto remaja, mereka mendekat ke tempat kedua Hinata berada.
Naruto menghela nafas panjang dan mulai bercerita.
"Sebenarnya aku berasal dari 8 tahun yang akan datang. Awalnya kehidupan kami berjalan normal. Aku sedang menikmati cutiku ditengah sibuknya jadi Hokage-"
"Hokage? Kau jadi Hokage?" tanya Naruto remaja kaget.
"Ahaha, begitulah. Aku tidak mau memberitahumu kapan tepatnya aku jadi Hokage. Kau akan tahu sendiri."
Hinata dewasa terkikik di sela kegiatannya mengobati Hinata remaja.
"Baiklah aku lanjutkan ceritaku. Meski aku sedang cuti, itu tidak berarti aku hanya malas-malasan di rumah. Aku sedang melatih Hiraishin no Jutsu. Aku sudah bisa melebihi kekuatan Tou-san, aku bisa berpindah berkilometer-kilometer jauhnya, melebihi jarak yang dulu Tou-san lakukan. Saat itu aku sedang mengembangkan cara untuk berpindah tempat dengan membawa seseorang bersamaku. Kau lihat segel di telapak tanganku ini?"
Naruto dewasa memperlihatkan segel di telapak tangan kanannya.
"Segel ini akan mengingat seseorang agar bisa berpindah bersamaku. Ini segel yang baru saja kuciptakan. Berpindah dalam jarak yang sangat jauh membutuhkan kestabilan. Segel ini membantu mempertahankan kestabilan itu. Saat itu aku membawa Hinata-chan bersamaku. Saat kami berpindah tempat, Hinata-chan tiba-tiba saja lenyap. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Waktu itu aku langsung pulang ke Konoha dengan perasaan sedih, panik dan bingung. Tapi kemudian aku melihat penduduk yang panik, aku merasakan firasat buruk. Akhirnya Obaa-chan bilang kalau sebagian besar penduduk tiba-tiba saja menghilangm lenyap begitu saja."
"Shikamaru, yang saat itu jadi penasihatku, mempunyai dugaan kalau ada yang salah dengan jalur waktu. Ia sadar kalau yang lenyap adalah orang-orang yang menjadi korban Pain. Kakashi sensei, Shizune, dan semua shinobi yang dibunuh Pain lainnya. Aku sempat bingung, setahuku Hinata-chan tidak dibunuh oleh Pain. Kenapa ia ikut lenyap? Saat itulah Obaa-chan menduga kalau telah terjadi kekacauan di masa lalu yang membuat kehidupan pada zamanku berubah, hingga Hinata-chan ikut lenyap. Tanpa pikir panjang, Obaa-chan langsung mengajakku ke ruang rahasia di gedung Hokage. Ia memberiku sebuah gulungan rahasia, yang di dalamnya menjelaskan ninjutsu terlarang untuk menjelajahi waktu."
"Aku sempat kaget tapi Obaa-chan bilang ini satu-satunya cara untuk mengembalikan semua penduduk desa yang lenyap. Jadi tujuanku kembali ke masa lalu adalah untuk memperbaiki jalur takdir yang berantakan dan mengembalikannya ke jalur yang benar. Dengan begitu, semua orang yang tiba-tiba saja lenyap di zamanku, termasuk Hinata-chan bisa muncul kembali."
"Aku berkeliling dari waktu ke waktu, bertemu Naruto satu dan Naruto lainnya. Dan mereka mengalami kejadian yang sama. Hingga akhirnya aku menemukan penyebabnya disini. Jalur waktu berubah di zamanmu, mengakibatkan takdir yang ikut berubah. Hinata-chan mati di zamanmu, padahal di zamanku dia baik-baik saja. Di zamanku Pain menghidupkan semua penduduk yang meninggal, seperti yang dilakukannya tadi. Kematian Hinata-chan di zamanmulah yang menyebabkan Hinata-chan di zamanku menghilang. Begitu juga dengan para penduduk yang lain."
"Bahkan saat aku menjelajahi waktu, aku sempat melihat kalau jalur waktumu sangat kacau. Jalur antara empat tahun lalu dan sekarang saling bertabrakan, tidak beraturan. Makanya aku tahu kalau kau berasal dari masa depan juga, tepatnya kau melompat 4 tahun ke masa lalu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, aku tidak tahu apa yang terjadi 4 tahun lalu di kehidupanmu sebelumnya. Yang jelas kekacauan jalur waktumu itu telah membuat suatu jalur waktu baru, membentuk jalur takdir yang baru. Yang merubah total semua takdirmu dan takdir kami semua di masa depan, juga merubah takdir Naruto-Naruto yang lain setelahmu."
Naruto remaja hanya bisa bengong betapa rumitnya masalah yang terjadi. "Ja-jadi kematian Hinata-chan bukan takdir yang sebenarnya?"
"Tentu saja bukan."
Naruto remaja menunduk. "Syukurlah. Tapi kalau dipikir, ini semua gara-gara aku. Awal dari semua ini terjadi karena ketidakmampuanku membawa takdirku di jalur yang seharusnya. Kalau saja aku mampu merubah keputusan Pain dan ia menghidupkan semua korban 4 tahun lalu. Mungkin sekarang Hinata-chan akan baik-baik saja."
"Hei jangan murung begitu, ini bukan salahmu. Kupikir jalur waktu yang kacaulah yang membuat Hinata-chan-mu melompat ke takdir yang berbeda, makanya ia meninggal di zamanmu."
"Tidak, tentu saja ini salahku. Kalau semuanya terjadi seperti yang terjadi di kehidupanmu, pasti semuanya akan baik-baik saja. Tuhan tidak perlu mengirimku ke masa lalu. Tidak ada yang harus menderita."
"Naruto dengarkan aku, Tuhan tidak mungkin mengembalikanmu ke masa lalu tanpa alasan yang jelas. Pasti Ia punya tujuan. Sekarang kau pikir, kau dan Hinata bisa sedekat ini karena apa? Ini karena kesempatan kedua yang diberikan Tuhan. Kau seharusnya bersyukur diberikan kesempatan kedua. Dulu aku tidak diberikan kesempatan kedua sepertimu. Sebenarnya aku iri padamu. Selain itu, kalau kau tidak diberi kesempatan kedua, mana mungkin aku bisa bertemu denganmu seperti sekarang. Jadi, jangan pernah menyesali masa lalumu Naruto. Sekarang jalur waktu sudah kembali normal. Kau tidak usah khawatir, semuanya baik-baik saja."
Naruto remaja tersenyum. Ternyata benar, kehadiran Naruto dewasa di dekatnya sudah seperti 'kakak' yang bisa menenangkan hatinya. Ia tak tahu kenapa, tapi secara naluri, Naruto menghormati sosok yang dianggapnya 'kakak' itu, padahal sudah jelas kalau sosok itu adalah dirinya sendiri.
"Uhuk-uhuk." Hinata remaja terbatuk tapi masih belum siuman. Suara batuknya telah mengalihkan perhatian kedua Naruto padanya.
"Ano... Hinata... Nee-san? Apa Hinata-chan baik-baik saja?" tanya Naruto remaja.
"Ya, aku sudah memberinya pertolongan pertama. Tak lama lagi pasti ia siuman," jawab Hinata dewasa sambil tersenyum lembut.
Naruto remaja terkesima melihat senyuman yang ditujukan padanya. Tak terasa pipinya memanas.
"A-arigatou, Hi-Hinata-neesan," jawab Naruto tergagap, pandangannya tidak lepas dari wajah cantik Hinata dewasa.
BLETAK!
"Nii-san! Apa yang kau lakukan?" Naruto memegang kepalanya yang sakit mendapat jitakkan Naruto dewasa.
"Apa-apaan kau ini? Jangan memandang istri orang dengan penuh nafsu begitu! Apalagi di depan suaminya!"
