pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 17

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D  

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip. Rated T for violence.

Cerita Sebelumnya:
"Aku ingin... Aku ingin kita seperti dulu, seperti saat kita belum mengetahui rahasia ini. Aku ingin melihat senyummu lagi. Karena itulah yang membuatku senang."
"Gomen, seharusnya aku membuatmu senang di sisa waktumu ini. Aku janji tidak akan sedih lagi."
"Aku tahu takdir kematianmu tidak bisa diubah. Tapi sekarang aku sudah tahu kelemahan Pain, jadi aku akan tetap berusaha merubah jam kematianmu. Satu jam saja sangat berharga untukku. Jadi, tunggulah aku."
Tiba-tiba saja cairan bening mengalir keluar dari mata lavender Hinata. Tak terasa air mata itu keluar tanpa bisa dikontrol olehnya. Seiring waktu yang kian sempit, semuanya menjadi jelas sekarang. Rasa egois itu mulai muncul lagi di hati Hinata. Ia belum mau mati, ia masih ingin bersama Naruto. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya bersama Naruto.
Naruto menghapus air matanya dengan kasar.
"A-aku sudah berjanji kepada Hinata-chan, agar tidak sedih," ujar Naruto meneguhkan hatinya.
"Pain, aku tahu kau kuat. Tapi Jinchuuriki Kyuubi punya kejutan untukmu di Konoha. Aku ragu kau bisa mengalahkannya. Sebagai bantuan, aku bisa memberitahumu sedikit titik lemah bocah itu. Carilah gadis Hyuuga berambut indigo yang bernama Hinata. Dia bisa jadi 'senjatamu' untuk melawan Jinchuuriki itu."
.
.
.
Chapter 17
- Pertarungan Melawan Takdir –
Naruto bersila di dekat kolam, di tempat latihannya di gunung Myobokuzan. Matanya terpejam penuh konsentrasi. Di sisi kiri dan kanannya ada bunshin miliknya, melakukan hal yang sama dengan Naruto yang asli. Fukusaku mengamati Naruto tak jauh dari sana. Bibirnya melengkung membentuk senyuman saat memperhatikan Naruto. Fukusaku sadar kalau Naruto sangat mirip dengan Jiraiya, muridnya sebelum Naruto. Baik dari sikap maupun tekad yang dimilikinya, mereka sama-sama pantang menyerah.
Sepuluh menit berlalu. Muncul warna orange di sekitar mata Naruto. Naruto membuka matanya dan kini pupil matanya berubah jadi seperti pupil kodok.
"Aku bisa merasakannya! Energi alam memasuki tubuhku!"
Naruto berdiri dan mengepal-ngepalkan tangannya. Merasakan aliran energi menjalari sekujur tubuhnya. Fukusaku yang dari tadi memperhatikan Naruto berjalan mendekat. Senyumnya semakin melebar.
"Bagus Naruto-chan, kelihatannya kau sudah bisa menguasai energi alam. Kau hanya tinggal belajar untuk mengontrolnya. Aku kagum, padahal kita baru berlatih 5 hari. Kalau seperti ini, kemampuanmu bisa melebihi Jiraiya-chan."
Pandangan Naruto berubah serius.
"Aku ingin segera pulang ke Konoha Jii-san, jadi aku harus secepatnya menguasai Sage Mode."
"Aku tahu, tapi jangan memaksakan dirimu. Terlalu sering menggunakan bunshin akan membuatmu cepat lelah."
"Tenang saja, aku tahu kemampuanku sendiri." Naruto mengepalkan tangannya lagi kuat-kuat.
"Baiklah. Sekarang aku akan mengajarimu cara mengontrol energi alam dan taijutsu dalam Sage Mode."
"Yosh!"

Malam itu jam sudah menunjukkan pukul 9, langit Konoha sudah gelap. Hanya cahaya dari bintang-bintang yang menerangi Konoha malam itu. Beberapa rumah penduduk ada yang lampunya sudah dimatikan, tapi sebagian masih ada yang menyala. Lampu ruang tengah bangunan utama Hyuuga Mansion adalah salah satu lampu yang menyala itu. Menandakan masih ada seseorang yang beraktifitas di dalamnya, yaitu Hyuuga Hiashi.
Hinata sedang berdiri di dekat pintu ruang tengah yang saat itu terbuka. Dari tadi ia sedang memperhatikan ayahnya yang sedang duduk di kursi santai. Sesekali ayahnya menyeruput teh yang berada dalam gelas di depannya.
Hinata terlihat sedang memainkan jarinya. Ia ingin menemui ayahnya tapi takut mengganggu ayahnya yang sedang bersantai. Sejak beberapa hari ini, ada yang mengganggu pikiran Hinata. Ada hal yang ingin ia pastikan dari ayahnya.
Setelah menguatkan hatinya, akhirnya Hinata memutuskan untuk menemui ayahnya.
"Tou-san."
Hiashi menoleh ke arah Hinata yang berada di pintu masuk ruang tengah, ia menatap Hinata datar tanpa ekspresi.
"Ada apa Hinata?" tanya sosok dingin itu.
"Umm, bisa kita bi-bicara sebentar?" tanya Hinata.
Aneh memang, Hinata bisa gugup padahal sedang bicara dengan ayahnya sendiri. Tapi mengingat bagaimana sifat Hiashi, sifat Hinata, dan hal yang ingin disampaikan Hinata kepada Hiashi sekarang, rasanya rasa gugup itu adalah wajar.
"Hn." Anggukan Hiashi memberikan isyarat kepada Hinata untuk segera mengutarakan apa yang ingin dibicarakannya.
Hinata mendekati Hiashi. Ia terdiam sebentar, menyiapkan kata-katanya.
"Apa... a-apa Tou-san bangga punya putri sepertiku?" tanya Hinata ragu.
Hinata memberanikan untuk bertatap muka dengan Hiashi. Dan saat itu, Hinata menangkap ekspresi Hiashi yang berubah, tapi Hinata tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan ayahnya sekarang. Ekspresi itu terlalu datar untuk diketahui apa artinya.
"Kenapa kau tiba-tiba tanya itu?" tanya Hiashi.
Hinata gelagapan.
Sebenarnya tujuan Hinata menanyakan itu kepada Hiashi adalah ingin memastikan bagaimana sebenarnya Hinata di mata Hiashi sekarang. Waktu kecil Hinata tahu kalau Hiashi kecewa padanya karena tidak bisa jadi kunoichi yang kuat. Bahkan dalam hal kekuatan, oleh Hanabi saja Hinata bisa kalah. Namun sejak Hinata masuk ke akademi, Hiashi tidak pernah secara jelas memperlihatkan tanggapannya mengenai perkembangan Hinata. Entah itu kecewa? Atau biasa saja? Hinata ingin memastikannya sekarang, sebelum semuanya terlambat.
Ini kesempatan terakhirnya. Seminggu lagi ia akan mati. Kalau ia tidak menanyakan hal ini kepada Hiashi sekarang, mau kapan lagi?
Hinata mencoba mencari alasan yang meyakinkan. Tidak mungkin ia jujur mengatakan kalau ia akan mati.
"Aku... hanya ingin tahu."
Hiashi tidak menjawab.
"Tou-san, aku sadar aku tidak bisa jadi anak yang Tou-san harapkan. Aku... aku tidak sekuat Neji-Niisan dan Hanabi-chan. Aku tahu kalau... Tou-san kecewa padaku," lanjut Hinata sedih.
Dada Hinata terasa sakit mengatakan itu. Ia tidak bisa membuat ayahnya bangga, bahkan hingga kematian hampir menjemputnya.
"Gomen." Hinata menunduk, air matanya sudah berkumpul di sudut matanya. Sudah siap untuk meluncur kapan saja.
"Jangan seenaknya mengambil kesimpulan," kata Hiashi masih dengan nada yang datar.
Hinata mendongak, memandang ayahnya.
Hiashi menepuk sofa disampingnya.
"Duduklah."
Hinata duduk di samping Hiashi, ia masih bingung. Kata-kata Hiashi tadi belum punya makna yang jelas. Ia perlu penjelasan yang lebih detail. Hiashi menghela nafas panjang.
"Aku memang kecewa padamu," ujar Hiashi. Hinata sempat kecewa saat itu, sebelum mendengar kata-kata Hiashi selanjutnya. "Tapi itu dulu. Sebelum kau bergaul dengan Naruto di akademi."
Hinata kaget, tapi ia bisa lega sekarang. Minimal ia tidak mengecewakan ayahnya. Hiashi melanjutkan kata-katanya.
"Di hari ulang tahunmu aku bicara dengan Naruto. Dia bilang kalau kalian pacaran."
"Eh? Itu..." Pipi Hinata mulai merona merah. Ternyata Naruto berani sekali. Sekarang ayahnya sudah tahu kalau mereka pacaran.
"Aku menerima dia sebagai pacarmu. Karena sejak kau mengenalnya, kau jadi rajin berlatih dan jadi pantang menyerah. Aku menyadarinya saat Ujian Chuunin. Kata-kata bocah itu telah menjadi penyemangatmu, bahkan hingga kini. Bukankah begitu Hinata?"
"Ah, i-iya," jawab Hinata gugup, masih dengan rona merah yang sama di pipinya.
"Karena itu aku menerimanya sebagai pacarmu. Dia membawa efek yang baik bagi kehidupanmu. Dan satu lagi, siapa bilang aku kecewa padamu? Kau sudah tumbuh jadi kunoichi yang cantik seperti Kaa-sanmu, dan kuat sepertiku. Jadi untuk apa aku kecewa? Aku bangga padamu."
Mata Hinata melebar mendengar perkataan Hiashi. Ia tidak percaya pada kata-kata Hiashi. Tapi Hinata dipaksa percaya saat sekilas ia melihat bibir Hiashi yang melengkung. Bertahun-tahun lamanya, Hinata yakin kalau baru kali ini ia melihat senyuman ayahnya. Biarpun hanya senyuman tipis, tapi tetap saja ayahnya tersenyum kepadanya, ini jarang sekali terjadi.
"Arigato Tou-san." Hinata memeluk ayahnya, air mata yang tadi tidak jadi keluar akhirnya keluar juga. Tapi bedanya, yang sekarang keluar dari mata lavender Hinata adalah air mata kebahagiaan.
Hiashi mengusap pelan rambut Hinata.
"Sekarang cepatlah tidur, sudah malam."
Hinata melepas pelukannya dan mengusap air mata yang masih mengalir. Kemudian Hinata membungkuk dan mohon diri. Hatinya senang sekali, ternyata ayahnya bangga padanya. Dan ini semua karena Naruto, pacar yang sangat disayanginya.
Hinata berjalan menuju arah kamarnya, tapi bukannya masuk ke kamarnya, Hinata malah mengetuk pintu kamar lain yang berada tepat di depan kamarnya.
Tak lama si penghuni kamar membukakan pintu.
"Nee-san?" Hanabi menatap Nee-sannya bingung.
"Aku boleh tidur di kamarmu ya?" tanya Hinata sambil tersenyum.
Kening Hanabi berkerut, ia bingung. Tidak biasanya kakak perempuannya ini ingin tidur bersamanya.
"Kenapa?"
"Memangnya aku tidak boleh tidur denganmu Hanabi-chan?"
"Ah, bu-bukan begitu. Hanya saja ini tidak biasa." Hanabi gelagapan, ia menarik tangan Hinata untuk masuk ke kamarnya.
Kemudian mereka tidur di kasur Hanabi, kebetulan kasurnya memang besar jadi muat untuk berdua.
Beberapa saat keduanya terdiam.
"Nee-san punya masalah?" tanya Hanabi.
"Tidak."
Hinata tidak mau membiarkan adiknya khawatir. Ia memutar badannya kesamping, menghadap Hanabi kemudian memeluk adiknya itu. Hanabi yang diperlakukan seperti itu langsung kaget.
"Aku hanya rindu masa kecil kita, waktu itu kita selalu tidur bersama. Aku selalu memelukmu seperti ini. Kamu ingat? Tidak terasa sekarang kamu sudah sebesar ini."
Hanabi tersenyum geli.
"Tentu saja, sebentar lagi aku akan setinggi Nee-san."
"Hihi. Sudah ah kita tidur, sudah malam."
"Hmm. Selamat tidur Nee-san."
"Selamat tidur Imouto-chan."
Hinata bersyukur dalam hatinya, hubungan dengan keluarganya baik-baik saja. Kalaupun ia harus mati sebentar lagi, Hinata sudah tidak punya beban lagi sekarang.
Hinata mempererat pelukannya kepada Hanabi. Hinata sadar, ia tidak akan bisa lagi melakukan ini minggu depan. Minggu ini adalah saat-saat terakhir yang bisa dinikmatinya bersama keluarganya.

"Baiklah kau sudah bisa menguasai Sage Mode dengan sempurna Naruto-chan. Tapi sebelumnya ada yang harus kau ketahui. Ada satu kekurangan dari Sage Mode. Sage Mode hanya dapat dilakukan dalam waktu yang terbatas. Jika kau ingin mengumpulkan energi alam lagi, kau harus mengistirahatkan badanmu dan memfokuskan pikiranmu. Itulah sebabnya kita membutuhkan teknik penggabungan antara tubuhku dan tubuhmu, kalau perlu dengan tubuh Ma juga. Dengan begitu jika kau kehabisan energi alam, kami berdua akan memberikan energi dari tubuh kami. Sehingga kau akan bisa berada dalam Sage Mode lebih lama."
"Aku rasa kita tidak bisa melakukan jurus penggabungan. Kyuubi akan menolaknya."
Fukusaku memandang Naruto penuh tanya. Tapi ia bersikeras untuk mencoba jurus penggabungan. Dan ternyata kata-kata Naruto benar. Kyuubi menolak jurus itu, tidak mengizinkan Fukusaku untuk bergabung dengan tubuh Naruto.
"Tidak apa-apa Jii-san. Aku tahu cara lain yang bisa digunakan." Naruto membentuk 3 bunshin. "Aku akan menyimpan 2 bunshin-ku disini. Mereka akan bertapa disini, mengumpulkan energi alam. Dan aku yang asli akan ke Konoha. Saat energi alamku habis, kau harus melakukan jurus Kuchiyose untuk memanggil bunshin-ku ke Konoha."
Fukusaku kali ini tersenyum.
"Kau memang hebat Nak. Kurasa cara ini akan berhasil."
"Ngomong-ngomong, latihan kita sudah selesai 'kan? Kita harus segera ke Konoha."
"Sekarang? Kodok pembawa pesan belum mengabarkan apa-apa dari Konoha. Itu berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Tidak. Sudah kubilang aku harus secepatnya pulang ke Konoha," kata Naruto bersikeras.
"Baiklah, Sage Modemu memang sudah sempurna. Jadi aku tidak khawatir. Aku akan menyuruh Ma untuk melakukan jurus Kuchiyose dan memanggil kita ke Konoha. Segera kemasi barang-barangmu, kita kembali ke Konoha sebentar lagi."
Setelah Naruto mengemasi barang-barang, Shima yang sudah berada di Konoha diberi pesan oleh Fukusaku untuk melakukan jurus Kuchiyose.
Dan tak lama kemudian Naruto dan Fukusaku muncul tak jauh dari tempat Shima berada.
"Kenapa buru-buru kembali ke Konoha?" tanya Shima.
"Aku sudah menguasai Sage Mode, lagipula aku harus bersiap-siap. Kurasa sebentar lagi Pain akan menyerang."
Shima akan bertanya lagi untuk meminta penjelasan lebih lanjut, tapi Fukusaku menahannya.
"Biarkan dia pergi, kita harus percaya padanya. Aku rasa dialah anak yang diramalkan itu."

Naruto berlari ke pusat desa. Yang menjadi tujuannya pertama kali adalah: Hyuuga Mansion.
Hinata yang saat itu baru selesai berlatih dengan Neji dan Hanabi menghampirinya.
"Naruto-kun, cepat sekali kamu pulang."
Naruto merangkul Hinata sejenak.
"Sudah kubilang 'kan kalau aku akan menguasai Sage Mode secepatnya?"
"Syukurlah." Hinata tersenyum lembut.
"Tenang saja Hinata-chan, semua akan baik-baik saja. Aku akan merubah jam kematianmu. Aku masih ingin bersamamu. Sekarang aku butuh bantuanmu dan Ino untuk menyusun rencana. Ayo cepat, kita hanya punya sehari saja untuk bersiap-siap."
Hinata mengganti pakaian latihannya dengan pakaian ninjanya. Setelah itu ia mengikuti Naruto menemui Ino.

Naruto, Hinata dan Ino sudah berada di apartemen Naruto. Mereka sedang duduk dengan serius. Di meja di hadapan mereka sudah ada sebuah peta besar Konoha dan beberapa kertas kosong.
"Baiklah, aku mulai saja," ujar Naruto memulai pembicaraan. "Aku membutuhkan bantuan kalian untuk merencanakan pertarunganku dengan Pain. Tujuanku adalah mengalahkan Pain secepat mungkin untuk melindungi desa ini dan semua penduduknya. Aku tidak ingin Pain menghancurkan Konoha seperti di kehidupanku sebelumnya. Terlepas dari takdir penduduk-penduduknya yang ditakdirkan akan mati besok, aku ingin berusaha untuk merubah waktu dan penyebab kematian mereka. Dibunuh oleh Pain terlalu menyakitkan untuk mereka."
Naruto memandang Hinata. Saat invasi Pain ke Konoha dulu, ia masih ingat bagaimana dengan kejamnya Pain menusuk tubuh Hinata. Naruto kemudian mengalihkan pandangannya kepada Ino dan melanjutkan kalimatnya.
"Biarlah mereka mati dengan tenang, dengan cara lain asalkan tidak dengan cara dibunuh oleh Pain. Aku... aku ingin Pain dikalahkan sebelum tengah hari. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Hinata-chan."
Hinata memegang tangan Naruto menenangkan.
Ino bangkit dari kursi, mendekati Naruto dan Hinata dan mengusap pundak dua sahabatnya itu.
"Aku mengerti Naruto. Sekarang jelaskan apa yang kau ketahui mengenai Pain. Ingatanmu yang berada di kepalaku tidak terlalu kumengerti."
Naruto mengangguk. Kemudian ia menyiapkan kertas dan mulai menulis disana, sambil menjelaskan kepada Ino dan Hinata.
"Kita menghadapi 8 orang. Tujuh Pain dan Akatsuki lain bernama Konan. Enam Pain yang akan menyerang Konoha bukanlah Pain yang sesungguhnya. Mereka hanya tubuh yang menerima chakra dari Pain yang sesungguhnya. Pain yang sesungguhnya bernama Nagato dan bersembunyi di suatu tempat. Kalau tidak salah, tempat persembunyiannya disini."
Naruto menandai sebuah titik di peta.
"Enam Pain ini memiliki mata Rinnegan yang membuat penglihatan mereka bergabung. Membuat kita sulit mencari titik buta mereka. Sama saja dengan memiliki 6 pasang mata. Masing-masing Pain memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Mereka punya sebutan masing-masing yaitu: Tendo, Shurado, Ningendo, Chikushodo, Gakido dan Jigokudo."
"Pain yang pertama disebut Tendo. Tendo adalah Pain yang paling kuat diantara 6 Pain lainnya. Ia punya potongan rambut yang mirip sepertiku, hanya saja warnanya orange. Ia memiliki kemampuan untuk mendorong dan menarik orang atau benda lain dengan kuat. Tapi punya minimal delay 5 detik tiap serangan. Atau bisa lebih lama tergantung kekuatan serangan. Jurusnya yang paling berbahaya adalah Chibaku Tensei, ia bisa membuat bola energi yang bisa manarik apa saja yang ada disekitarnya."
"Pain yang kedua disebut Shurado. Ia paling mudah dikenali karena kepalanya botak. Menurutku dia lebih mirip robot dari pada manusia. Karena dia bisa mengeluarkan senjata seperti misil dan senjata berat lain dari dalam tubuhnya. Meski begitu, bukan berarti ia lemah dalam pertarungan jarak dekat, karena ia punya senjata mirip pedang besar di pinggangnya."
"Pain yang ketiga disebut Ningendo. Rambutnya panjang dan punya tindikan diagonal di hidung. Ia punya kemampuan membaca pikiran sepertimu Ino, perbedaannya ia bisa membaca pikiran dengan sangat cepat dan tanpa menimbulkan rasa sakit pada dirinya. Kemampuannya yang lain adalah membunuh dengan cara mengambil jiwa musuhnya. Ia melakukannya dengan memegang kepala musuhnya."
"Pain yang keempat disebut Chikushodo. Dia adalah satu-satunya Pain perempuan. Kemampuannya adalah melakukan jurus Kuchiyose berbagai hewan aneh. Dan yang pasti hewan-hewan yang dipanggilnya sangatlah kuat."
"Pain yang kelima disebut Gakido. Badannya besar dan punya rambut ponytail pendek. Kemampuannya adalah menyerap chakra. Berapa kuatpun jurus yang kau tujukannya padanya, ia pasti akan mampu menyerapnya. Jadi aku hanya bisa melawannya dengan taijutsu."
"Pain keenam disebut Jigokudo. Ia berambut rancung, punya 3 tindikan panjang di masing-masing telinganya. Kemampuannya adalah menginterogasi orang menggunakan Raja Neraka, sebuah sosok berbentuk kepala besar. Selain digunakan untuk menginterogasi orang, Jigokudo juga bisa menggunakan Raja Neraka untuk menghidupkan atau memperbaiki tubuh Pain lain yang mati."
"Pain ketujuh, atau Nagato berambut merah dan bersembunyi di bukit di dekat Konoha. Ia bisa menembakkan besi chakra tajam dari pelindung tubuhnya."
"Yang terakhir adalah Konan. Ia adalah kunoichi berambut biru keunguan. Konan memiliki kemampuan memanipulasi kertas, memanfaatkannya untuk menyerang musuh maupun untuk bertahan. Meski konan tidak sekuat Pain, aku tidak bisa meremehkannya. Sekali saja terkurung dalam kertasnya aku bisa celaka. Kurasa itulah yang sudah kuketahui. Sekarang aku harus mencari cara bagaimana mengalahkan 6 Pain, Nagato dan Konan. Apa kalian punya ide?" tanya Naruto setelah menjelaskan panjang lebar.
"Kau masih ingat posisi Nagato berada 'kan?" tanya Ino. "Bagaimana kalau kau langsung menyerang Nagato saja? Kalau dia bisa kau kalahkan, dia tidak akan lagi bisa mengontrol keenam Pain."
"Aku tidak yakin bisa mengalahkan Nagato dengan mudah. Chakra yang dimiliknya terlalu besar. Bayangkan saja, dia bisa menggerakan 6 tubuh lain secara bersamaan. Kalian bisa bayangkan seberapa besar chakranya? Belum lagi kekuatan mata Rinnegan-nya yang tidak bisa kuanggap remeh. Konan juga pasti akan melindunginya. Dan yang terpenting, aku khawatir 6 Pain yang lain terlanjur menghancurkan Konoha disaat aku sibuk melawan Nagato."
"Jadi memang harus mengalahkan dulu 6 Pain yang lainnya ya."
"Ya, paling tidak, chakra Nagato akan terkuras dulu oleh 6 Pain lainnya."
Ino melihat-lihat kertas yang tadi ditulis Naruto. Ia memperhatikan kemampuan tiap Pain.
"Hmm, tadi kau bilang semua mata Pain terhubung, bagaimana kalau memisahkan semua Pain dan melawannya bersamaan? Jangan biarkan mereka bersama."
"Ino, aku hanya punya 2 bunshin dalam Sage Mode atau 3 kesempatan memakai Sage Mode. Artinya aku hanya bisa melawan 3 Pain saja secara bersamaan. Kalau membuat bunshin lagi, Sage Mode tidak akan efektif dan aku akan cepat lelah. Itu akan memperburuk keadaan. Jadi kalau melawan 6 Pain secara bersamaan, rasanya sulit."
Hinata kemudian menunjuk kertas bertuliskan 'Jigokudo'.
"Naruto-kun, aku rasa kuncinya berada pada Jigokudo. Dia bisa menghidupkan kembali Pain lain 'kan? Lebih baik kamu kalahkan dia terlebih dulu."
"Hinata-chan benar juga," tambah Ino. "Kau harus mengalahkan Jigokudo dulu agar ia tak bisa menghidupkan Pain lain yang mati. Fokuskan serangan pertamamu padanya."
Naruto mengangguk setuju.
"Selanjutnya..." Ino mengambil kertas lain. "Kau harus kalahkan Gakido. Karena ia menyerap ninjutsumu, jadi gunakan taijutsu. Jadi kau tidak perlu mengeluarkan chakra yang banyak. Ini akan menghemat penggunaan chakramu."
"Kau benar Ino."
"Untuk Chikushodo," Hinata kembali angkat bicara. "Aku masih ingat dulu kamu memanggil Gamabunta, Gamaken dan Gamahiro. Jadi kali ini untuk menangani hewan-hewan Kuchiyose dari Chikusodo percayakan saja kepada mereka lagi, sementara kamu bisa menyerang Chikushodo."
"Bagaimana dengan Shurado?" tanya Naruto. "Ia cukup berbahaya."
Ino mengangkat dua kertas bertuliskan Shurado dan Ningendo.
"Untuk Shurado dan Ningendo, kau harus memakai ninjutsu serangan jarak jauh. Karena Shurado memiliki pedang di badannya yang berbahaya jika kau terlalu dekat. Apalagi Ningendo, kalau ia berhasil menangkapmu, dia bisa mengambil jiwamu."
Naruto kembali mengangguk.
"Sekarang Tendo. Bagaimana aku mengalahkannya?"
Ino menggeleng.
"Aku tidak tahu, aku tidak punya ide untuk Pain yang satu itu. Lima detik itu terlalu singkat. Kamu bagaimana Hinata-chan? Apa punya ide?"
"Aku juga tidak punya ide. Aku rasa kalau untuk Tendo, kamu tidak punya pilihan lain selain beradu cepat dengannya. Lima detik memang sangat cepat. Tapi asalkan kamu bisa membunuh 5 Pain lain tanpa memanggil 2 bunshin-mu, aku rasa kamu akan baik-baik saja. Jadi dua bunshin yang ada di gunung Myobokuzan harus kamu gunakan sebaik-baiknya untuk melawan Tendo."
"Kamu benar Hinata-chan, tidak ada pilihan lain selain aku beradu cepat dengan Pain, seperti yang aku lakukan dulu."
Tiba-tiba Ino menjentikkan jarinya.
"Tunggu dulu! Bagaimana kalau menggunakan cara seperti saat kau melawan Kakuzu?"
"Menggunakan bunshin? Sudah kubilang Ino, aku sudah punya 2 bunshin yang sekarang sedang bertapa di gunung Myobokuzan. Kalau aku membuat bunshin lagi, Sage Mode-ku akan cepat habis. Aku harus menghemat penggunaan chakra."
Ino menggeleng cepat.
"Tidak, tidak. Maksudku kau gunakan bunshin sebagai umpan. Jadi kau tidak harus membagi chakramu sama rata ke semua bunshin itu. Buat 2-3 bunshin dan bersikaplah seolah akan menyerang Tendo dengan Rasen Shuriken. Buatlah bom asap. Biarkan bunshin-bunshin-mu menyerang, sedangkan kau melompat ke atas. Saat Tendo menggunakan jurusnya untuk bertahan dari serangan bunshin-mu itu, otomatis ia harus menunggu 5 detik lagi untuk bisa mengunakan jurusnya lagi. Saat itulah kesempatanmu. Serang dia dengan Rasen Shuriken yang asli."
Naruto langsung tersenyum lebar. Cara Ino ini mirip dengan caranya saat melawan Tendo di kehidupannya sebelumnya. Bedanya kali ini Naruto sudah tahu kelemahan Tendo, jadi ia yakin cara ini bisa berhasil.
"Idemu hebat Ino, aku pernah melakukan ini, sekarang aku mengingatnya lagi. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Baiklah, ini rencana yang sempurna. Arigato Hinata-chan, Ino."
"Setidaknya inilah yang bisa kulakukan agar kalian bisa menghabiskan waktu lebih lama," kata Ino menatap Naruto dan Hinata bergantian.
"Sebenarnya ada masalah lain," ujar Hinata. "Bagaimana dengan para penduduk?"
"Benar juga, sebaiknya kita harus mengungsikan penduduk," tambah Ino.
"Akan kuurus," jawab Naruto mantap.

"Apa maksudmu dengan evakuasi seluruh penduduk desa? Memangnya ada apa?" bentak Tsunade kepada Naruto.
"Besok Pain akan menyerang desa ini."
"Secepat ini? Omong kosong apa ini Naruto? Dari mana kau tahu?"
"Obaa-chan, dengarkan aku. Kita tidak punya waktu untuk berdebat. Sekarang sudah jam 8 malam. Kau hanya punya 12 jam untuk meng-evakuasi seluruh penduduk desa. Kali ini ikuti saja perintahku. Kalau aku bohong, kau tinggal menyuruh penduduk untuk kembali ke rumah mereka. Apa susahnya?"
"Aku tidak mau menyuruh penduduk mengungsi hanya karena omong kosongmu. Aku tahu Pain akan menyerang. Tapi tidak mungkin secepat ini. Dia baru saja melawan Jiraiya, pasti Pain masih membutuhkan istirahat untuk memulihkan tubuhnya. Lagipula kita disini belum mendapatkan hasil dari hasil otopsi dan divisi interogasi."
Naruto memukul meja Hokage. Hinata dan Ino yang berada di belakangnya menatap ngeri.
"Keselamatan penduduk paling utama! Bagaimana jika ternyata aku benar dan kau yang salah? Kau mau membiarkan penduduk jadi korban?" tanya Naruto berapi-api. Tsunade kaget dibentak seperti itu oleh Naruto. Ia mengigit bibir bawahnya.
"Baiklah."

"Evakuasi sudah selesai," kata Tsunade kepada Naruto. Naruto menghela nafas lega. Sekarang sudah jam 9 pagi di hari penyerangan Pain, ia bersyukur penduduk bisa di-evakuasi sebelum Pain datang.
"Arigato sudah mempercayaiku."
"Aku melakukannya demi penduduk. Kalau benar Pain datang, aku akan ikut melindungi Konoha."
"Tidak usah. Seorang Hogake tak seharusnya turun ke medan perang. Santailah dan minum teh."
"Kalau begitu aku akan menyuruh Katsuyu bersamamu, agar aku bisa memantau keadaanmu."
Naruto mengangguk. Setelah itu Tsunade pergi ke tempat persembunyian, tempat para penduduk berada. Naruto memang tidak mengizinkan seorangpun untuk membantunya melawan Pain, termasuk para shinobi.
"Naruto-kun?"
Naruto menoleh ke arah suara dan melihat Hinata berlari ke arahnya.
"Hinata-chan? Bagaimana dengan Clan Hyuuga? Apa semuanya sudah di-evakuasi?"
"Sudah."
"Baguslah. Dengan begini semua penduduk sudah aman. Kamu juga harus segera pergi ke tempat persembunyian. Dengarkan aku Hinata-chan, apapun yang terjadi, jangan keluar dari tempat persembunyian. Aku mohon jangan membantah kata-kataku seperti dulu."
Hinata mengangguk mengerti.
Naruto memegang pipi Hinata, kemudian memiringkan wajahnya dan mencium bibir Hinata. Ciuman mereka lumayan lama. Rasanya Naruto ingin menghentikan waktu dan terus mencium Hinata. Jika Naruto melepas ciumannya, ia tidak tahu apa ia akan bisa melakukannya lagi setelah penyerangan Pain nanti. Naruto takut ia tidak bisa melakukannya lagi.
Tapi Naruto sadar, waktu mereka semakin sempit. Sebentar lagi Pain akan menyerang. Ia melepas ciumannya dengan Hinata.
"Aku menyayangimu Hinata-chan," kata Naruto pelan.
"A-aku juga menyayangimu. Hati-hati Naruto-kun." Hinata melepas senyuman lembutnya sebelum bergegas untuk menuju tempat persembunyian di bawah tanah bergabung bersama semua penduduk Konoha.
Naruto mengepalkan tangannya. Ia harus bisa mengalahkan Pain sebelum tengah hari, agar bisa menghabiskan waktu dengan Hinata lebih lama.

"Penyusup terdeteksi Naruto-kun!" kata Katsuyu yang berada di dekat Naruto.
"Arah mana?"
"Divisi pertahanan bilang, 50m arah jam 10."
"Katsuyu kemarilah, bersembunyi di bajuku. Fukusaku-jiisan, Shima-baasan, ayo kita lawan mereka."
Keenam Pain berhasil masuk ke Konoha. Mereka berada tepat di posisi yang dikatakan divisi pertahanan. Namun belum sempat mereka berpencar, Naruto sudah berdiri di hadapan mereka. Fukusaku dan Shima di sampingnya. Kali ini Pain tidak perlu berpencar. Untuk apa berpencar kalau 'buruannya' sudah berada di depan mata?
"Jinchuuriki Kyuubi, tak kusangka kau datang menyerahkan diri," kata Tendo.
"Siapa yang menyerahkan diri?"
Naruto memasang kuda-kuda.
"Kelihatannya aku harus memakai cara kasar," lanjut Tendo.
Hening. Naruto dan Tendo saling menatap tajam.
Kemudian Fukusaku menyadari kalau Chikushodo akan memulai aksinya. Ia memberikan isyarat kepada Shima, Shima mengangguk mengerti.
"Kuchiyose no Jutsu!" Chikushodo, Fukusaku dan Shima memakai jurus Kuchiyose secara bersamaan.
Muncullah hewan besar seperti kelabang, badak, dan anjing bermata Rinnegan. Dan di pihak Naruto, muncul Gamabunta, Gamaken dan Gamahiro. Keenam hewan besar itu langsung terlibat pertarungan sengit. Pertarungan hewan-hewan besar ini mengakibatkan munculnya kepulan asap dari tanah dan debu di sekitar mereka. Naruto memanfaatkan kesempatan ini. Dalam asap ini, Naruto bisa berlindung dari penglihatan mata Rinnegan Pain.
Naruto berlari ke arah belakang keenam Pain. Ia tahu Jigokudo posisinya paling belakang. Ternyata benar, Jigokudo adalah kunci untuk mengalahkan keenam Pain.
Pain yang pandangannya terhalang oleh asap tak menyangka saat Naruto tiba-tiba muncul dari belakang dan menyerang Jigokudo dengan Rasengan. Dengan jarak yang dekat, Jigokudo tak sempat menghindar. Rasengan biasa saja sudah cukup untuk membunuh Jigokudo.
Jigokudo terlempar dengan punggung yang nyaris hancur. Pain lain melompat menghindar.
Naruto tersenyum. Bingo, Pain lain masuk ke perangkap.
"Fukusaku-jiisan, Shima-baasan!"
Pain tak mengerti apa maksud teriakan Naruto, sebelum mereka menyadari dua kodok telah siap dengan jurus mereka.
"Senpo: Kawazu Naki!"
Muncullah gelombang suara yang keluar dari mulut Fukusaku dan Shima dan mengarah kelima tubuh Pain. Saking kuatnya gelombang itu, membuat kelima Pain mulai terdorong mendekat ke arah Naruto. Pain menyadari bahaya ini, Gakido mendorong tubuh Pain lain menjauh, membiarkan tubuhnya terkena gelombang dengan telak, membuatnya terlempar ke arah Naruto.
Naruto tidak menggunakan ninjutsu untuk menghadapi Gakido yang terlempar ke arahnya, melainkan memakai kunai. Gakido tidak bisa menghindar saat tubuhnya melesat ke arah kunai Naruto. Dan akhirnya perutnya tertusuk kunai Naruto.
Naruto menghempaskan tubuh Gakido yang sudah tak bergerak ke tanah.
"Naruto berhasil mengalahkan 2 Pain," kata Katsuyu yang berada di tempat persembunyian. Katsuyu di badan Naruto mengirimkan pesan padanya.
Penduduk yang mendengar kabar itu langsung bersorak.
Tsunade masih terlihat tegang, ia masih belum tenang. Ia masih khawatir kepada Naruto. Dan rupanya ia bukan satu-satunya yang khawatir. Gadis lavender yang dari tadi terduduk di pojok juga merasakan hal yang sama. Ia ingin sekali melihat keluar, tapi ia sudah janji untuk tidak keluar dari tempat persembunyian ini apapun yang terjadi.
"Tenang saja Hinata-chan, dengan rencana kita kemarin, Naruto akan mengalahkan Pain dengan mudah," hibur Ino yang saat itu berada di samping Hinata.
Hinata berusaha tersenyum, namun hatinya tetap khawatir.

"Chibaku Tensei!"
SRAAKK!
Naruto terlempar dan jatuh ke tanah terkena jurus Tendo. Setelah mengalahkan Gakido, ia terlalu lengah dan tidak memperhatikan pergerakan Tendo.
BOOM!
Belum sempat Naruto bangun, misil-misil Shurado sudah melesat ke arahnya. Beruntung ia bisa menghindar.
"Cepat Naruto! Kami sudah tidak mampu menahan hewan-hewan besar ini," teriak Gamabunta dari kejauhan.
Naruto memandang Gamabunta, kali ini Chikushodo sudah memanggil hewan lain. Pantas saja Gamabunta kewalahan.
Naruto memperkuat energi alamnya, Chikushodo harus segera dikalahkan. Setelah energi alam terasa mengaliri setiap bagian tubuh, Naruto berlari ke arah Chikushodo. Shurado tidak tinggal diam, ia meluncurkan misil-misil dengan jumlah yang berkali lipat lebih banyak.
Chikushodo sudah dekat, tapi puluhan misil juga sudah siap meledakkan badan Naruto. Naruto memukul perut Chikushodo, kemudian menarik tubuh kunoichi itu ke depan tubuhnya. Misil-misil semakin dekat dan...
KABOOOMM!
Puluhan misil itu meledak mengenai Chikushodo, menghancurkan tubuh sang kunoichi. Naruto memang menggunakan tubuh Chikushodo sebagai tameng. Naruto juga menggunakan energi alamnya untuk melindungi tubuhnya dari ledakan. Tapi karena misil Shurado tadi banyak, efek ledakan terlalu besar dan energi alam tidak mampu melindungi tubuh Naruto sepenuhnya. Ia terlempar ke belakang, darah keluar dari sudut bibirnya.
Sementara itu di bukit tempat Nagato berada.
"Konan, kelihatannya Zetsu benar. Bocah Kyuubi ini sudah tahu kelemahanku."
"Dari mana kau tahu?"
"Pertama, dia mengincar Jigokudo di awal pertarungan. Kupikir itu hanya kebetulan. Tapi kemudian dia menyerang Gakido dengan kunai, tidak dengan ninjutsu. Selanjutnya, ia menghindari Shurado dan malah menyerang Chikushodo terlebih dulu. Dan yang paling jelas adalah tidak adanya penduduk di desa ini."
"Sekarang bagaimana?"
"Saatnya kita menyerang kelemahan bocah itu. Aku tidak suka cara ini, tapi kita harus mendapatkan Kyuubi bagaimanapun caranya. Sekarang kau cari gadis Hyuuga berambut indigo yang bernama Hinata. Aku yakin dia ada di tempat persembunyian, bunker, ruang bawah tanah atau semacamnya."
"Aku mengerti," kata Konan. Kemudian tubuhnya berubah jadi ratusan kupu-kupu kertas dan terbang ke segala penjuru Konoha.

Naruto mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Ia berjalan mendekati Fukusaku.
"Jii-san, Pain hanya tinggal 3, aku akan menyerang Shurado dan Ningendo secara bersamaan. Aku rasa chakraku masih cukup untuk membuat satu bunshin untuk membantu membangun serangan. Kalian berdua tidak usah bertarung, panggil saja bunshin-ku yang berada di gunung Myobokuzan dengan jurus Kuchiyose saat kuberi isyarat."
"Hmm, aku mengerti. Sebaiknya jangan gagal Naruto."
Naruto membuat satu bunshin dan membentuk Rasen Shuriken, begitu juga bunshin-nya. Naruto dan bunshin-nya berlari ke arah yang berlawanan, berusaha mengepung Pain. Shurado dan Ningendo mundur, melindungi Tendo.
Setelah dirasa cukup dekat, Naruto dan bunshin-nya melempar Rasen Shuriken secara bersamaan. Shurado dan Ningendo melompat menghindar. Tapi Rasen Shuriken yang beradu justru menghasilkan pancaran energi yang besar. Mengenai Shurado dan Ningendo, mengancurkan tubuh mereka sekaligus.
Naruto agak terhuyung, ia bertumpu pada lututnya. Benar saja bunshin dan jurusnya barusan menghabiskan energi alamnya, kelopak matanya kembali normal, Sage Mode-nya berakhir. Tangan kanannya bergetar. Pasti karena menggunakan Rasen Shuriken 2 kali. Naruto harus memberikan isyarat kepada Fukusaku untuk memanggil bunshin yang berada di gunung Myobokuzan.
"Fuku-"
BUAKHHH!
Tendo memukul perut Naruto. Lagi-lagi Naruto lengah, darah kembali keluar dari mulut Naruto. Sebelum Naruto bangun, Pain sudah mengarahkan tangannya ke arah Naruto.
"Bansho Ten'in!"
Tubuh Naruto tertarik ke arah Pain. Sementara itu Pain sudah menyiapkan besi chakra tajam yang siap menusuk Naruto. Naruto mulai panik.
"Lakukan sekarang Pa!" teriak Shima.
"Kuchiyose no Jutsu!"
Bunshin Naruto muncul. Naruto dengan cepat menghilangkan bunshin-nya sehingga energi dari bunshin yang hilang itu langsung mengalir ke tubuh Naruto.
Warna orange kembali muncul di sekitar mata Naruto, Sage Mode-nya kembali aktif. Tubuh Naruto yang tadi tertarik oleh Pain, sekarang bisa menghindar. Besi chakra yang akan menusuknya ditangkis dan langsung dipatahkan.
"Kelihatannya kau sudah tahu kelemahanku, eh Naruto?" tanya Tendo.
"Itu tidak penting."
"Tapi ini akan jadi penting. Asal kau tahu, aku juga tahu kelemahanmu, sekarang kita imbang."
"Naruto-kun!" panggil Katsuyu dari kerah jaket Naruto.
"Ada apa Katsuyu?"
"Seorang Akatsuki berhasil menemukan tempat persembunyian kami. Beberapa orang terluka dan dia... dia membawa Hinata-chan."
Naruto kaget. Ia langsung menatap Tendo tajam.
Tak lama kemudian Konan datang membawa bungkusan kertas seukuran manusia. Setelah dibuka ternyata isinya Hinata. Konan kembali ke tempat Nagato sementara Tendo memegang leher Hinata.
"K-kau! Brengsek! Lepaskan dia!" bentak Naruto.
"Aku akan melepasnya asal kau mau menyerahkan diri padaku. Kalau kau menolak, besi chakra tajam ini akan menembus jantungnya." Naruto terbelalak, besi chakra sudah diarahkan ke dada Hinata.
"Jangan mau Naruto...kun. A-ku memang akan mati. Jadi jangan turuti dia."
Naruto semakin bingung. Ia tidak meu menyerahkan diri kepada Pain. Disisi lain, ia juga tidak mau Hinata mati secara menyakitkan seperti itu.
Naruto memandang Hinata pilu.
Tiba-tiba saat pandangan mereka bertemu, Hinata memberikan sebuah isyarat untuk mendekat. Naruto tidak tahu apa rencana Hinata. Tapi ia memilih untuk menurutinya.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu." Naruto berjalan mendekati Pain. "Sekarang lepaskan dia."
Pain-Tendo juga melangkahkan kakinya mendekati Naruto. Dan saat itulah Hinata berbalik.
"Juuho Soshiken!"
Muncullah chakra berbentuk singa di kedua tangan Hinata. Hinata menyerang Pain Tendo. Pain Tendo akan menyerang Hinata dengan Shinra Tensei tapi Naruto menyerangnya dengan Rasen Shuriken. Pain Tendo melindungi dirinya dengan membentuk kubah pelindung Shinra Tensei.
Setelah Rasen Shuriken lenyap, Pain Tendo melesat ke arah Hinata kemudian ke arah Naruto. Ia mencekik leher Hinata dengan tangan kirinya dan mencekik Naruto dengan tangan kanannya.
"Kalian keras kepala!"
Pain Tendo membanting kedua tubuh itu ke tanah. Dengan cepat ia menusuk kedua tangan Naruto dengan besi chakra tajam.
"ARRGGHHHHH!"
"Na-Naruto-kun!"
"Asal kau tahu Naruto, aku akan melakukan apa saja demi mencapai kedamaian," kata Pain.
"Ugh.. Apanya yang damai dengan ini semua?" tanya Naruto di tengah kesakitannya.
"Kau tidak mengerti. Kau tidak pernah merasakan rasa sakit."
"Kau yang tidak mengerti!"
"Oh ya? Sekarang lihat ini." Pain mendekati Hinata, besi chakra tajam sudah siap di tangan kanannya.
"Aku akan menunjukkan kepadamu 'rasa sakit'!"
CLEBB!
Pain Tendo menusuk badan Hinata. Mata Naruto langsung melebar. Ini tidak mungkin. Kejadian ini kembali terulang.
"Dulu kejadiannya juga seperti ini, saat orang tuaku dibunuh oleh Shinobi Konoha di depan mataku. Inilah 'rasa sakit'. Apa sekarang kau merasakan 'rasa sakit' itu?"
Dada Naruto bergejolak, ia sudah tak mampu menahan amarahnya. Usahanya untuk mengubah takdir kematian Hinata sia-sia. Rencana yang telah disusun dengan matang akhirnya berantakan. Saat itu juga mata shapire Naruto berubah jadi mata Kyuubi. Tubuhnya diselimuti chakra Kyuubi, empat ekor Kyuubi muncul dari tubuh Naruto. Dan kesadaran Naruto menghilang.

"Ayo lepaskan segel itu Naruto! Kita bunuh Pain. Seperti yang kau lakukan dulu," kata Kyuubi di balik jeruji besinya. Inilah kesempatan yang ditunggunya selama 4 tahun. Segel Naruto akan kembali melemah seperti 4 tahun lalu.
Naruto berjalan mendekati segel, tangannya sudah siap merobek segel Kyuubi. Tapi tiba-tiba tangan seseorang menepisnya. Naruto menoleh.
"Tou-san?"
"Naruto, ternyata kau sudah mengenalku?"
Kyuubi menggeram. "Yondaime Hokage! Aku akan merobek badanmu!"
"Ayo kita cari tempat yang tenang Naruto, disini berisik."
Yondaime menjentikkan jarinya. Seketika itu ia dan Naruto sudah berada di suatu tempat yang tenang. Naruto langsung terduduk lesu.
"Gomen Tou-san, aku tidak bisa menemukan 'jawaban' untuk mencari kedamaian seperti yang kau bilang dulu," kata Naruto sedih.
"Tunggu dulu. Memangnya kita pernah bertemu?"
Melihat ayahnya yang bingung, Naruto menceritakan semuanya. Pertemuan dengan ayahnya, kembalinya ia ke masa lalu, dan takdir yang tidak bisa diubah.
"Jadi begitu ceritanya. Berarti kau beruntung bisa bertemu denganku 2 kali."
"Aku tahu. Sekarang apa yang harus kulakukan Tou-san? Orang yang kusayangi sudah mati. Hidupku sudah tidak berarti lagi, lebih baik aku juga mati."
"Jangan begitu. Kalau sekarang kau mati, siapa yang akan menciptakan kedamaian di dunia ini? Kau harus terus melanjutkan kehidupanmu. Harimu masih panjang."
"Tapi aku tidak bisa memaafkan Pain. Apa kau percaya kalau aku bisa menciptakan kedamaian? Apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan kebencian dari dunia ini? Bagaimana caranya?"
"Kau harus berusaha mencarinya sendiri. Seorang ayah selalu percaya pada kemampuan anaknya sendiri. Ah, sepertinya waktuku sudah habis Naruto."
"Tapi kau tahu 'kan kalau sampai sekarang saja aku tidak bisa menemukannya! Tou-san, aku belum selesai bicara, Tou-san..."
"Aku yakin kali ini kau akan berhasil, teruslah hidup Naruto. Selamat tinggal..."

Naruto kembali sadar dan chakra Kyuubi sudah bisa dikontrol kembali. Naruto berdiri di bola batu yang dibuat Pain menggunakan Chibaku Tensei. Pain Tendo kaget mengetahui Chibaku Tensei-nya gagal.
'Teruslah hidup Naruto.'
'Aku akan terus hidup Tou-san,' batin Naruto.
"Saatnya mengakhiri ini."
Naruto melompat dari bola batu yang mulai hancur. Ia kembali berlari ke pusat desa dan mendekati Fukusaku. Beruntung Fukusaku, Shima dan ketiga Gama selamat dari amukan Kyuubi yang tadi sempat lepas kendali. Tapi Naruto tidak tahu keadaan penduduk bagaimana, masalahnya Katsuyu yang dari tadi berada di badannya sekarang tidak ada. Pasti terlempar saat ia berubah jadi Kyuubi.
Saat hampir sampai ke tempat Fukusaku, Pain Tendo berhasil mengejar dan menendang Naruto.
"Ugh!" Naruto tersungkur ke tanah. "Kita habisi dia Jii-san! Panggil bunshin-ku!" teriak Naruto dari kejauhan. Fukusaku mengangguk.
"Kuchiyose no Jutsu."
Naruto menghilangkan bunshin-nya dan Sage Mode sang bunshin beralih ke Naruto yang asli.
Pain tidak mengira ini akan terjadi. Kakinya yang tadi dipakai menendang Naruto ditarik oleh Naruto dan dibanting ke tanah. Selanjutnya Naruto mundur ke belakang dan membuat 3 bunshin dan Rasen Shuriken.
Pain segera bangun dan bersiap mengantisipasi serangan Naruto.
Naruto meledakkan bom asap. Dua bunshin-nya menyerang Pain Tendo dari arah yang berbeda. Pain Tendo dengan mudah menendang dan memukul keduanya.
Begitu Pain Tendo memandang ke depan, Rasen Shuriken sudah melesat ke arahnya. Ia tidak sempat mengelak, ia tidak punya pilihan selain menggunakan jurusnya.
"Shinra Tensei!"
Rasen Shuriken dan Naruto yang berada di belakangnya terdorong ke belakang.
POOF!
Rasen Shuriken dan Naruto yang dihantam Shinra Tensei berubah jadi kepulan asap.
"Bunshin?" Pain kaget ternyata yang diserangnya hanya bunshin.
Saat itulah Naruto yang asli muncul dari atas Pain Tendo dengan Rasen Shuriken yang besar.
"Rasen Shuriken!"
Rasen Shuriken berukuran besar menghantam kepala Pain Tendo dengan telak.
Membentuk kawah yang besar.
Naruto tersenyum puas. Rencananya berjalan sesuai rencana. Tubuh Naruto terasa sangat lemas. Ia terjatuh ke tanah. Namun tiba-tiba ia merasakan chakra yang begitu familiar, ini chakra Hinata! Ia belum mati, rupanya kejadiannya mirip seperti dulu. Semoga kali ini Hinata akan baik-baik saja.
Naruto bangkit, mencoba untuk berdiri namun kembali terjatuh. Tapi disisi lain ia ingin segera bertemu dengan Hinata. Naruto memaksakan dirinya untuk berjalan. Meski beberapa kali terjatuh, ia kembali berjalan. Hingga ia merasakan kakinya sudah tak sanggup lagi untuk berjalan, padahal ia sudah melihat sosok Hinata yang tergeletak di tanah. Ia akhirnya merangkak untuk mendekati Hinata.
Usahanya tidak sia-sia, ia bisa mencapai tubuh Hinata.
"Hinata-chan," panggil Naruto pelan. Naruto beringsut dan mengangkat tubuh Hinata. Menariknya ke pangkuannya.
Hinata membuka matanya.
"Na-Naruto-kun..."
"Kamu baik-baik saja Hinata-chan?"
"Ini... sama seperti dulu. Rasanya waktuku tidak akan lama lagi."
"Jangan bilang begitu Hinata-chan! Sekarang masih siang, hari belum berganti. Kita masih punya waktu 12 jam lagi untuk menghabiskan waktu bersama. Aku mohon bertahanlah Hinata-chan."
"Gomen... aku tidak bisa..." Hinata mengigit bibir bawahnya menahan rasa sakit di dadanya.
"Tidak, ini tidak mungkin..." Naruto mengusap pelan pipi Hinata yang saat itu sudah berlumuran darah.
"Na-Naruto-kun... aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu selama 4 tahun terakhir ini. Uhuk!" Hinata terbatuk, darah keluar dari mulutnya.
Naruto semakin panik.
"Hinata-chan! Kita cari ninja medis."
"Jangan, sudah kubilang ini sama persis dengan dulu. Waktuku tinggal sebentar. Tolong... uhuk, temani aku disini..."
Naruto memeluk tubuh Hinata semakin erat, air mata sudah mulai mengalir dari mata shapire Naruto. Hinata mengangkat tangannya, mengusap air mata yang mengalir di pipi Naruto.
"Hei, jangan menangis. Kamu sudah berjanji tidak akan sedih."
"Tetap saja..." Naruto malah semakin sesenggukan. Ia memegang tangan Hinata yang berada di pipinya. Merasakan kehangatan tangan Hinata yang mulai memudar. Tangan itu semakin dingin.
"Naruto-kun, teruslah hidup dan kejarlah cita-citamu. A-aku... uhuk..."
"Hinata-chan... "
Hinata menarik leher Naruto, memaksa kepala bocah itu untuk mendekat. Hinata memiringkan wajahnya, mempertemukan bibirnya dengan bibir Naruto. Ciuman mereka terasa lembut dan lama. Perasaan Naruto campur aduk. Ia senang Hinata menciumnya, tapi air mata nyatanya masih mengalir di pipi Naruto. Ciuman mereka berbau darah, darah Hinata. Dan ini pertama kalinya Hinata yang memulai ciuman. Tragisnya ini malah terjadi di saat Hinata merasa kematiannya tidak akan lama lagi.
Hinata melepas ciumannya, kemudian memegang tangan Naruto. Naruto bisa merasakan tangan Hinata yang bergetar.
"Aku menyayangimu..." kata Hinata pelan dengan sisa tenaganya.
"Aku juga... aku juga menyayangimu, sangat menyayangimu..." balas Naruto.
Hinata tersenyum mendengarnya. Tak lama kemudian ia menutup matanya. Tangannya yang dari tadi memegang tangan Naruto jatuh terkulai.
"Hinata-chan? Hinata-chan, bangun. Hinata-chan!" Tangis Naruto semakin menjadi.
Naruto kehilangan Hinata untuk kedua kalinya. Tapi rasa kehilangannya kali ini lebih besar. Empat tahun mereka bersama. Empat tahun mereka berbagi suka dan duka. Sekarang maut kembali memisahkan mereka.
"Drama yang menyedihkan."
Naruto kaget mendengar perkataan yang bernada mengejek itu. Naruto menoleh ke belakang. Tiba-tiba besi chakra tajam melesat ke arahnya, menusuk punggung Naruto. Naruto merasakan sakit yang luar biasa, hingga ia muntah darah.
"Uhuk... P-Pain? Kau? Kenapa kau masih hidup?" Ingin rasanya Naruto meninju wajah Pain sekarang juga. Hinata sudah mati, tapi ternyata pembunuhnya masih hidup. Ia ingin membalas dendam. Tapi apa daya? Berdiri saja Naruto sudah tidak mampu. Naruto menarik keluar besi chakra dati tubuhnya dengan susah payah. Besi itu menembus cukup dalam ke tubuhnya.
"Naruto, aku tidak tahu dari mana kau tahu kelemahanku. Tapi ada satu rahasiaku yang belum kau ketahui. Chakra yang kualirkan ke 6 Pain jumlahnya sama. Tapi karena kau membunuh 5 lainnya. Itu sama saja dengan memfokuskan aliran chakra ke satu Pain yang tersisa, yaitu Pain-Tendo. Semakin cepat kau mengalahkan 5 Pain lain, semakin besar pula chakraku yang tersisa, karena aku tidak perlu lagi mengalirkan chakra ke 5 Pain tersebut. Jadi serangan seperti tadi tidak mungkin cukup untuk membunuhku."
Naruto memperhatikan kepala dan pundak Pain yang terluka di beberapa tempat. Jadi hanya luka-luka itu yang dihasilkan oleh serangan Rasen Shuriken-nya tadi.
"Aku muak dengan rasa cinta di antara kalian. Cinta hanya menjadikanmu lemah. Lebih baik aku akhiri semua ini, aku harus segera mengambil tubuhmu untuk mengekstrak kekuatan Kyuubi. Dengan serangan terakhirku ini, kurasa sudah cukup untuk membuat semua tulang-tulangmu remuk dan membuatmu sekarat. Sekaligus akan menghancurkan desa ini. Membuatnya rata dengan tanah."
Naruto memandang Pain tidak percaya.
"Brengsek! Penduduk desa tidak berdosa, kenapa kau harus menghancurkan desa ini? Bawa saja aku dan pergi!" teriak Naruto. Pain tidak menggubris kata-kata Naruto. Ia terbang ke atas.
Naruto memeluk tubuh Hinata yang sudah tak bernyawa. Ia yakin dirinya tidak bisa selamat dari serangan terakhir Pain.
"Menggelikan sekali, gadis bodoh itu sudah mati!" teriak Pain. "Kenapa kau masih memeluk dan melindunginya?"
Naruto tidak mendengarkan kata-kata Pain. Ia memeluk tubuh Hinata semakin erat. Pain sudah mencapai ketinggian yang pas, kedua tangannya mengarah ke arah desa Konoha.
'Gomen Sandaime-jiisan, Ero-sennin, aku tidak bisa melindungi Konoha. Dan... gomen Hinata-chan, sepertinya aku tidak bisa terus hidup dan mengejar cita-citaku untuk menjadi Hokage.'
"Dunia ini harus mengetahui rasa sakit! SHINRA TENSEI!"
Energi bertekanan tinggi dan berukuran sangat besar berkemuruh, melesat dengan kecepatan tinggi. Siap menghantam Konoha dalam beberapa detik.
"Tuhan, tolong aku," kata Naruto pelan, matanya terpejam, ia tidak melepas pelukannya di tubuh Hinata.
DHUARRR!
.
.
Naruto mendengar ledakan keras. Tapi anehnya ia tidak merasakan apa-apa. Apa jurus Pain terlalu kuat sehingga tubuh Naruto tidak sempat memberi sinyal kepada otaknya untuk merasakan sakit?
Naruto memberanikan diri membuka matanya.
Seluruh desa hancur, rata dengan tanah. Saat Naruto memperhatikan tubuhnya, ternyata tubuhnya tidak apa-apa. Kemudian Naruto menyadari ada chakra berwarna orange berbentuk kubah menyelimuti area di sekitarnya.
"Kau tidak apa-apa Naruto?"
Naruto langsung berbalik melihat siapa yang barusan berbicara. Matahari siang itu menerpa sosok tersebut, membuatnya terlihat seperti siluet. Ia berjalan mendekati Naruto. Samar-samar Naruto bisa melihat sosoknya. Seorang laki-laki dewasa, rambutnya pirang agak panjang.
"Tou-san?" tanya Naruto tidak yakin.
Sosok itu tersenyum. Ia berjongkok dan memegang pundak Naruto.
"Siapa yang kau panggil Tou-san?" tanya laki-laki pirang itu sambil menatap Naruto. Membuat Naruto terbelalak menyadari siapa yang berada di hadapannya sekarang.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar