pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 15

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D  

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip.

Cerita Sebelumnya:
"Baka! Kenapa tidak jujur saja padaku mengenai masalah ini?"
"Aku tidak ingin membuatmu sedih," jawab Naruto.
"Aku justru lebih sedih saat aku tahu kamu membohongiku."
"Gomen," kata Naruto pelan, lebih terdengar seperti bisikan.
"Jangan pernah bohong padaku lagi." Hinata semakin membenamkan kepalanya di dada Naruto.
"Ya, aku janji."
"Aku memang akan mati 6 bulan lagi," gumam Hinata tanpa melepas senyumannya.
"Apa?"
Hinata menghela nafas panjang.
"Kita sudah terlanjur membahas masalah ini. Kalau begitu akan kuceritakan semuanya," ujar Hinata, kali ini tatapannya berubah serius. "Asalkan Shion mau berjanji untuk menjaga rahasia ini."
"A-aku janji, ceritakan semuanya padaku."
.
.
.
Chapter 15
- Kenyataan Pahit -
"Shion, aku pulang dulu."
"Iya Hinata. Nanti aku akan berkunjung ke Konoha."
"Aku tunggu kedatanganmu nanti."
Alis Naruto terangkat dan mulutnya terbuka melihat pemandangan di depannya. Pandangannya tak lepas dari Hinata dan Shion. Hinata sedang memeluk Shion dan Shion tidak menolak pelukan Hinata. Dengan apa yang terjadi kemarin, rasanya aneh sekali kalau kejadian yang di hadapan Naruto sekarang bisa terjadi. Di acara pertunangan kemarin, Shion dan Hinata nyaris saja bertengkar. Malah kemarin Shion terlihat masih amat kesal kepada Hinata. Tapi sekarang kelihatannya malah sebaliknya. Bukannya Naruto tidak mensyukuri keadaan ini, hanya saja ini terlalu aneh untuk bisa terjadi.
"Sakura-chan, ada apa dengan mereka?" tanya Naruto kepada Sakura yang berada di sampingnya.
Sakura mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu," jawab Sakura sama-sama bingung.
"Perasaan perempuan memang susah kumengerti."
"Hmm. Benar sekali," balas Sakura sambil terkekeh.
"Baiklah, kalian hati-hati di jalan," kata Shion akhirnya.
"Ya. Kami pulang dulu Shion," kata Naruto sambil melambaikan tangannya. Ia tersenyum tulus kepada Shion. Biar bagaimanapun Naruto menghargai sikap Shion kemarin. Naruto yakin Shion sangat menginginkan pertunangan itu. Jadi membatalkan pertunangan dan melupakan masalah ini tentunya bukan hal mudah.
Shion membalas lambaian tangan Naruto. Bibirnya membentuk seulas senyum. Ia harus berusaha merelakan Naruto kepada Hinata mulai sekarang. Karena itu jalan yang terbaik.

Kehidupan Naruto kembali berjalan normal setelah insiden pertunangan yang gagal itu. Setelah kembali ke Konoha, Naruto kembali fokus ke rencana awalnya untuk mengumpulkan uang untuk persiapan ulang tahun Hinata yang tinggal sebulan lagi. Dari dulu Naruto tidak pernah memberikan sesuatu yang spesial di hari ulang tahun Hinata. Bahkan Naruto tak bisa ada di sisi Hinata di 2 ulang tahun sebelumnya. Jadi tahun ini ia harus memberikan sesuatu yang berbeda.
"Hanya ini pesanan Anda nona?" tanya Naruto kepada seorang pembeli di toko bunga Yamanaka.
"Iya, kalau ada yang kurang besok aku kesini lagi," jawab pembeli tersebut.
"Baiklah. Kemana harus kuantarkan bunga ini?"
"Tolong antarkan ke rumahku, 2 blok dari sini. Rumah nomor 34."
"Baik, biar bunshinku yang mengantarnya. Silahkan anda bayar di kasir sebelah sana. Terima kasih sudah berbelanja di toko bunga Yamanaka."
Ino menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerak Naruto. Sejak pagi Naruto terlihat semangat dan terus saja tersenyum. Naruto memang selalu ceria, tapi maksudnya kali ini berbeda dengan keceriaannya yang biasa. Kali ini terlihat lebih ceria dari biasanya.
"Kau kelihatannya sedang senang," kata Ino.
"Haha, kau tahu saja." Naruto memamerkan cengirannya.
"Soalnya terlihat jelas sekali dari sikapmu."
"Oh. Ngomong-ngomong aku belum berterima kasih padamu. Berkat kau aku dan Hinata bisa bersatu kembali. Arigato Ino."
Ino mengerti sekarang, pasti Naruto senang karena masalahnya dengan Shion sudah selesai. Pasti masalah kemarin begitu membebaninya. Jadi begitu masalahnya selesai beban dalam kepalanya langsung lenyap.
"Ya, ya, ya. Aku ikut senang. Aku hanya berpesan padamu, untuk selalu terbuka pada Hinata. Ingat, kunci dalam sebuah hubungan adalah keterbukaan."
Naruto mengangguk.
"Aku pasti mengingatnya."
"Sekarang sudah jam 5. Pulanglah. Bekerja dengan semangat itu bagus, tapi kau juga harus istirahat."
"Baiklah, aku pulang kalau begitu."
Ino menatap Naruto sambil tersenyum. Baguslah sekarang Naruto sudah kembali ceria seperti dulu. Sebagai seorang sahabat, Ino ikut merasa senang.
"Kalau dipikir, dari dulu aku selalu membantu permasalahan hubungan Naruto-Hinata, tanpa memikirkan kisah asmaraku sendiri. Semoga akan datang laki-laki yang cocok untukku," kata Ino, bicara kepada dirinya sendiri kemudian menutup toko bunganya.
Di perjalanan pulang, Naruto memegang perutnya yang sudah berbunyi minta diisi.
'Semoga Hinata sudah menyiapkan makanan yang enak,' pikir Naruto.
Tidak sampai setengah jam, Naruto sudah sampai di apartemennya.
"Tadaima."
"Okaeri," balas Hinata dari dalam apartemen.
Aroma makanan menyeruak dan tercium oleh hidung Naruto begitu ia memasuki apartemennya. Rupanya Hinata sudah selesai memasak dan makanan sudah tersaji rapi di meja makan.. Tepat sekali kalau begitu, Naruto sudah sangat lapar.
Tapi mata shapire Naruto menangkap objek yang tidak biasa di ruang makannya. Ia menyadari ada sosok lain yang hadir di ruangan itu. Sesaat Naruto tertegun, kaget melihat sosok di depannya.
"Shion? Kenapa kau ada disini?"
Shion melipat tangannya di dada dan mendelik ke arah Naruto. "Memangnya tidak boleh?"
"Eh? Bu-Bukan begitu." Naruto duduk di kursi, bergabung bersama Hinata dan Shion. "Sebenarnya suatu kehormatan jika pemimpin Negara Iblis mau berkunjung ke apartemenku," kata Naruto berusaha bersikap ramah. Karena ia masih tidak enak kepada Shion karena pertunangan mereka yang gagal.
"Jangan salah sangka dulu. Aku kesini mau menemui Hinata, bukan kau!"
"Hmmph." Naruto mendengus kesal. Ugh, sikap Shion kembali ke asalnya. Menyebalkan, Naruto menyesal bersikap ramah kepadanya tadi.
"Tapi aku yakin kau tidak mungkin ke Konoha hanya untuk menemui Hinata-chan 'kan?" tanya Naruto.
"Iya. Sebenarnya aku mau menemui Hokage. Ia terus saja meminta maaf kepadaku gara-gara gagalnya pertunangan kita. Aku kesini mau meyakinkannya kalau aku tidak mempermasalahkan itu. Hubungan Negara Iblis – Konoha akan tetap baik. Jadi, sudah jelas aku bukan mau menemuimu."
Melihat suasana yang kurang enak ini, Hinata angkat bicara. "Um, sudah-sudah, lebih baik kita makan dulu."
"Ah tidak usah," Shion beranjak dari kursinya. "Aku pulang ke hotel dulu."
Shion mengerti, makan malam bersama Naruto dan Hinata bukan ide bagus. Ia tidak mau menggangu mereka berdua atau merusak suasana. Lagipula mereka sepasang kekasih yang akan makan malam, lalu Shion apa? Pelayan? Penghibur? Mending dia pulang saja.
Setelah memastikan Shion sudah pergi, Naruto memanggil Hinata.
"Hinata-chan."
"Ya Naruto-kun?"
"Kenapa akhir-akhir ini kamu akrab dengan Shion?"
Hinata langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sekarang belum saatnya Naruto tahu masalahnya.
"A-aku hanya merasa kalau masalah kemarin tidak harus membuat kami bermusuhan. Biarpun Shion kadang bersikap egois dan seenaknya, aku merasa cocok dengannya. Ia pendengar yang baik," jawab Hinata.
"Begitu ya." Naruto terlihat tidak puas dengan jawaban Hinata, tapi ia tidak mau membahasnya lagi. Ia lebih memilih untuk melanjutkan makannya.

Keesokan paginya seperti biasa Hinata datang pagi-pagi ke apartemen Naruto untuk membuatkan sarapan. Saking seringnya Hinata berkunjung ke apartemen Naruto, seorang nenek tetangga Naruto sempat berkata: "Kenapa kalian tidak tinggal serumah saja sekalian?" Naruto dan Hinata tidak menjawab, tapi pipi keduanya merona merah.
Setelah selesai sarapan, Naruto berangkat ke toko bunga Yamanaka. Nampaknya hari ini belum ada misi untuk Naruto maupun Hinata.
"Aku berangkat," seru Naruto, ceria seperti biasa pagi itu.
"Hati-hati di jalan."
Hinata kembali masuk ke apartemen. Sekarang ia harus membereskan peralatan makan dan peralatan masak yang kotor. Dan setelah itu ia harus kembali ke Hyuuga Mansion untuk berlatih bersama Hiashi, Neji dan Hanabi. Jadwalnya memang padat, tapi ia selalu menjalaninya dengan senang hati.
Terdengar bunyi ketukan di pintu. Ternyata yang mengetuk pintu Shion. Hinata mempersilahkannya masuk.
Shion tidak banyak bicara, ia hanya duduk di kursi meja makan. Sedangkan Hinata melanjutkan kegiatannya mencuci peralatan masak.
"Jadi? Kau sudah menceritakannya kepada Naruto?"
Sesaat Hinata menghentikan kegiatannya. Ia tidak bodoh, ia tahu betul apa maksud pertanyaan Shion.
"Belum."
"Kenapa masih belum? Kau harus segera menceritakannya kepada Naruto."
Keduanya terdiam lagi. Setelah selesai dengan kegiatannya, Hinata duduk di dekat Shion. Hinata hanya diam dan menunduk, tidak berani menatap mata lavender Shion.
"Tolong jangan buat pengorbananku sia-sia Hinata," kata Shion sambil memegang tangan Hinata. Hinata langsung menatapnya. "Aku juga menyayangi Naruto sepertimu. Apa kau tahu seberapa besar rasa sayangku kepada Naruto? Apa kau tahu bagaimana rasanya membatalkan pertunangan dengan laki-laki yang kau sayangi?"
Hinata menatap Shion pilu. Hinata tahu betul bagaimana perasaan Shion, karena ia juga menyayangi Naruto. Sama seperti apa yang Shion rasakan.
"Aku mengalah padamu karena sebagai perempuan aku mengerti perasaanmu. Enam bulan itu waktu yang singkat. Kalau kau menutupi rahasia ini terus-menerus Naruto akan lebih sedih jika saatnya tiba. Dan aku tidak ingin Naruto sedih."
Shion melepas pegangannya di tangan Hinata dan bersandar di kursi.
"Jangan pedulikan aku, gunakan kesempatanmu dan jujurlah kepada Naruto. Kau harus-"
KLIK!
Pintu apartemen terbuka dan tak lama kemudian Naruto muncul.
"Naruto-kun?" Hinata mulai panik. Apartemen Naruto itu kecil, jarak pintu masuk ke ruang makan cukup dekat. Pasti Naruto mendengar obrolan Hinata dengan Shion.
Naruto berjalan ke kamarnya dan sekilas menatap Hinata dan Shion bergantian. Kedua gadis bermata lavender itu saling bertukar pandangan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka merasa serba salah. Apalagi Hinata, ia belum siap kalau Naruto tahu rahasianya.
Setelah kembali dari kamarnya, Naruto terlihat memegang kantong ninjanya.
Mata Hinata melebar, rupanya itu yang membuat Naruto kembali ke apartemen, Naruto melupakan kantong ninjanya. Hinata menelan ludahnya semakin gugup. Apalagi sekarang Naruto menatapnya.
"Rahasia apa yang kamu sembunyikan?" tanya Naruto.
Ketakutan Hinata semakin menjadi begitu Naruto menanyakan itu. Hinata memalingkan muka ke arah lain. Ia belum siap kalau harus jujur dan menceritakan rahasianya.
"Kemarin kamu bilang kalau kita harus jujur," tambah Naruto.
Shion beranjak dari tempat duduknya. "Gunakan kesempatanmu Hinata."
Shion menepuk pundak Hinata dan menatap Naruto sekilas, kemudian berjalan ke luar apartemen. Setelah itu ia memegang dadanya, hatinya terasa sakit. Mungkin cinta memang tak harus memiliki, ia hanya tidak ingin laki-laki yang disayanginya sedih. Ia ingin Naruto bahagia, dan membiarkan Naruto dengan Hinata adalah pilihan yang tepat.
Melihat Hinata yang diam saja dan menghindari tatapannya, Naruto menggeser kursinya ke dekat Hinata. Kemudian ia menggenggam tangan Hinata sementara tangannya yang lain memegang pipi Hinata. Mengarahkan wajah Hinata ke arahnya sambil mengelusnya lembut.
"Hinata-chan, ceritakan semuanya padaku," gumam Naruto.
Hinata memberanikan diri untuk menatap langsung mata shapire Naruto. Dan dilihatnya Naruto sedang tersenyum lembut, ia menemukan ketenangan di mata shapire kekasihnya itu. Mungkin memang saatnya untuk menceritakan rahasia ini kepada Naruto. Shion benar, tidak ada gunanya juga terus menutup-nutupi ini dari Naruto. Naruto punya hak untuk tahu rahasianya, karena ini juga berhubungan dengan Naruto.
Hinata memegang tangan Naruto yang berada di pipinya, menyatukan tangan mereka. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Sebelum aku menceritakannya. Aku mau tanya sesuatu dulu. Apa kamu... apa kamu dari masa depan?"
Sontak Naruto terlonjak kaget. Sekarang giliran dirinya yang kaget, pegangan tangannya langsung terlepas. "Itu... Ke-kenapa tanya begitu?"
"Dengar Naruto-kun, jika kamu ingin aku jujur padamu, aku juga ingin kamu jujur padaku. Aku ingin mulai saat ini tidak ada yang disembunyikan di antara kita."
Ketakutan Naruto selama 4 tahun ini akhirnya terjadi. Ia tak mau Hinata tahu dirinya dari masa depan, ia tak mau Hinata mengetahui kematiannya. Lalu ia berpikir dari mana Hinata tahu dirinya dari masa depan? Rasanya tidak mungkin Ino memberitahu Hinata. Biar bagaimanapun Ino sudah berjanji untuk menjaga rahasianya. Naruto sudah percaya sepenuhnya kepada Ino.
Dan Naruto tak bisa mengelak sekarang, beberapa menit lalu ia menyuruh Hinata untuk jujur. Dan sekarang ia disuruh melakukan hal yang sama. Naruto tidak mau menelan kembali kata-katanya. Ia harus konsisten. Sudah saatnya rahasia yang ia jaga selama 4 tahun diceritakan kepada Hinata. Naruto sadar, inilah yang dimaksud Ino keterbukaan dalam sebuah hubungan.
Naruto mengangkat kepalanya, menatap mata lavender Hinata. "Ya, aku dari masa depan. Aku tahu ini terdengar konyol tapi-"
"Aku percaya," kata Hinata, memotong kata-kata Naruto. "Karena..."
Hening sesaat, Naruto ikut terdiam, menanti lanjutan kalimat Hinata.
"Aku juga dari masa depan."
"Be-benarkah?" Naruto kembali terlonjak kaget. Ia memegang kedua pundak Hinata.
Hinata mengangguk kemudian mulai bercerita.
"Empat tahun lalu, setelah kesadaranku menghilang, aku mengira aku mati. Ternyata setelah itu aku terbangun di kamarku dengan badanku yang kecil. Dan saat itu aku sadar kalau aku kembali ke masa lalu. Tapi yang membuatku aneh, setelah bertemu dengan Naruto-kun yang juga berumur 12 tahun, aku mulai menyadari kalau kamu berbeda dari Naruto kecil yang kukenal. Kamu sedikit lebih dewasa, Shion juga sempat bercerita bagaimana sikapmu saat misi di Negara Iblis. Saat kita di akademi, kamu banyak membicarakan masa depan, bertanya tentang kematianku, dan mengetahui hal yang belum terjadi. Dan yang paling penting, kamu jadi lebih perhatian padaku. Padahal aku tahu persis bagaimana sikapmu padaku di kehidupanku sebelumnya."
Naruto mengggenggam kedua tangan Hinata menenangkan. "Aku hanya tidak mau mengulang kesalahanku. Itu saja."
Hinata tersenyum.
"Aku mengerti. Sebenarnya aku juga belum yakin kalau Naruto-kun juga dari masa depan. Makanya aku memberanikan diri untuk bertanya langsung barusan. Dan ternyata benar."
"Tapi jujur saja Hinata-chan, aku sama sekali tidak menduga kalau kamu dari masa depan. Sikapmu tidak ada yang mencurigakan. Makanya barusan aku kaget. Aku tidak menyangka kita mengalami hal yang sama, dulu kupikir aku gila karena terbangun dengan tubuh yang kecil. Aku panik dan bingung, tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa."
"Aku juga. Awalnya aku panik, tapi aku langsung mengingatmu. Jadi aku langsung saja mencarimu waktu itu."
"Wah pikiran kita sama. Pantas saja waktu itu aku mudah sekali menemukanmu. Dan setelah itu, kamu pingsan."
"Ah, sudah jangan dibahas Naruto-kun." Hinata berpaling ke arah lain, menyembunyikan pipinya yang memerah. Kalau mengingat kejadian 4 tahun lalu, ia jadi malu sendiri. Begitu pemalunya ia dulu, sampai-sampai dipeluk Naruto saja bisa pingsan.
"Hinata-chan..." Hinata menoleh, memberanikan dirinya untuk menatap Naruto. "Berarti... Hinata-chan yang 4 tahun lalu, yang menyatakan cintanya padaku, sama dengan kamu yang sekarang 'kan?"
"Te-Tentu saja."
Naruto langsung senang mendengarnya, ia refleks memeluk Hinata.
"Gomen, aku terlalu bodoh untuk menyadari perasaanku waktu itu. Aku baru sadar, aku... aku juga sangat menyayangimu." Naruto mengeratkan pelukannya di tubuh mungil Hinata. "Gomen, aku tidak bisa menyelamatkanmu waktu itu. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi, aku-"
"Shhh Naruto-kun... sudahlah jangan minta maaf terus."
"Pokoknya aku akan menyelamatkanmu di kesempatan kedua ini."
"Um.. Naruto-kun," Hinata melepas pelukan Naruto. "Sebenarnya ada hal lain yang ingin kuceritakan. Dan ini hal yang lebih penting. Ini rahasia yang tadi aku bicarakan dengan Shion."
Naruto terlihat bingung. Jadi yang tadi bukan rahasia yang Hinata maksud?
Naruto menatap Hinata penuh tanya. Dan Hinata kembali menarik nafas dalam-dalam. Sekarang saatnya untuk memberitahu Naruto rahasia terbesarnya.
"Naruto-kun, takdir tidak bisa diubah. Aku akan mati 6 bulan lagi."
DEG!
Dada Naruto terasa ditinju dengan keras saat itu juga.
"Hah? Ja-jangan bercanda Hinata-chan. Siapa bilang?"
"Aku tidak bercanda. Sejak aku kembali ke masa lalu, aku selalu memperhatikan orang-orang dalam misiku. Dan aku sadar kalau kita dikembalikan ke masa lalu, kita diberi kesempatan kedua tapi kita tidak diberi kemampuan untuk mengubah takdir. Khususnya kematian seseorang. Semua orang yang mati akan tetap mati."
"Aku tidak percaya!"
"Tapi ini kenyataannya."
"Bagaimana dengan Hokage ke-3? Aku... Aku berhasil merubah takdirnya," kata Naruto mulai gugup.
Hinata menunduk sedih.
"Apa kamu tidak sadar? Kamu hanya merubah waktu kematian Sandaime beberapa jam saja. Akhirnya ia tetap mati sebelum tengah malam, dengan kata lain ia meinggal di hari yang sama seperti di masa lalu kita."
"Kalau merubah kematian beberapa jam saja bisa, seharusnya menyelematkan orang dari kematian juga bisa 'kan?" tanya Naruto, terus mencoba mematahkan pendapat Hinata.
Hinata menggeleng.
"Kamu tidak bisa melawan takdir. Kurasa Tuhan mengizinkanmu merubah waktu kematian seseorang, tapi tidak melebihi hari kematian aslinya. Intinya orang itu akan mati di hari yang sama."
"Jadi..."
"Jadi aku akan tetap mati di hari yang sama dengan masa lalu kita..."
Mata shapire Naruto membesar, dan hatinya semakin kalut.
"Katakan kalau ini bohong Hinata-chan!"
"Aku tidak bohong. Kalau tidak salah lusa itu misi menyelamatkan Gaara 'kan? Dalam misi itu Gaara-"
"Aku mengerti. Akan kubuktikan kalau kamu salah. Aku akan mengubah takdir Gaara, aku tidak akan membiarkan Gaara mati, jadi nenek Chiyo tidak usah menukar nyawanya dengan Gaara." Naruto berlari ke kamarnya,
"Naruto-kun!" Hinata mengejar Naruto. Dan dilihatnya Naruto menyiapkan tas, baju dan beberapa senjata ninja.
"Naruto-kun? Kamu mau apa?" Naruto tidak menjawab.
"Naruto-kun?"
Setelah merasa siap, Naruto menyampirkan tasnya dan menatap Hinata. "Aku akan ke Suna sekarang," ujar Naruto dan langsung berlari ke luar apartemen.
"A-apa? Itu berbahaya, kamu lupa kamu itu Jinchuuriki! Bisa-bisa Akatsuki akan menangkapmu! Naruto-kun!" Naruto terus saja berlari, Hinata berusaha mengejarnya.
"Aku akan membuktikan kalau kata-katamu itu salah! Aku yakin bisa merubah takdir Gaara, nenek Chiyo dan juga takdirmu!" teriak Naruto sambil terus berlari.
Pengejaran Hinata berhenti di gerbang desa, ia tak mampu mengejar Naruto.
Hinata sudah membuktikan kalau takdir tak bisa diubah. Puluhan orang yang mati di misinya tetaplah mati seberapa besarpun usahanya menyelamatkan mereka. Takdir tak bisa diubah. Berapa kali ia harus yakinkan itu kepada Naruto? Naruto memang keras kepala.
Hinata bergegas berlari ke gedung Hokage, Naruto dalam bahaya kalau pergi sendirian ke Suna.

"Naruto?"
Gaara sedikit kaget melihat Naruto memasuki kantornya. Tidak biasanya Naruto ada di Suna. Selain mereka belum bertemu lagi setelah 3 tahun, kedatangan Naruto juga terlalu mendadak. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya kalau ia akan datang.
"Yo Gaara!"
Sebelum Gaara sempat bicara, Naruto langsung menceritakan apa yang akan terjadi.
"Tolong dengarkan aku, sebentar lagi akan ada Akatsuki yang mengincarmu."
Mendengarnya, Gaara hanya diam tanpa ekspresi. Ia memang tahu kelompok Akatsuki mengincarnya. Tapi secepat inikah? Seorang Sabaku no Gaara tidak akan semudah itu mempercayai hal yang belum tentu kebenarannya. Perlu bukti yang kuat. Apalagi ini terlalu mendadak, baru juga datang Naruto langsung membawa kabar tidak jelas.
"Aku serius," tambah Naruto. "Aku mohon kau percaya padaku kali ini. Kau pikir untuk apa aku susah payah kemari?"
Gaara kali ini terlihat sedang berfikir. Naruto benar juga, ia tidak mungkin susah payah ke Suna kalau hanya untuk menceritakan omong kosong. Pastilah ada hal penting.
"Jangan buang waktu lagi. Segera ungsikan para penduduk!"
Gaara berdiri dan menatap ke luar, ke rumah-rumah penduduk. Gaara mulai bingung, ia memang percaya kepada Naruto. Tapi mengungsikan semua penduduk Suna hanya karena alasan yang belum jelas tidaklah masuk akal.
Melihat Gaara yang hanya diam, Naruto menarik kerah baju Gaara.
"Apa yang kau tunggu? Apa aku terlihat sedang bercanda hah?"
"Dari mana kau tahu akan ada Akatsuki kesini?" tanya Gaara dingin.
"Itu tidak penting sekarang, kita tak punya waktu lagi! Percaya padaku! Kalau aku ketahuan berbohong, kau boleh menghukumku!"
Gaara menatap tajam ke arah Naruto. Gaara memang tidak melihat kebohongan disana. Gaara menghempaskan tangan Naruto.
"Kankurou, suruh semua penduduk mengungsi ke bunker sekarang. Dan suruh semua ninja untuk bersiaga."

Naruto berdiri di puncak gedung Kazekage. Matanya mencari sosok Deidara yang menurut perkiraannya sebentar lagi datang. Deidara adalah penyusup yang baik. Jadi dia bisa datang dari arah mana saja.
"Penduduk sudah aman," ujar Gaara. Ia baru saja melihat keadaan para penduduk di bunker.
"Bagus, semuanya tepat waktu. Bersiaplah. Ingat kata-kataku Gaara, intinya jangan sampai kau dekat dengan tanah liat Deidara."
Tak lama kemudian sosok burung berwarna putih muncul, mengitari langit Suna.
"Kelihatannya kau memang benar. Memakai jubah hitam bergambar awan merah, dia Akatsuki."
"Ya. Kita jalankan rencana kita." Naruto segera membentuk segel.
Deidara mulai terbang lebih rendah. Tanah liat sudah siap di kedua tangannya.
"Hmm, bukankah itu Ichibi? Berani sekali ia langsung muncul di hadapanku un. Saatnya serangan pembuka." Tiga laba-laba tanah liat Deidara jatuhkan ke arah Gaara. "Perkenalkan karya seniku. Seni itu adalah LEDAKAN!"
BOOM!
Asap ledakan mulai menghilang dan sosok 'Gaara' yang tadi dibom Deidara hancur jadi pasir dan tertiup angin.
'Ck! Ini tipuan!' pikir Deidara. Ia segera terbang ke atas, tapi Naruto menerjang Deidara dari depan. Mengarahkan kunainya ke sayap burung yang ditumpangi Deidara. Refleks Deidara mengelak ke belakang. Dan di belakangnya, Naruto yang asli sudah melayang ke arahnya dengan rasengan di tangan kanannya.
"Kena kau! RASENGAN!"
Deidara terbelalak melihat Naruto dan berusaha kembali menghindar. Dan ternyata berhasil, rasengan yang diarahkan ke badannya meleset. Tapi sialnya malah mengenai burung yang ditumpanginya dan langsung meledak. Deidara dan Naruto terlempar karena ledakan tersebut.
"Sekarang Gaara!"
Dua tangan pasir besar muncul di belakang Deidara dan Naruto. Satu tangan menahan Naruto agar tidak terjatuh. Sementara tangan pasir yang lebih besar menangkap dan membungkus badan Deidara.
"Sial!" rutuk Deidara. "Arghhh..."
Cengkraman tangan pasir Gaara pada tubuh Deidara semakin menguat. Deidara susah payah mengeluarkan tanah liat dari kantongnya.
"Sabaku Kyuu!"
"KATSU!"
BOOM!
"Apakah berhasil?" tanya Naruto. Ia turun dari tangan pasir Gaara dan mendekati area ledakan.
Namun ia kaget saat melihat Deidara keluar dari gundukan pasir. Deidara masih hidup, tapi tangan kirinya banyak mengeluarkan darah.
"Hmm.. Sial. Nyaris saja aku mati barusan kalau aku terlambat meledakkan tangan pasir itu. Rupanya kalian sudah tahu kalau aku akan menyerang dan menyusun rencana ini. Tapi butuh serangan yang lebih hebat untuk mengalahkanku."
Deidara menatap Naruto, ia tertawa meremehkan.
"Kelihatannya aku sedang beruntung un. Ada Junchuuriki Kyuubi juga disini."
Naruto tidak menghiraukan kata-kata Deidara dan berlari mendekatinya. Tapi tiba-tiba 3 ekor burung tanah liat ukuran kecil Deidara melesat ke arahnya. Gaara menyadari ini, ia langsung menahan ketiga burung dengan pasirnya yang berbentuk tangan besar.
"Naruto!"
Tapi dengan jarak sedekat itu, Gaara tak punya waktu untuk menjauhkan ledakannya dari Naruto. Jadi ia lebih memilih untuk meledakkan burung itu di dalam pasirnya. Mengerahkan seluruh chakranya untuk menekan ledakan agar tidak keluar dari pasirnya. Ini tidak mudah! Sama saja dengan menahan ledakan 3 granat di tanganmu!
BOOM!
Tangan pasir Gaara meledak, tapi tidak terlalu besar dan tidak melukai Naruto. Deidara menggunakan kesempatan itu untuk menjauh.
"Gaara? Kau tidak apa-apa?" tanya Naruto.
"Tidak. Jangan biarkan dia lolos!" Gaara bertumpu pada lututnya. Wajahnya mulai retak karena terlalu banyak mengeluarkan chakra untuk menekan ledakan tadi.
Naruto menuruti Gaara dan segera mengejar Deidara. "Sial!"
Deidara berhenti tak jauh dari gerbang masuk Suna. Naruto mempercepat larinya, Deidara sudah di depan mata.
"Deida-" Langkah Naruto terhenti saat sebuah boneka kayu berbentuk ekor kalajengking membelit lehernya.
"Hei, bocah Kyuubi, pertarungan akan adil jika 2 lawan 2 un. Bukankah begitu Sasori-danna?" tanya Deidara kepada masternya.
"Jangan banyak bicara!" bentak Saori. "Cepat selesaikan tugasmu. Biar aku tangani bocah Kyuubi ini."
Deidara mengangguk dan kembali ke tempat Gaara berada.
"Gaaraaaa!" teriak Naruto. Ekor kalajengking Sasori tiba-tiba menusuk lehernya. "Ugh! Jangan mati Gaa-ra..."
Setelah itu kesadaran Naruto menghilang.
Pertarungan Deidara dan Gaara berlanjut dengan sengit meskipun tangan kiri Deidara sudah terluka parah dan Gaara sudah kekurangan chakra. Ninja Suna yang lain tak bisa berbuat banyak karena pertarungan ini terlalu berat untuk mereka. Tapi lama-kelamaan mulai terlihat siapa yang unggul. Gaara mulai kehabisan chakra. Deidara memutuskan untuk mengakhiri pertarungan dengan menggunakan bom C3-nya, karena ia khawatir chakranya juga sebentar lagi habis.
Dengan sisa chakranya, Gaara melindungi seluruh Suna dari ledakan bom C3 Deidara dengan pasirnya. Chakranya langsung habis setelah itu dan Deidara bisa menangkapnya dengan mudah.
"Kita beruntung memburu Ichibi dan mendapat bonus Kyuubi," kata Deidara, tubuh Gaara sudah terkulai lemah di pundaknya.
TRANG!
Sebuah kunai mengenai ekor Sasori dan membuat tubuh Naruto jatuh. Kakashi, Sakura dan Kankurou muncul di hadapan Sasori, melindungi Naruto yang tergeletak.
"Jauhi Naruto!" teriak Kakashi.
"Kita kedatangan tamu, un."
"Deidara, apa tanah liatmu masih banyak?" tanya Sasori.
"Sedikit."
"Dasar tidak berguna! Sudah kubilang untuk membawa lebih banyak. Kelihatannya kita harus melepas Kyuubi untuk sekarang ini," kata Sasori. Ia kemudian memberikan sebuah aba-aba kepada Deidara.
"Sekarang!" teriak Sasori.
Deidara membuat burung dengan tanah liatnya dan Sasori menyerang Kakashi dan yang lain dengan gas beracun. Setelah itu Sasori dan Deidara melarikan diri menggunakan burung ciptaan Deidara tadi, tak lupa dengan membawa tubuh Gaara.
"Gaara!" teriak Kankurou.
"Kankurou! Itu gas beracun! Ugh..." Kakashi menarik Kankurou secara paksa, menjauhkannya dari gas berwarna ungu itu.
"Uhuk... uhuk..." Tapi terlambat, Kankurou sudah terlanjur menghirup gas beracun itu.
"Sakura, kita harus mengobati mereka dulu," seru Kakashi. "Aku takut racun terlanjur menyebar ke organ penting mereka."
"Hai!"

"Kakashi-sensei? Aku dimana?" tanya Naruto saat dirinya siuman.
"Kau berada di Suna. Naruto, jangan pernah ceroboh seperti ini lagi. Kalau kau sampai tertangkap Akatsuki, dunia ninja bisa dalam bahaya."
"Tapi Gaara. Ugh..." Naruto merasakan kepalanya yang masih pusing.
"Tenang dulu Naruto. Kita akan mengejarnya," kata Kakashi menenangkan. "Sekarang biar Sakura menyembuhkan lukamu dulu."
"Tapi Gaara dalam bahaya."
"Kau belum sembuh Naruto." Sakura ikut menenangkan Naruto.
"Tidak bisa, aku ha-"
BUKH!
Sakura menatap Kakashi tak percaya saat mantan senseinya itu memukul tengkuk Naruto sampai pingsan.
"Gomen. Aku tidak punya pilihan," gumam Kakashi pelan.
Sakura menatap Naruto pilu. Tapi Kakashi memang benar, efek dari racun Sasori begitu kuat dan tubuh Naruto belum sembuh sepenuhnya. Naruto masih butuh istirahat.
Keesokan paginya Naruto kembali terbangun.
"Berapa lama aku tertidur?"
"Semalaman," jawab Sakura.
"Aku harus menolong Gaara." Naruto berusaha bangun dari tempat tidurnya.
"Apa boleh buat." Kakashi beranjak dari kursinya dan membantu Naruto untuk bangun.
"Tapi Kakashi-sensei, Naruto masih..."
"Tidak apa-apa Sakura." Kakashi menatap Sakura, meyakinkan gadis berambut pink tersebut kalau semuanya akan baik-baik saja. Sakura menggigit bibir bawahnya. Meskipun waktu penyembuhan Naruto cepat, ia tetap merasa khawatir jika harus membiarkan Naruto pergi padahal kondisi fisiknya belum sembuh benar.

Naruto mengepalkan kedua tangannya. Sekarang ia berdiri di hadapan gua yang penghalangnya akan dihancurkan Sakura. Naruto mulai merasa takut sekarang. Rangkaian kejadian yang dialaminya terlalu mirip dengan masa lalunya. Ia takut kalau Gaara akan kembali mati di tangan Akatsuki seperti dulu.
'Tolong jangan mati Gaara,' batin Naruto.
BUMP! KRAK!
Batu penghalang gua terbuka, team 7 dan nenek Chiyo segera masuk ke dalam gua.
Namun Naruto langsung lemas melihat Gaara yang sudah tergeletak tak berdaya. Apa mungkin Gaara sudah mati?
"Kau terlambat, bocah pasir itu sudah mati!" seru Deidara sambil tertawa puas.
Naruto melempar shuriken besar ke arah Deidara dan Sasori. Mereka berdua mengelak dengan mudah.
Setelah itu Deidara bermaksud untuk kabur kembali menggunakan burung tanah liatnya. Jasad Gaara juga dibawa olehnya. Naruto semakin kesal dan mengejar Deidara, Kakashi mengikutinya. Sedangkan dalam gua, Sakura dan nenek Chiyo mulai bertarung dengan Sasori.
Naruto berlari sekuat tenaga mengejar Deidara. Tangannya semakin kuat mengepal, semakin marah. Kemarahan Naruto bukan karena kematian Gaara saja, tapi karena ia tidak bisa membuktikan kepada Hinata kalau ia bisa merubah takdir Gaara. Sebentar lagi nenek Chiyo pasti akan mengorbankan nyawanya untuk Gaara. Sekarang sudah jelas kalau pendapat Hinata benar, takdir tidak bisa diubah.
Naruto semakin kesal dan ingin membunuh Deidara saat itu juga. Tapi kecepatan terbang Deidara terlalu cepat, sehingga pengejaran ini memakan waktu yang lama. Tapi Naruto tahu cara agar dirinya bisa mengejar Deidara. Yaitu meminjam kekuatan Kyuubi...
Chakra Kyuubi mulai keluar dari tubuh Naruto.
Di sisi lain, Kakashi berulang kali menyerang Deidara dengan Mangekyo Sharingan. Berusaha mengirimnya ke dimensi lain, tapi selalu gagal. Hanya tangan kanan Deidara yang berhasil terkena jurus Kakashi. Kakashi mengistirahatkan matanya yang mulai lelah. Biar bagaimanapun ia bukan keturunan Uchiha asli, menggunakan kekuatan mata sharingan membutuhkan chakra yang besar.
Begitu Kakashi menoleh ke arah Naruto, ia menyadari ada yang salah dengan Naruto. Chakranya semakin kuat dan wajahnya semakin dipenuhi kemarahan.
"Naruto?" tanya Kakashi kepada Naruto, tapi Naruto tidak mendengar dan larinya malah bertambah cepat. "Naruto? Kau tidak apa-apa?"
Chakra Kyuubi semakin banyak keluar dari tubuh Naruto, menyelubungi tubuhnya. Cakar dan taring Naruto memanjang, seiring dengan munculnya ekor Kyuubi.
"Sial! Naruto, sadarlah!"
Naruto masih tidak merespon. Emosinya malah makin memuncak, ekor Kyuubi keduannya mulai muncul. Dan tiba-tiba secepat kilat Naruto melompat dan memukul wajah Deidara. Deidara tidak sempat mengelak, karena ia mengira ketinggiannya sudah pas dan Naruto serta Kakashi tidak mungkin bisa menyerangnya.
Deidara terlempar dan jasad Gaara terjatuh ke tanah.
Deidara kembali berdiri, darah segar keluar dari mulutnya. Ia salah perhitungan, Naruto tidak selemah yang ia kira. Ia segera bersembunyi di balik pohon.
"Naruto! Hentikan! Tahan amarahmu!" Kakashi menahan Naruto tapi kelihatannya sudah terlambat. Dengan ekor kedua Kyuubi yang sudah muncul di tubuh Naruto, ia kehilangan kontrol atas tubuhnya.
Deidara yang melihat keadaan ini mulai memutar otak, menyusun rencana cadangan. Tapi kemudian ia merasakan beberapa orang yang mulai mendekat ke arahnya. Sedangkan chakra Sasori sudah menghilang. Ia berfikir pasti Sasori sudah dikalahkan. Meskipun ia tidak percaya kalau Sasori bisa dikalahkan, tapi memang itu kenyataannya. Sepertinya melarikan diri adalah pilihan yang tepat untuk Deidara saat ini, ditambah lagi dengan tangan kanannya yang terhisap ke dimensi lain dan tangan kirinya yang terluka.
Tanpa membuang waktu lagi, Deidara segera melarikan diri.
"Sial!" Kakashi semakin panik menangani Naruto yang mulai kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Kakashi kemudian mengingat pesan Jiraiya. Ia mengeluarkan secarik kertas bersegel yang sebelumnya diberikan Jiraiya padanya. Kemudian ia menempelkan kertas tersebut di kening Naruto.
Tak lama kemudian tubuh Naruto kembali normal.
Begitu Naruto mengingat apa yang terjadi, perasaannya kembali bercampur aduk. Apalagi saat mendengar nenek Chiyo memutuskan untuk menghidupkan kembali Gaara dengan mengorbankan nyawanya. Ia sedih dan kesal pada kenyataan kalau dirinya tidak bisa menyelamatkan Gaara dan nenek Chiyo.
Hari itu Gaara kembali dihidupkan dengan bantuan chakra Naruto. Sebagai gantinya, nenek Chiyo mati, sama seperti di masa lalu Naruto.
Dan itu berarti pendapat Hinata benar. Takdir kematian seseorang tidak bisa diubah. Begitu juga dengan kematian Hinata, ia akan tetap mati 6 bulan dari sekarang.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar