pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Today, my life is begins Chapter 5, Another begining

A/N: Fic ini dibuat oleh ahaine-sama dengan pairing sasusaku semoga kalian suka ;D  



"Aku mencintaimu,"
Adalah sebuah kalimat sederhana, sangat sederhana. Bahkan seorang balita yang baru diajari berbicara pun bisa mengucapkan untaian dua kata berakhiran 'u' itu.
Kalimat yang sederhana,
namun...
Mempunyai sejuta makna.
Biarkan hati berbicara. Hatimu, dan hatiku

Today, My Life Begins
NARUTO © Masashi Kishimoto
Genre: Frienship/Romance
Chapter 5: Another begining
Rated: T
.: oOo :.
"Enak sekali hidup mereka," Shikamaru menghela nafas ketika melewati sekumpulan cewek yang sibuk bergosip ria, kali ini tentang Haruno Sakura. Kemarin, iklan The Beauty diputar. Seisi sekolah gempar karena Haruno Sakura menduduki posisis teratas.
Shikamaru iri pada para gadis yang bisa santai. Ia sendiri, sebagai Ketua OSIS SMA Konoha, harus berkutat dengan tetek-bengek permasalahan sekolah yang sebenarnya tak terlalu penting. Dia menghentikan langkah ketika tiba di depan ruang OSIS, lalu membuka pintu kayu berpahatkan tulisan 'Ruang OSIS' dan masuk ke dalam ruang berukuran 5x6 meter itu. Sudah ada beberapa orang di dalam yang sedang duduk melingkar di lantai, dengan tumpukan kertas, proposal, laptop, alat tulis, serta barang-barang lain yang dibiarkan berserakan di antara mereka.
"Dokumen apa itu?" Tanya Temari, Bendahara OSIS, tanpa menoleh dari laptopnya setelah melihat sekilas Shikamaru dengan tumpukan kertas di tangannya.
Shikamaru menggeser buku-buku di samping Temari dengan kakinya dan duduk, lalu melihat deretan angka di Ms. Excel yang sedang dihitung Temari. "Proposal sponsorship dari The Beauty. Mereka ingin mengadakan penjurian kontes di sini saat festival. Dan Temari, hapus anggaran sewa meja dan kursi, sekolah sudah meng-ACC peminjaman itu."
"The Beauty? Kontes kecantikan itu?" Tenten, sang sekretaris, menghentikan kegiatannya membubuhi cap OSIS dan merampas proposal itu dari tangan Shikamaru lalu membacanya.
Shikamaru mengangguk pelan.
"Keren! Mereka menyetujui menjadi salah satu sponsor dan memberikan kita tujuh setengah juta. Wow. Wakil Ketua, hebat juga kontesmu ini." Tenten menyenggol pelan sang Wakil yang sedang membuatRundown acara festival yang akan diadakan dua minggu lagi.
"Tolak proposal itu!" Sakura, sang Wakil Ketua, bereaksi cepat ketika mendengar kata The Beauty. Ya, Haruno Sakura, cewek yang dikenal anti-sosial itu, adalah Wakil Ketua OSIS. Pada awalnya, Sakura bahkan tak peduli tentang OSIS, namun apadaya ketika sang Kepala Sekolah tau-tau saja menyuruhnya menjadi anggota OSIS. Dan setelah mengadakan voting, dia terpilih menjadi wakil. Sakura hanya bengong saja dulu ketika tau. Otaknya konslet.
"Lho kok?" Tenten mengerucutkan bibirnya mendapati reaksi si cewek berambut pink itu.
"Tolak. Jangan disetujui. Reject." Sakura menatap Tenten dari balik kacamatanya.
"Tunggu dulu, Wa-kil-Ke-tu-a," Sakura meneguk ludah pelan dan berbalik menghadap Temari yang kini menatapnya tajam. Sakura merasakan firasat buruk. Mereka berdua tak pernah akrab. Sejak dulu, dia tak pernah menang dalam adu silat lidah dengan Temari. Tapi kali ini aku harus menang, pikir Sakura.
"Ya?" Sakura memberanikan diri menatap mata Temari.
"Jelaskan kenapa kau menolak kerjasama itu," ujar Temari dengan nada tegas. Sering terlintas di kepala Sakura kenapa bukan dia saja yang menjadi Wakil, karena sifatnya pas sekali untuk menjadi Wakil yang tegas.
"Karena semua stand sudah penuh-"
"Kau tau benar itu bisa diatur."
"Acaranya akan mencolok-"
"Kau pikir kita tak butuh penonton?"
"Oke, oke. Memang acara ini memberi kita keuntungan. Kau tau sendiri dalam proposal kita jelas tertulis bahwa para sponsor akan mendapat timbal balik dari kita, dan dalam kasus ini, tujuh setengah juta? Jumlah itu jelas masuk Silver Sponsor, dan seharusnya logo mereka ada di poster, backdrop, maupun selebaran acara, kan? Tapi kita sudah setengah jalan dalam mencetak semua itu. Ingat komitmen, Temari." Sakura hampir tersenyum melihat perubahan wajah Temari. YES!
"Soal itu, tak perlu khawatir." Shikamaru berkata sambil menatap wajah Wakil dan Bendaharanya bergantian.
"Aku sudah merundingkannya dengan Ketua Acara The Beauty, mereka setuju kok dalam membantu dalam hal cetak-mencetak itu." Dengan satu kalimat itu, hancur sudah kemenangan sesaat Sakura. Nice, Shikamaru.
"Tapi..."
"Sudahlah, Sakura. Kau sendiri yang kemarin cerita, katanya salah satu sponsor utama kita membatalkan pemberian sponsor, kan? Kita akan kekurangan dana jika harus menolak sponsor dari The Beautyjuga. Kesampingkan urusan pribadi, Wakil Ketua." Kata-kata Temari sukses menohok Sakura.
Sakura menolak bicara dengan mereka semua sepanjang hari itu. Awalnya TV, sekarang sekolahnya.
Great.
.: oOo :.
Sakura menghela nafas panjang. Setelah perundingan alot antara OSIS dan dewan guru, akhirnya diperoleh juga izin untuk acara The Beauty yang notabene akan menyiarkan acaranya lewat TV dan internet. Sakura bahkan tak berani membayangkan apa yang akan diujikan oleh The Beauty nanti.
Sakura menatap gurat awan yang sudah berwarna kuning kemerahan, menandakan hari sudah sore. Tak heran lorong kelas sudah sepi, hanya samar-samar terdengar suara tawa dan derap langkah dari jauh. Sakura masuk ke ruang kelasnya yang kini telah kosong, hanya dirinya yang ada di sana. Ia berjalan pelan menuju mejanya. Yah, salah satu konsekuensi menjadi anggota OSIS adalah harus siap untuk tidak mengikuti jam pelajaran, terutama ketika harus mengurusi event sekolah.
Kau berhutang padaku, Haruno.
Begitulah kalimat yang tertulis di atas kertas kecil di meja Sakura. Di bawah kertas itu tersusun tiga buah buku; Bahasa Jepang, Kimia, dan Fisika milik Uchiha Sasuke.
Sakura menarik kursi di depannya, dan membuka buku milik cowok itu. Tidak terlalu rapi, menurut Sakura. Tapi jika dibandingkan dengan tulisan cowok pada umumnya, tulisan Sasuke bisa dikatagorikan rapi. Geli juga membaca tulisan orang lain. Sakura merasa seperti ada sesuatu di dalam perutnya yang menggelitiknya ketika membaca tulisan tangan Sasuke. Apa ya? Campuran rasa senang, geli, atau rindu? Entahlah.
Sakura mengalihkan pandangannya ke jendela, dari jauh ia bisa menangkap sosok Sasuke dan teman se-tim sepakbolanya yang sedang berlatih bersama.
Tanpa sadar, bibir gadis itu melengkung ke atas saat menatap pemuda itu yang tersenyum kecil setelah berhasil menggolkan bola di gawang lawan.
Sakura termenung. Dulu, saat ia melihat Sasuke sedang bermain bola, ia pasti ikut mendukungnya. Dan sesekali, setelah sukses mencetak angka, Sasuke akan berbalik dan tersenyum ke arahnya, membuatnya bahagia.
Oh, indahnya masa lalu.
Bagaimana dengan sekarang?
Jujur saja, Sakura tak menyukai dirinya yang sekarang. Ia tak suka menjadi orang yang cuek, ia ingin bersosialisasi dengan semuanya! Ia ingin menjadi dirinya, orang yang banyak bicara. Tapi semua itu dikuburnya demi menjaga image gadis berkacamata, karena ayolah, mana ada gadis jadul yang cerewet dan tau banyak soal mode? Sakura ingin kembali ke masa lalu.
There is it.
Sakura kembali menghela nafas. Bahkan setelah Sasuke memilih Ino, menyakiti hatinya, bahkan setelah Sakura berjanji pada dirinya sendiri hari itu, bahwa ia tak akan peduli lagi terhadap Sasuke, ia tetap tak bisa. Mau tak mau, matanya terus mengejar sosok itu. Lame, Sakura mengakuinya. Tapi tetap saja, matanya tak menuruti otaknya. Ia mensyukuri pilihannya memakai kacamata karena membuat Sasuke tak akan menyadari jika ia memandangnya.
Tapi ini bukan perasaan cinta, Sakura meyakinkan dirinya. Ia berdiri, memasukkan buku-buku itu, dan berjalan lurus.
Ia tak menoleh ke belakang.
.: oOo :.
Dua minggu adalah waktu yang singkat.
Hari ini, Minggu pertama di bulan November, dibuka dengan acara Festival Kebudayaan SMA Konoha. Seluruh sekolah di dekorasi dengan bermacam-macam hiasan, pernak-pernik, lukisan, poster, dan segala macam benda yang memperindah sekolah. Stand-stand di buka untuk umum. Semua panitia, baik OSIS maupun perwakilan kelas, sibuk bolak-balik memastikan segala hal sudah oke. Setiap kelas mendirikan acara masing-masing; ada yang membuat café, kelas drama, kelas menyanyi, obake (rumah hantu), kelas masak, cosplay, ataupun perpaduan dari beberapa acara di atas.
Sakura, yang kedapatan tugas menjaga pendaftaran ulang untuk lomba, bisa sedikit bernafas lega ketika tugasnya selesai. Kini ia hanya harus memastikan semua berjalan sesuai rundown yang sudah dibuat, dan menjaga agar suasana terkendali dan tak ada yang berkelahi.
Baru saja Sakura hendak melangkahkan kakinya ke sebuah stand makanan, seorang gadis memeluknya dari belakang. "Sakura-chaaaaan! Aku kangen!"
"Lepaskan aku, Karin." Sakura benar-benar merasa geli kepala Karin ada di lehernya. Setelah beberapa hari, Sakura sudah bisa terbiasa dengan Karin, dan sedikit menyukai sifat gadis itu yang ternyata sangat tegas dalam mengatakan sesuatu. Karin mengenakan baju terusan model Cina berwarna hitam, dengan motif bunga mawar merah di baju itu. Rambut panjangnya digerai indah, dengan kepangan kecil dari atas telinga menuju belakang kepalanya.
Sakura sendiri mengenakan kostum maid dengan warna dominan hitam diiringi warna putih. Panjang baju itu sepuluh senti di atas lutut, sehingga Sakura sangat bersyukur disuruh mengenakan kaos kaki putih sepanjang lutut yang berwarna putih bersih dan dipasangkan dengan pantoefel hitam legam. Di bagian leher disematkan sebuah dasi berwarna merah menantang, dan ditengah dasi pendek itu terdapat sulaman logo sekolah mereka, ukiran huruf K, H, dan S yang disusun sedemikian rupa dengan warna emas dan membentuk gambar diamond di tengahnya. Lace mengembang berwarna perak menghiasi lekuk-lekuk ujung baju itu; baik di bagian pangkal lengan, maupun ujung roknya. Di bagian dada kiri terdapat pin dengan diameter lima senti bergambar simbol OSIS.
Mereka berkeliling stand bersama.
.: oOo :.
"Sakura?" Sakura menoleh ketika namanya disebut. Entah karena apa, banyak sekali yang menyapa—ralat, memanggil namanya. Memang ada apa dengan dirinya?
"Tenten. Ada apa?" Sakura tersenyum kecil sambil menghampiri gadis bercepol dua itu yang mengenakan baju yang identik dengan dirinya sendiri—semua panitia mengenakan baju yang sama, putra berupa kostum butler hitam putih, putrid memakai kostum maid, yang membedakan hanyalah untuk OSIS menggunakan pin dengan simbol organisasi itu, sedangkan untuk perwakilan kelas menggunakan pin dengan gambar simbol sekolah mereka.
"Kau tampak… eem, berbeda." Tenten lalu meminta segigit Takoyaki yang baru saja di beli Sakura. Enak juga, batinnya. Ketika Tenten mendekatkan kepalanya ke Sakura untuk memangsa Takoyaki itu, semakin kuat 'keanehan' Sakura. Jika Tenten menutupi wajah Sakura—hanya bagian wajah—dengan kelima jarinya, dia merasa melihat tubuh seorang model. Lekuk tubuh itu proporsional, kulitnya putih susu, dan Sakura seperti tak canggung lagi mengenakan jenis pakaian seperti ini—benar-benar layaknya seorang model.
Seandainya kacamata jaman Meganthropus itu dilepas dan rambut ngaco itu dirapikan… Uuugh, Sakura, kau benar-benar tak bisa menghargai kelebihanmu! Tenten hanya bisa geleng-geleng kepala. Soal itu urusan belakangan, ada hal yang lebih mendesak yang harus dibicarakannya.
"Bisa kita ke tempat yang lebih tenang?" Tenten menatap Sakura sepintas, lalu menarik tangan itu. Salah seorang sound man baru saja memutar lagu Lady Gaga yang semakin membuat ramai suasana—bukan tempat yang pas untuk bicara.
Mereka duduk di sebuah kursi panjang di daerah belakang lorong sekolah yang jarang di lewati karena letaknya dekat dengan ruang panitia.
"Nah, ada apa?" Kata Sakura setelah keheningan sesaat di antara mereka. Tenten dari tadi hanya sibuk memainkan jari-jemarinya dengan muka yang agak memerah.
Tenten mengambil nafas sebelum berbicara. "Sakura, tolong bantu aku latihan Judo!"
"Eh?"
"Tolonglah. Kau jago dalam hal olahraga maupun beladiri, kan? Please?" Tenten memposisikan tangannya dalam pose memohon.
"Ke-kenapa?" Sakura hanya bisa bengong.
Tenten menatap lurus ke langit senja di luar jendela. "Begini, aku ada taruhan dengan senpai-ku. Jika aku bisa menang dalam lomba intern antar anggota putri di dojo-ku, dia akan mengabulkan satu permohonanku."
Tenten mengambil jeda sebelum melanjutkan, "aku ingin dia pacaran denganku."
Seandainya takoyaki Sakura masih ada, cemilan hangat itu akan langsung meloncat indah dari kerongkongan menuju udara.
Sakura mengurungkan niatnya bertanya darimana datangnya semangat untuk menang itu ketika melihat sorot mata Tenten yang penuh keyakinan. Digantinya pertanyaan itu, "Apa yang kau sukai dari senpai-mu itu?"
Tenten mengerjapkan mata beberapa kali lalu tersenyum lebar, "Apa cinta butuh alasan?"
Sakura menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia butuh jawaban yang lebih pasti. "Bagaimana caranya kau tau kau sedang jatuh cinta? Kangen? Kagum? Apa?"
Tenten tersenyum lagi mendapati reaksi uring-uringan rekan OSIS-nya itu. Saatnya jadi Mak Comblang deh. Padahal awalnya aku yang mau curhat. Ckck, yasudahlah…
"Ada yang kau sukai, Sakura?" Tanya Tenten langsung sambil tersenyum lebar.
"Nggak." Nampaknya Sakura menjawab terlalu cepat.
Tenten hanya mengangguk pelan. Aih, tipe jaim rupanya. "Oke, kalau nggak ada, mari kita berandai-andai, Sakura."
Sakura mengalihkan pandangannya dari pohon di luar jendela ke wajah gadis di sampingnya. "Maksudmu?"
Tenten memukul pundak Sakura pelan. "Ckck, kau ini. Sebagai cewek, kau pasti juga punya tipe cowok idaman, kan? Ceritakan padaku!"
Sakura nampak menengadahkan kepalanya ke langit-langit, seolah mencari sesuatu. "Emm… Entahlah. Yang jelas, dia harus mengerti diriku; kapan aku sedih atau senang, aku ingin dia mengerti keadaan diriku tanpa aku harus berkata apapun."
Tenten tersenyum. Kau dan Uchiha jelas punya telepati yang bagus, kalau tidak bagaimana kalian bertengkar, eh, Sakura?
"Syarat yang wajar, kawan. Aku setuju." Tenten berusaha bersikap wajar.
Sakura melanjutkan, "Lalu aku ingin dia orang yang atletis, apalagi jika ia suka berbagai macam olahraga sepertiku, tak hanya di salah satu cabang saja."
Kudengar Uchiha jago di semua cabang olahraga. "He-eh. Aku juga mau, Sakura."
"Lalu, aku ingin dia mempunyai wajah yang sanggup membuat orang-orang menoleh ke arahnya, oh ya, kalau bisa, aku lebih suka tipe orang yang tenang, lebih banyak bertindak daripada berbicara." Sakura lama-kelamaan nampak seperti sedang berbicara ke diri sendiri.
Uchiha lolos syarat ini juga. "Syarat cowok idola, eh?"
"Lalu, aku ingin dia orang yang tekun dan cerdas. Bagiku, selalu menyenangkan berbicara dengan orang yang cerdas, karena pasti wawasannya luas."
Uchiha bahkan berada pada taraf jenius. "Ya ya, sebagai cewek kita harus sedikit jual mahal."
Sakura lalu menatap Tenten, "Dan yang paling penting, aku ingin dia menyukai diriku yang apa adanya. Aku dengan segala kekuranganku. Tanpa kepura-puraan, tanpa rahasia. Aku ingin kami bisa tetap tertawa bersama bahkan setelah salah satu dari kami melakukan kesalahan."
"Kau mempunyai standar yang mengagumkan, Sakura." Tenten mengacungkan jempolnya ke gadis berambut merah muda di sampingnya.
Sakura tersenyum kecil, lalu kembali menatap jauh ke langit sore. "Apakah orang seperti itu benar-benar ada, Tenten? Orang yang tercipta untukku? Apakah benar-benar ada orang yang bisa membuatku berpikir, 'Ah, Ini dia orangnya' ketika kami bertemu nanti?"
Tenten tersenyum sambil menepuk pundak Sakura, lalu berdiri. "Aku yakin ada, Sakura. Dan besok kau harus mulai mengajariku Judo lho!"
Tenten sudah setengah jalan ketika kemudian berbalik sebentar ke arah Sakura. "Sakura, jangan bohongi hatimu. Jangan sampai kau menyesal nanti."
Sakura hanya diam.
Bohong? Aku nggak menyukai Uchiha bodoh itu! Pikirnya sambil menatap punggung Tenten yang semakin menjauh.
Aih, Sakura… Tenten tak pernah sekalipun menunjuk pada siapa kata-kata itu ia lontarkan, kan?
.: oOo :.
Sakura benar-benar merasa dongkol. Kenapa banyak sekali yang lupa akan fungsi tempat sampah? HALO, sejak kapan lantai ditetapkan sebagai tempat pembuangan terbaru? Dia dan panitia festival terpaksa mendapat profesi tambahan baru : panitia slash tukang sampah. Benar-benar not so cool.
Gadis berkacamata itu berjalan pelan sambil menghisap pelan permen gulali-nya. Akhirnya, setelah dua jam penuh berbungkuk-bungkuk ria memungut sampah, ia mendapat jatah istirahat. Tak terasa, hari sudah malam—pukul delapan malam tepatnya. Festival ini memang adalah proker terbesar tahun ini, dan acaranya benar-benar sampai subuh nanti.
Langkahnya terhenti di sebuah ruang kelas di lantai tiga sekolah itu. Awalnya, ia berniat bersantai sejenak dengan Hinata dan para peserta kontes The Beauty lain di atap, namun ia melihat sosok seorang di balik bayangan yang terpantul dari cahaya bulan yang masuk ke jendela ruang kelas Seni Musik. Perlahan, ia geser pelan pintu ruangan di depannya karena terdorong rasa penasaran.
Gelap. Itulah kesan pertama Sakura ketika pantoefel-nya menjejak ruangan itu. Mata emerald-nya menyusuri ruangan bernuansa warna biru yang kini hanya terlihat samar-samar warnanya, dan sedikit terkejut ketika sepasang mata Onyx balas menatapnya.
Uchiha Sasuke ada di ruangan itu, duduk di atas kursi di dekat jendela, tubuhnya nampak bersinar diguyur cahaya bulan yang menyusup masuk dari balik jendela, dan kedua bola matanya mengamati Sakura dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Refleks, kedua tangan Sakura menutupi tubuhnya, walaupun tanpa ia lakukan pun bajunya masih terpasang manis di tubuhnya.
"Apa yang kau lihat?" Tanyanya dengan nada yang diusahakannya segalak mungkin. Ia buru-buru mencerna gulali yang masih bersarang di mulutnya. Sasuke bergeming, ia tetap menatap Sakura dengan pandangan mata yang tak bisa Sakura artikan, membuat Sakura merinding.
Sakura berbalik, menyesali pilihannya masuk ke ruangan itu.
"Sakura," ucapan dari sang Uchiha membekukan Sakura di tempatnya berdiri, kaget karena suara Sasuke yang terdengar tegas dan terkesan dalam ketika menyebut nama kecilnya.
"Ya?" Sakura tak berbalik menatap Sasuke, ia lebih menatap kusen pintu.
Entah sejak kapan, Sasuke tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya, mengapit tubuhnya dengan kedua tangannya. Membuat Sakura menjerit kecil, "Eek!"
"Lepas… Minggir… Apa yang…-aku…-kau…" Sakura bahkan tak mengerti apa yang mulutnya lontarkan. Tenang, Sakura. Otaknya berkali-kali mengingatkannya supaya tak panik. Sakura bisa merasakan nafas Sasuke di telinganya, membuat kerja jantungnya berdetak beberapa kali lipat dari biasanya.
Sakura mengepalkan tangannya untuk mengumpulkan keberanian, lalu tangannya menuju gagang pintu. Jarak tangannya dan gagang pintu itu hanya tinggal 0,001 mm lagi ketika giliran tangan Sasuke yang menghentikan tangannya.
"Jangan," bisik Sasuke pelan. Samar-samar Sakura mencium bau wine dari mulut Sasuke ketika tadi ia berbisik. Agak lega karena akhirnya tau alasan di balik keanehan sikap Sasuke, Sakura mendapatkan lagi kekuatannya yang tadi hilang entah kemana. Ia memukul perut Sasuke dari belakang dengan sikunya, dan membuat cowok berambut raven itu sedikit terhuyung ke belakang, kedua tangan yang mengapit Sakura terlepas.
Saat itu, terdapat pilihan bagi Sakura untuk pergi dan meninggalkan si bungsu Uchiha itu sendirian di ruangan yang memang jarang dilewati orang ini, namun harga dirinya sebagai Wakil Ketua OSIS tak mengijinkannya. Ia berbalik, berjalan menghampiri kursi yang sedari tadi diduduki Sasuke. Benar saja, terdapat beberapa botol wine yang kini telah kosong tergeletak di bawah meja.
Sakura mengacungkan permen kapas gulali-nya ke arah Sasuke. "Uchiha, jelaskan apa maksud semua ini." Sakura berkata dengan nada galak sementara salah satu kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tak sabar.
Sasuke berjalan pelan ke arahnya, lalu menjatuhkan dirinya di atas bangku kecil di samping sebuah piano hitam di ruangan itu. Sasuke menekan tuts-tuts piano itu secara acak dengan jari telunjuknya, menghasilkan nada yang tak beraturan.
"Uchiha." Sakura menggeram pelan, jengkel karena dihiraukan. Gadis kecil itu berjalan mendekati Sasuke, permen gulalinya habis, seperti pula kesabarannya.
Tanpa disangka oleh Sakura, Sasuke tersenyum ke arahnya. Bukan senyum mengejeknya yang selama ini dikenakannya, senyum tipis ini terlihat begitu tulus. Sukses membuat wajah Sakura seketika itu memerah, entah karena marah karena pertanyaannya dihiraukan, atau karena melihat senyum Sasuke yang entah sudah berapa tahun tak dilihatnya, atau mungkin saja kombinasi keduanya.
Belum sempat otaknya bisa mencerna apa yang terjadi, tangan Sasuke meraih tangannya, menariknya mendekati sang pemuda ber-iris onyx. Tau-tau saja, mereka sudah duduk bersebelahan, menghadap piano hitam di ruang musik itu.
"Uchiha, kau benar-benar mabuk." Kata Sakura setelah mengamati kedua bola mata Sasuke secara cermat. Bukan hanya itu, dari nafasnya pun Sakura bisa merasakan aroma alkohol.
Sasuke menyeringai kecil, membuat Sakura heran dengan perubahan sikap drastis pemuda itu.
"Mungkin saja," ucapnya tak peduli.
"Kau tak mungkin benar-benar berpikir aku akan mengikuti permainanmu, kan? Ingat realita, Uchiha." Sakura berkata dengan nada mengejek.
"Kalau begitu, jangan berpikir. Anggap ini ilusi," Sasuke menatap bayangan wajah mereka yang samar-samar terpantul di lekukan hitam piano itu. Jari-jemari itu menekan tuts piano di depannya dengan lembut, namun juga tanpa keragu-raguan. Sakura hafal benar intro ini karena dulu sering memainkannya, lagu Twinkle-Twinkle Little Star. Sejak kecil, mereka sering memainkan lagu itu bersama. Dulu, Sasuke memainkan piano, Hinata bermain harmonika, Ino memainkan biola, dan Sakura berolah vokal. Lagu sederhana yang mengandung sejuta kenangan. Mengundang cerita, mengundang rindu. Lagi-lagi, tanpa disadarinya, Sakura sudah bernyanyi, mengeluarkan kata-kata bernada yang disusun harmonis. Selama beberapa menit, hanya harmonisasi suara vokal dan lentingan nada-nada yang mengalir dari tuts piano saja yang terdengar.
Dan ketika kolaborasi nada dan suara itu usai, keduanya larut dalam kebisuan. Sakura lagi-lagi merasakan atmosfir itu, atmosfir aneh yang dirasakannya setiap kali berada dekat dengan Uchiha Sasuke. Keberadaannya memang abstrak, aneh, di luar logika. Namun bukan berarti tak ada. Sakura tak berani mengaitkannya dengan lima huruf berawalan 'c' itu. Tidak, tidak.
Ah, sekuat apapun menyangkal, toh atmosfir itu tetap ada.
Sakura menggigit bibir bawahnya. Ia bimbang di antara dua pilihan; berpura-pura menutup mata dan tetap tinggal di sini, atau kembali menjadi dirinya yang biasa yang mana pasti akan langsung pergi dari ruangan ini.
Sadar, Sakura! Dia itu Uchiha Sasuke, orang yang menghancurkan hatimu dulu! Hatinya mengingatkan.
Tapi toh dia terus ada di sisimu, kan? Sisi lain hatinya melawan.
Kenyataannya dia sudah memilih Ino. Hatinya balas menyindir.
Tak ada salahnya dengan kesempatan kedua. Sisi bijak hatinya berkomentar.
Apa dulu dia memberimu kesempatan kedua? Jangan naif! Dan dengan kalimat itu, pertarungan hati Sakura berakhir.
Sakura tiba-tiba berdiri, mengagetkan Sasuke yang nampaknya juga sedikit larut dalam romansa tadi. Dengan sedikit bergetar, Sakura berjalan cepat, meyakinkan hati untuk tak menoleh, tak tergoda dengan nafsu sesaat.
Lagi-lagi, tangan Sasuke menghentikannya.
"Uchiha, lepaskan aku," Sakura benar-benar tak tau apa yang harus dilakukannya. Sial, Sakura, jangan kelihatan lemah seperti ini didepannya!
Sasuke tak menjawab. Sebaliknya, ia menarik lagi tangan Sakura dengan sedikit hentakan, sehingga kini gadis itu berbalik menghadapnya—dengan muka tertunduk.
Sasuke menggeram pelan mendengar cekikan tertahan Sakura. Bukankah sudah menjadi hukum tak tertulis baginya, bahwa ia tak boleh melukai gadis itu? Bukankah sejak ia menyadari bahwa ia menyukai gadis itu dulu, ia berjanji untuk tak membuat gadisnya itu sedih, apalagi menangis? Sasuke sendiri tak paham benar apa yang membuatnya menaruh hati pada gadis berambut merah muda ini. Bertahun-tahun lalu, saat ia tersadar, tau-tau saja perasaan itu sudah hadir di dalam hatinya. Perasaan abstrak yang dikiranya hanya ilusi itu ternyata benar-benar ada. Bahkan setelah gadis bermata emerald itu memakai kacamata tebal dan mengepang rambutnya sehingga tampangnya tak menarik perhatian orang lain, bahkan setelah perubahan sikap drastis gadis itu, bahkan setelah adanya jurang yang menganga lebar di antara mereka, toh Sasuke menyadari dirinya tetap menaruh tempat spesial bagi gadis itu di hatinya. Dan gadis itu tak perlu tau.
Brengsek, justru dirimulah yang selalu membuat gadis itu terluka dan menangis. Semua itu hanyalah hal yang kau katakan pada dirimu sendiri untuk menguatkan hati, sebuah penyangkalan bodoh, Uchiha Sasuke.
Hatinya tersenyum miris.
Dia akui, dirinya memang tak pandai berkata-kata. Pada akhirnya, ia hanya bisa melontarkan kata-kata yang melukai hati gadis itu. Kadangkala, ia merutuki nasib keluarganya yang seperti kekurangan stok ekspresi dalam DNA mereka.
Manusia adalah makhluk yang tak pernah merasa puas. Kini Sasuke mengerti mengapa orang-orang terdahulu bisa mengatakan hal seperti itu. Ia sendiri kini merasakannya. Di dalam kegelapan malam, merenung sendirian dalam diam ditemani sebotol—ralat, beberapa botol wine sebagai pelampiasan rasa stress karena keputusan ayahnya yang tak bisa diganggu gugat, di ambang kesadarannya ia berharap Sakura ada di sampingnya. Dan permohonan itu terkabul; Sakura dengan sedikit keajaiban datang ke ruang ini. Ia lalu berandai-andai mereka sedikit bisa bersikap seperti di masa lalu. Itu pun terkabul; mereka bisa bermain musik bersama. Dan keinginannya semakin menjadi-jadi. Di asisteni dengan pengaruh alkohol dari wine yang diminumnya, ia kini ingin memeluk gadis itu.
Kendalikan dirimu, batinnya mengingatkan. Sasuke menghela nafas panjang. Ia harus melepaskan tangan gadis ini. Anehnya, Sasuke bisa merasakan aroma wangi bunga Sakura yang dulu ia rasakan ketika berada di dekatnya. Aroma ini begitu nyata. Juga kehangatan yang ia rindukan kini terasa ada dekapannya.
Dan ia tersadar. Mengerjapkan mata berkali-kali untuk mencari realita.
Oh crap.
Ia memeluk gadis itu.
Sakura menahan nafasnya, seakan takut jika ia bernafas sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Ia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi sia-sia saja. Tubuhnya lemas, otot-ototnya seperti kehilangan koordinasi geraknya begitu saja. Ia berpelukan dengan orang yang selama setahun belakangan ini dihindarinya.
Ia benci merasa lemah seperti ini. Oh ayolah Sakura, sertifikat Dan-tiga serta catatan rekor pertandingan beladiri dan olahraga-mu bisa tertawa padamu kalau begini! Ia menguatkan hatinya. Haruno Sakura, sabuk hitam karate dan kempo, seorang dan-tiga judo, sang Wakil Ketua OSIS SMA Konoha, tak boleh menangis. Jangan perlihatkan kelemahanmu!
Sakura merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipinya. Airmata itu jatuh juga akhirnya. Apa yang kau tangisi, Sakura? Tanyanya pada diri sendiri.
"Kau menangis," orang yang menjadi sumber pertarungan hati Sakura berucap pelan sambil mengusap airmata yang jatuh itu dengan tangannya. Sakura kembali menghirup aroma alkohol dari mulut Sasuke. Ia masih mabuk, pikirnya yang entah kenapa membuatnya sedikit… kecewa?
Sakura mendorong Sasuke dengan kedua tangannya dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
Ia berlari keluar ruangan itu sekuat tenaga, walaupun tau bahwa Sasuke tak mungkin mengejarnya. Tapi tetap saja, ia hanya ingin berlari.
Sasuke mengacak-acak rambutnya frustasi sambil meneguk tetes terakhir dari wine yang ada di ruangan itu. Penyebab segalanya.
"Sial," umpatnya pelan sambil menatap botol kosong itu, seolah menyalahkan benda itu atas semua yang terjadi.
.: oOo :.
Sakura merutuki dirinya sendiri. Dia terlalu bodoh, terlalu gegabah. Satu, dia nekat masuk ruangan itu. Dua, dia menyia-nyiakan kesempatan untuk pergi dari sana. Tiga, ia terbuai masa lalu.
Yang lebih ia sesali? Ia membalas pelukan Uchiha Sasuke.
Yang paling ia sesali? Ada bagian hatinya yang merasa bahwa hal itu bukanlah hal yang salah.
Derap langkah pantoefel Sakura bergema di sepanjang lorong itu, ia berjalan dengan tempo yang tak berirama, kadang pelan, kadang pula cepat.
Dan di persimpangan lorong itu, ia berhenti. Terjatuh ke lantai begitu saja.
Oh great, Nona Haruno, ejeknya pada dirinya sendiri.
Kau kalah.
Hampir kalah.
.: oOo :.
Suasana di atap sekolah itu penuh dengan gegap gempita pesta kecil yang di adakan oleh panitia The Beauty, karena kontes kali ini adalah babak terakhir dalam penjurian. Pesta ini diharapkan agar para peserta sedikit rileks dan saling mengakrabkan diri, dan terbukti sukses. Suasana di antara peserta tampak hangat dan gembira.
Udara dingin itu serasa menusuk kulit, namun dihiraukannya rasa itu. Rambut indigo-nya bergoyang pelan seiring dengan hembusan sepoi-sepoi angin malam itu. Hinata duduk sendirian di sebuah meja di tempat itu, hanya suasana di sekitarnya saja yang nampak suram.
Bunyi busa bergemerincing, satu champagne lagi telah di buka. Hinata hanya memandang bintang sementara gadis-gadis lain sibuk mengakrabkan diri sambil mengicipi makanan dan minuman yang tersedia.
Bulan, apa yang kulakukan ini benar? Tanyanya dalam diam.
Kepala Hinata refleks menoleh ke arah pintu ketika pintu itu terbuka dan Uzumaki Naruto, pemuda berambut pirang itu masuk ke sana. Dia tersenyum kecil dan menghampiri Hinata setelah sebelumnya sedikit cipika-cipiki dengan beberapa gadis yang menyapanya.
"Maaf lama, Hinata-chan. Tadi aku menemani Teme—eh, Sasuke mencari kelebihan wine untuk pesta ini. Dia kelihatan kacau," Naruto menggelengkan kepalanya pelan.
Hinata tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Obrolan itu mengalir begitu saja. Naruto benar-benar tak mengerti apa yang terjadi dengan jantungnya. Setiap kali dekat ataupun sedang menatap mata Hinata, perasaan itu datang membuncah.
"Indah," kata Hinata sambil menatap langit yang hari itu dipenuhi dengan gemerlap bintang diantara gelap malam. Hinata mulai menceritakan tentang rasi bintang pada Naruto yang perhatiannya tak tertuju pada apa yang gadis itu bicarakan. Perhatiannya tercurah pada gadis yang sedang bercerita.
"Cantik, kan?" Tanya Hinata, menunjuk salah satu bintang di langit.
"Cantik sekali," jawab Naruto. Hinata tak menyadari Naruto berbicara sambil menatapnya dan bukan bintang itu.
Hening lagi.
Hinata meremas rok-nya pelan dengan kedua tangannya. Kau bisa, Hinata.
"Naruto-kun, terimakasih untuk tiga bulan ini," ujar gadis itu.
"Eh?" Untuk sesaat Naruto nampak tak mengerti. Kemudian ia sadar, ini soal uji-coba-pacaran-tiga-bulan. Naruto sendiri baru sadar ia bisa pacaran selama itu. Naruto nampak agak gugup, "Begini, Hinata-chan…"
"Stop," Hinata meletakkan jari telunjuknya di bibir Naruto. "Jangan katakan apa-apa."
Kedua iris berbeda warna dua insan itu bertemu. Saling memandang lekat, seolah mencoba menyelami pikiran masing-masing. Hinata menyerah, ia tak bisa membaca pikiran Naruto.
"Bye-bye," Hinata berdiri, dan berjalan menjauh.
Naruto sama sekali tak berkedip menatap sosok Hinata yang semakin menjauh. Pada akhirnya, tak ada yang sanggup menawan hati sang cassanova, kan? Ia menatap bulan, yang malah mengingatkannya kembali akan sesosok gadis bermata violet indah.
Atau ada?
.: oOo :.
Malam itu, Ino tak menghabiskan waktunya di atas atap sebagaimana gadis-gadis lainnya. Ia masuk ke salah satu stand yang didirikan kelas lain, yaitu Rumah Labirin. Setiap melangkah, dimanapun ia menyapukan pandangannya, yang terpantul disana tetap sosok yang sama; seorang gadis berambut pirang dengan iris mata aquamarine yang teduh. Sebenarnya, ia dan Sasuke orang yang mirip; mereka sama-sama sulit mengungkapkan apa yang mereka pikirkan, cerdas, menguasai berbagai hal, dan tidak begitu suka menjadi pusat perhatian.
Lalu apa yang salah?
Sakura begitu berbeda dari dirinya dan Sasuke. Gadis bermata emerald itu lebih suka langsung mengatakan apa kata hatinya, tak mau kalah, dan senang bergaul dengan siapa saja. Lalu kenapa Sasuke memilhnya? Ino menghela nafas, mengamati wajah sendu yang balas memandangnya dari balik kaca. Kemarin, ia lagi-lagi ditolak Sasuke. Pemuda itu nampaknya sudah bertekad untuk tak berhubungan dengannya lagi.
Saat dua orang yang bertolak belakang saling berinteraksi, akan timbul dua reaksi, yaitu menolak atau justru saling tertarik. Sasuke memilih untuk menyukai Sakura. Kalau aku, apa yang akan kupilih?
Hei Sakura, mana yang kau pilih?
Jawaban manapun, tak mengubah kenyataan bahwa hatinya kini telah hancur.
.
Malam itu, tiga gadis menitikkan air mata dalam keheningan cahaya bulan.
.: oOo :.
"…-Dan selanjutnya, mari kita sambut Umemiya Hikari!" Tepukan riuh membahana di lapangan SMA Konoha seiring dengan munculnya gadis berambut pirang panjang yang memakai baju balet dan seiring mengalunnya lagu, ia bermain ballet. Lapangan tengah SMA Konoha telah disulap menjadi sebuah arena konser dengan pusatnya sebuah tratak besar yang didirikan berukuran 10x10 meter, dan tingginya 2,5 meter. Panggung itu bernuansa warna emas yang berwarna putih cerah, kontras dengan warna awan yang hitam kelambu karena matahari bersembunyi. Di sudut-sudut tertentu lapangan itu, kamera-kamera terpasang, siap untuk menyiarkan final kontes itu, yang kini telah terpilih 20 gadis.
Sakura, Hinata, Ino, dan Karin lolos tentu saja.
Kontes tahap terakhir itu sendiri terdiri dari dua babak; babak pertama para peserta dibebaskan menampilkan kemampuan mereka, dan dari situ akan dipilih lima peserta yang akan masuk ke babak kedua. Di babak kedua sendiri, para peserta akan tampil dan berperan menjadi seorang pengantin memakai sebuah wedding dress yang didesain langsung oleh para desainer ternama di negeri itu. Dan lima orang peserta terakhir yang terpilih akan memakai sebuah wedding dress dan penampilannya akan disiarkan langsung ke seluruh Jepang, dan penjurian akan dilakukan via voting lewat internet dan telepon.
.: oOo :.
"Kau jahat, Hinata! Aku nggak mau dengar lagi!" Sakura menepiskan tangan Hinata dan pergi dari ruangan ganti para peserta yang terletak di balik panggung. Ketika sedang berkeliling memeriksa stand, ia bertemu dengan Pak Yamato, dan ia memberitahu Sakura jika Hinata sudah memutuskan untuk pindah sekolah sejak sebulan yang lalu, dan kaget karena Sakura selama ini belum tau.
Dan ketika ditanyakannya hal itu ke sahabatnya, sang gadis berambut indigo itu mengkonfirmasinya dengan mengangguk lesu.
Mereka bersahabat sejak kecil, dan Hinata menyembunyikan hal sepenting itu darinya. Amerika Serikat. Sebuah negeri di benua lain yang entah berapa mil jaraknya dari Jepang. Hinata akan pindah ke sana untuk mempersiapkan dirinya menjadi penerus keluarga. Besok. BESOK. Jika dihitung, bahkan waktunya kurang dari 12 jam lagi di Jepang.
Jahat.
Sakura tak terlalu memperhatikan kondisi jalan saat itu, karena matanya sedikit buram oleh airmata. Akhirnya, ia menabrak seseorang. Dan keduanya terjungkal.
Karin memandang burger-nya yang kini jatuh berserakan di lantai. Usahanya berdesakan mengantri selama setengah jam berakhir dengan jatuh begitu saja. Great. Urat-urat emosi mulai muncul di wajahnya. Niatnya untuk mendamprat orang yang menabraknya itu hilang ketika ia menyadari siapa orang itu. "Sakura-chan? Hei, kenapa kau menangis? Sakura-chan? Hei, Haruno?"
.: oOo :.
Ada lima jenis persahabatan, yang pertama…
"…-Begitulah," Sakura menceritakan perihal kepindahan Hinata. Mereka berdua kini berada di tempat yang sama ketika Sakura berbicara dengan Tenten beberapa jam yang lalu.
Karin meneguk isi minuman kaleng ditangannya sampai habis. "Kau itu ternyata egois, ya?" Ujarnya pelan.
Alis Sakura berkedut. "Apa maksudmu?"
"Egois. Kau pikir, siapa yang paling menderita saat ini?" Karin sukses melempar kaleng kosong itu ke tempat sampah.
Ini JLEB banget. Sakura mendesah pelan. "Aku ini temannya, sahabatnya! Dia menyembunyikan hal sepenting ini dan bersikap biasa saja, padahal keputusan pindah sekolah itu sudah dibuat sejak sebulan yang lalu. Dan dia pergi besok! Oh sial, jika aku nggak mendengarnya dari Pak Yamato, dia pasti pergi diam-diam. Dia pikir aku nggak sedih apa, aku-"
Karin memotong kata-katanya. "Baka. Inilah alasannya gadis kerempeng itu nggak bilang apa-apa sama kamu. Kau itu tak mau terluka dan disalahkan, Sakura-chan."
Sakura berbicara dengan nada sedikit emosi. "Kau jangan bicara seakan tau segalanya."
Karin mengangkat bahu. "Oh yeahSo What? Aku awalnya berpikir sepertinya menyenangkan berteman denganmu, sekarang aku tarik kata-kataku itu. Kau anggap apa si Hyuuga?"
"Hinata itu sahabatku yang paling dekat! Dia bersikap seakan tak ada apa-apa. Aku terlihat seperti orang bodoh selama ini!"
Karin menunjuk Sakura dengan jari lentiknya. "Itu salah satu bukti keegoisanmu, Haruno. Kau terus mengulang-ulang pola 'dia-sahabatku-aku-dibohongi' kan? Kau bilang kau terluka? Jangan manja! Kau pikir bagaimana perasaan si Hyuuga itu, harus berjuang sendirian di negeri yang sama sekali tak dikenalnya? Dia pasti stress! Walaupun begitu, ia tetap berusaha bersikap normal. Aku kagum padanya. Kalau aku, mungkin aku tak kuat akan tekanan seperti itu."
"Kan ada aku. Aku bisa-"
Lagi-lagi Karin memotongnya. "Nyatanya? Kau di sini, marah padanya. Dia tak memberitahumu pasti karena dia bisa mengira reaksimu akan seperti apa, kan? Kau bilang kalian bersahabat. Coba katakan, bagian mananya yang persahabatan? To hell with that shit. Kau membiarkannya menanggung semuanya sendirian."
Sakura hanya bisa terdiam sambil mencerna perkataan Karin secara amat perlahan.
Sial.
"Tapi kau bisa kan mengatakannya dengan lebih halus?"
"Kau tak akan mengerti jika tak dikasari, Haruno!"
"Apa maumu?"
Karin menjawabnya dengan berjalan pergi menjauhi Sakura.
Saat itu, keduanya terlalu dilanda emosi. Tak ada yang mau mengalah. Tak ada yang mau disalahkan.
Karena ada kalanya, dua orang teman yang berselisih pendapat bisa begitu saja berpisah jalan.
from friends to enemies
.: oOo :.
Yang kedua…
"Mari kita sambut, Hyuuga Hinata!" Teriakan riuh pun menggema di lapangan itu. Para penonton pun terpesona ketika Hinata dengan gaun-nya yang berwarna putih berkilau menaiki tangga, kaki jenjang-nya terlihat menapak dengan memakai siluetto berwarna perak dengan hak setinggi 10 cm. Ujung sepatu itu sangat tajam, tak heran dinamakan siluetto, yang artinya silet.
Hinata memainkan harmonika-nya.
Nada-nada bening nan indah teralun dari benda kecil itu. Untaian nada yang sejak intro-nya saja sudah membuat yang mendengar merasa ceria, bahagia, dan bersemangat.
Ada yang salah. Begitulah pemikiran sebagian orang yang sudah memahami musik. Orang awam mungkin tak menyadarinya karena terdengar menakjubkan, tapi di balik nada ceria itu terdapat sebuah kesedihan tertahan.
Setelah lima menit, suara itu lambat laun berubah. Gambaran kegembiraan mulai pudar. Tempo cepat itu mulai melambat.
Apa yang sebenarnya kulakukan? Pikiran Hinata mulai melayang kembali ke kenangannya bersama Sakura, Sasuke, Tenten, Niji, Lee, Shikamaru, Naruto… semuanya. Ia begitu senang melewati hari-harinya disini.
Aku takut. Gadis berambut biru tua itu menggigit bibirnya dengan keras, berusaha keras menahan tangisnya. Tanpa sadar mata Hinata mencari sosok Naruto dari atas panggung, mata amethyst-nya bertubrukan dengan mata biru cemerlang yang nampak khawatir.
Kau mengkhawatirkanku? Ada rasa hangat yang menggelitik tubuh Hinata. Sejenak, alunan Harmonika itu sempat melembut nadanya, namun menjadi down lagi ketika ia menyadari bahwa ia selama ini berharap terlalu banyak.
Ia menghindari tatapan pemuda itu.
Sakura-chan, maaf. Alunan nada itu berhenti. Wajah cantik itu tertunduk lesu. Para penonton yang melihatnya nampak bertanya-tanya, apakah ini bagian dari show apa bukan. Hinata hanya diam mematung dan tak menyadari ada sosok lain yang kini berdiri di sampingnya.
Sakura menyanyikan lanjutan lagu Hinata yang terputus di tengah jalan itu. Nafasnya sedikit tersengal karena tadi berlari, namun tak mengurangi keindahan nada yang keluar dari bibir mungil itu. Suara yang membawa Hinata kembali dari lamunan penyesalannya. Ia sontak mengangkat kepalanya dan menangkap sosok Sakura yang masih mengenakan kostum maid-nya. Kepangannya telah terlepas, rambut pink sebahu itu tergerai dengan indah dan nampak apik di tubuhnya. Dan karena efek cahaya, iris mata sehijau zamrud itu terlihat jelas menembus kacamatanya. Menampakkan keelegansiannya. Membuat semua orang takjub dan terpukau. Haruno Sakura yang selama ini mereka kenal jadul, disangka buruk rupa, serta memancarkan aura suram itu kini tampil berbeda.
"Sakura-chan," perkataan pelan Hinata ini sukses membuat para siswa kaget—terutama yang sudah mengenal Hinata dan Sakura.
"Kau Haruno Sakura?" Terdengar beberapa suara keras dari bangku penonton.
Pertanyaan lain yang lebih terdengar yaitu, "Oh what the—? YOU ARE SO FUC*ING BEAUTIFUL!"
Sakura melempar kacamatanya itu dengan asal, tak peduli lagi soal penampilannya. Ah, masa' bodo dengan aturan kontes ini.
Sakura tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya. Membuat jantung kaum adam seketika itu berdegup kencang. Oh, apa yang sebenarnya terjadi?
Sakura sudah memutuskan untuk tak lagi bersembunyi. Tak ada lagi kepura-puraan.
"Sakura-chan, kenapa kau disini?" Bisik Hinata dengan suara panik.
Tiap peserta dilarang saling bekerjasama ketika sedang tampil, dan jika terjadi...
Sakura menganggukkan kepalanya sedikit. Ia sudah sadar akan konsekuensi perbuatannya. Sakura membentuk tanda OK dengan tangannya ke Hinata.
Dan Hinata tersenyum lega. Sakura memaafkannya. Simfoni nada-nada itu bersatu, kembali meniupkan cahaya kehidupan di tengah cahaya malam.
Lagu itu kini telah usai dimainkan dan direspon dengan standing applause yang meriah dari para penonton yang melihatnya. Kombinasi permainan harmonika Hinata dan suara vokal Sakura sangat indah, keindahan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Hinata dan Sakura berlari keluar, dan mereka berdua menoleh ke belakang sambil tersenyum dan berkata, "Kami mengundurkan diri dari lomba."
maka mereka akan langsung didiskualifikasi.
Sakura dan Hinata tak mempedulikan suara kecewa para penonton yang kebanyakan adalah teman sesekolahnya, gelengan kepala dari Tsunade dan Gay, serta kekehan pelan Sarutobi.
Dan derap langkah pantoefel dan siluetto berpadu dengan tempo yang semakin cepat dan cepat, lalu akhirnya menghilang.
forever friends
.: oOo :.
Ino menatap pantulan dirinya di cermin. Tubuh ramping itu kini telah terbalut oleh balutan kain wedding dress indah. Rambut pirang pucatnya menjuntai bebas kebawah, kepangan kecil dari atas telinga menuju bagian belakang kepalanya itu diselingi dengan bunga-bunga kecil imitasi berwarna pink, kuning, dan putih seperti warna gaunnya. Kerudung dan tiara berkilau mempercantik penampilannya.
"Yamanaka-san, silahkan." Suara salah satu karyawan memaksanya kembali ke realita. Ino masuk sebagai salah satu dari 5 peserta yang lolos ke babak final tahap dua, akhir dari kontes The Beauty. Ia, Karin, Anko, Rin, dan Hikari. Ino mendapat urutan maju terakhir berdasarkan undian yang diambilnya.
Ia menyentuh bunga pink di kepalanya. Bunga-bunga itu tampak lebih mencolok dibandingkan warna lainnya walaupun jumlahnya sedikit. Ternyata wajahnya tak rusak. Ino merasakan ada beban berat yang kini lepas dari pundaknya. Sebenci apapun Ino pada Sakura, ia mengakui dulu ia benar-benar keterlaluan. Itulah sebabnya ia tak mencegah kepergian Sakura yang disusul Sasuke dan Hinata. Dalam sekejap, ia menjadi sendirian.
Mungkin ini karma, eh? Tanpa sadar, kini ia sudah berdiri di atas panggung, disinari gemerlap lampu sorot dan beberapa kamera. Suara pekikan para pengagumnya tak terdengar olehnya. Ia sudah tak peduli dengan kontes ini. Tadi, ketika mendengar lagu yang dibawakan Hinata dan Sakura, hati kecilnya terketuk. Aku sudah melakukan banyak hal buruk.
Ino berdiri di ujung panggung, kerudung yang terbuat dari lapisan lembut tulle sutra dengan sulaman bunga itu terhempas ke bawah tertarik rambut Ino yang mengikuti pemiliknya jatuh terduduk, kedua irisaquamarine itu menatap bunga tulip putih di tangannya. Bunga, apa itu "benar" dan apa itu "salah"? Aku benar-benar tak mengerti. Apa memperjuangkan cintaku itu "salah"?
Dan ia menangis sambil memeluk sebuket bunga tulip putih itu.
Tulip putih.
Cinta yang pupus.
.: oOo :.
"Tadi itu seru sekali!" Ujar Sakura sambil menghempaskan tubuhnya di atas bangku taman sekolah. Kedua gadis itu tertawa lepas.
Sakura menatap lekat mata sahabatnya itu. "Satu, jangan pernah menyerah di sana. Dua, kau dilarang keras melupakanku. Tiga, jaga dirimu baik-baik. Dan yang terpenting, Hinata… Jangan pernah berpikir kalau kau sendirian." Sakura memeluk sahabatnya itu erat-erat, sambil berusaha menahan tangisnya yang hampir lepas. Hinata sendiri sudah menangis. Malu kan kalau keduanya menangis.
Hinata menatap bola mata emerald Sakura yang sudah lama tak dipandangnya. Sorot mata yang selalu membuatnya merasa tenang. "Terimakasih, Sakura-chan. Doakan kami, ya."
Sakura menggelengkan kepalanya. "Sama-sa…-eh, 'kami'?"
Sakura menaikkan sebelah alisnya. Hinata memiringkan kepalanya, bingung terhadap reaksi sahabatnya itu. "Lho? Sakura-chan belum tau?"
"Tau apa?"
Hinata tampak ragu, lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. "Tau kalau, er… Anu…"
"Apa?" Sakura merasa ada yang tak beres.
Jeda beberapa saat sebelum Hinata melanjutkan sambil menunduk.
"Besok yang berangkat ke luar negeri itu aku dan Sasuke-kun."
.: oOo :.
Suasana di bandara penerbangan itu ramai oleh lalu-lalang manusia dengan barang bawaannya. Banyak aktivitas yang terjadi di sana, tapi semua pemandangan itu bagai kabur di mata Sakura. Sekarang yang ia ketahui adalah dirinya yang berdiri berhadapan dengan sahabat dan 'mantan' sahabatnya. Teman-teman di sekolahnya sudah pulang, karena petugas penjaga bandara tak mengijinkan banyak murid yang masuk sekedar untuk menyampaikan salam perpisahan—ralat, jeritan tak rela oleh para fans Sasuke dan Hinata. Seperti Sakura, mereka baru tau perihal kepindahan keduanya hari ini. Hinata dan Sasuke memang pindah dan belajar ke luar negeri, tetapi Hinata belajar di Amerika, sementara Sasuke di Inggris. Hinata berangkat setengah jam lebih awal dari Sasuke.
Hinata melirik jam berwarna biru di tangannya. "Sudah waktunya. Aku duluan, ya."
Kedua orangtua Hinata memeluk putrinya itu. Neji mengusap kepalanya sambil sesekali memberi kata semangat. Sasuke menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Hinata memeluk Sakura. "Sakura-chan, terima kasih untuk selama ini. Aku senang sekali menghabiskan waktu dengan kalian semua."
Hinata melambaikan tangan untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya melangkah ke depan. Washington, here I come.
Kini yang tersisa hanyalah Sasuke dan Sakura yang duduk bersebelahan. Orangtua Hinata sudah pulang dikarenakan urusan kantor yang mendadak, dan Neji ikut mereka karena dirinya tak terlalu akrab baik dengan Sakura maupun Sasuke. Ketiga anggota keluarga Uchiha yang lain sudah lebih dulu berangkat dan sekarang sudah berada di London. Sakura menatap panel keterangan keberangkatan yang hurufnya terus berganti, namun pikirannya tak disitu.
"Banyak yang sudah terjadi ya," ujar sang gadis berambut merah muda itu.
"Benar sekali." Jawab sang pemuda berambut raven. Sakura lumayan kaget Sasuke tak menjawab hanya dengan 'Hn' kebanggaannya.
"Lukisan kita jadi kacau gara-gara kau,"
"Jadi lebih bagus, maksudmu?"
"Kau itu sombong,"
"Kau juga."
"Kau menyebalkan,"
"Hn."
"Ayam,"
"Jidat."
Bahkan di saat-saat terakhir, saling beradu mulut. Sakura menghela nafas pelan. Ini salah. Seharusnya ia memberi dukungan pada pemuda itu juga.
"Bahkan di saat-saat terakhir, saling beradu mulut. Kita ini aneh ya, Haruno?" Sakura terkesiap karena kata-kata Sasuke sama dengan yang dipikirkannya. Sakura mengangguk pelan sambil menatap mata Sasuke. Bola mata itu berwarna hitam pekat. Begitu mengintimidasi.
God, he is so damn handsome. Sakura mengakui hal itu walaupun sulit. Mukanya sedikit memerah ketika menyadari iris onyx itu juga menatapnya dengan pandangan yang sama intensnya.
Dan ia tak bisa mengalihkan pandangannya.
Sakura merasa marah pada dirinya sendiri. Ia tak seharusnya menatap mata itu. Ia tak seharusnya mengagumi iris mata itu. Ia tak seharusnya berada di samping pemuda itu. Ia tak seharusnya merasakan perasaan itu lagi.
Sial. Sial. Sial.
Sasuke berdiri perlahan ketika mendengar pengumuman pesawat yang ia naiki akan segera lepas landas. Sakura juga berdiri.
"Sudah saatnya." Pemuda itu berucap. Sakura hanya mengangguk pelan.
"Terimakasih… dan, maaf untuk semuanya," Sasuke berucap lagi. Mereka kini berdiri saling berhadapan. Tangan Sasuke terulur ke arah Sakura.
Dan Sakura menyambutnya.
Mereka berjabat tangan. Ketika menyentuh tangan itu, Sakura merasa kehangatan menjalari tubuhnya. Ia kembali di hadapkan realita. Sebentar lagi, Sasuke akan pergi. Seharusnya ia merasa senang karena cowok yang selama ini mengganggunya itu akan pergi jauh, entah mereka akan bertemu lagi atau tidak. Kenapa rasanya berbeda ketika tadi aku mengantar kepergian Hinata? Sakura menggigit bibir bawahnya.
Kenapa sesuatu bisa terasa begitu salah dan benar dalam waktu yang bersamaan?
Ketika Sakura masih larut dalam pikirannya, Sasuke menariknya dan mengecup dahinya pelan. Tangan pemuda itu lalu mengacak-acak rambutnya pelan, suatu kebiasaan yang dulu Sasuke sering lakukan ketika mereka masih akrab.
"Be happySakura."
.: oOo :.
Sakura menimbang-nimbang akan membuka bungkusan di tangannya itu atau tidak. Bungkusan sederhana dengan sampul berwarna perak. Hadiah perpisahan dari si bungsu Uchiha.
Tidak, tidak. Lupakan dia, Sakura. Gadis itu mengingatkan dirinya sendiri. Namun akhirnya ia menyerah setelah 15 menit berperang batin. Ego-nya menang.
Sampul itu terkoyak, memperlihatkan isinya. Sebuah buku tua berwarna abu-abu yang sejak dulu selalu Sasuke simpan dan tak pernah diperlihatkannya pada orang lain. Buku yang nyaris Sakura buka beberapa hari yang lalu. Sakura meneguk ludah ketika akan membukanya.
15 Maret 2000
Hari ini, aku bertemu sesosok makhluk pink menyebalkan. Pink. Warna yang kubenci.
Sakura menggembungkan pipinya ketika membaca tulisan itu. Tulisan cakar ayam anak TK disertai gambar ilustrasi manusia korek api dengan rambut garis-garis dan wajahnya terlihat bodoh. "Uchiha, aku tak sejelek ini." Walau begitu, ia melanjutkan membaca.
Halaman-halaman selanjutnya penuh dengan cerita tentang dirinya—ralat, 'kebodohan' dirinya. Cerita tentang permusuhan mereka, tentang ketidaksukaan Sasuke terhadap dirinya, disertai bonus gambar dirinya yang tampak seperti Piglet terkena AIDS parah.
Baru setelah beberapa bulan, tulisan cacian itu intensitasnya mulai berkurang. Digantikan dengan kata-kata yang lebih sopan. Gambar ilustrasi di dalamnya pun mulai membaik.
Sakura duduk di atas kasurnya sambil melanjutkan membaca tulisan tangan asli buatan Uchiha Sasuke, dan ketika membacanya, memori-memori yang seakan terlupakan itu kembali, membuat Sakura bernostalgia.
1 Januari 2008
Merah muda = warna yang indah.
Sakura melihat foto dirinya sendiri ketika memakai sebuah kimono dengan motif bunga Sakura. Ia ingat banyak yang mengejeknya karena warna rambutnya yang mencolok. Ditambah dengan warna kimono-nya, Sakura hampir menangis.
"Rambutmu indah kok." Karena kata-kata Sasuke itu, Sakura memanjangkan rambutnya. Ia ingat betul hal itu.
Sejak itu, halaman demi halaman mulai terisi dengan foto-foto Sakura disertai keterangannya. Semuanya foto yang diambil tanpa Sakura menyadarinya. Semua tulisan itu tak henti menceritakan kisah tentang dirinya.
15 September 2010
Sakura, maafkan aku.
Sakura tak mengedipkan mata ketika membaca empat paragraf di halaman tua itu. Paragraf pertama tentang Sasuke yang menyadari bahwa Ino menyukainya, namun berusaha untuk tak mempedulikannya. Paragraf kedua, tentang Ino yang akhirnya menyerang Sakura karena cemburu dan mengetahui bahwa Sakura tak mengetahui kejadian sebenarnya tentang ibunya. Sepertinya, Sasuke benar-benar takut membuat Sakura menangis.
"Oh silly chicken. Kenapa kau bisa begini paranoid?" Sakura menggelengkan kepalanya.
Paragraf ketiga, tentang Sasuke yang menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Dan paragraf keempat, keputusan Sasuke untuk berpacaran dengan Ino karena ia tak ingin Ino dan Sakura menderita.
Di halaman selanjutnya, berisi tentang Sasuke yang berusaha keras untuk cuek terhadap Sakura. Aku ingin meraih tangan itu, tapi tak bisa kuraih. Tak boleh.
"Ini tentang kejadian di lapangan basket sebelum kecelakaan itu, ya?" Jantung Sakura sedikit—sangat berdetak cepat ketika membaca curahan hati pemuda stoic itu. Setelah kecelakaan itu, ternyata setiap hari Sasuke selalu ada di sampingnya. "Ternyata selama di RS tanganku terasa hangat karena kau genggam, Uchiha." Sakura berbisik pelan.
30 Oktober 2010
Setiap orang ingin bisa bersinar seperti matahari. Tapi aku lebih memilih menjadi bulan, sehingga aku mampu menyinarimu dalam kegelapan ketika cahaya mentari-mu memudar.
30 Oktober adalah hari ketika Sakura memutuskan untuk menganggap Sasuke sebagai makhluk asing baginya.
"Baka," Sakura baru mengetahui semuanya sekarang. Ternyata semua yang dilakukan pemuda itu demi dirinya.
Dan di halaman-halaman selanjutnya, berisi tentang kehidupan mereka di sekolah ini. Tentang Sasuke yang selalu memperhatikannya diam-diam. Foto gadis itu tak berkurang intensitasnya walaupun telah memakai kacamata tebal dan kepangan serta baju yang ketinggalan jaman. Semua foto dan gambar itu disertai catatan kecil keterangannya.
5 November 2011
Selamanya, kau adalah sosok terindah bagiku.
Terima kasih telah mengajariku tentang hal-hal kecil yang sebelumnya kuanggap mustahil keberadaannya.
Memang abstrak, namun benar adanya.
A little thing…
Sakura menahan nafasnya tertahan.
called love.
"…Lalu sekarang alasan apa yang bisa kugunakan untuk membencimu?" Sakura mulai terisak pelan. Ia takut merasakan perasaan itu lagi dan pada pemuda yang sama pula.
Be happy, Sakura.
.: oOo :.
Sakura kembali teringat akan kata-kata ayahnya dulu. "Dengar, Sakura. Manusia itu punya berbagai macam sifat."
Sakura kecil menatap sang ayah. Takano melanjutkan. "Manusia itu tak ada yang benar-benar hitam, tak ada pula yang benar-benar putih. Semuanya sama, abu-abu. Semua pernah membuat suatu kesalahan. Mereka akan senang jika ada kebaikan mendatanginya, dan akan berduka jika kemalangan menghampirinya."
Sakura entah kenapa langsung merasa mengantuk dan ingin menguap. Salah satu sesi ceramah ayah-nya telah dimulai.
"Terkadang, manusia itu bisa bersikap baik, kadang juga jahat. Mereka bisa terus bersikap acuh, namun tiba-tiba juga bisa tersenyum tanpa alasan. Sekali-kali bersikap egois itu boleh-boleh saja. Setiap orang pasti pernah merasa bahagia, berduka, marah, kecewa, cemburu, bingung, atau perasaan lain yang abstrak jenisnya selama hidupnya."
"Kenapa?" Sakura yang saat itu masih kecil tak mengerti.
Takano mengusap kepala Sakura pelan. "Karena manusia itu hidup dan kehidupan itu selalu berputar."
Sakura merenungi perkataan ayahnya. Diambilnya lukisan yang telah diselesaikannya dengan Sasuke tepat sehari sebelum festival. Ia mengambil sebuah kuas dan menuliskan sebuah kalimat di atas kanvas yang telah terlukis indah itu.
.: oOo :.
Yang ketiga…
Temari mau tak mau merasa takjub dengan perubahan sifat Sakura beberapa minggu ini. Sehari setelah kepergian dua sahabatnya, Sakura bagai makhluk yang tak ingin di dekati, hawa keberadaannya begitu suram. Selama beberapa hari, Sakura menjadi mudah sekali marah dan menangis. Hari setelahnya, ia tersenyum sepanjang hari, dan ia mengoceh sepanjang hari. Di minggu setelahnya, penampilan Sakura mulai berubah. Ternyata, yang ada di balik kacamata jaman boa milik Sakura bukan bekas cacar yang tidak bisa disembuhkan atau apa, melainkan sepasang iris vivid yang indah. Dan jika rambut merah jambu itu terurai, keindahannya semakin terasa.
"What the hell, Sakura?" Temari ingat betul meneriaki Sakura kalimat ini saat melihat perubahan penampilan gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum kecil.
Temari sebenarnya tak begitu ambil pusing soal perubahan penampilan Sakura. Ia tak begitu mempersoalkan soal penampilan.
"Kau banyak berubah, nona." Kata Temari ketika mereka berdua sedang membuat Rancangan Anggaran untuk pembuatan kalender sekolah. Temari menyadari, kini sifat Sakura berubah, ia sekarang lebih terbuka, banyak bicara, dan tak terlalu egois.
Sakura menganggukkan kepalanya. Ia menyadari ia dulu terlalu egois dan masih bersikap seperti anak-anak—dan ia ingin berubah. "Perubahan ke arah baik atau buruk?"
"Baik, kurasa."
Keduanya tersenyum. Ternyata mereka bisa juga berteman jika tidak saling ngotot memperdebatkan sesuatu.
from enemies to friends
.: oOo :.
Ino meremas roknya sendiri ketika duduk di ruang Direktur Perusahaan yang menyelenggarakan kontes The Beauty. Dirinya tak pernah menyangka ia mendapat suara terbanyak berdasarkan voting yang diadakan di internet dan saluran telepon. Sialan. Apa sebegitu banyak orang yang suka melihatku menangis?
"Ooh, jadi kau si Gadis "Tangis Bunga Tulip" itu ya?" Kata seorang pemuda berkulit putih pucat yang mengenakan jas hitam legam sambil menghampiri Ino.
Ino diam memperhatikan pemuda itu. Orang seperti ini Direktur?
Pemuda itu duduk di depannya. "Jelek."
Pemuda itu telah melanggar satu-satunya kata yang tabu bagi Ino. Ino menggebrak meja di depannya. "Memang kenapa?"
Pemuda itu mengeluarkan bunga mawar merah dari saku jasnya. "Dan untuk si jelek, aku berikan bunga agar ia tersenyum dan menjadi cantik."
Wajah Ino langsung memerah. "Te-…terimakasih, eer…"
"Panggil saja Sai,"
"Panggil saja Ino,"
.: oOo :.
Hinata mengganti-ganti saluran TV yang di lihatnya. Berita, ganti. Gossip, ganti. Iklan, ganti.
Bosan.
Aktivitas itu terhenti ketika Hinata menyetel siaran dari TV Jepang, matanya menatap sosok di dalam layar TV itu.
Naruto-kun…
Saat itu, Naruto sedang menjalani sebuah talk show dengan salah satu acara TV. Senyum pemuda itu begitu indah bagi Hinata. Baru beberapa mereka berpisah, gadis itu sudah sangat merindukannya.
Kenapa aku bisa begini menyukaimu? Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"—Jadi, apakah ada gadis yang Naruto-san sukai?" Pertanyaan sang pembawa acara menarik perhatian Hinata. Ia memaksa wajahnya terangkat dan kembali menatap layar.
"Ada." Sorot mata Naruto melembut. Sang pembawa acara nampak bersemangat, karena selama ini Naruto selalu membantah ia mempunyai pacar, padahal semua tau ia punya banyak pacar.
"Oh ya? Seperti apa orangnya?" Sang pembawa acara berusaha tak kedengaran terlalu bersemangat. Secercah harapan muncul di hati Hinata.
"Dia cantik, selalu bersemangat, jujur, dan baik sekali." Mata Hinata langsung berair. Sama sekali bukan sifatnya. Ternyata bukan dirinya.
"Dan dia menolakku." Bahkan wajah sang reporter langsung shock berat. Hinata hanya bisa mendesah pelan. Betapa ingin ia menggantikan posisi gadis yang ada di hati Naruto itu.
"Siapa orangnya?" Sang pembawa acara bertanya.
Bukannya menjawab, Naruto mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah nomor dan menekan tanda hijau. "Biar kukenalkan."
Hinata melempar remote TV itu ke arah layar TV. Ia benar-benar menyesal melihat siaran ini. Seharusnya tadi ia langsung mengganti ke channel lain saja.
Brrt… Brrt…
Ponsel Hinata bergetar. Kenapa Neji-nii khawatiran sekali, sih? Batin Hinata sambil mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa peneleponnya. Sejak sejam yang lalu, Neji selalu meneleponnya dan menanyakan keadaannya tiap 10 menit sekali.
"Moshi-moshi, Nej—"
"Kau sudah makan kan, Hinata?"
"Kau sudah bertanya seperti itu satu menit yang lalu, Neji-nii."
Hinata mau tak mau tertawa pelan. Rasa sedih itu sedikit berkurang.
Brrt… Brrt…
Hinata menggelengkan kepalanya. "Ada apa lagi, Ne—"
"I love you, Hinata-chan." Kali ini, telepon itu bukan berasal dari Neji. Suara itu, suara pemuda yang sudah sejak lama singgah di hati Hinata.
Suara Uzumaki Naruto.
Sebuah kalimat yang sukses membuat sang gadis pingsan.
.: oOo :.
Yang keempat…
Waktu terasa berputar sangat cepat. Sakura kini berusia 18 tahun. Hari ini, dia akan lulus SMA.
"Kita bertambah tua," ujar Tenten ketika melihat anak kelas X yang baru saja selesai mementaskan drama sebagai suguhan pesta kelulusan.
"Tua? Kau saja ah, nona Hyuuga." Tenten mencubit pelan pipi Sakura. Tenten sekarang berpacaran dengan Neji, senior-nya yang sudah lama di kaguminya. Dan Sakura sepertinya senang sekali mengusilinya.
Kini perwakilan anak kelas XII naik ke atas panggung, dan menyanyikan lagu yang telah mereka ciptakan untuk para guru dan orangtua mereka. Ucapan terimakasih yang tulus. Para siswa lain pun mengikuti.
"Terima kasihku 'tuk bapak dan ibu 'tuk selamanya." Lagu itu berakhir. Beberapa orangtua dan guru pun menitikkan air mata.
Semua terjadi terlalu cepat! Terkadang Sakura ingin sekali memutar-balikkan waktu, ia tak ingin menjadi dewasa.
Ia ingin semua tetap seperti ini.
Menangis.
Tertawa.
Kecewa.
Sedih.
Senang.
Mempunyai sahabat.
dan…
merasakan cinta.
Sakura kembali menatap langit biru. Entah apa yang orang itu lakukan saat ini. Mungkin tidur, belajar, atau mungkin saja memandang langit seperti dirinya saat ini? Sakura tak tau.
Lagu chorus itu berlanjut. Kiba, teman sekelas Sakura di kelas XII, menepuk pundak Sakura. "Bisa-bisanya kau tidur berdiri di atas sinar mentari. Wow."
Sakura menggelembungkan pipinya dan menonjok pelan temannya itu. Tak hanya cinta yang bisa terjadi di antara laki-laki dan perempuan, persahabatan juga bisa. Kiba dan Sakura contohnya.
Para siswa dan siswi kelas XII mengeluarkan tiga bunga mawar dari jas bajunya. Bunga mawar itu untuk guru, orangtua, dan teman. Aku menyayangi kalian semua!
"Terimakasih, ayah, ibu." Pertama semua memberikan ke orangtua masing-masing. Lalu guru. Dalam sekejap, Kurenai dikelilingi para muridnya yang berebut ingin memberinya bunga. Ia memang dikenal sebagai guru yang baik dan populer di kalangan muridnya. Sakura mencari sosok pria berambut perak, ia melangkah dan memberikan bunga mawar itu ke guru yang nampak sendirian tanpa murid yang menghampirinya, karena Kakashi ahli menghilangkan hawa keberadaannya.
"Terimakasih, Kakashi-sensei." Tanpa Sakura duga, Kakashi tersenyum hangat padanya.
Ganteng banget.
Sakura bimbang akan memberikan bunga terakhir ke siapa. Namun tiba-tiba ide itu terlintas di benaknya.
"Terimakasih, Ino." Ino dan Sakura saling bertatap pandang sejenak. Sebuah senyum kecil terulas di bibir keduanya untuk sesaat. Ino dan Sakura memang tak pernah kembali menjadi sahabat lagi.
Tak ada cinta yang berakhir dengan persahabatan.
forever enemies
Lagu yang diputar kembali berganti. Semua murid berkumpul di tengah lapangan, semua saling bergandengan tangan. Memang, yang ada di depan mereka adalah masa depan yang tak mereka ketahui. Masa depan yang panjang dan tak mereka ketahui arahnya.
Senyum mengembang di wajah para siswa kelas XII itu. Mungkin, masa depan yang menanti mereka tak berujung dan penuh lika-liku, tapi mereka semua mengerti satu hal:
Aku tak sendirian!
Senyum Sakura semakin melebar ketika melihat ekspresi bahagia teman-temannya.
Karena mereka ada di sisiku.
Semua murid SMA Konoha melempar topi kelulusan mereka ke arah langit secara bersamaan, kemudian berteriak dengan lantang:
"AKU LULUS!"
.: oOo :.
Dan yang terakhir…
.
7 tahun kemudian…
.
SMA Konoha terus berganti generasi, dari junior ke senior, begitu selanjutnya.
Seperti hari ini, salah seorang murid laki-laki berjalan di lorong kelas yang telah sepi.
.
"Aah, Yoko-chan, jangan cepat-cepat!" Sakura mengejar sosok anak perempuan berumur empat tahun yang kini melihat kaca etalase toko dengan tatapan ingin tau. Kini Sakura bekerja sebagai seorang guru TK, dan Yoko adalah salah satu muridnya.
"Sacchan, apa itu?" Yoko menunjuk sebuah permen kapas besar di dalam toko makanan itu dengan mata berbinar. Sakura mengerti benar jika setelah ini gadis cilik itu akan minta dibelikan dengan tatapanpuppy eyes-nya.
Benar saja, sepuluh menit setelahnya Sakura duduk di bangku taman sambil menata rambut pirang Yoko yang berantakan, sementara gadis cilik itu memakan permen kapas. Sakura tersenyum ketika mendapati Yoko tertidur, ia lalu melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke anak itu.
.
Ia mengetuk pintu ruang kelas itu, lalu masuk. "Ini tugas remidi saya, Kakashi-sensei." Mukanya terlihat lelah.
"Terimakasih." Kakashi tetap melihat ke arah yang sama sejak tadi. Murid itu mengikuti pandangan gurunya.
.
Sakura berjalan pelan menyusuri taman kota itu. Setelah lulus, ia dan ayahnya memutuskan untuk kembali ke Suna, Negara asal mereka. Kawasan kotaini tak terlalu banyak penduduknya, sehingga taman ini pun sepi pengunjung. Sakura selalu senang berada di sana, jadi ia tak masalah dengan lokasinya.
Harum bunga mawar terbawa angin berhembus, membiarkan Sakura untuk menghirup dalam-dalam aroma itu. Disini, sembilan belas tahun yang lalu, ia bertemu dengannya.
.
Lukisan tua yang indah, pikirnya. Gambar dua tangan yang saling bergandengan. Bisa diartikan seperti sahabat yang saling tolong-menolong. Namun di salah satu tangan, terdapat sebuah bunga yang melingkari jari tengahnya. Menggambarkan tangan pria dan wanita. Gambar itu terasa begitu nyata, gradasi warna-nya begitu apik. Gambar tangan dengan latar langit yang biru.
.
Sakura memetik sebuah mawar putih dan menghirup aroma-nya dalam-dalam. Mawar putih, perlambangan cinta yang tulus.
Aku telah memutar cukup jauh. Walaupun cerewet, tapi sejak dulu Sakura tak tahan dengan anak kecil. Ia bukanlah tipe orang yang penyabar. Makanya, ia pun kaget sekarang ia berdiri di sini sebagai guru TK.
"Sacchan, kau sedang apa?" Yoko berlari kecil menghampirinya.
Sakura berbalik dan menghampiri anak kecil itu. Ia tak menyadari ada seorang lagi di taman itu yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua.
.
"Sensei, anda yang—?"
"Bukan, aku memintanya dari Kurenai-sensei. Lukisan favoritku."
.
Ya, Uchiha Sasuke berdiri di balik salah satu pohon yang tegak menjulang ke langit, memperhatikan dari jauh seorang gadis berambut merah muda yang ia rindukan. Sorot mata Sasuke melembut ketika Sakura tertawa. Ternyata waktu pun tak bisa melunturkan perasaan pemuda itu pada sang gadis.
"Siapa itu?" Yoko menunjuk ke arah Sasuke dengan jari telunjuknya. Shit. Sasuke tak menyangka dirinya bisa terlihat, padahal ia sengaja memilih pohon yang cukup rindang agar bayangannya tak terlihat.
Sasuke berjalan ke arah Sakura dan Yoko.
Sakura mengerjapkan matanya sekali. Dua kali. Tiga kali. Sasuke tetap berjalan ke arahnya. Ini bukan ilusi.
Muka Sakura memanas. Setelah delapan tahun tak bertemu, pemuda itu semakin tampan. Sorot mata itu terlihat berwibawa. Punggung itu berjalan dengan tegap.
"Aaah. Orang baru ya? Aku Yoko dan ini Sacchan! Sacchan, ayo sapa kakak itu!" Yoko menarik Sakura mendekat ke Sasuke.
"Hi there. Nice to meet you." Sakura berkata dalam bahasa Inggris. Ia takut karena terlalu lama di Inggris, Sasuke lupa bahasa Jepang. Gadis itu sangat, sangat merindukan pemuda itu. Ia ingin memeluk pemuda itu, namun gengsi-nya menahannya.
.
"Anoo, Kakashi-sensei, lukisan siapa itu?"
"Lukisan dua orang bodoh."
"Bodoh?"
"Mereka contoh senpai yang tidak baik karena membohongi perasaan mereka sendiri. Tapi yah, toh akhirnya mereka jujur juga."
.
Sasuke tersenyum kecil melihat tingkah Sakura. Ia mempersempit jarak di antara mereka.
"Hello, beautiful. Siapa namamu?"
Sakura mengerucutkan bibirnya. "Nggak lucu."
"Aku sangat merindukanmu, Sakura." ujar Sasuke sambil menatap lekat mata indah Sakura, mata berwarna hijau zamrud yang sudah sangat dirindukannya.
Sakura menatap mata onyx itu dengan tatapan yang juga penuh kerinduan. "Aku ju—"
"Aku mencintaimu,"
Sasuke mengatakan kalimat itu dengan sungguh-sungguh sambil menatap mata emerald Sakura. Nada suaranya begitu tegas, tanpa keragu-raguan. Kalimat yang selalu Sakura tunggu selama bertahun-tahun akhirnya terucap begitu saja dari bibir pemuda itu. Sakura tanpa sadar menangis.
Yoko menggembungkan pipinya. Ia sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan Sakura dan Sasuke. Dan baru kali ini ia melihat Sacchan-nya menangis. Yoko mundur sedikit ketika Sasuke memeluk Sakura.
"Aku pulang," bisik Sasuke di telinga Sakura.
Sakura membalas pelukan pemuda itu. "Selamat datang, Sasuke."
.
Di dalam lukisan itu terdapat satu kalimat di antara gradasi warna biru langit-nya.
"Love is eternal, so let us give it some time."
.
from friends to lovers
.
END
.
.
Or it isn't?
.
.
.
Actually, there's no "END" in a story
.
Suasana di taman bermain itu ramai oleh tiga orang anak yang sibuk memperdebatkan sesuatu.
"…-Papaku yang terbaik!" Teriak seorang anak lelaki berumur enam tahun yang berambut hitam legam dan bermata hijau zamrud.
"Papaku!" Teriak Ninosa, anak perempuan berambut pirang pucat dan bermata hitam.
"Apaan sih? Sudah jelas papaku. Ia melamar mamaku sambil menyanyikan sebuah lagu saat live-show nya." Balas seorang anak cowok berambut pirang dan bermata amethyst indah, Sora namanya.
"Papaku melamar mamaku dengan cincin yang indaaah sekali setelah kencan di berbagai tempat romantis." Kata Ninosa sambil menepukkan kedua tangannya.
Dai, anak cowok dengan iris mata hijau zamrud hanya diam saja. Sesampainya di rumah, ia meninju ayahnya itu.
"Hei hei, Dai. Apa yang kau lakukan, sweety?" Ibunya menghampiri mereka berdua.
Dai melihat sang ibu yang berambut pink pendek itu sambil merengek. "Papa is so an unromantic person." Dai lancar berbahasa Inggris karena mereka tiga tahun berada di Inggris sebelum akhirnya kembali ke Jepang.
Sang ayah menaikkan sebelah alisnya. "Soal apa ini?"
"Mana ada pria yang melamar seorang wanita setelah sebelumnya telat datang ke tempat kencan, berantem hingga nyaris putus, dan hanya mengatakan 'Marry Me' dengan cincin yang dibentuk sekenanya dari gantungan kunci dari tasnya yang hampir lepas? Papa is sooooo stupid!"
Sang ayah hanya diam saja. Ia tak akan mengakui pada anak dan istrinya bahwa hari itu ia telat karena gugup sehingga cincinnya terjatuh saat ia berlari menuju tempat mereka kencan. Tak akan pernah.
"Tapi Mama-mu tetap menerima Papa-mu ini." Sang ayah mengecup pelan dahi istrinya.
Sang Ibu menatap anaknya dan berbisik jahil. "Papamu ini orang yang pelit sekali dan tak membelikan Mama apapun."
"Karena kau tak meminta," Si Papa tersenyum kecil ke arah wanita bermata emerald di depannya.
"Aku akan memberikan apapun yang kau mau di dunia ini." Keduanya tersenyum.
Dai menarik baju Papanya, merasa tersisihkan. "Kalau aku yang meminta?"
Pria bermata onyx itu menggendong anaknya. "Tentu saja."
Sang ibu mengelus rambut anaknya itu dengan lembut. "Memang apa yang Dai mau?"
Dai tersenyum lebar. "Seorang adik!"
.
.
Every "ending" is just another "beginning"
.
Dear God,
Sometimes it hard to understand what you really want me to do
But I trust you
I won't give up
I will try and try again!
Why?
Because you always give me another chance
Why?
Because I know you will give what it best for me
Why?
Because Today, My Life Begins

6 komentar:

  1. Bagus banget fic nyaa...
    Kereen dehh

    BalasHapus
  2. Bagus banget ficnyaaaaa.. Aku suka. Bangett

    BalasHapus
  3. kereen, fanficnya bagus bangett...

    BalasHapus
  4. biasa ny.. hanya zorobin ..one piece..eee stelah dibaca ff ini( biasa aja ralat mendebarkan hati ) i....💗...u ...sasusaku. ty autor

    BalasHapus