Naruto malah melongo. "Hah? Istri? Kau... suami? Jadi kalian..." Naruto memandang Naruto dan Hinata dewasa secara bergantian. Hinata dewasa lebih memilih untuk menyembunyikan pipinya yang merona, sedangkan Naruto dewasa jadi salah tingkah.
"Ah sial, terlalu lama disini membuatku terus menerus menceritakan masa depan padamu. Haha. Lebih baik aku pulang ke masa depan saja."
"Hei, tunggu dulu, aku masih ingin ngobrol denganmu Nii-san!"
"Tidak Naruto." Raut muka Naruto dewasa berubah serius. "Aku serius, aku harus pulang, chakra-ku mulai habis. Aku takut tidak bisa pulang ke zamanku. Lagipula aku sudah berhasil mengembalikanmu ke jalur takdir yang benar. Hinata-chan sudah kembali dihidupkan, begitu juga semua penduduk desa. Semua orang yang lenyap pada zamanku juga pasti sudah muncul kembali saat ini. Jadi tugasku sudah selesai."
Mata shapire Naruto remaja tiba-tiba terasa panas. "Tapi, aku merasa aku punya saudara jika kau ada disini."
"Aku tahu." Naruto dewasa mendekat dan memeluk 'adiknya' sejenak. "Tapi aku tidak bisa terus-menerus disini. Aku harus kembali ke kehidupanku 8 tahun dari sekarang. Orang-orang menungguku disana."
Naruto remaja mati-matian menahan air mata yang memaksa keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Naruto dewasa. "A-apa aku bisa bertemu denganmu 8 tahun lagi?"
Naruto dewasa terkekeh.
"Kau ini memang baka," Naruto dewasa mengacak rambut pirang Naruto remaja. "Delapan tahun dari sekarang kau akan jadi 'aku'. Jadi, kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Naruto merasa tenggorokannya kering dan dadanya sakit. Ia sudah tidak mampu menahan tangisnya. Tapi dasar Naruto keras kepala, ia tidak ingin memperlihatkan air mata itu di depan Naruto dewasa, ia mengusapnya dengan kasar.
"Naruto-kun," panggil Hinata dewasa. Ia mengangkat tubuh Hinata remaja. Naruto remaja menerimanya dan membaringkan Hinata remaja di pangkuannya.
"Tolong rahasiakan kedatanganku kemari," ujar Naruto dewasa. "Hanya aku, kau, dan Hinata-chan-ku yang tahu masalah ini. Jalanilah kehidupanmu dengan sebaik-baiknya. Karena kehidupanku akan bergantung pada kehidupan yang kau jalani disini. Kau janji Naruto?"
Naruto mengusap air matanya sekali lagi, kemudian berusaha tersenyum. "Ya, aku janji Nii-san."
"Satu lagi, tolong jaga Hinata-chan."
Naruto remaja mengangguk mantap. "Pasti."
"Selamat tinggal Naruto." Naruto mengulurkan tangan kanannya ke arah Hinata dewasa. Hinata dewasa menyambutnya. Naruto dewasa mulai membentuk segel dengan tangan kirinya. Begitu jurusnya aktif, segel di tangan kanan Naruto dewasa bercahaya. Seiring dengan sosok mereka berdua yang mulai memudar.
"Kami pergi Naruto-kun," ujar Hinata dewasa, memperlihatkan senyuman terakhirnya.
Naruto membalas senyumannya. Memandang Naruto dan Hinata dewasa secara bergantian. "Selamat tinggal Nii-san, Hinata-neesan."
Akhirnya kedua sosok itu menghilang, begitu juga kubah chakra orange yang dari tadi menutupi mereka dari pemandangan luar.
"Uhuk uhuk." Tak lama setelah itu Hinata siuman.
"Hinata-chan?"
"Naruto-kun." Hinata membuka matanya, memandang wajah pacarnya yang terlihat khawatir.
"Syukurlah, aku bisa mendengar suaramu lagi." Saat itu juga Naruto langsung memeluk Hinata. Sudah cukup ia merasakan bagaimana rasanya kehilangan Hinata. Ia tidak ingin kehilangan Hinata lagi.
"Apa yang terjadi?" tanya Hinata bingung, setelah Naruto melepas pelukannya.
"Pain menghidupkanmu kembali." Kening Hinata berkerut kaget bercampur tidak mengerti. "Karena takdirmu yang sebenarnya adalah: tetap hidup dan selalu berada disampingku," jawab Naruto nyengir.
Hinata memang tidak mengerti bagaimana bisa ia dihidupkan kembali. Tapi kata-kata Naruto barusan sukses membuat pipinya merona merah. Ia buru-buru bangun dari pangkuan Naruto, terlalu lama dalam posisi itu malah membuat pipinya makin panas. Rasa sakit di tubuh Hinata memang sudah menghilang, jadi ia bisa berdiri sendiri.
"Na-Naruto-kun, ah maksudku pahlawan Konoha. Ayo kita menemui para penduduk." Hinata mengulurkan tangannya ke arah Naruto yang masih duduk.
Naruto menerimanya dengan senang hati. "Hei, aku bukan satu-satunya pahlawan. Kamu juga pahlawan Konoha."
Hinata terkikik. "Terserah kamu saja."
Naruto kemudian teringat, sebenarnya ada satu lagi pahlawan Konoha. Bahkan 'dialah' yang mungkin lebih cocok disebut pahlawan Konoha yang sesungguhnya. Dialah Naruto dewasa, sosok yang sudah dianggapnya sebagai seorang 'kakak'.
'Arigatou, Nii-san.'

Dari kejauhan Naruto melihat para penduduk sudah berkumpul. Mereka bersorak-sorak, meneriakkan namanya. Naruto terus berjalan mendekati mereka. Ia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Hinata.
"Hinata-chan, kamu tahu? Waktu aku terbangun dan menyadari kalau aku dikembalikan ke masa lalu, yang pertama kali terpikir olehku adalah kamu. Aku langsung mencarimu dan aku ingat pertama kali kita bertemu, kamu langsung pingsan."
"Ah, a-aku juga ingat. Aku terlalu kaget karena tiba-tiba kamu memelukku."
"Oh iya, aku mau mengakui sesuatu." Hinata memandang pacarnya itu penasaran. "Sebenarnya waktu kamu pingsan, aku menciummu." Pipi Hinata langsung memerah, dan setelah itu Naruto dihadiahi cubitan di tangannya.
"Oww, wajar saja 'kan? Karena aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, haha."
Hinata ikut mengingat-ingat masa lalu mereka. "Aku juga senang bisa bertemu denganmu lagi Naruto-kun. Aku juga ingat waktu kamu mengajakku bolos. Padahal aku tidak pernah bolos sebelumnya. Kemudian kita menemukan tempat rahasia kita."
Naruto hanya bisa nyengir tanpa dosa. "Nah, tak lama setelah itu, Ino mengetahui rahasiaku. Aku mati-matian membujuk Ino untuk merahasiakan itu, aku takut membuatmu sedih. Aku tidak tahu kalau kamu juga dari masa depan. Sejak saat itu Ino selalu membantuku agar bisa dekat denganmu. Termasuk memberimu hadiah dan merayumu. Aku baru sadar kalau rayuanku waktu itu garing."
"Hihi, yang bilang garing Naruto-kun ya, bukan aku."
"Hehe. Aku juga ingat pernah melihatmu di air terjun-"
"Ah sudah jangan bahas itu," ujar Hinata setengah merengek. Ia malu sekali kalau sudah membahas kejadian itu.
"Baiklah lewati bagian itu. Setelah itu aku lebih mementingkan Sasuke, tapi kemudian aku sadar dan lebih memilih kamu. Aku sadar, bagiku kamu jauh lebih penting dari apapun dan siapapun di dunia ini. Hingga... keesokan harinya aku menyatakan cintaku padamu."
Hinata tidak merespon. Tapi Naruto bisa melihat rona merah di pipi pacarnya itu. Ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah itu berbagai cobaan menguji hubungan kita, mulai dari kepergianku latihan selama 3 tahun, Hanabi yang mengganggu kencan kita, masalah dengan Shion, kenyataan pahit mengenai takdirmu, hingga terakhir masalah Pain."
"Kita telah berhasil melewati semuanya Naruto-kun."
"Ya."
Jika dipikir lagi, Naruto dewasa benar. Tuhan tidak mungkin mengembalikan Naruto dan Hinata ke masa lalu tanpa alasan yang jelas. Pasti Ia punya tujuan. Dan dalam hal ini tujuan-Nya adalah mendekatkan Naruto dan Hinata, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengahabiskan waktu bersama.
"Hinata-chan, aku jadi berpikir, aku tidak yakin kita akan seperti sekarang jika kita tidak sama-sama dikembalikan ke masa lalu."
"Kamu benar. Kalau saja Tuhan tidak mengembalikan kita ke masa lalu, mungkin kita akan berada di jalur takdir yang berbeda."
Ia kembali teringat kepada 'Nii-san-nya' dan Hinata dewasa.
Delapan tahun lagi...
Naruto tersenyum sendiri kemudian menoleh ke arah Hinata. 'Aku ingin segera melihatnya. Aku ingin segera melihat masa depanku dan masa depanmu. Aku ingin berada di tempat yang sama dan memandang langit yang sama. Mungkin kita sudah terikat oleh benang merah. Aku percaya kalau kita berdua sudah ditakdirkan untuk bersama,' batin Naruto.
"Naruto-kun? Ke-kenapa melihatku seperti itu?"
"Ah, aku... um, Hinata-chan, delapan tahun lagi... apa mungkin kamu masih tetap bersamaku?" Hinata terdiam, malah bingung tiba-tiba ditanya seperti itu. "Ah, tidak-tidak lupakan saja," lanjut Naruto gelagapan.
"Ano... a-ku akan tetap menjawab. Tentu saja, aku akan selalu berada disana, menemanimu. Walaupun di hari terburukmu sekalipun, aku akan selalu bersamamu Naruto-kun."
Naruto tersenyum lembut ke arah Hinata. Ia memeluk pacarnya itu sejenak, tidak bisa lama karena para penduduk sudah mendekati mereka.
"Selamat Naruto!"
"Kau pahlawan kami!"
"Arigatou Naruto!"
Begitulah sambutan para penduduk desa. Ini pertama kali bagi Naruto. Naruto merasa senang, seumur hidupnya, baru kali ini penduduk desa memujinya seperti ini. Tapi ingin rasanya Naruto meneriakkan kalau ada pahlawan lain yang juga sangat berjasa karena telah membantunya. Tapi Naruto tahu ia tidak mungkin melakukannya.
Tubuh Naruto diangkat dan dilempar-lempar ke udara bak superstar. Ini adalah bukti betapa para penduduk berterima kasih atas usahanya. Naruto nampaknya tengah tertawa lepas, ia menikmati ini. Ia sudah berusaha keras selama ini. Ia pantas menerima pujian dan perlakuan itu dari para penduduk. Naruto kemudian memandang langit Konoha dengan cengiran khasnya.
'Aku akan menjaga Hinata-chan seperti pesanmu Nii-san. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku. Aku akan membawa takdirku ini ke jalur yang benar. Delapan tahun dari sekarang, takdirku akan berjalan sama seperti takdirmu, aku akan hidup bahagia bersama Hinata-chan-ku.'
-The End-
Kesempatan Kedua
14 Desember 2012, Rifuki

2 komentar:

  1. gan fanfic nya, keeerren abizzzzzzz.............buat yng brrrruuu gannnnnnnnnnn..............

    BalasHapus
  2. Mantapp bro ... terus berkarya ...

    BalasHapus