pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

kesempatan kedua chapter 10

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"Na-Naruto-kun..." Hinata menundukkan wajahnya.
Badan Hinata mulai bergetar, kelihatannya pertahanannya akan runtuh. Seberapa kuatpun Hinata mencoba untuk tabah dan merelakan kepergian Naruto, ujung-ujungnya tetap saja dia merasa sedih. Naruto menarik Hinata ke dalam pelukannya, menenangkan Hinata yang saat itu sudah mulai terisak.
"Hei, sudah jangan menangis."
Naruto mengusap-ngusap puncak kepala Hinata. Berusaha menenangkan pacarnya itu. Ia mengerti seberapa sedih Hinata, karena ia merasakan hal yang sama. Bedanya dirinya lebih bisa menyembunyikan perasaan sedihnya dibanding Hinata. Pasangan mana sih yang tidak sedih saat harus berpisah padahal baru 2 bulan pacaran?
"Hinata-chan..." Naruto melepas pelukannya kepada Hinata dan menyeka air mata di pipi Hinata dengan jari-jarinya. Kemudian ia mengeluarkan kunci apartemen dari kantong celananya. Kemudian melepas kunci duplikatnya.
"Begini saja. Ini untukmu." Naruto menarik tangan kanan Hinata dan meletakkan kunci duplikat itu di telapak tangan Hinata.
"Ini..." Hinata menatap lekat-lekat kunci di telapak tangannya.
"Ya, itu kunci apartemenku. Kalau kamu merindukanku, kamu boleh datang ke apartemenku," Naruto mengembangkan senyumannya.
"Aku pergi ya, kasihan Ero-Sennin sudah menungguku. Jangan sedih lagi ya Hinata-chan," lanjut Naruto sambil memegang kedua pundak Hinata.
"Hai," kali ini Hinata bisa tersenyum kembali.
"Sampai jumpa lagi Hinata-chan," Naruto berlari menuju Jiraiya yang sudah menunggunya sambil malambaikan tangannya kepada Hinata.
"Ya, aku akan menunggumu!" teriak Hinata, melupakan segala rasa malunya untuk berteriak. Senyuman terlukis jelas di bibirnya.
'Cepatlah kembali Naruto-kun...'
.
.
.
Chapter 10
- Okaeri -
Hinata POV
Aku menatap fotoku bersama Naruto-kun yang kami ambil 2 hari sebelum Naruto-kun meninggalkan desa. Di foto itu pipiku merona merah karena saat itu Naruto-kun memiringkan kepalanya sehingga kepalanya dan kepalaku bersentuhan. Aku malu sekali saat itu. Sementara Naruto-kun hanya memamerkan cengiran khasnya tanpa mengetahui aku sedang berjuang menahan rasa gugupku disampingnya.
Aku tersenyum sendiri mengingat momen itu. Kuusap pelan pipi Naruto-kun di foto itu. Tidak terasa sudah setahun Naruto-kun pergi meninggalkan desa, meninggalkanku disini. Selama setahun ini orang-orang di sekitarku selalu menghiburku, aku tahu mereka semua mengkhawatirkanku. Terutama...
"Hinata-sama, ayo kita sarapan. Hiashi-sama sudah menunggu." Terutama orang yang barusan memanggilku, Neji-Niisan.
"Iya. Aku segera kesana," kataku dari dalam kamar. Di sisi lain aku sangat bersyukur karena berkat Naruto-kun, Neji-Niisan telah menjelma jadi sosok kakak yang selalu ada saat kubutuhkan. Ia selalu meyakinkanku kalau Naruto-kun akan baik-baik saja dan menyuruhku untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya.
Kadang aku heran. Justru Neji-Niisan lah yang terlalu mengkhawatirkanku. Aku akui aku memang merindukan Naruto-kun dan kadang aku juga mengkhawatirkannya, aku ingin tahu ia sedang dimana dan sedang apa. Tapi aku selalu berusaha untuk kuat, aku tidak boleh cengeng. Karena aku tahu Naruto-kun pergi agar bisa lebih kuat dan mengejar cita-citanya untuk menjadi Hokage. Aku tidak boleh egois, aku harus mendukung Naruto-kun sepenuhnya.
Setahun ini kulewati tanpa hambatan yang berarti. Naruto-kun juga selalu mengirimiku surat sebulan sekali untuk mengobati rasa rinduku. Karena posisi Naruto-kun yang berpindah-pindah, komunikasi antara aku dan Naruto-kun hanya searah. Aku mengerti dan tidak terlalu mempermasalahkan itu. Asalkan aku selalu tahu keadaan Naruto-kun saja sudah cukup bagiku.
Aku selalu senang saat menerima surat dari Naruto-kun. Ia selalu menceritakan secara detail semua perjalanannya. Mulai dari yang tidak penting sampai yang penting. Mulai dari ceritanya tentang Jiraiya-sama yang memaksanya menggunakan jurus Henge hanya untuk inspirasi novel, sampai ceritanya mengenai jurus baru yang berhasil dikuasainya. Mulai dari tempat menyeramkan sampai tempat yang indah.
Maka tak heran kalau surat yang dikirimnya selalu berisi berlembar-lembar kertas yang penuh dengan ceritanya. Aku selalu menyimpan baik-baik semua surat yang dikirimnya. Saat aku merindukannya, aku akan membacanya kembali. Biasanya setelah itu rasa rinduku akan segera terobati.
Aku bergabung di meja makan. Tou-san, Hanabi-chan, dan Neji-Niisan sudah menungguku disana. Aku tersenyum ke arah mereka.
"Bi, apa pagi ini ada surat untukku?" tanyaku pada bibi pelayan, saat dia menyiapkan makananku. Bulan ini Naruto-kun memang belum mengirimiku surat. Aku sudah panasaran cerita apa lagi yang akan diceritakannya. Dan yang paling utama adalah aku merindukannya, aku ingin tahu kabarnya.
"Ada. Nanti akan saya ambilkan."
Setelah selesai sarapan, bibi pelayan memberikan surat dari Naruto-kun. Kemudian aku berjalan ke taman belakang rumah. Aku duduk bersantai di sebuah ayunan disana. Kubuka surat dari Naruto-kun dengan hati-hati.
Halo Hinata-chan,
Apa kabarmu disana? Kuharap kamu baik-baik saja. Kalau aku, aku baik-baik saja disini. Aku hanya merasa sedikit kedinginan. Saat kutulis surat ini, hari memang sudah malam, bahkan sekarang sudah tengah malam. Aku menulisnya sambil mendengar dengkuran Ero-Sennin yang berisik. Dia tidur pulas sekali, soalnya dia habis mabuk. Ah, sudahlah kenapa aku jadi membicarakan Ero-Sennin? Itu tidak penting.
Sebenarnya yang ingin kuucapkan pertama-tama adalah... Dan kurasa ini yang paling penting...
Selamat ulang tahun yang ke-14 Hinata-chan.
Kuharap aku bisa mengucapkannya secara langsung dan memberimu hadiah, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Meskipun aku tahu saat surat ini sampai disana, pasti sudah lewat dari hari ulang tahunmu. Sekarang ini aku hanya bisa mendoakan agar kamu panjang umur dan selalu sehat disana. Jagalah kesehatanmu. Pokoknya jangan terlalu mengkhawatirkanku disini, selama aku bersama Ero-Sennin, aku akan baik-baik saja.
Aku tersenyum simpul, hatiku berbunga-bunga. Tak kusangka ternyata Naruto-kun masih mengingat ulang tahunku, bahkan saat kami terpisah oleh jarak yang jauh sekalipun. Kalau bisa aku ingin mengatakan kepada Naruto-kun sekarang juga, bahwa aku tidak mengharapkan hadiah. Mengetahui dirinya masih mengingat ulang tahunku saja sudah merupakan hadiah terbaik untukku.
Kemudian aku kembali membaca surat itu.
Setelah setahun tidak bertemu, aku penasaran sekali bagaimana wajahmu sekarang. Pasti semakin cantik. Ya 'kan? Aku juga sudah lama tidak memakan masakan buatanmu. Haaah, memikirkannya jadi membuatku semakin ingat padamu dan ingin cepat pulang.
Aku kembali tersenyum. Rasanya pipiku mulai memanas. Aku bangkit dari ayunan yang dari tadi kutempati kemudian mendekati kolam ikan dan menatap pantulan wajahku disana. Aku memang membiarkan rambut indigoku tumbuh panjang. Sekarang sudah hampir mencapai pundak. Apa benar aku semakin cantik? Apa Naruto-kun akan suka kalau aku membiarkan rambutku tumbuh panjang ya? Aku jadi merasa tidak percaya diri.
Kemudian aku duduk di tepi kolam dan membiarkan kakiku masuk ke dalam kolam, merasakan sejuknya air pagi itu. Kubuka kembali surat dari Naruto-kun dan melanjutkan membacanya.
Oh ya Hinata-chan, siang tadi aku juga menemukan tempat yang indah. Pokoknya ini tempat paling indah yang pernah aku kunjungi. Dan aku yakin kamu juga menyukainya. Tempatnya berupa sebuah padang lavender. Sejauh mata memandang, hanya bunga lavender yang bisa kamu lihat. Saking indah dan nyamannya tempat itu, aku sampai tertidur disana sampai sore. Suatu saat aku ingin mengajakmu ke tempat itu. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu disana.
Mendengar cerita Naruto-kun, aku jadi membayangkan seindah apa tempat yang dia maksud. Tapi kalau dia sampai ingin mengajakku kesana, mungkin tempatnya memang benar-benar benar suatu saat nanti Naruto-kun akan mengajakku kesana, berarti disana kita hanya akan berdua saja 'kan? Ahhh, memikirkannya saja sudah membuat dadaku berdegup kencang begini.
Hinata-chan, sudah dulu ya. Aku sudah mulai ngantuk. Aku harus bersiap-siap untuk latihan besok. Kata Ero-Sennin, besok aku akan latihan keras. Hah, semoga saja kali ini dia serius.
Aku berharap kamu tidak bosan untuk menungguku pulang.
Aku menyayangimu Hinata-chan.
Naruto
Aku menatap surat itu tanpa melepas senyumanku. Aku tidak akan bosan menunggumu disini Naruto-kun. Aku akan setia menunggumu disini. Aku juga menyayangimu, semoga kita bisa cepat bertemu.
Aku menutup surat dari Naruto-kun dan melipatnya kembali dengan hati-hati. Ini surat ke-13 yang Naruto-kun kirim padaku. Tapi aku masih saja dibuatnya senyum-senyum sendiri. Setiap kali aku membaca surat darinya, aku akan kembali bersemangat. Karena setidaknya aku jadi tahu di belahan bumi lain dia baik-baik saja. Kabar dari Naruto-kun memang seperti energi untuk mengisi hari-hariku.
"Hinata."
Aku menoleh ke arah suara. Kulihat Tou-san memanggilku. Disana juga ada Neji-Niisan dan Hanabi-chan sudah memakai baju latihan mereka. Sudah saatnya latihan. Berarti aku menghabiskan waktu yang lumayan lama untuk membaca surat dari Naruto-kun.
"Hai Tou-san."
Aku segera berlari kecil menuju kamarku untuk berganti baju dengan baju latihan. Kusimpan surat dari Naruto-kun di laci samping tempat tidurku, bergabung bersama surat-surat sebelumnya.
Setelah siap, aku segera bergabung bersama keluargaku di tempat latihan.
"Sudah siap Hinata-sama?" tanya Neji-Niisan.
"Siap," jawabnya mantap. Neji-Niisan dan Hanabi-chan tersenyum, sedangkan ekspresi Tou-san tidak bisa kubaca. Tapi aku yakin di dalam hatinya dia merasa senang melihatku semangat seperti ini.
Arigato, sudah membuatku semangat di pagi hari ini Naruto-kun.

Keadaan mulai berubah di pertengahan tahun kedua. Naruto-kun mengirimiku surat tidak sesering dulu. Sekarang paling cepat 2-3 bulan sekali dia mengirimiku surat. Katanya latihannya semakin sibuk. Aku tidak menyalahkannya. Aku selalu yakinkan diriku kalau Naruto-kun berlatih keras untuk kebaikannya juga. Aku harus selalu mendukungnya. Lagipula apa lagi yang bisa kulakukan? Kalaupun aku protes tentu tidak akan merubah keadaan. Hanya saja kalau boleh jujur, semakin jarang dia mengabariku, itu membuatku semakin merindukannya.
Ditambah lagi saat mengirim surat, sekarang isinya hanya sedikit. Sekedar menanyakan kabarku atau memberitahu keadaannya. Tapi sekali lagi aku selalu berusaha untuk berfikir positif. Mungkin memang di tahun kedua ini latihannya sangat keras, mengingat di tahun pertama ia dan Ero-Sennin banyak bercanda dan terkesan kurang serius.
Mulai saat itu aku sering berkunjung ke apartemen Naruto-kun. Aku akui, aku merindukannya. Aku rindu pada suaranya, rindu pada candaan-candaannya, rindu cubitannya di pipiku, dan aku rindu... pelukannya. Pelukan yang selalu bisa menenangkanku dalam keadaan apapun. Pelukan hangat yang bisa membuatku nyaman berada di dekatnya.
Untuk mengurangi rasa rinduku kepada Naruto-kun, biasanya aku akan menyibukkan diri dengan berbagai hal. Mulai dari membersihkan apartemen Naruto-kun atau memasak makanan disana. Setelah itu aku akan berlatih di tempat latihan kami. Kemudian beristirahat di dekat danau ditemani ikan-ikan koi.
Setidaknya berbagai kesibukanku itu telah berhasil mengurangi rasa rinduku kepada Naruto-kun.
Oh ya, selain itu sekarang aku jadi sangat dekat dengan Ino-chan dan Sakura-chan. Bisa dibilang mereka berdua adalah sahabat terbaikku setelah Tenten-chan.
Semuanya berawal ketika aku bertemu Ino-chan dan Sakura-chan di pasar. Kebetulan mereka juga sedang belanja bahan makanan. Berawal dari ngobrol biasa, berujung pada pertanyaan-pertanyaan Ino-chan yang semakin memojokkanku dan membuatku keceplosan mengatakan kalau Naruto-kun memberikan kunci duplikat apartemennya kepadaku. Setelah itu godaan-godaan khas kedua sahabat itu kian bergulir, membuatku malu bukan main.
Mereka tentu saja tidak bodoh, mereka tahu betul apa makna memberikan kunci duplikat kepada pasangan. Itu bisa dianggap setara dengan melamar. Tapi aku yakin bukan itu yang Naruto-kun maksud, ia hanya ingin mengurangi rasa rinduku padanya dengan mengizinkanku berkunjung ke apartemennya.
Tapi seperti yang kalian tahu, berdebat dengan dua ratu gosip itu bukanlah hal yang mudah. Aku hanya bisa manahan rasa maluku menerima godaan-godaan mereka tanpa berhasil mengelak. Akhirnya siangnya, Ino-chan mengajakku untuk masak bersama di apartemen Naruto-kun. Katanya sekalian mengajarinya masak, karena ia kurang menguasai bidang itu. Sebenarnya aku menolak, aku tidak berhak untuk membawa masuk tamu ke apartemen orang lain.
Tapi Sakura-chan bilang kalau Naruto-kun sudah memberikan kunci duplikat apartemennya padaku, tidak masalah kalau aku membawa masuk Sakura-chan dan Ino-chan. Apalagi mereka berdua juga masih teman baik Naruto-kun. Sekarang apartemen Naruto-kun adalah apartemenku juga, begitu katanya.
Dua suara melawan satu suara tentu saja sudah jelas siapa yang menang. Akhirnya mau tidak mau aku harus mengalah lagi.
Siang itu kami memasak kemudian makan siang bertiga disana. Diselingi girl talk dan candaan ringan antara kami bertiga. Tanpa terasa, sejenak aku bisa melupakan rasa rinduku pada Naruto-kun.
"Mulai sekarang kami akan selalu menemanimu Hinata-chan. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuan kami," kata Ino-chan saat ia dan Sakura-chan akan pulang. Aku bisa melihat raut kekhawatiran dari wajah mereka. Mereka pasti khawatir padaku yang sudah hampir 2 tahun ditinggalkan Naruto-kun. Sebagai seorang perempuan, tentunya mereka juga tahu betul bagaimana perasaanku.
"Arigato." Aku mengangguk dan tersenyum ke arah mereka berdua. Berusaha menghapus kekhawatiran pada diri mereka.
Setelah itu Ino-chan dan Sakura-chan pamit pulang dan melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku membalas melambaikan tanganku ke arah mereka. Setelah Ino-chan dan Sakura-chan menghilang di tikungan, aku kembali masuk ke apartemen dan duduk di sofa. Kutatap foto Naruto-kun yang terpajang di dinding ruang tamu.
Kutatap wajah Naruto-kun lekat-lekat sambil tersenyum.
"Bahkan saat berada jauh dariku, kamu masih bisa memberikan hal penting untukku. Yaitu dua orang sahabat baru yang mau menemaniku kapan saja. Arigato, Naruto-kun..."

Tahun kedua terlewati tanpa masalah. Namun menginjak tahun ketiga rasa rinduku kepada Naruto-kun semakin menjadi-jadi.
Apapun yang kulakukan untuk menyibukkan diri, semuanya tidak mempan. Ujung-ujungnya tetap saja aku ingat padanya. Aku benar-benar merindukannya. Sangat sangat merindukannya. Tenten-chan, Ino-chan dan Sakura-chan sudah berusaha semampu mereka untuk menghiburku, tapi itu tidak berguna. Aku selalu berusaha untuk terlihat tegar di depan mereka. Tapi saat aku sendirian, aku akan kembali merasa kesepian dan mengingat Naruto-kun.
Dan puncaknya saat menginjak pertengahan tahun ketiga.
Aku sudah tidak bisa menghilangkan Naruto-kun dari kepalaku. Aku terus-menerus merindukannya. Apalagi dengan semakin jarangnya Naruto-kun mengirimiku surat. Hingga suatu malam aku menangis di apartemen Naruto-kun. Entah kenapa malam itu aku begitu merindukannya.
Aku beranikan untuk memasuki kamar Naruto-kun. Kemudian aku menangis di tempat tidurnya. Memeluk guling miliknya, berharap aroma Naruto-kun bisa tercium dari sana dan bisa mengobati rinduku.
"Cepatlah pulang Naruto-kun," lirihku disela tangisanku.
Akhirnya aku tertidur disana sampai pagi.
Aku bangun dalam keadaan mata yang bengkak karena menangis semalaman. Aku tidak peduli kalau Tou-san memarahiku karena tidak pulang. Yang jelas aku masih ingin disini, di apartemen Naruto-kun. Karena saat aku berada disini, aku merasa dekat dengannya.

Tiga bulan sudah berlalu dan selama itu aku lebih banyak menghabiskan waktuku di apartemen Naruto-kun. Hampir setiap hari aku menginap di apartemen Naruto-kun dan tidur di kamarnya. Aku hanya akan kembali ke rumah untuk mengambil baju ganti. Jika tidak ada misi, apartemen Naruto-kun lah yang menjadi tempatku beristirahat. Apartemen Naruto-kun sudah seperti rumah keduaku saja.
Tidak seperti biasanya, pagi itu aku bangun siang. Rasa lapar di perutkulah yang membangunkanku. Kalau tidak lapar, mungkin aku akan bangun semakin siang.
Setelah mencuci mukaku untuk menghilangkan rasa kantuk, dengan malas aku pergi ke dapur. Entah kenapa hari ini aku malas sekali untuk beraktifitas. Kubuka lemari es dan kulihat bahan makanan yang tersedia disana, hanya ada ramen dan beberapa sayuran. Aku lupa belum berbelanja untuk persediaan minggu ini.
Sepertinya pagi ini aku akan makan ramen saja. Hmm... mendengar kata ramen saja sudah mengingatkan ku pada Naruto-kun.
TOK! TOK! TOK!
Tiba-tiba kudengar pintu depan diketuk saat aku mencuci sayuran. Aku mempercepat kegiatan mencuci sayuranku agar tidak membuat orang yang di luar sana terlalu lama menunggu.
"Tunggu sebentar," teriakku sambil menyimpan sayuran yang sudah bersih.
Kubuka pintu apartemen. Dan tiba-tiba apron yang kupegang sampai jatuh saking kagetnya saat melihat orang yang berada di depan pintu. Aku mematung melihat orang di depanku. Kulihat seorang remaja berambut pirang dan berjaket orange.
"Tadaima."

Normal POV
"Tadaima."
Butuh waktu beberapa detik untuk membuat Hinata menyadari siapa orang di depannya.
Namun sebelum ia bereaksi, orang itu sudah mendekatinya sambil tersenyum, kemudian memeluknya erat. Hinata masih belum yakin kalau orang yang memeluknya sekarang adalah orang yang dirindukannya selama 3 tahun terakhir ini. Ia belum yakin kalau yang memeluknya sekarang adalah pacarnya, Naruto.
Namun saat ia merasakan pelukan hangat dan belaian sayang di kepalanya, semua keraguannya segera menghilang. Tanpa membuang waktu lagi, Hinata kemudian membalas pelukan Naruto, kedua tangannya melingkar di badan Naruto. Kepalanya ia benamkan di dada Naruto. Sudah lama sekali ia menantikan momen ini.
"O-okaeri," balas gadis itu bergetar dalam pelukan Naruto. Sungguh perasaannya campur aduk sekarang. Antara terharu, senang, dan gugup.
Tapi satu yang pasti, orang yang dirindukannya sudah kembali, pacarnya sudah kembali, Naruto-kunnya sudah kembali.

"Kamu lapar?" tanya Hinata saat Naruto melepas pelukannya.
"Ya, hehe." Pipi Hinata memerah, sungguh sudah lama sekali ia tidak melihat cengiran khas pacarnya itu. Dan setelah 3 tahun tidak bertemu, cengirannya itu masih seperti dulu. Begitu ceria dan selalu bisa menghangatkan hatinya. Yang membedakan hanya suaranya saja yang sekarang agak ngebass.
"Kalau begitu ayo kesini," kata Hinata sambil menarik tangan Naruto, menuntunnya menuju ruang makan. "Aku sedang menyiapkan ramen buatanku sendiri."
"Wah, kamu jadi suka ramen ya?" tanya Naruto.
"Begitulah." Hinata menyembunyikan rona merah di wajahnya. "Kamu mandi saja dulu ya, sementara itu aku akan memasak ramen."
"Baiklah." Kemudian Naruto ke kamarnya untuk mandi.
Saat Naruto memasuki kamarnya, ia kaget melihat kamarnya yang rapi. Lantainya bersih, begitu juga tempat tidur dan lemari. Pokoknya sangat terawat. Tidak ada sedikitpun debu yang berada disana.
'Pasti Hinata-chan selalu membersihkan kamar ini,' pikirnya.
Kemudian ia menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Ingin melepas rasa rindunya pada tempat tidur yang sudah ditinggalkannya selama 3 tahun. Namun baru sedetik hidungnya menyentuh bantal, aroma lavender langsung menyeruak memasuki hidungnya. Seakan tidak percaya, ia segera duduk di kasurnya. Bantal yang tergeletak disana segera diambil dan di dekatkan ke hidungnya. Penciumannya dipertajam. Dan ternyata memang benar, tercium wangi lavender yang sangat familiar di hidungnya. Wangi yang sangat menenangkan.
'Sepertinya Hinata-chan menyukai kamarku,' pikir Naruto. Kemudian ia tersenyum penuh arti.

Setengah jam kemudian, Naruto sudah mandi dan sekarang sudah duduk di meja makan. Hinata menyiapkan ramen untuknya. Hinata tersenyum sendiri membayangkan betapa miripnya mereka dengan sepasang suami-istri. Suaminya baru pulang kemudian pergi mandi, sementara sang istri menyiapkan makan untuk suaminya. Membayangkan semua itu membuat pipi Hinata semakin merah saja.
"Hanya untukku? Hinata-chan bagaimana?" tanya Naruto saat Hinata memberikan semangkuk ramen kepada Naruto.
"Ramennya memang hanya cukup untuk seporsi. Lagipula aku tidak terlalu lapar, jadi Naruto-kun saja yang makan."
"Tidak bisa begitu. Sebelum aku datang, Hinata-chan 'kan menyiapkan ramen untuk sendiri, aku merasa tidak enak kalau ramen ini untukku semua. Bagaimana kalau... kita makan berdua?"
"Eh? Bo-boleh." Hinata jadi ingat kencan pertamanya, saat mereka makan ramen berdua.
Akhirnya mereka makan berdua, dalam mangkuk yang sama. Melakukan hal yang sama persis dengan kejadian 3 tahun lalu pada kencan pertama mereka. Saat mereka makan helaian ramen yang sama, yang menghubungkan kedua mulut mereka.
Namu siapa sangka, hal itu kembali terjadi sekarang. Saat ini helaian ramen yang jahil kembali menghubungkan mulut mereka. Entah itu kesialan atau keberuntungan bagi mereka.
Mereka mematung disana.
Wajah mereka hanya terpisah sejauh 10 cm. Kali ini Naruto tidak akan membuang kesempatan ini. Di makannya helai ramen itu sedikit demi sedikit. Sehingga jarak antara mulut mereka semakin dekat. Hinata tampak tidak bereaksi. Namun sebenarnya ia mati-matian menahan rasa gugupnya. Pipinya sudah memerah.
Naruto menggenggam kedua tangan Hinata, berusaha menenangkan pacarnya itu. Hinata mulai tenang. Naruto semakin mengurangi jarak yang memisahkan mulut mereka.
Begitu jarak antara mulut mereka menghilang, bibir mereka bertemu, keduanya memejamkan mata. Menikmati sensasi yang baru pertama mereka rasakan. Pegangan Hinata di tangan Naruto semakin erat.
Ramen yang menghubungkan mereka sudah putus, begitu juga yang berada di mulut mereka, sudah mereka telan. Namun bukanlah ramen yang mereka nikmati, tapi hal lain yang jauh lebih enak.
Naruto mencium bibir bawah Hinata, ia tidak menyangka kalau bibir Hinata selembut ini. Ia berusaha untuk melakukannya selembut mungkin, tidak mau bersikap kasar pada Hinata. Awalnya Hinata tidak membalas ciuman Naruto, tapi lama-kelamaan Hinata mulai rileks dan membalas ciuman Naruto. Berusaha untuk mengimbangi ciuman Naruto di bibirnya.
Hinata sudah tidak tahu sudah semerah apa pipinya sekarang. Wajahnya memanas. Debaran jantungnya sudah menggila. Tapi di balik itu semua, ada rasa senang di dadanya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Badannya seolah meleleh, terasa lemas. Tapi ia tidak mau berhenti. Seperti ada sesuatu yang membuatnya untuk tetap melanjutkan ciuman.
Begitu juga dengan Naruto. Ia yang terkenal hiperaktif dan jarang sekali gugup sekarang harus menyerah. Wajahnya sudah memerah tak kalah oleh Hinata. Tapi ia bersyukur karena Hinata ternyata membalas ciumannya. Padahal ia sempat takut kalau Hinata menolak. Rasa senang di hatinya sudah meluap-luap sekarang.
Mereka menghentikan ciuman mereka saat mereka mulai kekurangan oksigen. Keduanya memalingkan muka karena malu. Ditambah lagi ini ciuman pertama mereka, mereka masih takut ada suatu hal yang salah dalam ciuman mereka.
"Hinata-chan..." kata Naruto memecah keheningan di antara mereka.
"Y-ya..." jawab Hinata, masih tidak bisa secara langsung menatap Naruto.
"Rasanya enak."
"Ramennya?" Hinata bingung, kali ini Hinata menatap Naruto penuh tanya.
"Iya."
"Oh." Ada raut wajah kecewa di wajah Hinata, tapi Naruto sama sekali tidak menyadarinya. Hinata mengira kalau yang dimaksud 'enak' oleh Naruto adalah ciuman pertama mereka.
"Umm, ciumannya juga enak."
"..." Sontak mendengar kata-kata Naruto, pipi Hinata kembali memerah. Naruto seperti membaca pikiran Hinata.
Keheningan kembali terasa setelah itu. Naruto sibuk menatap mangkuk ramen yang sudah kosong, sedangkan Hinata sibuk memainkan jarinya. Meskipun begitu, rasa senang jelas sekali terpancar dari wajah keduanya.
"Aku mau lagi," kata Naruto memecah keheningan untuk kedua kalinya.
Hinata melihat Naruto yang bicara tanpa melepas tatapannya ke mangkuk ramen. Hinata mengartikan itu sebagai keinginan Naruto untuk kembali makan ramen.
"A-ku akan beli lagi bahan ramennya..." Hinata beranjak dari kursi tapi Naruto menahan tangannya. Kemudian tatapan mereka bertemu. Lavender bertemu shapire.
"Bukan ramen," kata Naruto pelan. Ia ikut berdiri dan mendekati Hinata "tapi..."
"..." Hinata menatap Naruto yang semakin mendekatinya dengan penasaran. Postur Naruto yang sekarang jauh lebih tinggi darinya, memaksanya untuk agak mendongak.
Tangan Naruto yang lain memegang dagu milik Hinata kemudian wajah Naruto semakin mendekat. Sekarang Hinata tahu apa yang Naruto inginkan, ia memiringkan wajahnya kemudian memejamkan matanya. Tak lama kemudian Hinata kembali merasakan sensasi lembut di bibirnya, Naruto kembali menciumnya.
Kali ini Naruto memberanikan diri untuk memainkan lidahnya. Berusaha untuk meminta akses ke dalam mulut Hinata. Hinata mengerti, kemudian ia membuka mulutnya, mengizinkan lidah Naruto bermain di dalam mulutnya, menyapu setiap sudut mulutnya, bergelut dengan lidah miliknya.
Pegangan Naruto beralih ke pinggang Hinata, begitu juga pegangan Hinata yang beralih ke leher Naruto. Saling bekerja sama untuk memperdalam ciuman mereka. Sebelum kebutuhan akan oksigen memaksa mereka untuk menghentikan ciuman mereka.
Tapi seakan belum cukup, keduanya kembali memulai ciuman lain. Sampai rasa rindu karena 3 tahun tidak bertemu terobati.
"Yakin tidak mau kuantar pulang?" tanya Naruto saat mereka berada di depan apartemen Naruto. Hinata sudah mau pulang tapi bersikeras tidak mau diantar.
"Tidak usah, aku tahu kamu masih capek. Kamu 'kan baru sampai di Konoha," kata Hinata masih bersikeras. Ia meremas pelan tangan Naruto yang saat itu menggenggam tangannya, bermaksud menenangkan pacarnya itu.
"Baiklah kalau begitu." Akhirnya Naruto menyerah kemudian melepas pegangannya di tangan Hinata.
"Aku pulang dulu."
"Ya, hati-hati di jalan. Arigato sudah merawat apartemenku, terutama... kamarku," kata Naruto, memberikan penekanan pada kata 'kamarku'.
Hinata sedikit kaget. Rupanya Naruto sudah tahu kalau ia sudah tidur di kamarnya. Dengan muka yang memerah, ia menatap Naruto, memberikan senyum terbaiknya. "Sama-sama Naruto-kun."
Di perjalanan pulang, ia memegang bibirnya. Ia tidak menyangka hari ini begitu mengejutkan. Naruto yang datang lebih awal, sebulan lebih awal, dan juga... ciuman pertamanya. Ia bersyukur ia telah memberikan ciuman pertamanya pada orang yang benar-benar disayanginya, yaitu Naruto.
Ia menatap langit sore yang berwarna biru kekuning-kuningan.
'Sepertinya hari-hariku akan kembali berwarna setelah Naruto-kun kembali,' pikirnya.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar