pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 8

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Hinata OOC di chapter ini, berani marah dan berteriak kepada Naruto. Tapi karena NaruHina udah deket selama ampir setahun, saya pikir itu wajar. Bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
Naruto berjalan paling belakang. Menatap Hinata yang masih digendong di punggung Kiba. Dia tahu Kiba itu sahabatnya dan Kiba tidak menyukai Hinata. Tapi entah kenapa dadanya tetap memanas. Dia semakin cemburu. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Saat ini Hinata membencinya, tidak mungkin Hinata mau digendong olehnya.
Naruto mulai merasa aneh sekarang, padahal dia gagal menemukan Sasuke. Tapi kenapa justru yang membuat hatinya tidak enak adalah kenyataan bahwa sekarang Hinata membencinya? Apa memang Hinata lebih penting dari pada Sasuke?
'Kalau disuruh memilih siapa yang akan kau pilih? Hinata atau Sasuke?'
Naruto kembali teringat pada pertanyaan Ino.
"Aku tidak bisa memilih salah satu Ino. Keduanya penting bagiku. Tapi kalau memang aku harus memilih, sepertinya aku lebih memilih Hinata," gumam Naruto pelan.
.
.
.
Chapter 8
-Karena Aku Menyayangimu-
Normal POV
Naruto menatap gadis lavender di depannya. Mata shapirenya memperhatikan rambut indigo pendek sang gadis yang melambai-lambai karena tertiup angin malam. Cahaya bulan malam memantul indah di benang-benang indigo sang gadis. Naruto semakin terpukau melihat gadis yang disukainya. Terpukau melihat kecantikan gadis yang bernama Hinata Hyuuga itu.
'Cantik sekali,' pikirnya. Tapi sedetik kemudian Naruto tersenyum kecut saat menyadari kalau Hinata masih digendong sosok lain yang tentunya bukan dirinya. Wajahnya kembali muram. Berulang kali Naruto menghela nafas panjang, menenangkan hatinya yang kian tak karuan. Berapa kali pun Naruto mencoba menghilangkan sosok Hinata dari pikirannya, usahanya selalu gagal karena bayangan sang gadis selalu menempel di otaknya.
Dan yang paling membuatnya tidak mengerti adalah tidak peduli seberapa dinginpun udara malam itu, Naruto tetap merasa 'gerah'. Dadanya masih saja memanas menatap pemandangan di depannya. Naruto tidak tahu harus berbuat apa sekarang, ia baru pertama kali mengalami hal ini. Mungkin inilah yang namanya perasaan 'cemburu', yang selama ini sering dibilang orang.
Pikiran-pikiran Naruto terhenti saat Shino yang berada paling depan memberikan sinyal untuk berhenti berlari. Naruto yang heran kemudian mendekatinya.
"Ada apa Shino?"
"Sepertinya ada seseorang di depan sana."
Naruto mengikuti arah pandangan mata Shino. Keadaan hutan yang gelap memaksa Naruto untuk manajamkan penglihatannya. Dilihatnya ada titik kuning kemerah-merahan di depan mereka. Seperti titik api. Itu berarti ada orang lain selain mereka di hutan ini.
"Hinata."
Hinata langsung mengerti apa maksud panggilan Shino. Hinata segera mengaktifkan byakugannya kemudian mengamati objek yang berada di depannya, dengan jarak kurang lebih 500 m. Sesekali urat di sekitar matanya berkontraksi untuk lebih memfokuskan penglihatannya. Setelah objek yang dicarinya ditemukan, dia menonaktifkan kembali byakugannya.
"Bagaimana?" tanya Kiba.
"Jangan khawatir, itu Team 10," jawab Hinata. Tiga laki-laki disana sedikit kaget tapi kemudian menghela nafas lega. Kemudian Shino memberi sinyal untuk kembali berlari melanjutkan perjalanan.
"Team 10? Apa yang mereka lakukan di tempat seperti ini?" tanya Naruto berusaha mengimbangi kecepatan Shino. Naruto khawatir kalau diam paling belakang terus, dia akan disuguhi 'pemandangan' yang tidak mengenakkan kemudian hatinya akan semakin sakit.
"Aku tidak tahu. Sekarang kita bergabung saja bersama mereka. Lebih banyak orang lebih baik," jawab Shino dengan ekspresi datarnya. Yang lain tidak merespon, merasa kalau keputusan sang pemimpin team sudah tepat.
Menyadari ada yang datang, Shikamaru menyuruh Ino dan Chouji waspada dan dijawab oleh anggukan kedua temannya tersebut.
"Shikamaru! Ini aku Naruto," teriak Naruto dari kejauhan untuk menenangkan ketiga murid Asuma-sensei yang sudah bersiaga. Setelah melihat Naruto dan juga Team 8, tiga orang itu kembali tenang dan menyimpan kunai mereka masing-masing.
"Sedang apa kalian disini?" tanya Naruto menghampiri Shikamaru.
"Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kalian lakukan di dekat perbatasan Negara Api?" tanya Shikamaru.
"Kami sedang mendapat misi mencari Sasuke," jawab Naruto.
"Sejauh ini?" Kali ini Chouji yang bertanya.
"Ya, dan sepertinya Sasuke sudah pergi dari Negara Api." Ekspresi wajah anggota Team 10 berubah sedih, Naruto tahu mereka khawatir padanya. Shikamaru menepuk pundak Naruto menenangkan. Tapi Naruto tidak ingin terlalu terlarut dalam kesedihan masalah Sasuke, ada yang lebih membuat hatinya sedih sekarang, yaitu Hinata.
"Jangan khawatirkan aku. Aku tidak apa-apa. Kalau kalian sedang apa disini?" tanya Naruto lagi.
"Kami mendapat misi untuk mengamankan perbatasan. Katanya akhir-akhir ini sering ada penyusup," jawab Chouji, kemudian melanjutkan acara makan snacknya yang tadi sempat tertunda.
"Kalau begitu kami juga akan istirahat disini," kata Shino sambil meletakkan tasnya. Diikuti Kiba yang menurunkan Hinata dari gendongannya. Naruto menyadari itu. Merasa ada kesempatan, kemudian dia mendekati Hinata.
"Hinata-chan..." panggil Naruto. Naruto bergegas mendekati Hinata. Berharap bisa berbicara dengan Hinata dan menjelaskan kesalahpahaman kemarin lusa. Tapi kelihatannya Naruto harus kecewa lagi. Kali ini Hinata juga menjauhinya, memilih untuk menyendiri dan membuat wajah Naruto kembali muram.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata aquamarine yang memperhatikan gerak-gerik mereka. Keningnya berkerut tanda kebingungan.
Naruto berjalan dengan lesu kemudian duduk di sebuah batu besar, agak jauh dari teman-teman yang lain. Tangannya memeluk lututnya. Pikirannya menerawang membayangkan runtutan kegagalan misinya. Bisa dibilang semua yang direncanakannya GAGAL TOTAL. Terutama misi-tidak-tertulis yang masuk kategori 'penting', yaitu menyatakan cinta kepada Hinata. Dengan keadaan Hinata yang sekarang membencinya, tentunya hal itu jadi sulit dilakukan.
Naruto mulai berpikir kalau tidak ada gunanya dia kembali ke masa lalu kalau akhirnya semua rencananya gagal begini. Masalahnya belum sembuh rasa kecewa dihatinya karena kegagalannya menyelamatkan Hokage Ke-3 dan Sasuke, dan sekarang malah bertambah masalah baru lagi. Masalah yang menurutnya jauh lebih besar dari dua masalah sebelumnya dan sangat dihindari Naruto dari awal dia kembali ke masa lalu. Yaitu Hinata membencinya.
Jujur saja, sejak awal Naruto paling takut akan hal ini. Saking takutnya, Naruto tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ironisnya sekarang hal ini malah benar-benar terjadi pada dirinya. Bagi Naruto, Hinata itu terlalu baik dan polos untuk disakiti. Hinata itu gadis yang sensitif, makanya Naruto sudah bertekad untuk melindungi Hinata dan tidak membiarkannya sedih. Dia akan menghajar siapa saja yang membuat Hinata sedih.
Dan sekarang Hinata sedih dan membenci dirinya. Seharusnya sekarang dia menghajar dirinya sendiri 'kan?
Benar! Menghajar dirinya sendiri!
Seakan mendapat ide untuk mengurangi rasa bersalahnya, Naruto bersiap berdiri untuk 'menghajar' dirinya sendiri. Tapi sebelum dia berdiri, seseorang menepuk pundaknya.
"Hei Naruto, ada apa?" Mata aquamarine itu menatap Naruto penuh tanya.
"Ino..." Naruto mengurungkan niatnya dan kembali duduk disana. Ino mengikutinya duduk.
"Sepertinya kalian saling menjauh." Naruto mengerti siapa yang dimaksud 'kalian' oleh Ino.
Naruto menghela nafas panjang, tangannya kembali memeluk lutut kemudian dagunya disimpan di atas lutut. Ino memang selalu tahu saat Hinata dan dirinya sedang ada masalah. Awalnya Naruto tidak ingin menceritakan hal ini kepada Ino karena selama ini dia sudah terlalu banyak merepotkan gadis pirang itu. Tapi sekarang terlambat untuk itu, Ino sudah curiga. Dan bukanlah pilihan yang bijak untuk menyembunyikan sesuatu saat Ino sudah curiga. Gadis itu akan terus memaksa sampai Naruto mau menceritakan semuanya.
"Bukan saling menjauh, tepatnya Hinata-chan yang menjauhiku," kata Naruto membenarkan.
"Kok bisa?" tanya Ino sedikit kaget.
Merasa tidak punya pilihan, Naruto memutuskan untuk menceritakan masalahnya. Siapa tahu sekarang Ino bisa membantunya, seperti sebelum-sebelumnya.
"Kau tahu misi mencari Bikochu?" tanya Naruto, memulai penjelasannya.
"Tentu saja. Ingatanmu selama 16 tahun hidup di dunia sudah seperti kitab besar di otakku," kata Ino dengan tatapan kau-pikir-gara-gara-siapa-aku-tahu-semua-isi-otakmu.
Naruto memberikan jeda sebentar. Mempersiapkan kalimat selanjutnya. Ino menunggunya dengan tidak sabar.
"Ternyata gadis yang berada di air terjun adalah Hinata-chan..." gumam Naruto pelan.
"APA?" Ino melonjak kaget.
"Sssstttt!" Naruto menyimpan telunjuk kanannya di depan bibir, menyuruh Ino mengecilkan volume suaranya yang cempreng itu. Memang posisi mereka berada jauh dari teman-teman yang lain, tapi kalau berteriak begitu tetap saja yang lain bisa dengar.
"Gomen gomen, aku kaget. Lalu?"
"Masalahnya saat aku memergokinya di air terjun itu, Hinata-chan hanya memakai pakaian dalamnya. Dan dia menuduhku mengintipnya. Dia pasti sangat membenciku sekarang," kata Naruto panjang lebar.
Ino hanya melotot menatap Naruto tak percaya. Mulutnya menganga lebar, saking kaget mendengarkan kebodohan Naruto.
Plak!
"Owww! Apa yang kau lakukan?" tanya Naruto memegangi pipinya. Sekarang sudah ada gambar bekas tangan Ino yang berwarna merah di pipi kanannya.
"Tamparan itu untuk mewakili tamparan Hinata. Kau memang tidak bisa diharapkan. Kalau aku ada di posisi Hinata, aku akan melakukan hal yang sama. Seharusnya kau jangan langsung memergokinya begitu, dasar tidak sopan. Aku heran kenapa Hinata menyukai orang mesum sepertimu." Ino membuang muka dan menyimpan kedua tangannya di dada. Malang sekali Naruto, untuk kasus yang sama, dia mendapat hukuman ganda berupa Jyuuken Hinata dan tamparan maut Ino.
"Ayolah Inoooo, jangan memojokkanku begini. Aku tidak sengaja," kata Naruto memelas.
"Ini murni kesalahanmu. Satu-satunya cara adalah kau bicara jujur kepadanya."
"Bagaimana mau bicara? Kalau tiap aku mencoba menjelaskan saja dia selalu mengusirku dan meneriakiku mesum."
"Jangan menyerah baka! Coba terus, nanti juga hatinya luluh," bentak Ino. Naruto manggut-manggut mengerti, atau entah takut melihat kelakuan Ino. Kemudian Naruto kembali ke posisinya semula: duduk memeluk lutut. Ino memperhatikan Naruto, dia merasa iba juga melihat bocah yang biasanya banyak bicara sekarang malah murung begini.
"Jangan murung begitu," hibur Ino.
"..." Naruto tidak merespon, tapi dia berusaha memaksakan dirinya tersenyum. Meskipun hasilnya malah jadi terlihat aneh.
"Hei, kulihat sekarang kau sudah bisa menentukan pilihan antara Sasuke atau Hinata."
"Ya," jawab Naruto, kali ini tersenyum dengan lebih tulus.
"Kalau begitu perjuangkan pilihanmu itu Naruto. Sudah ya, aku tidur dulu." Ino menepuk pundak Naruto kemudian berlalu meninggalkannya. Naruto menatap punggung gadis pirang itu tanpa melepas senyumannya.
Pandangan Naruto beralih ke langit, menatap bulan yang bulat sempurna malam itu.
"Perjuangkanlah yang sudah kau pilih... Baiklah, aku mengerti." Naruto beranjak dan mengikuti arah yang ditinggalkan Ino untuk bergabung bersama teman-teman yang lain.
"Hinata-chaannnn, sini bersamaku."
"Hai."
"Hei kalian, perhatikan garis ini!" Ino menarik garis di tanah dengan sebuah batu kecil. "Ini daerah khusus perempuan, kalian para laki-laki jangan macam-macam dan melewati garis ini. Kalau melanggar kalian akan tahu akibatnya!"
"Iya-iya, dasar merepotkan," ujar Shikamaru sambil menguap.
Yang lain hanya berguman tidak jelas. "Memangnya siapa yang mau macam-macam padamu?"
"Kalian tidurlah, aku jaga duluan. Nanti 2 jam lagi giliranmu Naruto." kata Shino, menatap yang lain secara bergantian.
Di luar dugaan Naruto berdiri dan mendekati Shino. Yang lain menatapnya heran.
"Tidak, kau tidur saja duluan Shino. Aku yang akan jaga duluan."
"Kau yakin?" tanya Chouji. Karena tidak bisa dipungkiri rasa letih terlihat jelas di wajah Naruto dan Chouji bisa dengan jelas melihat itu.
"Ah, kemarin saja kau ketiduran," ledek Kiba dan didukung gonggongan Akamaru, "Guk, guk, guk!"
Naruto mengacuhkan ledekan Kiba. Kepalanya menggeleng kemudian mengibas-ngibaskan tangannya. Sebuah isyarat untuk menyuruh Kiba pergi tidur. "Kali ini aku tidak akan ketiduran, percayalah padaku. Aku memang belum mau tidur," kata Naruto meyakinkan teman-temannya.
Yang lain saling bertukar pandangan, kemudian beralih menatap Shino.
"Baiklah," kata ninja serangga itu.
Akhirnya yang lain pergi tidur sementara Naruto tetap duduk di dekat api unggun. Tangan kanannya memainkan api menggunakan potongan kayu bakar. Sebuah kegiatan yang sebenarnya terlalu kekanakan untuk dilakukan seorang remaja berumur 16 tahun + 10 bulan. Namun hatinya yang sekarang sedang sedih tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Keputusannya untuk berjaga duluan juga karena dia yakin dirinya tidak akan bisa tidur dengan keadaan hatinya yang sekarang. Mata shapire itu memandang kobaran api di depannya dengan tatapan kosong. Sedangkan pikirannya masih sibuk mencari cara untuk memperjuangkan pilihannya, mencari cara agar Hinata mau memaafkannya.
Dari kejauhan, Hinata diam-diam mencuri pandang ke arah Naruto. Entah kenapa hatinya jadi ikut sedih melihat keadaan Naruto yang murung seperti sekarang. Selain itu ada sedikit rasa khawatir di hatinya mengetahui Naruto berjaga pertama. Dia tahu betul kalau Naruto sudah lelah. Tapi sebisa mungkin Hinata mencoba menghilangkan perasaan itu. Naruto pantas mendapatkannya sebagai hukuman karena sudah berani mengintipnya.
"Sudah jangan khawatirkan Naruto, dia akan baik-baik saja," kata Ino menggoda Hinata.
Hinata yang ketahuan memperhatikan Naruto langsung gelagapan.
"Ti-tidak, um... aku tidak mengkhawatirkannya..."
"Hihi, kamu lucu. Sudahlah sekarang kita tidur."
"H-hai."

Keesokan paginya, Naruto bangun paling siang. Maklum saja, dia baru bisa tidur menjelang pagi. Saat tengah malam Shino sampai heran karena meski giliran berjaga Naruto habis, Naruto tidak juga tidur. Begitu juga saat jam 2 pagi saat giliran Shikamaru berjaga, Naruto malah melamun di depan api unggun.
Dikucek-kuceknya mata shapire itu dengan malas. Yang lain sedang membereskan barang-barang mereka. Malah Team 10 sudah bersiap untuk pergi. Dalam keadaan yang setengah sadar, Naruto melihat Ino bicara pada Shino.
Beberapa saat kemudian Shino menyuruh Naruto, Hinata dan Kiba berkumpul.
"Aku dan Kiba akan pulang ke Konoha duluan. Kau bersama Naruto saja ya Hinata?" tanya Shino kepada Hinata, tapi terdengar seperti sebuah paksaan yang tentu saja direspon dengan penolakan sengit Hinata.
"A-apa? Tidak mau!" tolak Hinata, ia sedang bertengkar dengan Naruto, mana mau dia bersama Naruto?
"Aku harus cepat-cepat melapor ke Hokage-sama mengenai misi ini, jadi kami akan kembali berlari agar cepat sampai."
"Tapi kakiku sudah tidak apa-apa," elak Hinata.
"Jangan paksakan dirimu Hinata, kau bersama Naruto saja."
Naruto hanya diam disana, tambah bingung. Dia merasa ada yang aneh. Kemudian tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Ino. Kemudian Naruto memandang Ino dengan tatapan ada-apa-ini. Ino tidak menjawab, dia hanya mengedipkan sebelah matanya.
'Apa mungkin ini rencana Ino?' pikir Naruto.
"He-hei, tunggu." Hinata masih saja berusaha menolak.
"Kami pergi," kata Shino dan mulai berlari, diikuti Kiba dan Akamaru.
"Kami juga pergi," kata Ino, mewakili Team 10.
Akhirnya hanya tinggal Naruto dan Hinata berdua.
Naruto bergegas membereskan barangnya dalam diam. Keadaan menjadi sangat canggung sekarang. Padahal sebelumnya mereka akrab sekali. Insiden beberapa hari lalu benar-benar merusak kedekatan mereka. Padahal Naruto sudah susah payah membangun kedekatan dengan Hinata selama setahun terakhir ini.
"Hinata-chan," kata Naruto berusaha mengusir keheningan diantara mereka berdua. Barang-barangnya sudah selesai dibereskan. Dan sekarang dia mendekati Hinata.
Tapi Hinata malah pergi dan mulai berlari. "Hmmph, aku masih marah kepadamu."
Sebelum jauh, Naruto menahan tangan Hinata.
"Le-lepaskan tanganku!" Hinata meronta berusaha melepaskan diri dari pegangan kuat Naruto.
"Tidak akan. Sebelum kamu mau mendengar penjelasanku," kata Naruto tidak mau kalah.
"Tidak mau." Hinata menyiapkan tangan kanannya. "JYUUKEN!"
Pandangan Naruto melebar. Naruto terpaksa melepas pegangannya di tangan kiri Hinata, dia tidak mau dadanya jadi sasaran empuk Jyuuken Hinata untuk kedua kalinya.
WOOSH!
Naruto mengelak ke samping. Jyuuken Hinata berhembus beberapa senti di samping tubuhnya. Kalau terlambat sedetik saja, mungkin itu jadi Jyuuken kedua yang bersarang di dada Naruto. Naruto kemudian mundur. Rasanya tidak tepat kalau bicara dengan Hinata sekarang.
Hinata membuang muka dan kembali berlari melanjutkan perjalanan. Naruto berlari mengikuti Hinata dari belakang. Ditatapnya Hinata yang berlari di depannya dengan sedih.
'Apa yang harus kulakukan?' batin Naruto.
.
.
.
Satu jam berlalu dan keadaan masih sama. Tidak ada perkembangan berarti antara Naruto dan Hinata. Kemudian Naruto teringat tekadnya semalam.
'Perjuangkanlah yang sudah kau pilih.'
Kemudian bibir Naruto melengkung membentuk sebuah senyuman, tangannya mengepal. Dia harus mengakhiri ini. Kalau dengan cara halus tidak berhasil, mungkin harus dengan cara 'kasar'. Naruto tersenyum penuh arti.
Dia tahu ini penuh resiko, perbandingannya 50:50. Kalau berhasil Hinata akan memaafkannya, tapi kemungkinan terburuknya adalah Hinata akan semakin membencinya. Tapi hanya ini yang terpikirkan olehnya sekarang. Tidak ada cara lain untuk mengakhirinya.
Naruto menambah kecepatan larinya dan berlari tepat 1 meter di belakang Hinata. Hinata yang menyadarinya mulai merasa terganggu.
"Kenapa mengikutiku?" tanya Hinata.
"Eh? Mau bagaimana lagi? Tujuan kita 'kan sama mau ke Konoha," kata Naruto nyengir.
"Ukh..." Hinata terlihat salah tingkah. Naruto terkekeh melihat tingkah Hinata.
'Apa mungkin Hinata salah tingkah karena hanya berdua dengannya sekarang?' pikir Naruto. Tapi dibuangnya jauh pikiran-pikiran itu. Dia harus fokus pada rencananya.
"Hinata-chan..."
Hinata menoleh dan mendapati Naruto sudah berada kurang dari 10 cm darinya. Naruto memegang kedua tangan Hinata dan menariknya tanpa memberi kesempatan Hinata untuk menghindar.
"Kyaaa... Lepaskan!" teriak Hinata.
Kemudian Naruto menekan Hinata ke pohon, mengurungnya dengan kedua tangannya. Dengan kedua tangan yang dipegang seperti ini, Hinata tidak bisa menyerang Naruto lagi.
Hinata membelalakkan matanya. Dia tidak mengira Naruto akan melakukan hal ini.
Wajah Naruto terlihat serius. Walaupun sebenarnya ada rasa takut disana. Dia yakin kalau Hiashi tahu anak gadisnya diperlakukan seperti ini, nyawa Naruto tidak akan panjang lagi.
"Dengarkan aku," ujar Naruto memulai kata-katanya.
"Tidak!"
"Dengarkan dulu penjelasanku."
"Tidak, tidak, tidak! Lepaskan aku!" Hinata meronta sebisanya. Berusaha lepas dari cengkraman tangan kuat Naruto. Tapi percuma saja, kekuatannya berada jauh di bawah Naruto.
"Aku tidak mengintipmu Hinata-chan."
"Bohong..."
"Aku tidak bohong."
"Bohooong. Lepaskan aku..." Badan Hinata mulai bergetar.
"Percayalah padaku..." Naruto masih belum menyerah, dipegangnya Hinata lebih kencang.
"A-aku tidak percaya padamu," Hinata menunduk dan getaran di tubuhnya semakin kencang. "Lepaskan aku... aku mohon... a-aku mohon.. hiks..." Dan kalimat perintah itu sekarang sudah terdengar seperti permohonan. Begitu pelan dan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya, termasuk Naruto. Refleks Naruto melepas pegangannya di tangan Hinata.
Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangannya kemudian mulai terisak. Tetes demi tetes air mata keluar dari mata lavender itu. Mengalir keluar dari sela jemari lentik miliknya. Melihat cairan bening yang terus mengalir tanpa henti itu membuat Naruto mematung disana.
Dengan begitu semuanya jelas sekarang. Rencananya gagal lagi. Lagi, lagi dan lagi. Seharusnya dia tahu kalau Hinata itu terlalu lembut dan sensitif jadi tidak cocok jika diperlakukan dengan kasar. Dan Naruto merasa ini akhir dari segalanya. Impiannya untuk menjadi pacar Hinata hanya tinggal mimpi belaka, mimpi yang tidak akan tercapai.
Dada Naruto terasa sesak, hidungnya panas dan merah sekali. Matanya begitu berat dan pandangannya mengabur. Tanpa terasa, cairan bening yang bernama 'air mata' itu sudah memenuhi mata shapire Naruto. Sudah siap untuk mengalir turun. Reaksi yang spontan dilakukan tubuh Naruto saat melihat Hinata menangis di hadapannya. Terutama kali ini Hinata menangis gara-gara perlakuannya yang sudah keterlaluan. Naruto meremas dadanya saat tiba-tiba hatinya terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk.
Air matanya mulai mengalir di pipinya. Naruto mengusapnya berulang kali. Dia tidak mau menangis karena menurutnya menangis itu adalah tanda kelemahan seorang laki-laki. Tapi berapa kalipun Naruto mengusap air matanya, mata shapirenya terus saja mengeluarkan air mata lain. Dia benci kenapa tubuhnya bereaksi di luar kendalinya seperti ini. Rupanya gadis lavender di depannya begitu berarti sampai-sampai membuatnya seperti ini.
Tapi sekarang ia sadar, dirinya tidak pantas untuk Hinata. Hinata berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya.
"Go-gomen Hinata-chan." Naruto menjauh sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Ke-keberadaanku di dekatmu... hanya membuatmu sedih. Mulai sekarang aku... aku tidak akan mendekatimu lagi... Gomen..."
Naruto berjalan meninggalkan Hinata yang masih terduduk di dekat pohon. Tanpa Naruto ketahui tangis Hinata berhenti, Hinata mengangkat wajahnya dan terlihat kaget.
"Dan satu lagi... Aku... Aku tidak mungkin mengintip gadis yang kusukai..." kata Naruto dengan suara bergetar. Bersamaan dengan itu Naruto kembali berjalan sambil terus menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir.
Mata Hinata membulat, tangan kanannya menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Saat itu juga Hinata meneguhkan hatinya, sekarang bukan saatnya untuk berdiam diri. Bukan saatnya untuk mempedulikan rasa malu dan marah gara-gara kejadian beberapa hari lalu. Karena sekarang Naruto akan meninggalkannya, padahal dia tidak mau kehilangan Naruto. Dia takut kalau Naruto sampai meninggalkannya.
Tanpa pikir panjang lagi Hinata langsung berlari dan memeluk Naruto dari belakang. Menjauhkan rasa gugup dan malu yang menghampirinya saat dirinya melakukan hal itu.
"Naruto-kun!"
Naruto merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang. Juga kepala yang menekan punggungnya.
"Tolong... Jangan pernah meninggalkanku... hiks..." Hinata kembali terisak dan membasahi jaket orange Naruto.
Beban yang ada di diri Naruto seolah menghilang begitu saja setelah mendengar kalimat Hinata. Tapi meski begitu, air mata malah semakin deras keluar dari matanya. Air mata bahagia. Naruto segera membalikkan badannya dan membalas pelukan Hinata. Memeluk tubuh rapuh sang gadis seolah tak mau melepasnya.
Hinata kembali mempererat pelukannya. Kepalanya dibenamkan di dada Naruto. Naruto yang menyadari itu mengusap-usap kepala Hinata.
"Aku janji tidak akan meninggalkanmu Hinata-chan... Karena aku... aku sangat menyayangimu..." gumam Naruto di telinga Hinata. Membuat tubuh Hinata kembali bergetar, saat air mata kebahagiaan memaksa keluar dari mata lavendernya.
"A-aku juga..." balas Hinata di sela tangisannya. Ia semakin mempererat pelukannya kepada Naruto.
Cukup lama keduanya dalam posisi seperti itu. Menikmati kebersamaan mereka, karena inilah yang sudah lama mereka impikan, terutama Hinata.
"Kyaaa... Apa yang kamu lakukan Naruto-kun?"
Hinata terlonjak kaget saat Naruto menggendongnya ala bridal style. Dan melanjutkan perjalanan mereka menuju Konoha.
"Pegangan," kata Naruto sambil nyengir.
"Ti-tidak, turunkan aku, aku bisa jalan sendiri," kata Hinata terbata-bata. Belum cukup rasa malunya diuji sesaat yang lalu saat mereka berpelukan cukup lama, sekarang Naruto sudah melakukan hal yang membuatnya kembali berjuang menahan rasa malunya. Keadaan wajah Hinata sudah bisa ditebak: merona merah seperti kepiting rebus.
"Tidak mau." Naruto masih bersikeras, mengacuhkan Hinata yang nyaris pingsan di gendongannya.
"Tapi aku sudah tidak apa-apa, dari tadi pagi 'kan aku sudah bisa berjalan sendiri."
"Bukan masalah itu."
"Lalu?" tanya Hinata bingung.
"Aku cemburu," kata Naruto polos.
Hinata kaget. Hinata tidak bodoh, dia mengerti kalau cemburu itu tanda cinta. Kemudian pandangannya dialihkan ke objek lain, menjauh dari tatapan Naruto untuk menyembunyikan pipinya yang mulai memerah lagi.
"Aku cemburu waktu kemarin melihatmu digendong oleh Kiba. Aku juga ingin menggendongmu," lanjut Naruto karena menyadari Hinata tak kunjung merespon.
"Ta-tapi, jangan seperti ini. Aku malu." gumam Hinata pelan. Naruto terkekeh mendengar kata-kata Hinata. Memang Hinata paling lucu kalau sedang malu seperti itu. "Digendong di belakang saja."
"Baiklah, baiklah." Naruto kemudian mengalah dan Hinata turun kemudian digendong di belakang. Walaupun sebenarnya posisi seperti ini sama-sama membuat dada Hinata berdetak kencang. Karena pada posisi ini wajahnya berada dekat sekali dengan wajah Naruto. Selain itu dia harus memeluk leher Naruto agar tidak jatuh.
Keduanya terdiam setelah itu. Tapi tak lama Hinata memulai percakapan lagi. Ia ingin menanyakan hal yang dari tadi mengganjal di hatinya.
"Naruto-kun... apa sekarang kita..." Hinata tidak melanjutkan kalimatnya, terlalu malu untuk menyebutkan kata 'itu'.
"Kita apa?" tanya Naruto. Seperti biasa, tidak sadar dengan apa yang dibicarakan.
"Itu... Apa... apa kita... um.. pacaran?" Hinata tidak tahu sudah semerah apa pipinya sekarang, dia hanya bisa bersembunyi di belakang kepala Naruto.
Naruto tersenyum lebar. "Tentu saja. Kurasa aku tidak perlu lagi bertanya hal itu padamu. Lagipula kalaupun sekarang aku bertanya langsung dan memintamu jadi pacarku, kemudian kamu menolakku, aku akan tetap jadi pacarmu."
"Eh? Kenapa begitu?" tanya Hinata heran. Kepalanya agak maju kedepan karena penasaran. Ternyata Naruto juga menoleh ke arahnya sehingga tatapan mereka bertemu.
"Soalnya tidak ngobrol denganmu selama sehari saja membuatku kesepian. Karena itu, aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku tidak akan melepasmu lagi, meskipun kamu menolak jadi pacarku," kata Naruto sambil tersenyum. Tapi Hinata tahu kalau kata-kata Naruto itu serius.
"Baka," gumam Hinata pelan. Kata-kata Naruto begitu polos tapi sukses membuat hatinya berbunga-bunga.
"Hehe." Naruto nyengir sambil terus berjalan.
'Kalaupun kamu memintaku secara langsung, aku tidak akan menolak untuk jadi pacarmu Naruto-kun', batin Hinata. Kemudian kepalanya disandarkan ke pundak Naruto dan pelukannya ke leher Naruto semakin erat.
"Arigato," bisik Hinata di telinga Naruto. Naruto hanya terseyum. Tampaknya perjalanan mereka kali ini akan menyenangkan.

Sesampainya mengantar Hinata ke rumahnya, Naruto diajak Hinata untuk minum teh dulu. Awalnya Naruto menolak karena takut kalau harus berhadapan dengan Hiashi. Apalagi kalau mengingat perlakuannya kepada Hinata saat di perjalanan. Tapi setelah Neji bilang kalau Hiashi sedang tidak ada di rumah, Naruto akhirnya mau untuk sejenak minum teh di mansion besar milik Clan Hyuuga itu.
"Terima kasih untuk tehnya. Aku pulang dulu," kata Naruto setelah acara minum tehnya selesai. Hinata mengantarnya ke depan gerbang.
"Hati-hati," kata Hinata melambaikan tangan kepada laki-laki yang kini sudah menjadi pacarnya itu.
Tapi belum sampai 5 meter berjalan, Naruto berhenti kemudian berbalik. Tatapan mereka bertemu, shapire bertemu lavender. "Hinata-chan..."
"Ya?" Hinata memandang Naruto penuh tanya.
"Ternyata kamu juga suka warna pink ya? Kupikir hanya suka warna lavender saja," gumam Naruto sambil terkekeh.
Awalnya Hinata tidak mengerti apa maksud perkataan Naruto. Tapi kemudian dia ingat kejadian di air terjun tempo hari. Waktu dia berlatih di sana, Hinata memakai celana dalam berwarna pink. Menyadari itu sontak pipi Hinata memerah seperti kepiting rebus akibat rasa malu dan marah yang bercampur jadi satu.
"Naruto-kun!" Hinata melepas geta (sandal kayu) miliknya, bersiap untuk melemparkan 'benda keras' itu. Targetnya tidak lain dan tidak bukan adalah kepala bocah pirang di depannya. Ia mengambil ancang-ancang dan...
BLETAK!
Headshot! 100 point untuk Hinata! Benda itu sukses mengenai kepala Naruto! Rupanya Naruto tidak siap, karena tidak mengira Hinata akan melakukan hal itu.
"Awww..." Naruto mengusap-usap kepalanya yang sakit. Lain kali dia harus hati-hati karena ternyata meskipun Hinata pendiam, jangan kira dia tidak bisa marah.
"Rasakan itu dasar mesum!" bentak Hinata, menyimpan kedua tangannya di dada. Hinata tidak mengerti jalan pikiran Naruto. Baru saja mereka baikan, tapi Naruto hobi sekali menggodanya.
"Hei..."
"Apa?" bentak Hinata lagi, masih marah.
Tatapan mereka kembali bertemu. Tapi kali ini Hinata kaget, karena tatapan Naruto berbeda dari sebelumnya. Tatapannya melembut dan terasa begitu hangat. Tatapan seperti inilah yang membuat Hinata menyukai bocah pirang ini. Ditambah lagi bibirnya yang kali ini memasang seulas senyum.
'Naruto-kun begitu... tampan,' batin Hinata. Membuat Hinata mematung disana. Pipinya merona lagi.
"Besok aku tunggu di taman jam 10...," ujar Naruto, memberikan jeda.
"..." Hinata masih mencerna kata-kata Naruto.
"Jangan terlambat ya, ini kencan pertama kita," kata Naruto memamerkan cengirannya yang khas, kemudian berlalu meninggalkan Hinata yang masih mematung disana.
Mendengar kata 'kencan pertama' membuat pipi Hinata lebih merah dari sebelumnya. Jantungnya berdetak kencang seakan ingin meledak dan lututnya lemas seakan kakinya meleleh. Seumur hidup dirinya sangat mengharapkan kejadian ini.
Ditatapnya punggung Naruto sampai menghilang di tikungan. Sepertinya rasa marah Hinata kepada bocah pirang itu sudah lenyap entah kemana. Karena sekarang bibirnya melengkung, ia tersenyum. Bersyukur karena mimpinya telah jadi kenyataan.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar