pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 7


A/N: 
Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR: seiring berjalannya cerita, mungkin akan ada beberapa kejadian yang berbeda dari yang pernah dialami Naruto sebelumnya (beda dari Anime/Manga), meskipun kebanyakan akan sama. Jadi disini Naruto tidak persis mengulang masa lalunya, tapi lebih ke 'membuat alur kehidupan baru'. AT: Time travel. Sedikit OOC karena Naruto jadi bersikap lebih dewasa, typo, bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"Naruto-kun! Bangun! Bangun!"
"Pagi Hinata-chaaan. Kamu tidak pulang?" tanya Naruto, masih setengah sadar.
"Pulang. Hei, banguuunn..."
"Aaaahhhh... aku masih ngantuk. Kelihatannya masih gelap."
"Cepatlah bangun, ada hal penting yang ingin kusampaikan." Hinata menarik tangan Naruto, memaksanya bangun.
"Arghhh... ini masih jam..." Naruto mengucek-ngucek matanya kemudian melihat jam di dinding. "Jam 4? Ada apa membangunkanku sepagi ini Hinata-chan?"
"Hokage Ke-3..."
"Ada apa dengan Ojii-san?"
"Dia... meninggal..."
Rasa kantuk Naruto tiba-tiba saja menghilang. Apa dia tidak salah dengar? Apa kesadarannya belum kembali sepenuhnya?
"A-apa katamu?" tanya Naruto memastikan. Sejujurnya Naruto berharap kalau dirinya hanya salah dengar.
"Hokage Ke-3... dia meninggal," ulang Hinata.
Mata Naruto melebar, dia tidak sanggup berkata-kata lagi.
.
.
.
Chapter 7
-Dua Pilihan-
Normal POV
Matahari baru terbit setengahnya pagi itu. Pohon dan dedaunan hijau masih dipenuhi embun. Para penduduk mulai bersiap-siap untuk memulai kegiatannya hari itu. Atau mungkin ada sebagian lain yang masih tertidur. Tapi ada yang berbeda dengan keadaan di padang rumput tempat latihan Naruto dan Hinata. Padang rumput yang seharusnya hijau tergantikan dengan hamparan warna orange yang mendominasi setiap sudut tempat itu.
Dan jika dilihat lebih dekat lagi, itu tidak lain adalah puluhan atau bahkan ratusan bunshin Naruto yang sedang berlatih. Pesan dari Hokage Ke-3 seolah menjadi cambuk untuk Naruto agar dirinya berlatih lebih keras. Tanggung jawab yang diberikan kepadanya bukanlah hal sepele, melainkan hal besar yang menyangkut keselamatan orang banyak.
"Ayolaahhhh keluar rasengaannn!"
"Ugh..."
"Fiuhhh, aku lelah."
"Hei, Naruto yang di sebelah sana!"
"Aku?"
"Bukan. Sebelahmu."
"Kenapa?"
"Latihan yang benar!"
"Hei, perhatikan tanganmu!"
Begitulah kira-kira keributan yang terdengar di padang rumput itu. Naruto dan semua bunshinnya terlihat serius sekali. Naruto sudah bertekad akan menguasai rasengan secepatnya. Berbekal ingatannya mengenai cara berlatih yang diberikan Jiraiya, disela misi Naruto selalu berlatih keras. Naruto juga mengkombinasikan cara latihannya dengan cara yang diberikan Kakashi dan Yamato, yaitu menggunakan bunshin untuk mempercepat penguasaan jutsunya.
Menjelang tengah hari, satu persatu bunshin Naruto menghilang karena kehabisan chakra. Menyisakan belasan bunshin saja. Itupun keadaan mereka 'mengkhawatirkan', pasti beberapa menit lagi mereka juga akan menghilang karena kehabisan chakra.
Tanpa Naruto ketahui, Hinata memperhatikannya dari kejauhan. Seulas senyum terlukis di wajahnya. Bukannya Hinata tidak khawatir dengan kondisi Naruto yang terlalu memporsir dirinya itu, tapi berapa kalipun Hinata memperingati bocah pirang itu, dia tetap keras kepala. Yang bisa Hinata lakukan adalah mendukung Naruto. Hinata yakin, Naruto juga menginginkan dukungan dari dirinya.
Meskipun di hati kecilnya, Hinata begitu merindukan saat-saat bersama Naruto. Maklum saja, sejak kematian Hokage Ke-3 mereka memang jarang sekali bertemu. Naruto lebih sering berlatih. Naruto sempat menawarinya agar berlatih bersama. Tapi Hinata sadar, perbedaan kekuatan mereka terlalu jauh. Hinata hanya akan menjadi beban dan membuang-buang waktu Naruto saja.
Hinata memandang Naruto cukup lama karena setelah ini dia pasti akan merindukan Naruto. Hinata bersama anggota Clan Hyuuga lainnya harus meninggalkan desa selama 4 hari karena ada kunjungan ke desa lain.
"Selamat berjuang Naruto-kun," gumam Hinata pelan. Setelah itu dia pergi, membiarkan Naruto melanjutkan latihannya.
Kembali ke Naruto...
Benar saja, kurang dari 10 menit semua bunshin Naruto menghilang. Sekarang tinggal Naruto yang asli yang terkapar di tengah padang rumput itu. Nafasnya terengah-engah karena kehabisan chakra. Naruto sering kesal karena dengan tubuh dan staminanya yang sekarang, yang berupa bocah 12 menjelang 13 tahun dia tidak bisa berlatih maksimal.
"Haaaahhhh, tubuhku yang sekarang benar-benar payah. Gampang sekali lelah." kata Naruto pada dirinya sendiri. Kemudian pandangannya tertuju pada pohon besar di sebelah timur. Naruto kemudian beristirahat disana. Setelah tenaganya terisi kembali dia melanjutkan latihan.
"Latihan dimulai lagi! Tajuu Kage Bunshin no Jutsu!" Setelah itu padang rumput yang hijau kembali didominasi warna orange.

BRAK!
Pintu toko bunga Yamanaka terbuka dengan keras. Menampakkan Naruto yang ngos-ngosan karena berlari dari apartemennya.
"Gomen, aku terlambat," kata Naruto menyatukan kedua tangannya tanda meminta maaf.
"Terlambat bangun lagi?" tanya Ino. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 11 siang. Ino menghela nafas kemudian melanjutkan pekerjaannya menggunting daun-daun kering.
"Iya. Aku lelah sekali karena kemarin berlatih sampai sore."
"Hah, dasar kau ini. Ini ketiga kalinya kau terlambat. Kalau terlalu sering, nanti kusuruh Tou-san memotong gajimu."
"Ja-jangan dong, bagaimana aku bisa membayar utangku padamu?" kata Naruto memelas.
"Baiklah, asal jangan terlambat lagi."
Naruto tersenyum kemudian mengambil beberapa pot bunga yang masih berada di halaman belakang dan menyimpannya di etalase. Itu memang jadi salah satu pekerjaannya di toko ini. Tidak gentle juga kalau membiarkan Ino yang menangani pekerjaan yang berat.
"Ngomong-ngomong bagaimana hubunganmu dengan Hinata?" tanya Ino tanpa menoleh.
"Biasa saja."
"Apa maksudmu dengan biasa saja?" Kali ini pandangan Ino tertuju kepada Naruto yang sedang bolak-balik dari halaman belakang ke dekat etalase.
"Entahlah, sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengannya," jawab Naruto sejenak menghentikan kegiatannya. Naruto menyandarkan dirinya di tembok dekat Ino. Pandangannya lurus ke depan, tapi jelas sekali kalau ada kesedihan di tatapannya saat mengatakan kalimat itu.
"Hah?" Ino menatap Naruto tajam. "Kau jangan terlalu sibuk latihan, sisihkanlah waktu bersama Hinata."
"Iya baiklah, nanti sore aku menemuinya," jawab Naruto cuek dan berjalan kembali menuju halaman belakang untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Percuma. Hinata tidak ada di desa."
Naruto tertegun. Langkahnya terhenti. Ditatapnya Ino dengan penuh pertanyaan. Mata shapirenya bertemu dengan mata aquamarine Ino.
"Kemana?" tanya Naruto penasaran.
"Ya ampun Naruto..." Ino hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kau tidak tahu? Dia sedang berkunjung ke desa lain."
Mulut Naruto membulat, ber-'oh' ria.
"Hei, aku ingin bertanya sesuatu. Dulu kau pernah bilang Hinata jadi prioritasmu. Tapi setelah kematian Hokage, kau terlalu fokus ke Sasuke, kau melupakan Hinata. "
"Tentu saja tidak!" jawab Naruto tegas.
"Jangan mengelak!" balas Ino tidak kalah tegas. "Hinata pergi ke desa lain saja kau tidak tahu. Kalau disuruh memilih siapa yang akan kau pilih? Hinata atau Sasuke?"
Ino memandang Naruto dengan pandangan menelisik.
Naruto mengalihkan pandangannya. Jujur saja ini pertanyaan yang menyulitkan Naruto. Antara sahabat dan orang yang kau sukai, mana yang kau pilih? Jawabannya tidak bisa sembarangan. Ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan.
"Umm, dua-duanya penting bagiku."
"Benarkah? Tapi kenapa kau terlihat lebih fokus ke Sasuke? Aku tahu berlatih agar lebih kuat itu penting agar kau bisa merubah masa depan kita. Tapi kau melupakan seseorang, yaitu Hinata. Kau tidak pandai menyeimbangkan keduanya," kata Ino. Tangannya dilipat didadanya, pandangannya kepada Naruto semakin tajam.
"..." Naruto mematung disana. Bingung harus bicara apa lagi. Kadang-kadang Ino memang bisa jadi interogator yang hebat. Tidak buruk untuk seorang anak perempuan Yamanaka Inoichi, sang ketua Divisi Interogasi.
"Aku bicara begini karena aku tahu bagaimana rasanya ketika seseorang yang kau sukai menjauhimu. Terlebih lagi sebelumnya kalian sudah dekat. Kau jadi terlihat tidak konsisten. Tapi terserahlah, itu hanya pendapatku."
"Gomen."
"Jangan minta maaf padaku. Kau harusnya tahu harus minta maaf kepada siapa."
'Ya, kurasa aku harus meminta maaf kepada Hinata,' batin Naruto. Kali ini Ino sudah memberikan satu lagi saran yang berharga untuknya.
"Kau tahu Naruto? Bergaul denganmu yang 4 tahun lebih tua dariku membuatku bicara seperti orang dewasa. Masa mudaku jadi terbuang percuma," kata Ino menghela nafas panjang kemudian duduk di kursi kasir.
"Hehe." Naruto tersenyum mendengar kata-kata Ino. Beruntung sekali dia punya sahabat seperti Ino.

Empat hari sudah berlalu dan latihan Naruto akhirnya menunjukkan peningkatan.
"Aku hampir berhasil!"
"Terus berusaha!"
"Whoaaaa, aku berhasil mengeluarkan rasengan!"
"Bagus nomor 48! Itu masih belum sempurna, ayo kita sempurnakan!"
"Hei aku juga sudah bisa!"
"Bagus, terus tingkatkan kekuatannya."
"Hati-hati baka! Stabilkan tanganmu nanti bisa mengenaiku. Waaaaaaa..."
POOF! POOF! POOF!
Hinata tersenyum geli melihat kelakuan konyol Naruto dan bunshin-bunshinnya. Kemudian Hinata menyimpan bento yang dia bawakan khusus untuk Naruto di bawah pohon. Begitu kembali dari acara kunjungannya siang ini, Hinata menyempatkan diri membuatkan bento porsi jumbo untuk Naruto. Hinata berbalik dan bermaksud pulang sebelum suara orang yang sangat familiar di telinga Hinata menghentikan langkahnya.
"Hei Hinata-chan."
Hinata berbalik dan melihat Naruto yang nyengir disana. "Ke-kenapa kamu disini?" tanya Hinata heran.
"Yang disana itu semuanya bunshinku. Aku yang asli dari tadi menunggumu disini," jawab Naruto masih saja tersenyum.
"Menungguku?" Pipi Hinata mulai merona menyadari perkataan Naruto.
"Ya, sekarang kamu mau kemana?" tanya Naruto sambil berjalan mendekati Hinata.
"Pulang. A-aku tidak ingin mengganggu latihanmu," gumam Hinata pelan.
"Sebelumnya, aku ingin mengucapkan... Arigato Hinata-chan... Untuk ini," kata Naruto menunjuk bento di tangan kanannya.
"Sama-sama. Umm.. Selamat latihan ya." Hinata tersenyum kemudian berbalik untuk pulang. Hinata berpikir kalau dia berlama-lama disana hanya akan mengganggu Naruto yang sedang serius berlatih.
"Ja-Jangan pergi dulu Hinata-chan.." Untuk kedua kalinya perkataan Naruto menghentikan langkah gadis lavender itu. "Ada satu lagi. Um... Gomen..."
"Gomen? Untuk apa?" tanya Hinata kembali heran. Rasanya Naruto tidak pernah berbuat salah kepadanya.
"Karena aku terlalu sibuk berlatih sehingga kita jadi jarang bertemu akhir-akhir ini. Aku tidak bermaksud melakukannya. Aku hanya..." Naruto bingung harus bicara apa lagi. Mana mungkin harus jujur kalau dia latihan untuk mencegah Sasuke pergi dari desa? Yang ada Hinata malah akan curiga.
Menyadari Naruto yang tidak melanjutkan kalimatnya, Hinata memotong perkataan Naruto. "Sudah tidak apa-apa. Aku mengerti Naruto-kun."
Hinata berusaha untuk tidak egois. Naruto memang tidak bisa setiap saat bersamanya. Meskipun di dalam hatinya Hinata sangat mengharapkan agar terus bisa bersama Naruto.
"Bagus kalau kamu mengerti. Apa besok kamu sibuk?" tanya Naruto.
"Tidak. Kenapa Naruto-kun?"
"Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita makan siang di Ichiraku? Sudah lama kita tidak kesana berdua," ajak Naruto. Naruto masih ingat kata-kata Ino 3 hari lalu, jadi ia sangat berharap kalau Hinata mau pergi dengannya besok.
Hinata mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Naruto. Naruto seperti mendengar kata hatinya saja. Memang dia tidak mau egois, tapi kalau Naruto yang mengajaknya, apakah ada alasan untuk menolak? Tentu tidak.
"Umm, bo-boleh."
Cengiran Naruto melebar setelah mendengar jawaban Hinata.

Seperti janji Naruto sebelumnya, hari ini Naruto dan Hinata makan siang berdua di Ichiraku Ramen. Sekarang mereka berdua sudah selesai makan dan sedang mengobrol disana. Naruto sedang menceritakan hasil latihannya dengan begitu antusias sementara Hinata menanggapi dengan seksama. Sesekali terdengar tawa Hinata saat ada perkataan Naruto yang lucu dan ekspresif.
"Kamu tahu Hinata-chan, akhirnya aku bisa menggunakan jurus yang diciptakan Hokage Ke-4. Yah meskipun belum aku kuasai sepenuhnya."
"Oh ya?"
"Ya. Ini hasil latihanku selama 2 minggu terakhir ini."
"Kamu hebat Naruto-kun."
"Hei, kalau bukan karena bentomu kemarin, aku tidak akan menguasainya secepat ini, hehe."
"I-itu bukan apa-apa."
Obrolan mereka berdua terhenti saat sesosok pria berambut putih duduk di samping Naruto.
"Hei Naruto!" seru pria tersebut.
"Ero-Sennin!" Naruto terlonjak dari tempat duduknya, kaget melihat Jiraiya yang tiba-tiba saja muncul. Sejak mengajarinya jurus Kuchiyose, Jiraiya memang jarang terlihat di desa. Dia lebih banyak berada di luar desa. Katanya sih ingin mencari informasi mengenai Orochimaru. Naruto tahu itu hanya alasannya saja untuk menutupi kegiatannya 'mencari ide' untuk novel dewasanya.
"Aku bingung mencarimu kemana-mana. Ternyata kau malah pacaran disini," kata Jiraiya lagi. Sontak muka Naruto dan Hinata langsung saja memerah saat disangka sedang pacaran.
"Ka-kami tidak pacaran," jawab Naruto gelagapan.
"Terserah. Aku kesini karena ingin mengajakmu berlatih, sekalian mencari pengganti Hokage Ke-3."
Naruto baru ingat, sekarang sudah saatnya untuk mencari Tsunade. Waktu terasa cepat berlalu, rasanya baru kemarin dia kembali ke masa lalu. Sekarang tahu-tahu sudah harus mencari Tsunade.
"Cepat kau berkemas. Perjalanan kita lumayan panjang."
Sebenarnya Naruto masih ingin menghabiskan waktu bersama Hinata. Karena memang baru hari ini dia menyempatkan waktu untuk bertemu Hinata. Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga harus pergi bersama Jiraiya untuk mencari Tsunade karena Konoha perlu seorang pemimpin secepatnya.
"Hinata-chan, aku pergi dulu. Setelah aku pulang nanti, kita akan makan siang berdua lagi ya?" Hinata mengangguk dan tersenyum. Naruto menatap wajah Hinata sambil membalas senyumannya sebelum bergegas menuju apartemennya untuk berkemas.

"Ero-Sennin!"
Yang dipanggil tidak menyahut. Masih saja fokus mengintip wanita dan gadis remaja yang sedang mandi di pemandian air panas melalui celah kecil. Muka mesumnya terlihat jelas, air liurnya mengalir kemana-mana.
"Hei, berhentilah mengintip! Ajarkan aku rasengan!"
Jiraiya tersentak. Dari awal dirinya memang akan mengajarkan jurus itu kepada Naruto. Tapi dia belum mengatakan apa-apa. Jiraiya berdiri dan menghentikan 'risetnya' kemudian menatap Naruto dengan serius.
"Dari mana kau tahu jurus itu?"
Oops, Naruto keceplosan. Rasa sabar itu memang penting. Kalau saja Naruto mau bersabar, sebenarnya Jiraiya memang akan mengajarinya jurus itu.
"Umm, itu..."
Jiraiya memandang Naruto curiga. Naruto semakin panik. Otaknya yang tidak bisa dibilang jenius itu dipaksa untuk berpikir mencari alasan yang tepat.
"Jawab dulu pertanyaanku. Darimana kau tahu jurus itu?" desak Jiraiya.
"Ah, itu... Ayahku mengajariku di dalam mimpiku." Alasan yang konyol. Tapi hanya itu yang bisa Naruto hasilkan dari proses berpikirnya di otaknya yang bego. Dia tidak punya alasan lain yang lebih bagus.
"Jadi kau sudah tahu siapa ayahmu?" tanya Jiraiya kaget. Karena setahunya, kedua orang tua Naruto dirahasiakan identitasnya.
"Tentu saja. Lihat ini." Naruto membuat satu bunshin, kemudian membuat rasengan di tangan kanannya. "Aku ingin belajar menyempurnakan jurus ini."
"..." Jiraiya tambah kaget lagi melihat kumpulan chakra bundar di tangan Naruto. Meskipun bentuknya tidak sepenuhnya bundar dan masih butuh penyempurnaan, tapi Jiraiya yakin betul jurus itu memang benar-benar rasengan. Jiraiya menatap Naruto tajam. Dia tidak cukup bodoh untuk mempercayai alasan Naruto.
"Kau tidak mempercayaiku?" tanya Naruto semakin gugup.
"Aku percaya padamu," kata Jiraiya berbohong. Tatapan curiga masih terlihat jelas di matanya.

"Bagaimana? Apa kau sudah menguasainya?" tanya Jiraiya.
"Sudah."
"Bagus. Siapa tahu itu akan berguna sesaat lagi."
Naruto dan Jiraiya sedang berlari menuju tempat Tsunade berada atas petunjuk Shizune dan Tonton. Naruto memperkirakan kalau saat Hokage Ke-3 bertarung dengan Orochimaru, Hokage Ke-3 menggunakan jurus yang mematikan, yang memaksa Orochimaru meminta bantuan Tsunade untuk menyembuhkan lukanya.
Benar saja dugaannya. Saat bertemu dengan Orochimaru, Naruto melihat luka yang mirip dengan efek jurus dewa kematian di tangan Orochimaru. Hanya saja kali ini lukanya hanya sebatas pergelangan tangan. Tapi dilihat dari keringat yang bercucuran di wajah Orochimaru, Naruto yakin kalau luka itu sangat menyakitkan bahkan untuk seorang Orochimaru sekalipun.
"Kita bertemu lagi bocah Kyuubi," seru pria ular itu saat menyadari kehadiran Naruto.
"Orochimaru! Jangan pernah sentuh Sasuke!"
Orochimaru tersenyum mengerikan. "Heh, sudah kuduga kau mengetahui sesuatu. Siapa yang memberitahumu?"
"Tidak ada."
"Hehehe. Kau sungguh menarik. Sepertinya kau bukan orang sembarangan..."
DZIIIGH!
Kata-kata Orochimaru terhenti saat Tsunade memukul wajahnya. Tampaknya sudah saatnya untuk serius dan berhenti bermain-main. Ketiga Sannin itu mengeluarkan hewan Kuchiyosenya masing-masing dan pertarungan mereka semakin sengit.
Pertarungan 2 lawan 1 yang tidak seimbang ini memaksa Orochimaru untuk mundur.
"Orochimaru-sama. Bukan bermaksud pengecut. Tapi kadang melarikan diri adalah cara terbaik untuk menang," kata Kabuto, Orochimaru mengangguk.
"Sampai bertemu lagi bocah." Kedua sosok itu menghilang dalam kepulan asap.
"Tunggu!" teriak Naruto.
"Naruto! Sudah cukup!" cegah Jiaraiya. Ditatapnya Naruto penuh tanya. Jadi bukan hanya diriya yang merasa ada yang aneh pada diri Naruto? Orochimaru juga? Rasa curiganya semakin menjadi. Tapi dia berusaha menghapus pikiran-pikiran tidak berguna itu. Naruto adalah anak dari murid kesayangannya, Minato. Minato itu orang baik-baik, dia tahu betul bagaimana sifat seorang Minato. Sekarang Naruto juga telah menjadi muridnya. Rasanya mencurigai murid sendiri itu terlalu berlebihan.

Setelah Tsunade diangkat jadi Hokage Ke-5, para shinobi mulai kembali mendapat misi. Mungkin itu jadi hal yang menyebalkan bagi shinobi lain karena tidak bisa santai-santai lagi. Tapi tidak bagi Naruto...
"Haaa, akhirnya setelah sekian lama kita mendapatkan misi juga Sakura-chan," seru Naruto ceria seperti biasa.
Misi Team 7 kali ini adalah mengawal seorang pelari dari Negara Teh bernama Morino Idate. Sementara musuh mereka bernama Aoi yang bermaksud membunuh Idate. Misi kali ini hanya Naruto, Sasuke dan Sakura saja yang ikut karena Kakashi sedang ada misi lain.
"Iya. Tapi pastikan kau tidak mengacau Naruto," ejek Sakura.
"Tentu saja tidak."
"Awas kalau kau bohong. Kami akan menghukummu. Iya 'kan Sasuke-kun?"
"Hn."
Pandangan Naruto beralih kepada Sasuke yang berjalan di belakangnya. Diperhatikannya Sasuke lebih detail. Mata onyx Sasuke memandang lurus kedepan, kedua tangannya dimasukkan kedalam saku. Naruto menatapnya iri, bahkan di umur yang masih muda saja Sasuke sudah terlihat 'cool'. Pantas saja Sasuke punya banyak sekali penggemar perempuan, baik dari kalangan para kunoichi ataupun penduduk biasa.
Tanpa Naruto ketahui, Sasuke dari tadi mengamati gerak-geriknya. Ditatapnya Naruto yang saat itu sedang mengobrol dengan Sakura dengan tatapan angkuh.
Tapi itu tidak berlangsung lama...
Sasuke harus menelan mentah-mentah keangkuhannya saat Naruto bisa mengalahkan Aoi. Padahal dia sendiri sama sekali tidak bisa mengalahkannya.
'Kenapa dia bisa mengalahkan musuh yang tidak bisa kukalahkan? Kenapa juga dulu Itachi bilang kalau misi para anggota Akatsuki adalah memburu Naruto? Apa sebenarnya yang spesial pada diri Naruto?' batin Sasuke. Pikiran-pikiran itu semakin membuat rasa iri di hati Sasuke menjadi-jadi.
Rasa iri Sasuke memuncak saat Naruto dan Sakura bermaksud menjenguknya di rumah sakit.
"Teme? Kau baik-baik saja?" tanya Naruto sambil memperlihatkan cengiran khasnya. Sasuke membenci cengiran itu. Itu membuatnya muak.
"Sasuke-kun?" tanya Sakura khawatir, karena menyadari Sasuke yang dari tadi diam saja. Yang dilakukannya hanya menatap Naruto.
"Naruto, aku menantangmu! Satu lawan satu," kata Sasuke. Tatapannya kepada Naruto tajam sekali, penuh dengan aura membunuh.
Naruto kaget. Akhirnya saat yang ditakutkannya tiba. Padahal dia sempat berharap kalau saat seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.
"Aku... tidak mau," jawab Naruto. Naruto sadar, inilah salah satu faktor yang menyebabkan Sasuke kabur dari desa. Naruto berbalik dan bermaksud meninggalkan Sasuke. Berada di ruangan itu hanya akan membuat Sasuke semakin emosi.
"Kau lemah! Pasti karena kau terlalu banyak bergaul dengan gadis lembek itu."
Naruto terpaku mendengar perkataan Sasuke. Naruto menoleh dan menatap mata onyx Sasuke. "Siapa yang kau maksud gadis lembek?"
"Siapa lagi? Tentu saja gadis Hyuuga itu."
Kedua tangan Naruto mengepal kuat. Dia rela dirinya dihina seperti apapun, tapi kalau Hinata yang dihina, Naruto tidak terima. Naruto mati-matian manahan emosinya yang memuncak saat Sasuke menjelek-jelekkan gadis yang disukainya itu. Kalau saja bukan untuk mencegah Sasuke pergi, pasti Naruto sudah memukul wajah Sasuke saat itu juga.
"Kau boleh menghinaku, tapi jangan pernah sekalipun menghina Hinata-chan!"
Kemudian Naruto pergi meninggalkan kamar perawatan Sasuke. Kata-kata Naruto begitu dingin dan penuh amarah. Membuat Sasuke yang mendengarnya mematung disana.

"Naruto!"
Dengan malas Naruto bangun dari tidurnya. Siapa juga yang membangunkannya sepagi ini? Setelah menyeret badannya yang masih ngantuk, Naruto membukakan pintu apartemennya.
"Shikamaru?"
"Cepat siap-siap, kita mendapatkan misi."
Perasaan Naruto langsung tidak enak. Pasti ada yang tidak beres.
"Sasuke pergi dari desa."
Benar saja dugaan Naruto. Padahal kemarin dia sudah mengalah untuk tidak bertarung dengan Sasuke. Tapi kenapa Sasuke masih juga pergi dari desa?
'Apa yang ada di pikiranmu Teme?' batin Naruto.
Sebelum pergi, Sakura memanggil Naruto. Ia menangis. Naruto merasakan hatinya sakit melihat kejadian ini terulang kembali.
"Naruto... Ini satu-satunya permintaanku. Tolong bawa... Tolong bawa pulang Sasuke-kun. Aku tidak bisa menghentikannya. Aku yakin yang bisa membawanya pulang hanya kau. Hanya kau Naruto..."
"Kau benar-benar mencintainya ya? Aku sangat mengerti perasaanmu karena dulu, dulu sekali, aku pernah merasakannya."
Naruto mengingat kejadian 4 tahun lalu, di kehidupan sebelumnya, dirinya begitu terobsesi kepada Sakura. Tanpa mengetahui kalau ada gadis lain yang begitu tulus mencintainya.
"Naruto..." Sakura kembali menangis.
"Sakura-chan, aku akan membawa pulang Sasuke. Ini janji seumur hidupku."
"Naruto... Arigato..."
Berat sekali rasanya ketika Naruto berjanji untuk kedua kalinya. Tapi yang jelas, kegagalannya di kehidupan sebelumnya tidak akan dia ulangi sekarang.
Setelah semua siap, Shikamaru, Naruto, Kiba, Neji dan Chouji segera berangkat.
"Teman-teman..." seru Naruto. Semuanya menoleh ke arah Naruto.
"Aku harap kalian berhati-hati. Musuh yang akan kita hadapi sangat kuat."
Yang lainnya manatap Naruto aneh. Kemana perginya Naruto yang selalu bersemangat? Tapi mereka menyimpan baik-baik pesan Naruto di pikiran mereka. Kalau Naruto saja sampai berpesan seperti itu, itu berarti musuh yang akan mereka hadapi memang bukan ninja sembarangan.

"Sasuke! Kenapa kau pergi dari desa?" bentak Naruto di tengah pertarungannya melawan Sasuke.
"Karena kalian semua lemah! Aku tidak akan bisa kuat kalau diam di Konoha. Apalagi harus satu tim dengan pecundang sepertimu!"
"Pecundang katamu? Aku akan buktikan kalau aku bukan pecundang dan tidak lemah. Aku akan membawa kau pulang bagaimanapun caranya."
Chakra Kyuubi menyelubungi tubuh Naruto, kemudian membentuk ekor. Sasuke yakin itu pertanda buruk, maka ia menaikkan Curse Seal ke level 2.
"Heaaaahhh... RASENGAN!" Naruto melompat menyerang Sasuke dengan rasengan di tangan kanannya.
"CHIDORI!" Sasuke tidak mau kalah, chidori sudah siap di tangan kanannya.
BOOM!
Rasengan dan chidori beradu membentuk pancaran energi yang menyilaukan dan juga ledakan besar yang membuat kedua orang disana terlempar.
Naruto membuka matanya. Dia berusaha berdiri, kemudian dicarinya sosok bocah raven yang tadi bertarung dengannya.
Dia menemukan Sasuke di dekat sungai. Setelah memeriksa keadaanya, Naruto bersyukur karena Sasuke masih hidup. Naruto tersenyum, kali ini dia berhasil mengalahkan Sasuke. Hasil latihannya selama ini tidak sia-sia.
Diangkatnya badan Sasuke, kemudian digendong di punggungnya. Naruto berjalan, untuk pulang ke desa. Meskipun keadaan fisiknya memang tidak bisa dibilang bagus, tapi dia bersyukur dengan begini misi keduanya berhasil.
DUAKHH!
Tubuh Naruto terlempar saat seseorang menendang badannya. Begitu juga tubuh Sasuke yang langsung terjatuh. Sesaat kemudian tubuh Sasuke dibopong oleh seorang ninja berkaca mata. Kabuto!
"Jangan harap kau bisa membawa Sasuke kembali ke Konoha," seru Kabuto sambil tersenyum sinis. Bersamaan dengan itu dia menghilang dalam kepulan asap bersama Sasuke.
"Tidak! Tidak! Tidak! Sasuke! SASUKEEE!"

Setelah insiden perginya Sasuke dari desa, keadaan Naruto sangat mengkhawatirkan. Mengalami kegagalan misi 2 kali berturut-turut membuatnya murung akhir-akhir ini. Yang membuatnya tambah murung adalah dia kembali tidak bisa memenuhi janjinya kepada Sakura. Dia berpikir kalau kembali ke masa lalu sama sekali tidak ada gunanya kalau dia terus-menerus gagal begini.
"Naruto? Kau tidak apa-apa?" tanya Ino yang mengkhawatirkannya dari tadi.
"Aku heran Ino. Kenapa Sasuke masih saja pergi dari desa? Padahal aku sudah mengalah waktu dia menantangku di rumah sakit," kata Naruto, nadanya begitu miris. Membuat Ino ikut sedih melihat sahabatnya ini.
"Umm.. Kau bisa menguasai rasengan lebih cepat dari seharusnya karena kau berlatih keras, aku pikir itu membuat Sasuke merasa iri padamu."
"Mungkin." Naruto berdiri dan menuju pintu keluar. "Aku pulang saja ya? Kalau mau memotong gajiku silahkan saja."
Ino tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tidak tega kalau harus memaksa Naruto bekerja dalam keadaannya yang seperti sekarang.
Saat Naruto keluar dari toko, ia berpapasan dengan Hinata.
"Naruto-kun?" Naruto hanya menatap Hinata sekilas kemudian meneruskan langkahnya.
Hinata menatap sedih punggung bocah pirang itu.
"Sabar ya Hinata-chan. Sejak dia gagal membawa pulang Sasuke dia jadi seperti itu."
"Aku mengerti keadaannya." Hinata mengalihkan pandangannya ke barisan bunga di toko Yamanaka. Dia memilih setangkai tulip, seperti biasa hari Minggu ini dia akan pergi ke makam ibunya.
Saat akan membayar bunganya di kasir, Ino memegang tangan Hinata. "Hinata-chan, tolong bantu Naruto melupakan Sasuke. Hanya kamu yang bisa melakukannya."
Hinata menunduk, mengamati bunga tulipnya. Ino benar, mungkin hanya dirinya yang bisa membuat Naruto tidak sedih lagi. "Akan kucoba."

Tok Tok Tok!
Naruto membuka pintu apartemennya dan menemukan Hinata disana.
"Hinata-chan?"
"Boleh aku masuk?" tanya Hinata. Jantungnya berdetak lebih cepat. Hinata berkunjung ke apartemen Naruto? Wow, itu hal yang jarang terjadi. Kalau bukan untuk membuat Naruto tidak sedih lagi, Hinata tidak berani melakukannya.
"Masuklah."
Mereka berdua duduk di sofa usang milik Naruto. Sofa yang kecil memaksa mereka untuk duduk bersebelahan. Hinata menatap Naruto khawatir. Rambutnya berantakan, kesedihan juga jelas sekali terlihat di mata shapire Naruto.
"Masih kepikiran Sasuke-kun?" tanya Hinata membuka pembicaraan, karena Hinata yakin kalau bukan dirinya yang memulai pembicaraan, mereka akan diam mematung disana sampai sore.
"Ya."
Hening lagi. Naruto begitu irit bicara kali ini. Hal ini memaksa Hinata untuk aktif berbicara. Sungguh hal yang tidak biasa dilakukan Hinata. Tapi kalau untuk membuat Naruto tidak sedih lagi, Hinata rela melakukan apa saja.
Baru saja Hinata akan memulai pembicaraan, Naruto melakukan hal yang membuat jantung Hinata kembali berpacu.
Naruto menyandarkan kepalanya di pundak Hinata. Membuat wajah Hinata memanas seketika. Dengan posisi seperti itu, membuat Hinata bisa mencium aroma tubuh Naruto dengan jelas. Hinata mengatur nafas dan detak jantungnya agar tidak pingsan. Ayolah, sekarang Naruto sedang membutuhkan 'sandaran' dan teman berbagi, bukan saat yang tepat bagi Hinata untuk pingsan.
Mereka tetap dalam posisi yang sama hingga Hinata terbiasa dengan keberadaan Naruto yang 'merapat' padanya.
"Hinata-chan..."
"Y-ya?" Hinata tersadar dari lamunannya.
"Apa kamu pernah merasa putus asa?"
"Putus asa. Umm... Dulu aku pernah merasakannya."
"Dulu?"
"Ya, sebelum aku mengenal seseorang yang mengajariku untuk pantang menyerah dan tidak pernah putus asa."
"Siapa seseorang itu?"
"Kamu."
"Hehe." Hinata merasakan Naruto yang tertawa di pundaknya. Mungkin ini senyum pertama Naruto hari ini.
"Makanya aku heran kenapa justru orang yang selama ini mengajariku untuk tidak putus asa, malah putus asa dan murung begini," kata Hinata.
"..." Naruto tidak menanggapi.
"Aku kehilangan Naruto-kun yang ceria dan pantang menyerah. Aku ingin kamu ceria seperti dulu."
Naruto menegakkan badannya dan menatap wajah Hinata sambil tersenyum. "Gomen. Sekarang perasaanku lebih baik, arigato sudah menemaniku Hinata-chan."
"Ti-tidak apa-apa," Hinata mengalihkan pandangannya menyembunyikan pipinya yang merona. "Ngomong-ngomong aku ingin membantumu membawa Sasuke pulang."
"Benarkah?"
"Iya. Aku tahu serangga yang bisa melacak keberadaan seseorang, namanya Bikochu. Kita bisa meminta bantua Shino untuk mencarinya."
"Arigato Hinata-chan." Naruto menggenggam tangan Hinata dan membuat gadis lavender itu semakin merona.

Misi pencarian Bikochu beranggotakan Shino, Kiba, Hinata dan Naruto, dengan Shino sebagai ketuanya. Kali ini Naruto tidak banyak protes maupun bertindak konyol. Ia ingin misi ini berjalan sukses.
Menjelang malam, mereka beristirahat karena menurut Shino mencari Bikochu malam-malam sangat tidak efektif. Akhirnya mereka membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh mereka. Tapi Naruto yang kebagian berjaga malam itu malah ketiduran. Dan di tengah malam udara dingin memaksanya untuk bangun.
'Hoaam... Aku ketiduran. Brrrrrr, dingin sekali, aku jadi ingin kencing. Rasanya seperti de javu. Aku pernah merasakan ini sebelumnya,' batin Naruto. Tapi dia tidak terlalu mempedulikan pemikirannya itu. Setelah menyalurkan hasrat buang air kecilnya, Naruto mendengar sesuatu.
SPLASH!
Karena penasaran, Naruto mendekati sumber suara. Dari kejauhan dilihatnya sosok gadis cantik yang sedang berlatih di air terjun.
Naruto ingat sekarang, di masa sebelumnya dia juga mengalami ini. Tapi saat itu dia tidak berhasil mengetahui siapa gadis cantik itu. Rasa penasarannya semakin memuncak, dia bertekad untuk mengungkap siapa sebenarnya sosok gadis cantik itu. Didekatinya air terjun dengan hati-hati agar gadis itu tidak lari seperti dulu. Naruto bersembunyi di semak-semak, berpindah dari satu semak ke semak lainnya. Setelah cukup dekat Naruto keluar dan menatap gadis itu. Sang gadis yang kebetulan sedang menghadap ke arah Naruto kaget bukan main. Naruto juga tidak kalah kaget menyadari siapa gadis itu.
Gadis itu adalah Hinata!
Mata shapire Naruto dan mata lavender Hinata melebar saat tatapan mereka bertemu. Naruto memandang Hinata dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Matanya semakin membulat lebar menyadari Hinata yang hanya memakai celana dalam dan baju jaring-jaring dalam. Mukanya memanas, dalam hitungan detik pasti dia akan mimisan melihat Hinata dalam keadaan seperti itu.
"Hi-hina..." Naruto tiba-tiba jadi gagap melihat 'pemandangan indah' di depannya.
Dengan tenaga yang tersisa, Hinata mengumpulkan chakra di tangannya dan menghantam Naruto.
"Narutooooo... Dasar mesum! JYUUKEN!"
BUKH!
"Arghhh..." Naruto terlempar ke dalam hutan. Sementara itu Hinata memakai pakaiannya dan kembali ke tempat peristirahatan dengan wajah merah pekat. Hari ini hari yang sial bagi Hinata, Naruto melihatnya setengah telanjang! Mau disimpan dimana mukanya? Naruto juga keterlaluan, dia malah memperhatikan Hinata dari ujung kaki ke ujung kepala seolah menikmati 'pemandangan' di depannya.
Tak lama kemudian, Naruto kembali dengan darah mengalir dari hidungnya.
"Go-gomen Hinata-chan, aku benar-benar tidak sengaja." Naruto mendekati Hinata tapi Hinata tidak mempedulikannya.
"Pergi! Aku benci padamu! Dasar mesum!" bentak Hinata. Baru kali ini Naruto mendengar Hinata membentaknya.
"Hei, dengarkan aku."
"Ada apa ini?" tanya Kiba yang terbangun mendengar keributan antara Naruto dan Hinata. "Kalian ribut sekali. Kau juga Naruto, jaga yang benar dong. Jangan mengganggu Hinata, ini 'kan waktunya tidur."
Naruto akhinya kembali ke tempat duduknya. Ditatapnya Hinata sedih. Padahal kemarin hubungannya dengan Hinata sudah membaik. Tapi sekarang merenggang lagi. Malah sekarang Hinata membencinya. Ini adalah hal yang paling ditakutkan Naruto.

"Hinata-chan, aku mohon maafkan aku. Kita hanya salah paham. Aku tidak bermaksud untuk..."
"Hmph." Hinata memalingkan wajahnya. Dari dia bangun tidur tadi pagi, Naruto terus saja meminta maaf kepadanya.
"Hinata-chan, kumohon dengarkan aku."
"Naruto, sekarang kita sedang menjalankan misi. Jalankan dulu misi. Kita harus profesional," kata Hinata datar. Bahkan embel-embel 'kun' saja tidak digunakan, berarti Hinata benar-benar membenci Naruto sekarang.
Mendengar pertengkaran kedua orang itu membuat Kiba ingin menggoda mereka.
"Hoho, pangeran dan tuan putri sedang bertengkar rupanya," kata Kiba sambil terkekeh.
"Berisik!" bentak Naruto dan Hinata bersamaan. Kiba malah semakin ingin tertawa mendengar Naruto dan Hinata.
Menjelang siang, Bikochu berhasil ditemukan. Setelah serangga itu mencium bau head protector milik Sasuke, serangga itu langsung melesat terbang menuju arah yang diperkirakan adalah arah tempat Sasuke berada. Naruto dan yang lain berlari nonstop selama sehari semalam untuk mengimbangi kecepatan serangga itu. Berlari selama itu menguras tenaga dan membuat Hinata yang fisiknya paling lemah diantara mereka mulai tertinggal di belakang.
"Kiba, kau gendong Hinata. Kalau terus begini dia bisa tertinggal," kata Shino.
"Baik." Kiba memperlambat larinya. Naruto memandang Hinata khawatir. Andai saja mereka sedang tidak bertengkar sekarang, pasti Naruto akan membantu Hinata. Jujur saja dia cemburu mengetahui Kiba disuruh menggendong Hinata.
Di luar dugaan Hinata juga mau digendong Kiba. Padahal dia tahu betul Hinata itu pemalu. Apa Hinata mencoba balas dendam dengan membuat Naruto cemburu?
Naruto kembali menatap ke depan dan mengejar Bikochu bersama Shino. Memandang Kiba dan Hinata hanya membuat dirinya semakin cemburu.
"Kenapa berhenti?" tanya Kiba saat berhasil mengejar Shino dan Naruto. Tapi Kiba mengerti saat ia menatap ke depan. Sekarang mereka berada di ujung pulau, ujung Negara Api. Dengan kata lain Sasuke telah berada di luar Negara Api.
Shino menatap batu karang terjal dan gelombang air laut yang mulai pasang di hadapan mereka. Kemudian pandangannya beralih kepada Naruto.
"Kurasa pengejaran kita sampai disini saja. Kita perlu perahu untuk bisa menyebrang lautan. Bagaimana Naruto? Apa tidak apa-apa?"
"Ya, sepertinya disana sedang badai, kalaupun kita naik perahu akan sangat berbahaya kalau kita lanjutkan. Lagi pula ini sudah terlalu jauh. Obaa-chan pasti khawatir."
"Baiklah, kalau begitu kita segera mencari tempat istirahat di hutan itu."
Akhirnya mereka kembali ke hutan untuk mencari tempat beristirahat. Naruto berjalan paling belakang. Menatap Hinata yang masih digendong di punggung Kiba. Dia tahu Kiba itu sahabatnya dan Kiba tidak menyukai Hinata. Tapi entah kenapa dadanya tetap memanas. Dia semakin cemburu. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Saat ini Hinata membencinya, tidak mungkin Hinata mau digendong olehnya.
Naruto mulai merasa aneh sekarang, padahal dia gagal menemukan Sasuke. Tapi kenapa justru yang membuat hatinya tidak enak adalah kenyataan bahwa sekarang Hinata membencinya? Apa memang Hinata lebih penting dari pada Sasuke?
'Kalau disuruh memilih siapa yang akan kau pilih? Hinata atau Sasuke?'
Naruto kembali teringat pada pertanyaan Ino.
"Aku tidak bisa memilih salah satu Ino. Keduanya penting bagiku. Tapi kalau memang aku harus memilih, sepertinya aku lebih memilih Hinata," gumam Naruto pelan.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar