pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 9

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak.
Apa ada yang nyadar kalo ada perubahan pada properties fic ini? Ga tau? Ok, saya ceritain dari awal. Sehari setelah saya publish chap 8, ada ide yang mampir di kepala saya. Sesama author pasti tau kalau ide suka datang seenaknya, bahkan di tengah-tengah cerita sekalipun. Ide tersebut mengenai ending fic ini. Dan ternyata pengaruhnya cukup signifikan pada genre fic ini.
Setelah tanya-tanya ke Infantrum dan mendapat masukan dari senpai-senpai disana, akhirnya saya putuskan untuk:
Mengubah GENRE fic Kesempatan Kedua.
Yang asalnya urutannya: Romance, Tragedy, Fantasy. Menjadi: Romance, Fantasy, Tragedy. Makanya yang ada di properties sekarang Romance dan Fantasy (sama kayak saran Jiro Akuno dulu di review chap 2). Alesannya karena setelah digabung dengan ending yang baru, secara keseluruhan tragedy dari fic ini kurang kerasa dibanding fantasy. Sampe sekarang aja saya yang nulisnya malah ngakak mulu, tragedynya kurang kerasa. Pokoknya jangan tanya endingnya jadi kayak gimana. Seperti yang saya sering bilang, kita nikmati aja dulu ceritanya.
Gimana pendapat kalian mengenai perubahan genre ini? Kasih tau lewat review. Saya cuma pengen tau pendapat kalian, jadi yang pasti apapun pendapat kalian, jangan harap bisa ngubah keputusan saya. Hehehe. Atau malah kalian seneng sama perubahan genre ini? Terserah deh, yang penting saya mohon kalian hargai keputusan saya ini ok.

Cerita Sebelumnya:
"Aku... Aku tidak mungkin mengintip gadis yang kusukai..." kata Naruto dengan suara bergetar. Bersamaan dengan itu Naruto kembali berjalan sambil terus menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir.
Mata Hinata membulat, tangan kanannya menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Saat itu juga Hinata meneguhkan hatinya, sekarang bukan saatnya untuk berdiam diri. Bukan saatnya untuk mempedulikan rasa malu dan marah gara-gara kejadian beberapa hari lalu. Karena sekarang Naruto akan meninggalkannya, padahal dia tidak mau kehilangan Naruto. Dia takut kalau Naruto sampai meninggalkannya.
Tanpa pikir panjang lagi Hinata langsung berlari dan memeluk Naruto dari belakang. Menjauhkan rasa gugup dan malu yang menghampirinya saat dirinya melakukan hal itu.
"Naruto-kun!"
Naruto merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang. Juga kepala yang menekan punggungnya.
"Tolong... Jangan pernah meninggalkanku... hiks..." Hinata kembali terisak dan membasahi jaket orange Naruto.
Beban yang ada di diri Naruto seolah menghilang begitu saja setelah mendengar kalimat Hinata. Tapi meski begitu, air mata malah semakin deras keluar dari matanya. Air mata bahagia. Naruto segera membalikkan badannya dan membalas pelukan Hinata. Memeluk tubuh rapuh sang gadis seolah tak mau melepasnya.
Hinata kembali mempererat pelukannya. Kepalanya dibenamkan di dada Naruto. Naruto yang menyadari itu mengusap-usap kepala Hinata.
"Aku janji tidak akan meninggalkanmu Hinata-chan... Karena aku... aku sangat menyayangimu..." gumam Naruto di telinga Hinata. Membuat tubuh Hinata kembali bergetar, saat air mata kebahagiaan memaksa keluar dari mata lavendernya.
"A-aku juga..." balas Hinata di sela tangisannya. Ia semakin mempererat pelukannya kepada Naruto.
.
.
.
Chapter 9
- Aku, Kamu, Kita -
Normal POV
Naruto terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Bisa dibilang tidur ternyenyaknya selama setahun terakhir ini. Kejadian kemarin telah membuat hatinya nyaman dan berbunga-bunga. Naruto juga sebenarnya tidak menyangka dirinya akan sesenang ini. Dia tidak menyangka seorang Hinata, sang gadis pemalu, bisa berpengaruh besar pada kehidupannya. Padahal setahun lalu, saat masih di tubuh remajanya, untuk sekedar ngobrol dengan Hinata saja sangat jarang. Apalagi sampai terpikir untuk menjadikannya pacar. Tapi sekarang semuanya telah berubah.
Sekarang Naruto sedang memilih baju untuk kencannya. Dia tidak punya banyak baju bagus. Hanya beberapa t-shirt yang ia punya. Sebagai seorang yatim piatu yang hidup sendiri sejak kecil, itu memang hal yang wajar. Ia harus mengalokasikan uangnya untuk kebutuhan yang lebih penting.
Naruto tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya hari ini. Dari mulai bangun tidur, senyuman terus melekat di bibirnya. Begitupun saat sedang memilih t-shirt. Saat menemukan t-shirt yang menurutnya paling bagus, senyumannya tambah lebar kemudian dipakainya t-shirt tersebut.
Kemudian Naruto memandang dirinya di cermin. Disisirnya rambut pirang jabrik miliknya. Meskipun susah juga karena rambutnya susah diatur. Naruto bisa pastikan kalau baru kali ini benda bernama sisir kembali dipakainya setelah sekian lama. Sebelumnya ia memang terlalu cuek pada panampilannya. Entah kapan terakhir kali ia memakai benda yang berfungsi merapikan rambut itu.
Ia berulang kali memperhatikan dirinya dari ujung kaki sampai ujung rambut, memastikan tidak ada yang salah. Itu semua demi penampilannya hari ini. Dia ingin tampil baik di depan Hinata yang kini sudah resmi jadi pacarnya. Biar bagaimana pun ini kencan pertamanya, kencan pertama dalam hidupnya.
Saking asiknya siap-siap, dia tidak sadar kalau hari sudah mulai siang.
"Sial, sudah jam 09:55!" umpat Naruto.
Naruto berlari ke arah pintu keluar kamar, sambil mengambil jaket orangenya di balik pintu. Tapi baru 3 langkah meninggalkan kamar, dia tersadar kalau jaket orangenya terlalu 'biasa' karena sudah sering dipakai. Ia kembali ke kamar dan dilemparnya jaket tersebut kemudian berlari ke luar.
Ia melempar jaket orange miliknya tanpa mempedulikan arah lemparannya. Jaketnya mengenai dinding dan membuat kalender jatuh. Dengan menunjukkan tanggal yang dilingkari oleh spidol hitam tebal.
Tanggal 17 Oktober, tepat 2 bulan setelah hari ini.

"Gomen Hinata-chan, aku terlambat. Sudah lama?" tanya Naruto saat tiba di taman. Hinata tampak sudah berada di taman dan sedang duduk di kursi taman.
"Belum, aku juga baru datang. Selain itu bukannya memang kita janjian jam 10 'kan? Sekarang tepat jam 10."
"Oh benar juga, hehe."
Siang itu Hinata memakai dress selutut berwarna lavender muda. Dan juga jepit rambut pemberian Naruto yang tersemat manis di rambut indigonya. Hal yang tidak biasa dilihat oleh Naruto. Sehingga membuat bocah pirang itu memandang Hinata lama.
"Naruto-kun?" Hinata yang menyadari ditatap oleh Naruto jadi gugup.
"Hi-Hinata-chan, a-aku... aku suka kamu berpakaian seperti ini." Hmm, sepertinya kali ini rasa gugup Hinata sudah menular kepada Naruto. Dan kalau dilihat lebih dekat, akan terlihat warna semu merah di pipi Naruto.
"Um... Bibi pelayan di rumahku bilang, sebaiknya perempuan itu memakai rok saat kencan. Selain agar anggun, juga agar tidak melupakan jati dirinya sebagai perempuan."
Naruto hanya manggut-manggut, merasa sependapat dengan perkataan si bibi pelayan. Bahkan kalau ada kesempatan dia ingin berterima kasih kepadanya, karena perkataannya Hinata jadi terlihat seanggun seperti sekarang.
"Aku juga senang kamu memakainya." Pandangan Naruto beralih ke jepit rambut di kepala Hinata.
"A-Aku memang suka jepit rambut ini," gumam Hinata pelan, sambil menyembunyikan pipinya yang sudah memerah.
Yup, Hinata memang tidak bohong saat bilang dia menyukai jepit rambut pemberian Naruto. Bukan karena harganya yang mahal. Karena kalau masalah harga, Hiashi pernah membelikannya jepit rambut yang harganya berkali-kali lipat lebih mahal dari jepit rambut pemberian Naruto. Hinata menyukainya karena memang bentuknya bagus dan juga karena itu pemberian Naruto. Dia tahu seberapa keras perjuangan Naruto untuk membelikannya jepit rambut itu.
"Bagus lah. Kalau begitu ayo kita pergi. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Ikut aku."
"He-hei." Naruto menggenggam tangan Hinata dan mengajaknya ke suatu tempat. Tanpa mempedulikan Hinata yang kaget karena tiba-tiba Naruto menggenggam tangannya.

"Indah sekali 'kan?" tanya Naruto.
Mereka sedang berada di dekat sebuah danau kecil. Letak danau tersebut tidak jauh dari tempat mereka biasa latihan. Dan ternyata danau itulah yang menjadi sumber air dari sungai kecil yang selama ini mereka jadikan tempat istirahat setelah latihan. Kalau diukur, mungkin danau tersebut ukurannya tidak akan melebihi sebuah lapangan basket. Malah lebih cenderung terlihat seperti kolam dari pada sebuah danau.
"Ya. Aku tidak tahu kalau ada tempat seindah ini di sini," jawab Hinata. Raut wajah kekaguman tergambar jelas di wajahnya.
"Aku juga baru tahu beberapa bulan lalu."
Mereka berdua terdiam beberapa saat untuk menikmati suasana disana. Banyaknya pohon yang tumbuh menjadikan udara disana sejuk meskipun matahari bersinar terik.
"Oh ya satu lagi," ujar Naruto kemudian kembali menarik tangan Hinata. Membawanya lebih dekat ke danau. "Ayo kesini."
Hinata semakin penasaran dengan apa yang akan Naruto tunjukkan. Rasa penasarannya terjawab saat berada tepat di sisi danau.
"Wah, apa ini ikan-ikan peliharaanmu Naruto-kun?" tanya Hinata. Di danau kecil itu ternyata banyak ikan koi dengan berbagai ukuran dan warna.
"Bukan, dari pertama aku kesini mereka memang sudah ada," ujar Naruto sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong celananya yang isinya adalah makanan ikan. Kemudian ia melemparkannya ke kumpulan ikan di danau. Membuat ikan-ikan disana berebut untuk mendapatkan makan siang mereka.
"Aku hanya memberi mereka makan saat aku kesini," kata Naruto lagi.
Hinata melihat ikan-ikan yang sedang makan itu sambil tersenyum. Menyenangkan sekali melihat ikan-ikan itu makan, apalagi di tempat yang indah seperti ini.
Naruto kemudian duduk di hamparan rumput hijau di bawah pohon yang rindang. Menepuk tempat disisinya, menyuruh Hinata duduk. Hinata mengerti, kemudian ikut duduk di samping Naruto.
"Aku suka tempat ini. Suasana di sini bisa membuatku tenang. Makanya setiap aku sedih atau bosan, aku selalu kesini," gumam Naruto sambil menatap langit yang kebetulan cerah sekali siang itu. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut pirang Naruto yang tidak memakai head protector, membuatnya terlihat seperti efek di film-film. Diam-diam Hinata memperhatikan wajah Naruto sambil tersenyum.
Naruto kemudian membaringkan tubuhnya di hamparan rumput. Tanpa diduga, Hinata melakukan hal yang sama. Menyadari itu, Naruto menggenggam tangan Hinata. Membuat gadis itu sedikit terlonjak, tapi kembali tenang saat melihat Naruto tersenyum ke arahnya.
"Kamu tahu? Tempat ini juga tempat yang bagus untuk berdoa," kata Naruto sambil kembali menatap langit.
"Benarkah?"
"Ya, sebulan lalu aku berdoa agar aku bisa menjadi pacarmu. Dan kamu lihat 'kan sekarang? Doaku terkabul."
Senyum Hinata melebar. "Kalau begitu aku juga akan berdoa."
Hinata menutup kedua matanya. Naruto memperhatikannya dengan seksama.
"Apa yang kamu doakan?" tanya Naruto saat Hinata membuka matanya kembali.
"Itu... itu rahasia," jawab Hinata. Entah apa yang didoakannya, yang jelas itu telah membuat pipinya merona merah.
"Hah? Kok rahasia?"
"A-ku malu mengatakannya..." Wajah Hinata berpaling ke arah lain, sudah tidak sanggup menatap Naruto yang berada dekat dengannya.
"Baiklah-baiklah." Naruto akhirya mengalah, membuat Hinata menghela nafas lega.
"Ngomong-ngomong kamu lapar?" tanya Naruto.
"Sedikit."
"Kalau begitu kita ke Ichiraku saja ya? Sudah lebih dari seminggu aku tidak kesana." Naruto jadi bersemangat saat membicarahan hal yang berkaitan dengan ramen dan Ichiraku. Hinata yang tidak ingin mengecewakan Naruto akhirnya mengangguk setuju.

"Naruto-kun..." panggil Hinata pada Naruto yang berada tepat disampingnya.
"Hmm?" respon Naruto tanpa menoleh.
"Aku... aku malu kalau berpegangan tangan seperti ini," gumam Hinata pelan.
Mulai dari danau sampai sekarang hampir sampai di Ichiraku, pegangan Naruto di tangan Hinata memang tidak pernah terlepas. Seakan tidak ingin kehilangan Hinata.
Para penduduk yang melihat mereka mengeluarkan reaksi yang macam-macam. Ada yang bisik-bisik tidak jelas, ada yang tersenyum, ada yang biasa-biasa saja. Bahkan ada pula yang menatap mereka heran, kemudian berlalu dan hanya bilang: "Dasar anak zaman sekarang..."
"Tidak apa-apa. Biar semua orang tahu kalau kita sekarang pacaran." Mungkin Naruto merasa kalau dirinya sudah hampir 17 tahun, dan lupa kalau dirinya sekarang berada di tubuh seorang anak yang bahkan 13 tahun saja belum.
Hinata hanya bisa menunduk menanggapi perkataan Naruto. Ia amat gugup dan malu. Tapi disisi lain Hinata akui kalau dirinya senang mendapat perlakuan seperti ini dari Naruto. Ia jadi merasa terlindungi.
Saat sampai di Ichiraku, Teuchi dan Ayame tak kalah heran memandang Naruto dan Hinata. Kemudian Ayame mendekati mereka. Belum juga Naruto memesan pesanannya, Ayame sudah menawarkan sesuatu yang 'special' untuk pasangan baru itu.
"Aku punya ramen special couple," katanya.
"Hah? Sejak kapan ada menu itu?" tanya Naruto heran. Selama jadi pelanggan ramen di tempat itu, Naruto tidak pernah mendengar menu yang barusan dibilang Ayame.
"Sudahlah itu tidak penting, kalian mau pesan itu tidak? Pokoknya menu yang cocok untuk pasangan seperti kalian," kata Ayame lagi.
"Bagaimana Hinata-chan?" Naruto memandang Hinata, meminta pendapat.
"Aku terserah Naruto-kun saja."
"Baiklah kami pesan satu," seru Naruto semangat. Karena rasa rindu lidahnya pada ramen sebentar lagi terobati.
Tidak sampai 10 menit, pesanan mereka sudah datang.
"Whoa besar sekali," seru Naruto, kedua matanya berbinar-binar.
Di depannya sekarang sudah ada semangkuk besar ramen. Hampir dua kali lipat porsi biasa.
"Tapi Ayame-Neesan, maksudku pesan satu itu pesan masing-masing satu. Kenapa cuma semangkuk?" tanya Naruto heran.
"Itu sudah dua porsi kok, makanya kuberi 2 sumpit," jawab Ayame santai. Naruto dan Hinata saling berpandangan tidak mengerti.
"Ma-maksudmu?" Naruto menatap putri Teuchi itu semakin bingung. Sedangkan Hinata mulai gelisah, perasaannya mulai tidak enak. Dia sudah mulai menyadari, jangan-jangan...
"Mangkuk itu untuk kalian berdua, semangkuk berdua. Itulah sebabnya kusebut menu special couple," jawab Ayame dengan senyum menggoda di wajahnya. Kemudian dia berlalu meninggalkan dua orang yang mematung disana.
Mulut Naruto membulat membentuk huruf O. Sementara Hinata sedang menahan degupan jantungnya, ternyata benar dugaannya. Kali ini kemampuan menahan pingsannya kembali diuji di kencan pertamanya. Karena tentunya pingsan di kencan pertama bukanlah hal yang baik. Karena ini akan jadi kenangan mereka berdua. Kenangan Hinata dan Naruto seumur hidup mereka.
Dengan gugup keduanya memegang sumpit masing-masing. Dengan mangkuk yang hanya satu, otomatis memaksa mereka untuk berhadap-hadapan. Mereka bisa memandang wajah mereka satu sama lain, bisa memandang rona merah wajah orang di hadapan mereka.
"Itadakimasu," kata Naruto.
"I-itadakimasu..." timpal Hinata.
Mereka pun makan dalam diam. Hanya suara-suara seruput ramen yang terdengar. Sampai kemudian mereka mematung menahan nafas saat...
Helaian ramen yang dimakan Naruto ternyata adalah ramen yang juga sedang dimakan Hinata. Mereka saling pandang dengan jarak wajah yang hanya 10 cm. Sehelai ramen menghubungkan mulut mereka.
Keduanya bingung dengan apa yang harus mereka lakukan. Kalau nekat melanjutkan, pasti mereka akan berciuman. Di bibir pula. Suatu hal yang rasanya kurang pantas dilakukan anak berumur 12-13 tahun. Hampir semenit mereka terdiam, belum ada yang mau mengambil tindakan atas keadaan ini. Muka keduanya sudah sangat merah, tidak terkecuali Naruto.
Ditengah kebingungan, akhirnya Hinata memutuskan untuk menggigit ramennya sehingga mulut mereka tidak 'terhubung' lagi. Naruto yang mengerti keadaan segera memakan sisa ramen yang masih menggantung di mulutnya. Ia amat menikmati ramennya, karena beberapa saat yang lalu helaian ramen itu menempel di mulut Hinata.
'Kalau begitu sama saja dengan...' kata Naruto dalam hati. Tapi kemudian ia menghilangkan pikiran-pikiran kotornya.
Naruto kemudian menghela nafas panjang. Begitu juga dengan Hinata. Bersyukur karena keputusan Hinata tepat. Sekarang masih terlalu cepat, suatu hari akan datang saatnya dimana mereka bisa melakukannya lagi. Saat umur mereka sudah cukup, dan bukan sekarang.
"Sepertinya menu special couple harus jadi menu tetap di sini Tou-san," kata Ayame sambil tersenyum memandang Naruto dan Hinata.
"Haha, kau ini ada-ada saja," balas Teuchi tertawa melihat kelakuan anak perempuannya.

Naruto dan Hinata sudah selesai makan di Ichiraku. Namun, baru saja mereka keluar dari kedai tersebut, Hinata tiba-tiba menarik tangan Naruto.
"Waaaaaa, ada apa Hinata-chan?" tanya Naruto.
"Ada Sakura-chan dan Ino-chan," jawab Hinata sambil setengah berlari. Andai saja dia sedang memakai pakaian ninjanya, dia pasti akan berlari sekuat tenaga.
"Terus kenapa?" tanya Naruto polos, berusaha untuk mengimbangi kecepatan Hinata.
"Aku tidak mau mereka melihat kita, pasti ditanya yang aneh-aneh."
"Tinggal jawab saja 'kan, heeeiii..." Tiba-tiba Hinata berbelok membuat Naruto oleng tapi masih bisa menyeimbangkan diri. Dan akhirnya keduanya berhenti di sebuah lorong sepi.
"Aku belum siap untuk diinterogasi mereka," kata Hinata setelah mengatur nafasnya karena sedikit lelah.
Tapi Naruto malah terseyum, membuat Hinata menatapnya heran. "Tapi sepertinya kamu salah memilih tempat sembunyi, lihat."
Hinata mengikuti arah pandangan Naruto.
Mata Hinata melotot saat melihat Sakura dan Ino di ujung lorong. Rupanya dari awal Sakura dan Ino memang akan melewati jalan ini. Mereka menatap Naruto dan Hinata heran, kening mereka berkerut. Mereka berpikir, kenapa juga Naruto dan Hinata harus menghindari mereka?
Tapi saat mereka mendekati Naruto dan Hinata yang tengah gugup setengah mati, mereka tahu kenapa pasangan itu berlari.
"Wah, wah, wah setelah hampir setahun kalian dekat, akhirnya kalian pacaran juga," kata Sakura.
Hinata mengikuti arah pandangan Sakura, yaitu... tangan Naruto yang masih dipegang Hinata. Refleks Hinata melepas pegangannya.
'Ukh, Hinata bodoh, sekarang mereka berdua sudah tahu semuanya,' batin Hinata.
"Sepertinya ada yang harus mentraktir kita makan Sakura." Kali ini Ino yang bicara. Tangannya menyikut-nyikut dada Naruto.
"Ya, benar sekali Ino," timpal Sakura sambil tersenyum lebar.
"Aku mau ta..." Perkataan Ino terpotong oleh Naruto.
"Stop! Baiklah-baiklah, aku akan mentraktir kalian berdua, asal jangan tanya-tanya Hinata-chan sekarang. Kalau hanya mentraktir kalian berdua aku sanggup," kata Naruto mantap.
"Asal jangan di Ichiraku ya? Minimal Yakiniku Q lah," kata Ino sambil melipat tangannya di dada. Sakura mengangguk-ngangguk menyetujui kata-kata sahabatnya itu.
"Hmmph... Iya di Yakiniku Q," jawab Naruto pasrah.
"Yayyy..." seru Sakura dan Ino.
Naruto jadi heran, Ino kadang bisa bersikap dewasa, tapi juga bisa bersikap kekanak-kanakan seperti sekarang. Merepotkan, kalau kata Shikamaru.
"Kapan? Kapan?" tanya Ino antusias.
"Besok setelah kita selesai kerja saja Ino, jam 5." Naruto sudah mulai malas menanggapi dua kunoichi di hadapannya.
"Baiklah, aku juga tidak ada acara jam segitu," kata Sakura.
"Kalau begitu kami pamit dulu, takut mengganggu acara kalian, hehe." Ino nyengi lebar kemudian menarik tangan Sakura untuk segera pergi. Dan akhirnya tinggal Naruto dan Hinata.
"Paling tidak Ino tidak bertanya yang aneh-aneh padamu," kata Naruto.
"Ya." Untuk sementara ini Hinata bisa bernafas lega.
Setelah itu Naruto mengantarkan Hinata pulang.
"Arigato untuk hari ini. Aku senang sekali," kata Hinata sesampainya di depan gerbang Hyuuga Mansion.
"Aku juga. Aku tidak sabar menunggu kencan-kencan kita selanjutnya," balas Naruto.
"..." Mendengar kata 'kencan selanjutnya' membuat pipi Hinata memerah.
"Aku pulang dulu, sampai ketemu besok." Tanpa diduga Naruto mendekati Hinata dan mengecup kening Hinata yang tertutupi poni. Kemudian segera berlari pulang, sambil melambaikan tangannya. Kelihatannya dia takut Hiashi memergokinya mencium kening Hinata.
"..." Hinata hanya terdiam mamatung, tidak sanggup bahkan hanya untuk membalas lambaian tangan Naruto. Ia terlalu sibuk menahan detak jantungnya. Senyuman terlukis jelas di wajahnya yang merona merah. Hari ini benar-benar menyenangkan. Kencan pertama yang menurutnya sangat sempurna dan tak akan pernah ia lupakan.

Sesampainya di apartemen, Naruto menjatuhkan dirinya di kasur. Kemudian berbalik menatap langit-langit sambil senyum-senyum sendiri. Kalau ada orang lihat, sudah dipastikan akan menyangka Naruto gila.
Tapi Naruto memang tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia tak menyangka dirinya akan berani mencium kening Hinata di depan mansionnya. Itu sangat penuh resiko, kalau sampai Hiashi memergokinya, dijamin Naruto akan diseret ke dalam mansion. Entah di dalam sana akan dihajar atau dimarahi habis-habisan. Yang jelas sih tidak akan bisa keluar dari sana dengan cepat.
Ini hari terbaik sepanjang hidupnya. Kencan pertama yang menurutnya sangat sempurna dan tak akan pernah ia lupakan.
Mata Naruto beralih ke dinding kamarnya, kalender yang seharusnya disana sekarang tidak ada. Kemudian Naruto bangun untuk mencari tahu kemana perginya. Dilihatnya jaket orangenya berada dilantai menutupi kalender.
Naruto mengambil jaketnya. Namun begitu jaket tersebut diangkat, ia tertegun melihat angka yang dilingkari disana. Naruto baru ingat kalau ia menandainya tahun lalu.
17 Oktober.
Hari dimana dirinya akan pergi berlatih bersama Jiraiya dan harus meninggalkan Konoha selama 3 tahun. Dan itu berarti waktunya di Konoha tinggal 2 bulan lagi. Sebelum dirinya harus pergi. Meninggalkan Konoha, teman-temannya dan... Hinata.
Naruto menyimpan kalender kembali ke tempatnya. Senyum yang tadinya terlukis di wajahnya sudah lenyap. Ia duduk di tepi tempat tidurnya dan teringat senyum Hinata.
Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dua bulan masih lama Naruto, masih banyak hal yang bisa kau lakukan bersama Hinata!" kata Naruto meyakinkan dirinya. Kemudian beranjak untuk membereskan kamarnya yang sudah seperti kapal pecah gara-gara tadi pagi mengobrak-ngabrik lemari baju. Dan perlu kalian tahu, beres-beres kamar sudah jadi kebiasaan barunya sejak kembali ke masa lalu.

"Hi-Hinata-chan? Apa aku tidak salah lihat?"
Begitulah kalimat pertama yang dilontarkan Naruto saat sampai di Yakiniku Q keesokan sorenya. Di restoran sederhana itu, sudah hadir SEMUA teman-temannya.
"Se-sepertinya tidak Naruto-kun. Padahal aku hanya mengundang Neji-Niisan dan Hanabi-chan sebagai tambahan. Dan kamu juga sudah setuju."
"Kalau Neji dan Hanabi sudah masuk hitungan. Tapi lihatlah, ini sih semua Rokie 11 hadir di sini."
"Hai Naruto," kata Ino menyadari yang punya acara sudah datang.
"Jangan cuma 'hai', kemari kalian berdua." Ino dan Sakura mendekati Naruto.
"Kenapa jadi sebanyak ini?" bisik Naruto kepada Ino dan Sakura.
"Kemarin aku bertemu Tenten jadi sekalian saja kuajak. Kupikir menambah 1 orang saja kau tidak akan keberatan," kata Sakura cuek.
"Aku juga berpikiran hal yang sama saat bertemu Shikamaru kemarin," kata Ino tidak kalah cuek.
"Ahhh, kalian ini bagaimana. Kalau Tenten diajak, dia juga pasti mengajak Lee, karena Neji juga ikut. Begitu juga dengan Shikamaru, dia pasti mengajak Chouji dan Kiba karena mereka sering bertemu. Dan selanjutnya Kiba juga pasti akan mengajak Shino," jelas Naruto panjang lebar.
"Sekarang mau bagaimana lagi?" tanya Ino.
"Mau menyuruh mereka pulang? Masa kau tega?" timpal Sakura.
Mendengar kata-kata Sakura, Naruto menatap teman-temannya yang sedang bercengkrama dari kejauhan. Mereka teman-teman yang begitu berharga baginya. Teman-teman yang selalu berbagi saat suka maupun duka bersamanya. Sudah pasti dia tidak akan tega kalau harus menyuruh mereka pulang begitu saja.
"Baiklah, aku akan mentraktir mereka semua. Aku tidak peduli kalau harus mencuci piring karena tidak bisa bayar sekalipun. Mereka teman-teman yang sangat berharga bagiku," kata Naruto mantap. Sakura dan Ino tersenyum tulus. Itulah Naruto yang mereka kenal, Naruto yang rela melakukan apa saja demi teman-temannya.
"Narutooo, tak kusangka rencanaku dan Shino berhasil. Hahaha," teriak Kiba saat Naruto bergabung bersama mereka. Kiba langsung memeluk leher Naruto, disusul oleh Lee dan Chouji. Membuat Naruto kesulitan bernafas.
"Uhuukk... Be-begitulah, ari... arigato. He-hehe... hehe..." kata Naruto sebisa mungkin mengucapkan terima kasih kepada Kiba di tengah lehernya yang masih tercekik oleh ketiga teman-temannya itu.
"Kau hebat Naruto, benar-benar menikmati masa mudamu!" teriak Lee.
"Sudah, sudah, lepaskan aku." kata Naruto berusaha lepas dari pelukan teman-temannya.
"Hei, sudahlah. Lepaskan dia, kita tidak akan dapat makanan kalau dia mati kehabisan nafas," kata Shikamaru. Akhirnya Kiba, Lee dan Chuji menurut.
Setelah Naruto bisa mengatur nafasnya kembali, ia memandang semua teman-temannya yang hadir disana. Semua teman-temannya balik menatapnya dengan tersenyum.
"Baiklah semuanya, sekarang ayo kita makan!" teriak Naruto dengan dibalas teriakan setuju teman-temannya.
"Pesanlah sepuas kalian teman-teman!" tambah Naruto.
"Siap!" kata Chouji paling semangat.
Saat itu tatapan Naruto dan Hinata bertemu. Hinata memandang Naruto dengan khawatir. Pasti Hinata khawatir pada keputusan Naruto untuk membiarkan teman-temannya pesan sepuas mereka. Tapi Naruto membalasnya dengan senyuman menenangkan. Membuat rasa khawatir pada diri Hinata lenyap seketika.
Sore itu Yakiniku Q jadi benar-benar meriah. Di sela-sela makan mereka, diisi denga game-game ringan yang mengundang gelak tawa sehingga suasan jadi ceria. Naruto juga melihat kalau Hinata ikut terlarut dalam keceriaan acara sore itu. Yang jelas membuat Naruto tidak menyesal untuk mentraktir semua teman-temannya.

Tiba saatnya untuk membayar...
"Berapa semuanya?" tanya Naruto.
"Semuanya jadi 10.000 Ryou," kata kasirnya.
Naruto kaget. Itu setara dengan gaji Naruto di toko bunga Yamanaka selama 2 bulan!
"A-apa? Apa tidak salah hitung?" tanya Naruto memastikan.
"Tidak. Mau aku sebutkan satu per satu?"
"Baiklah. Tidak usah," jawab Naruto lesu. Kemudian ia merogoh dompet kataknya dan mengeluarkan semua uang yang ada disana.
"Aku hanya punya 7150, untuk sisanya aku bersedia membayarnya dengan mencuci piring di sini," kata Naruto membungkuk.
"Hah? Kalau untuk membayar sisanya kau harus mencuci selama 2 minggu di sini," kata sang kasir. Ia menatap Naruto lekat-lekat. Tidak yakin kalau Naruto mau bekerja disana selama itu.
"Aku bersedia!" jawab Naruto mantap, sang kasir kaget.
"Tunggu!" Naruto dan sang kasir menoleh ke arah suara.
"Hinata-chan?"
"Aku akan membayar sisanya," kata Hinata sambil mengeluarkan uang.
"Tidak usah, yang berjanji mentraktir mereka 'kan aku, bukan kamu," kata Naruto bersikeras. Sang kasir jadi bingung harus bagaimana. Akhirnya dia hanya sabar menunggu.
"Tapi ini acara perayaan kita. Jadi izinkan aku untuk ikut membayar," kata Hinata sungguh-sungguh.
Naruto tertegun mendengar kata 'kita'. Tidak menyangka Hinata akan berkata seperti itu. Kalimat sederhana yang sangat bermakna. Ya, Hinata memang benar. Kalau orang yang jadian 'kan pasti sepasang. Jadi bukan hanya 'aku' atau 'kamu', tapi 'kita'. Senyuman khas itu kembali muncul di wajah Naruto, dibalas dengan senyuman tulus Hinata.
"Arigato."

Naruto dan Hinata sedang berjalan berdua. Keduanya terlihat letih sekali. Mereka baru pulang dari misi membantu Gaara dan Matsuri.
Dan tidak seperti biasanya, Naruto tidak banyak bicara. Ia terlalu sibuk pada pemikirannya sendiri.
Hari ini tanggal 9 Oktober, seminggu sebelum dirinya pergi. Ternyata seberapa kalipun dia menguatkan dirinya, perasaaan takut akan meninggalkan Hinata masih terus muncul, bahkan lebih kuat seiring mendekati waktu kepergiannya.
"Naruto-kun, ingin hadiah apa untuk ulang tahunmu besok?" tanya Hinata memecah keheningan di antara mereka. "Gomen Naruto-kun, aku belum mempersiapkan kado apa-apa. Makanya aku tanya kamu saja karena tidak ada waktu lagi."
Naruto bahkan sampai lupa pada ulang tahunnya sendiri. Ia terlalu sibuk memikirkan hari kepergiannya yang kian dekat.
"Boleh kalau yang kuminta bukan barang?" tanya Naruto serius.
"Boleh, selama aku bisa memenuhinya." Hinata jadi penasaran, tidak biasanya Naruto serius begini.
"Umm... Aku ingin di hari ulang tahunku nanti, kamu ke rumahku dan memasak makanan untukku sehari penuh. Mulai dari sarapan, makan siang dan makan malam..." kata Naruto hati-hati. Ia takut kalau Hinata tidak mau.
"Baiklah." Tapi di luar dugaan Naruto, ternyata Hinata dengan senang hati menyanggupinya. Hinata tersenyum dan Naruto membalasnya.
"Kenapa minta ini?" tanya Hinata penasaran.
"..." Naruto tidak menjawab.
"Naruto-kun?"
"A-aku, aku sudah lama tidak makan makanan buatanmu."
"Baiklah, aku akan membuatkan makanan terenak buatanku untukmu."
"Arigato Hinata-chan."

"Naruto-kun..." panggil Hinata dari luar apartemen.
Naruto terbangun dari tidurnya pagi itu. Kalau dilihat dari celah di gordennya, kelihatannya masih terlalu pagi untuk bangun. Ia melihat jam di kamarnya dengan malas. Jam 05:30. Bagi Naruto jam 05:30 memang masih pagi.
"Hoaammm.." Ia menguap lebar saat berjalan menuju pintu.
"Selamat ulang tahun," kata Hinata saat pintu apartemen dibuka. Naruto tersenyum, rasa kantuknya langsung lenyap seketika.
"Kamu jadi orang pertama yang mengucapkan itu. Wajar sih, karena membangunkanku sepagi ini."
"Gomen, katanya ingin kumasakan sarapan. Lagipula aku tidak yakin kamu punya stok bahan makanan."
"Hehe, kamu benar." Naruto nyengir tanpa dosa.
"Kalau begitu aku belanja dulu," kata Hinata dan berbalik untuk pergi ke pasar.
"Tunggu, aku akan menemanimu. Aku bawa jaket dulu."
Hinata tersenyum, pasti belanjanya kali ini akan menyenangkan pikir Hinata.

Belanja bahan makanan memang biasa dilakukan Hinata. Dari dulu ia memang suka mengikuti bibi pelayannya jika ke pasar. Hinata juga sering memilihkan bahan makanan yang akan dimasak, termasuk membantu para koki untuk memasak. Meskipun sering dilarang, tapi Hinata tetep ngotot melakukannya. Karena menurutnya, belanja dan memasak itu adalah hal yang menyenangkan.
Keadaan pasar yang padat pagi itu tidak membuat Hinata dan Naruto mengeluh. Naruto hanya mengikuti Hinata sambil tersenyum. Berpindah dari toko satu ke toko lainnya, kemudian membawakan belanjaan yang dibeli. Sedangkan Hinata memilih-milih bahan makanan sambil sesekali menanyakan makanan apa yang disukai Naruto. Tentunya selain ramen.
Setelah merasa cukup, mereka berdua kembali ke apartemen Naruto.
Sementara Hinata memasak, Naruto pergi mandi. Dan setengah jam kemudian saat Naruto selesai mandi, aroma masakan sudah bisa tercium dari ruang makan.
"Whoa, apa menunya tidak terlalu banyak? Ada daging, ada sayur, bahkan ada buah juga." Mata Naruto berbinar-binar saat melihat masakan Hinata yang sudah siap di meja makan. Hanya melihatnya saja sudah bisa menggugah selera.
"Tidak kok, meskipun jenis menunya banyak, tapi porsinya pas untukmu. Aku juga ingin memasak makanan yang bergizi untukmu," kata Hinata malu-malu.
"Baiklah. Tapi jangan hanya bilang 'untukmu', untuk 'kita'. Jadi kamu juga harus makan."
"H-hai." Hinata kemudian melepas apronnya dan duduk bersama Naruto, kemudian keduanya makan bersama. Ternyata menyenangkan sekali saat bisa sarapan bersama orang yang kau sayangi.
Setelah selesai makan, Naruto pergi bekerja sementara Hinata tetap di apartemen Naruto. Awalnya Hinata menolak karena merasa tidak enak jika dirinya tetap di apartemen Naruto sementara Naruto pergi. Tapi Naruto bilang, Hinata masih punya janji untuk menyiapkan makan siang untuk dirinya. Akhirnya Hinata menurut dan siang itu dia kembali memasak dan membawakan makan siang Naruto ke toko bunga Yamanaka.
Sedangkan malamnya, mereka kembali makan berdua di apartemen Naruto. Hinata tidak memasak terus sebenarnya. Ada sebagian makanan sisa makan siang dan sarapan yang ia hangatkan. Sayang juga kalau tidak dimakan.
Setelah makan malam selesai Naruto mengantar Hinata pulang.
Sesampainya di depan Hyuuga Mansion, Naruto memeluk Hinata lama. Hinata sedikit aneh pada kelakuan Naruto yang tiba-tiba ini. Di perjalanan saat mengantarnya barusan juga Naruto hanya diam. Ia yakin kalau ada sesuatu yang membuat pacarnya itu berlaku aneh begini.
"Naruto-kun, kamu ada masalah?" tanya Hinata saat Naruto melepas pelukannya.
"Tidak. Aku pulang dulu. Selamat ma..." Hinata menahan tangan Naruto.
"Jangan lupakan byakuganku, aku tahu saat kamu bohong."
"..." Naruto lupa kalau pacarnya bisa mengetahui saat dirinya berbohong.
"Aku tidak mengizinkanmu pulang sebelum kamu ceritakan masalahmu padaku."
Merasa tidak ada jalan lain, Naruto akhirnya angkat bicara. "Seminggu lagi aku akan pergi latihan dengan Ero-Sennin selama 3 tahun."
"..." Hinata terdiam. Ternyata benar 'kan Naruto menyembunyikan sesuatu.
"Aku belum siap kalau harus berpisah selama 3 tahun denganmu," lanjut Naruto.
Keduanya kemudian terdiam. Kabar itu memang membuat keduanya sedih, apalagi Hinata. Tapi Hinata tetap berusaha tenang dan tidak cengeng.
"Ka-kalau begitu selama seminggu ini aku akan memasak makanan untukmu," kata Hinata sambil memaksakan sebuah senyuman. Kemudian Naruto ikut tersenyum.

Waktu seminggu begitu cepat berlalu. Setiap hari Hinata menyiapkan makanan untuk Naruto, dan sekarang sudah saatnya Naruto pergi.
"Hinata-chan, aku pergi dulu. Kamu mau menungguku 'kan?" tanya Naruto saat mereka berada di gerbang Konoha. Naruto sudah terlebih dahulu pamit kepada teman-temannya yang lain. Sekarang hanya tinggal pamit kepada Hinata. Hal yang paling sulit dilakukannya.
"Tentu saja." Hinata berusaha tersenyum walaupun hatinya sedih.
Kemudian Hinata memberikan bento kepada Naruto, masakan terakhirnya untuk Naruto sebelum mereka berpisah selama 3 tahun. Walaupun kalau boleh jujur, sebenarnya Hinata ingin berteriak 'Tolong jangan tinggalkan aku!'. Tapi itu tak mungkin dilakukannya. Kepergian Naruto adalah demi kebaikan Naruto juga, agar Naruto bisa berlatih dan lebih kuat, sehingga bisa mengejar cita-citanya menjadi Hokage.
"Aku akan usahakan memberimu kabar lewat surat," kata Naruto.
"Na-Naruto-kun..." Hinata menundukkan wajahnya.
Badan Hinata mulai bergetar, kelihatannya pertahanannya akan runtuh. Seberapa kuatpun Hinata mencoba untuk tabah dan merelakan kepergian Naruto, ujung-ujungnya tetap saja dia merasa sedih. Naruto menarik Hinata ke dalam pelukannya, menenangkan Hinata yang saat itu sudah mulai terisak.
"Hei, sudah jangan menangis."
Naruto mengusap-ngusap puncak kepala Hinata. Berusaha menenangkan pacarnya itu. Ia mengerti seberapa sedih Hinata, karena ia merasakan hal yang sama. Bedanya dirinya lebih bisa menyembunyikan perasaan sedihnya dibanding Hinata. Pasangan mana sih yang tidak sedih saat harus berpisah padahal baru 2 bulan pacaran?
"Hinata-chan..." Naruto melepas pelukannya kepada Hinata dan menyeka air mata di pipi Hinata dengan jari-jarinya. Kemudian ia mengeluarkan kunci apartemen dari kantong celananya. Kemudian melepas kunci duplikatnya.
"Begini saja. Ini untukmu." Naruto menarik tangan kanan Hinata dan meletakkan kunci duplikat itu di telapak tangan Hinata.
"Ini..." Hinata menatap lekat-lekat kunci di telapak tangannya.
"Ya, itu kunci apartemenku. Kalau kamu merindukanku, kamu boleh datang ke apartemenku," Naruto mengembangkan senyumannya.
"Aku pergi ya, kasihan Ero-Sennin sudah menungguku. Jangan sedih lagi ya Hinata-chan," lanjut Naruto sambil memegang kedua pundak Hinata.
"Hai," kali ini Hinata bisa tersenyum kembali.
"Sampai jumpa lagi Hinata-chan," Naruto berlari menuju Jiraiya yang sudah menunggunya sambil malambaikan tangannya kepada Hinata.
"Ya, aku akan menunggumu!" teriak Hinata, melupakan segala rasa malunya untuk berteriak. Senyuman terlukis jelas di bibirnya.
'Cepatlah kembali Naruto-kun...'
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar