pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 4

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR: seiring berjalannya cerita, mungkin akan ada beberapa kejadian yang berbeda dari yang pernah dialami Naruto sebelumnya (beda dari Anime/Manga), meskipun kebanyakan akan sama. Jadi disini Naruto tidak persis mengulang masa lalunya, tapi lebih ke 'membuat alur kehidupan baru'. AT: Time travel. Sedikit OOC, typo, bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"Apa mungkin mereka pacaran?"
"Eh? Kita 'kan baru 12 tahun menuju 13 tahun. Mungkin memang ada beberapa dari kita yang sudah pacaran. Tapi kalau untuk Naruto... Aduh itu tidak mungkin."
"Siapa tahu."
"Terus apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mencari tahu kebenarannya. Aku punya rencana..."
"Rencana apa?"
"Rahasia. Akan kuceritakan kalau kau mau membantuku."
"Hah? Tidak! Terima kasih. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi bocah tidak berguna seperti dia. Banyak hal yang lebih berguna, seperti mendekati Sasuke-kun."
"Heee? Sasuke-kun milikku! Jangan harap kau bisa mendapatkannya. Ya sudah, aku akan melaksanakan rencanaku sendirian."
"Terserah. Aku tidak mau terlibat. Kalau ada apa-apa jangan bawa-bawa aku. Kyaaaaa! Itu Sasuke-kun! Sasuke-kuuunnn..."
Sang kunoichi kembali memandang keluar jendela.
'Ck, hari ini terpaksa aku mengalah dan tidak mendekati Sasuke-kun. Aku harus menyusun rencanaku. Tunggu saja Naruto, aku akan 'memaksamu' memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi,' batin sang kunoichi sambil menyeringai.
.
.
.
Chapter 4
-Rahasia Terbongkar?-
Normal POV
"Ahahaha, kamu lucu Hinata-chan."
"Ja-jangan memandangku terus Naruto-kuunn..."
"Habisnya mukamu kenapa selalu merona merah kalau di dekatku?"
"Ummm…"
"Tapi tidak apa-apa kok, aku suka."
"Eh?"
"Tuh 'kan memerah lagi. Haha."
"Naruto-kuuunnn…"
Sore itu tidak berbeda dengan sore-sore sebelumnya, seperti biasa Naruto mengantar Hinata pulang ke rumahnya diselingi candaan ringan. Dua hari sudah berlalu setelah kejadian digambarnya Hinata di papan tulis dan bolosnya Naruto-Hinata. Mereka berdua sudah kembali masuk ke akademi seperti biasa. Siswa lain kebanyakan sudah tidak lagi membahas kejadian dua hari lalu itu. Meskipun ada saja beberapa yang membicarakan mereka berdua di belakang. Naruto dan Hinata sudah tidak mau ambil pusing, mereka sudah tidak peduli lagi apa kata siswa lain mengenai kedekatan mereka. Itu hak mereka untuk dekat, dan orang lain tidak berhak untuk melarang mereka dekat.
"Sudah sampai. Terima kasih sudah mengantarku pulang," kata Hinata setelah mereka sampai di depan Hyuuga Mansion.
"Ya, sama-sama Hinata-chan, sampai ketemu besok," kata Naruto tak melepas senyumnya.
"Hn," angguk Hinata. Seperti biasa Hinata tidak akan masuk ke dalam Hyuuga Mansion sebelum Naruto menghilang dari pandangannya. Hinata memandang sosok yang disukainya itu sambil tersenyum, sebelum akhirnya sosok itu menghilang di tikungan.
Sementara itu Naruto yang dalam perjalanan pulang malah senyum-senyum sendiri. Kedua tangannya disimpan di belakang kepalanya. Orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya memandang Naruto aneh.
'Naruto senyum-senyum sendiri, jangan-jangan dia sudah gila!' pikir mereka.
Tapi sebenarnya Naruto tersenyum sendiri bukan tanpa alasan. Dia sedang berpikir. Dia menyadari sesuatu yang semakin membuat hatinya berbunga-bunga. Dia menyadari bahwa ternyata dirinya semakin menyukai Hinata melebihi sebelumnya. Sekarang dia benar-benar tidak ingin kehilangan Hinata. Bahkan dia meyakinkan dirinya dan berjanji akan melindungi Hinata dengan nyawanya, dia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Hinata, dia tidak akan membuat Hinata sedih.
Oleh karena itu, detik itu juga Naruto memutuskan hal yang sangat penting: dia memutuskan untuk menyimpan rahasianya baik-baik.
Rencananya untuk memberitahukan rahasianya kepada Hokage dia batalkan. Dia tidak ingin satu orang pun tahu mengenai rahasianya, apalagi Hinata. Karena Naruto takut kalau Hinata tahu, Hinata akan sedih karena mengetahui dirinya akan mati. Biarlah rahasia ini Naruto pendam sendiri. Sekarang yang harus dia lakukan adalah berlatih keras dan tidak akan membiarkan masa depannya terulang kembali. Dia tidak akan membiarkan Hinata mati di kesempatan kedua yang diberikan Tuhan ini. Bukan hanya itu, Naruto juga bertekad akan merubah masa depan. Dia tidak akan membiarkan Hokage ke-3, Jiraiya serta orang-orang yang disayanginya mati, dia tidak akan membiarkan Sasuke meninggalkan desa, dan banyak lagi hal yang akan Naruto lakukan.
Setelah membulatkan tekadnya, Naruto jadi semakin bersemangat.
'Aku harus memanfaatkan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan ini dengan sebaik-baiknya. Aku akan memperbaiki semua kekacauan yang terjadi di masa depan, sekecil apapun itu,' batin Naruto.
Tanpa Naruto ketahui, seorang kunoichi sudah memperhatikan dirinya sejak keluar dari gerbang akademi. Mengamati setiap tingkah Naruto dan Hinata dari tadi. Dan sekarang sedang memperhatikannya dari kejauhan, mengikuti Naruto diam-diam.
'Semakin mencurigakan,' batin sang kunoichi.
Saat melewati sebuah perempatan jalan, badan Naruto ditarik oleh kunoichi itu.
"Hei, apa-apaan…" Naruto yang ditarik paksa mencari tahu siapa orang yang menariknya. Yang dilihat Naruto hanya punggung dan rambutnya saja karena kunoichi itu terus saja menariknya. Tapi samar-samar Naruto bisa melihat ciri-ciri kunoichi itu. Rambutnya pirang panjang, diikat ponytail, dan bajunya berwarna ungu.
Sang kunoichi berhenti menariknya ketika mereka sampai di lorong yang kecil dan sepi. Kemudian sang kunoichi menoleh, kali ini jelaslah sudah wajah orang yang menarik Naruto dari tadi.
"Ino?"
"Halo Naruto," sapa Ino sambil tersenyum manis.
"Kenapa kau menarikku kemari?" tanya Naruto, merasa kesal karena gadis di depannya itu seenaknya saja menariknya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin ngobrol denganmu," jawab Ino masih saja tersenyum.
"Ngobrol? Tidak biasanya." Tentu saja tidak biasa. Kalau hanya ingin ngobrol, tidak harus menarik Naruto ke tempat sepi 'kan?
"Yah, aku juga sedikit merasa aneh," ujar Ino menghela nafasnya, "baru sekarang aku bicara berdua seperti ini denganmu."
Kalau dipikir Ino ada benarnya juga. Waktu kecil (di kehidupan Naruto sebelumnya) Naruto memang jarang sekali ngobrol berdua dengan Ino. Biasanya di akademi Ino hanya akan menghina atau mengolok-olok kebodohan Naruto. Naruto juga ingat saat dia mendapat misi berdua dengan Ino untuk menolong putri yang kurang percaya diri karena badannya yang gemuk. Waktu itu tugas Ino adalah menyamar menjadi putri tersebut – kebetulan wajah Ino dan putri tersebut mirip – untuk membuat pangeran jatuh cinta pada sang putri. Bodohnya, Naruto malah mengacaukan suasana. Beruntung misi berakhir dengan sukses, meskipun bukan dengan cara yang Ino inginkan. Tapi hingga akhir misi hubungan Naruto dengan Ino tidak membaik. Mendapat misi berdua sama sekali tidak membuat mereka akrab. Ino masih saja ketus dan Naruto masih tetap dicap 'baka' oleh Ino.
Setelah beranjak remaja, Naruto dan Ino semakin jarang bertemu. Terutama karena banyaknya misi yang mebuat mereka sibuk.
"Mau ngobrol apa?" tanya Naruto lagi, sama sekali tidak tertarik.
"Ini mengenai kau dan Hinata." Senyum Ino berubah jadi aneh.
Naruto kaget bukan main. Tapi dia tutupi dengan pura-pura tidak dengar dan balik bertanya. "Aku dan Hinata?"
"Ya, apa kalian… Umm… Apa kalian pacaran?" tanya Ino. Sekarang jelas sekali kalau Ino menyeringai, membuat Naruto mundur beberapa langkah.
"Eeeh? Kenapa tanya begitu?" Jujur saja Naruto tidak siap kalau ditanya begini.
"Aku 'kan hanya tanya. Tidak usah heboh begitu," kata Ino. Disandarkannya dirinya di dinding lorong, kedua tangannya dilipat di dada.
"Umm, aku…" Naruto bingung harus bicara apa lagi. Memang ia ingin sekali pacaran dengan Hinata. Tapi sekarang mereka masih teman biasa. Bingung juga Naruto harus bilang apa.
"Pacaran ya?" desak Ino. Kini Ino mendekatkan wajahnya ke wajah Naruto. Naruto semakin panik, kewalahan meladeni sikap agresif Ino.
"Ti-tidak! Kami hanya… teman," kata Naruto di tengah kepanikannya. Ada perasaan sedih juga saat dia mengucapkan kata 'teman'. Tapi Naruto yakinkan dirinya, suatu saat status 'teman' itu akan berubah jadi 'pacar'.
"Tapi dari reaksimu sepertinya tidak begitu." Ino semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Naruto, reaksi Naruto malah membuat Ino semakin penasaran.
"Hah? Jangan bicara yang aneh-aneh."
"Aku tidak bicara aneh, ini kenyataan. Kalau hanya teman, mana mungkin setiap hari berangkat dan pulang dari akademi bersama? Selain itu kalian sering jalan berdua."
'Ugh, Ino bukanlah tipe orang yang mudah diajak berdebat,' batin Naruto.
"Tapi itu bukan berarti kalau kita pacaran. Sudahlah, aku mau pulang," Naruto berbalik, dan mulai meninggalkan Ino.
"Hei tunggu dulu, aku belum selesai bicara," kata Ino setengah berteriak.
"Aku pulang, daahhh..." Naruto melambaikan tangannya, sama sekali tidak menghiraukan teriakan Ino.
"Naruto!" Seketika itu juga, Ino menahan kedua bahu Naruto dan memojokkannya ke dinding lorong. Kemudian tangan kanan Ino diletakkan di kepala Naruto. Mata Ino terpejam.
'Gawat!' teriak Naruto dalam hati. Naruto tahu betul apa yang akan Ino lakukan. Ino akan menggunakan jurus membaca pikiran. Naruto sedikit kaget juga, dia pikir hanya Inoichi, ayah Ino saja yang menguasai jurus itu. Dan tentu saja itu sangat berbahaya, Ino akan tahu semua isi pikirannya. Dari mulai masa lalu sampai masa depan yang sama sekali belum terjadi di masa ini.
'Ini keterlaluan sekali, apa sebegitu ingin tahunya Ino mengenai hubunganku dan Hinata sampai-sampai Ino menggunakan jurus ini? Dasar anak kecil!' pikir Naruto.
"Hei! Apa yang kau…" Naruto mencoba melepaskan diri dari pegangan Ino. Tapi terlambat, Ino sudah menggunakan jurusnya. Kepala Naruto tiba-tiba sakit.
"Ino! Stop! Aku mohon jangan lakukan itu… ARGGGHHHHH….."
"KYAAAAA…" Ino berteriak tidak kalah kerasnya, ia juga menahan rasa sakit di kepalanya.
Ada yang salah, seharusnya si pemakai jurus tidak merasakan rasa sakit di kepalanya. Sepertinya Ino masih harus menyempurnakan jurusnya sebelum bisa mempraktekannya kepada orang lain. Tapi meski begitu, semua pikiran Naruto tersalin ke otak Ino walaupun dengan memakan waktu yang lebih lama. Saat jurus Ino selesai digunakan, keduanya terhempas ke belakang.
"Ugh, kepalaku sakit…" ujar Naruto memegang kepalanya. Kemudian ia bangun dan mencari Ino. Ino tampak terduduk beberapa meter di depannya.
"Ino kau baik-baik saja?" tanya Naruto. Dilihat dari keadaannya sepertinya Ino tidak baik-baik saja. Kedua tangannya memegang kepalanya. Dari teriakan Ino tadi, Naruto bisa pastikan kalau Ino juga merasakan rasa sakit seperti yang dirasakan dirinya, bahkan mungkin lebih parah. Tiba-tiba mata biru Ino mengeluarkan air mata, ia menangis. Sekarang Naruto mulai khawatir, ia berlutut di hadapan Ino.
"Ino?" tanya Naruto lagi, Naruto memegang pundak Ino bermaksud menenangkan.
PLAK!
Tiba-tiba tangan Naruto ditepis dengan kasar oleh Ino.
"Pergi! Kau siapa?" tanya Ino, suaranya keras tapi bergetar.
"Eh? Aku Naruto. Masa kau lupa?"
"Tapi kenapa pikiranmu… Kenapa di dalam pikiranmu Konoha dan orang-orang jadi…" Ino tidak mampu melanjutkan kalimatnya, air matanya kembali mengalir. Pasti dia melihat bayangan-bayangan masa depan Naruto. Bayangan Asuma-sensei yang mati melawan Akatsuki, Konoha yang hancur, maupun bayangan puluhan penduduk Konoha yang menjadi korban penyerangan Pain. "Itu bohong 'kan? Kau bukan Naruto! Siapa kau sebenarnya?"
"Tenang Ino, aku bisa jelaskan semuanya," Naruto berusaha menenangkan Ino, tapi Ino terus saja menepis tangan Naruto dan beringsut mundur ke belakang.
"Pergi! Menjauh dariku!" bentak Ino lagi, suaranya serak karena bercampur tangis dan kesedihan.
"Biar aku jelaskan dulu." Naruto belum mau menyerah untuk berusaha menjelaskan.
"PERGIIII!" bentak Ino semakin keras.
Sepertinya Naruto tidak bisa bernbuat apa-apa lagi sekarang, kehadiarannya disana hanya akan memperburuk keadan dan membuat Ino semakin histeris. Akhirnya Naruto memutuskan untuk membiarkan Ino sendiri, kemudian dia pergi dari lorong sepi itu. Membiarkan Ino yang menangis tersedu-sedu. Dia pasti terpukul mengetahui masa depan yang akan terjadi.
Naruto kembali memandang Ino untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi, dipandangnya Ino yang sedang terduduk memeluk lututnya, badannya bergetar. Melihat Ino seperti itu membuat Naruto jadi merasa bersalah.
"Ino…"

Naruto POV
Aku pulang ke apartemenku dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di otakku. Disaat aku bertekad akan menyimpan baik-baik rahasia ini, sekarang rahasiaku malah terbongkar oleh Ino.
Hal yang paling kutakutkan adalah Ino akan memberitahukan semua hal yang dilihatnya di pikiranku kepada ayahnya, Inoichi. Atau bahkan langsung kepada Hokage ke-3. Tentu saja kalau Ino atau Inoichi yang memberitahukan ini kepada Hokage, dia akan percaya karena ada bukti yang kuat yang saat ini ada di otak Ino. Setelah itu Hokage pasti akan memberitahu para petinggi dan orang penting di Konoha untuk mempersiapkan atau mengantisipasi kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Aku tidak mau itu terjadi, bukan tidak mungkin kalau nanti rahasiaku akan tersebar ke semua penduduk dan Hinata jadi mengetahui masa depannya. Aku tidak ingin Hinata sedih karena hal ini. Siapa sih orang yang tidak sedih mengetahui dirinya akan mati di masa depan? Dengan usia yang masih sangat muda?
Meskipun aku bisa saja mencegah hal itu terjadi, karena sudah tahu dan bisa mengantisipasinya. Tapi perasaan sedih itu aku yakin akan tetap ada di hati Hinata.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku benar-benar tidak tenang. Yang ada dipikiranku adalah Hinata, Hinata dan Hinata. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya saat mengetahui hal sebenarnya.
Menjelang pagi, aku baru bisa tidur. Akibatnya aku bangun kesiangan dan terlambat menjemput Hinata. Sial! Pasti Hinata sudah menungguku. Aku buru-buru berangkat menuju rumah Hinata, tapi saat aku membuka pintu apartemenku…
Aku melihat seseorang berdiri disana.
"Hinata-chan?"
"Pagi Naruto-kun," sapa Hinata sambil tersenyum.
"Kenapa disini?" tanyaku heran.
"Aku menunggumu di depan rumahku tapi kamu tidak datang juga, makanya aku kesini."
Yah, wajar saja, aku bangun 1 jam lebih siang dari biasanya. Hinata pasti bosan menungguku sampai 1 jam. Beruntung masih ada beberapa menit lagi sebelum bel masuk akademi.
"Gomen, aku kesiangan, aku tidak bisa tidur," kataku jujur.
"Tidak apa-apa. Kalau begitu ayo cepat kita berangkat," kata Hinata sambil tersenyum. Melihat senyum Hinata itu membuat hatiku sakit, aku tidak mau kehilangan senyum itu. Senyum yang begitu polos dan tulus.

Sepanjang pelajaran berlangsung pikiranku melayang entah kemana. Aku benar-benar tidak fokus memperhatikan pelajaran.
"Kenapa kamu melamun terus Naruto-kun?" tanya Hinata khawatir.
"Ah, aku… tidak apa-apa," ujarku. Maaf Hinata, aku tidak bisa menceritakan masalahku kepadamu.
Sesekali aku memandang ke arah Ino. Matanya sembab. Sepertinya Ino banyak sekali mengeluarkan air mata kemarin. Atau mungkin juga dia menangis semalaman karena tadi Ino juga datang kesiangan. Aku selalu mencari kesempatan untuk bicara dengan Ino di setiap pergantian pelajaran, tapi Ino terkesan menghindariku.
Aku hanya bisa bersabar dan berpikir kalau waktu istirahat aku akan bisa mengajak Ino bicara. Tapi dugaanku salah, ternyata begitu bel istirahat berbunyi, Ino langsung keluar kelas entah menuju kemana. Saat kucegat dia, dia hanya melewatiku seolah menganggapku tidak ada.
"Ino…"
Aku menghela nafas panjang. Ini sudah berakhir, hanya tinggal menunggu waktu saja sampai rahasiaku tersebar dan sampai ke telinga Hinata, kemudian dia jadi sedih. Aku tidak bisa melihat Hinata sedih. Aku benar-benar tidak tega.
Aku kembali ke kelas dengan perasaan tidak karuan. Aku melihat Hinata di kelas. Ternyata Hinata tidak ke kantin, ia sedang membaca buku. Aku duduk di sampingnya. Kugeser tempat dudukku agar semakin dekat dengan Hinata. Aku diam disana tanpa bicara apapun.
"Naruto-kun, kamu sedang ada masalah ya?" tanya Hinata menghentikan kegiatan membacanya.
Aku tersentak, rupanya Hinata menyadari kalau aku sedang ada masalah.
"Cerita saja padaku," kata Hinata lagi.
Aku ingin jujur kepada Hinata mengenai masalah ini, tapi disisi lain aku juga tidak mau Hinata tahu rahasiaku, masa depan Konoha, dan yang paling penting masa depan dirinya.
"Hinata-chan, bagaimana perasaanmu jika kamu mengetahui kalau kamu akan mati?" tanyaku spontan.
"Eh?" Hinata awalnya kaget, kemudian pandangannya melembut. "Perasaanku biasa saja, semua orang 'kan pasti mati."
"Umm, maksudku seandainya kamu mati saat usiamu masih muda. Ingat ini hanya berandai-andai Hinata-chan, aku ingin tahu pendapatmu saja," kataku hati-hati agar Hinata tidak curiga.
"Oh… Bagaimana ya…" Hinata terlihat berpikir sejenak. "Tidak masalah untukku. Selama cita-citaku sudah tercapai, dan aku sudah bisa menyenangkan keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku akan senang dan tidak keberatan kalau harus mati."
Aku menatap Hinata tidak percaya, aku kagum mendengar kata-katanya. Bagaimana bisa dia tidak akan sedih mengetahui dirinya akan mati selama dia sudah bisa menyenangkan keluarga dan orang terdekatnya? Hinata, hatimu benar-benar mulia.
Hatiku sedikit terhibur mendengar kata-kata Hinata. Aku berusaha tersenyum sebisaku.
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu Naruto-kun?"
"Oh, tidak-tidak, bukan apa-apa. Hehe. Ngomong-ngomong cita-citamu apa?"
"Itu… Itu ra-rahasia." Muka Hinata tiba-tiba saja memerah.
"Eh, kenapa begitu? Ayolah beritahu aku."
"Ti-tidak mau."
"Ayolah, beritahu."
"Tidak."
"Beritahu."
"Tidak."
"Beritahuuu..."
"Tidaaaak..."
"Siang anak-anak…" Kedatangan Iruka-sensei menghentikan perdebatan kami. Aku jadi berpikir, apa mungkin cita-cita Hinata itu… Hmm, mungkin saja...
End Naruto POV

Normal POV
"Anak-anak, hari ini kalian akan bekerja kelompok, buatlah kelompok yang terdiri dari 3-4 orang. Aku akan mengajarkan kerja sama tim," kata Iruka-sensei memulai pelajaran.
Semua siswa mulai bergabung dengan kelompok pilihannya masing-masing. Tapi hingga semua siswa mendapat kelompok, Naruto dan Hinata masih tetap berdua. Setiap mereka akan bergabung, selalu ditolak oleh siswa lain. Siswa lainnya juga tidak ada yang mau bergabung dengan mereka berdua.
"Um... Kita hanya berdua Naruto-kun," kata Hinata sedih.
"Ia, soalnya memang tidak ada lagi yang tersisa," kata Naruto. Sebenarnya Naruto bisa saja bergabung dengan Shikamaru, Chouji dan Kiba. Tapi dia tidak tega kalau harus membiarkan Hinata sendiri.
"Mohon perhatiannya, bagi yang kelompoknya 4 orang, ada yang mau pindah dan bergabung bersama Naruto dan Hinata?" tanya Iruka-sensei.
Hening.
"Hah, mana ada yang mau sekelompok dengan bocah pembuat onar seperti Naruto. Kasihan sekali Hinata sekelompok dengannya," bisik Sakura, tapi masih bisa didengar anggota kelompoknya, Sasuke dan Ino.
Tiba-tiba Ino berdiri, kursinya sedikit terdorong ke belakang karena gerakannya yang tiba-tiba itu.
"Berhenti menghina Naruto seolah kau mengetahui segala sesuatu tentang Naruto! Kau sama sekali tidak tahu dia siapa, kau tidak tahu akan jadi seperti apa orang yang kau sebut 'pembuat onar' itu! Sudahlah, aku akan bergabung bersama Naruto." Sakura menatap Ino seolah tidak percaya.
"Maaf sensei," kata Ino agak keras sambil mengangkat tangannya, agar bisa dilihat Iruka-sensei. "Boleh aku bergabung bersama Naruto dan Hinata?"
Semua siswa terkejut mendengar kata-kata Ino, termasuk Sakura dan Naruto. Naruto bingung, bukannya Ino sedang marah kepadanya? Sekarang kenapa dia malah ingin bergabung bersamanya? Semua itu membuat Naruto tambah tidak mengerti.
"Oh, tentu saja, silahkan," ujar Iruka-sensei.
"Ino? Apa yang kau lakukan?" tanya Sakura saat Ino sedang mengemasi barang-barangnya untuk bergabung bersama Naruto.
"Tenanglah Sakura, masih banyak yang mau sekelompok dengan Sasuke. Aku tidak mau gara-gara hal ini persahabatan kita rusak. Mengerti?"
"Tapi…"
Ino tidak menghiraukan Sakura dan segera bergabung bersama Naruto dan Hinata. Tanpa disadarinya, dia juga tidak lagi memanggil Sasuke dengan suffix 'kun', respeknya kepada laki-laki emo itu berkurang mengetahui apa yang akan dilakukan Sasuke di masa depan.
Saat Ino duduk disamping Naruto, Naruto masih saja memandang Ino dengan tatapan bingung. Tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dipikirkan gadis pirang itu.
"Ino?" tanya Naruto ragu.
"Kau berhutang banyak sekali penjelasan kepadaku."
Kata-kata Ino sukses membuat senyum terkembang di bibir Naruto. Paling tidak Ino masih mau mendengar penjelasannya.
"Hai!" kata Naruto semangat. Hinata yang tidak tahu apa-apa hanya mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan 2 orang pirang di hadapannya.
Ino menyadari Hinata yang kebingungan, ditatapnya Hinata sambil tersenyum jahil, kemudian dia angkat bicara,"Pulang dari akademi aku pinjam pangeranmu Hinata-chan." Pipi Hinata merona merah mendengar perkataan Ino.

Pulang dari akademi Naruto menepati janjinya untuk menjelaskan semuanya kepada Ino. Sekarang mereka sedang duduk serius di kamar Ino. Naruto sempat protes kenapa juga ia harus menjelaskan semuanya di kamar Ino? Naruto kurang nyaman masuk ke kamar perempuan. Ia sama sekali belum pernah masuk ke kamar perempuan sebelumnya. Tapi Ino berkilah kalau tempat itulah yang paling aman dan tidak akan ada yang mendengar. Akhirnya Naruto menceritakan semua yang dialaminya, mulai dari penyerangan di Konoha, kematian Hinata, sampai ke detail bagaimana dia kembali ke masa lalu (masa sekarang bagi Ino).
"Jadi semua yang ada di pikiranmu itu benar?" tanya Ino memastikan.
"Ya." Ekspresi Ino berubah sedih mendengar jawaban Naruto, tapi kali ini Ino bisa mengontrol dirinya.
"Ngomong-ngomong kau tidak melaporkan hal ini kepada Hokage?" Ino menggeleng. "Syukurlah, aku sempat takut kalau kau akan melakukan itu," ujar Naruto.
"Kau tidak mau Hinata tahu masalah ini 'kan?" Naruto mengangguk.
"Tenang saja aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak ingin membuat orang-orang panik. A-aku… ingin percaya padamu. Aku yakin kau bisa mengubah masa depan, masa depan kami." Naruto terseyum mendengarnya. Kata-kata Ino barusan sangat berarti bagi Naruto. Ternyata Ino tidak se-menyebalkan yang dibilang Shikamaru.
"Arigato. Aku akan mencegah agar semua hal buruk di masa depan tidak terjadi."
"Tidak usah berterima kasih, Naruto. Justru aku ingin minta maaf, gomen."
"Minta maaf untuk apa?"
"Karena aku sudah tidak sopan dan membaca pikiranmu. Aku baru mempelajari jurus membaca pikiran 6 bulan terakhir ini. Jurus itu sebenarnya tidak boleh sembarangan dipakai, apalagi dipakai untuk mengetahui rahasia orang." Ino berhenti sejenak, Naruto membiarkannya karena dia tahu Ino belum selesai bicara.
"Bukan itu saja, aku minta maaf karena selama ini aku selalu menghinamu. Aku... Aku tidak tahu kalau masa lalumu begitu sulit. Pasti sangat menderita hidup sebagai anak yatim piatu. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku jadi dirimu... pasti aku tidak akan sanggup... hiks. Aku bersyukur masih punya ayah. A-aku juga minta maaf atas kesalahan... yang kuperbuat di masa depan. Gomen... Hiks," kata Ino terbata-bata, ia menangis. Naruto tidak menyangka dibalik sifat egois dan sok mengatur itu, Ino ternyata sangat sensitif dan rapuh.
"Umm jangan menangis, tidak apa-apa Ino. Jangan pikirkan itu. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu," kata Naruto menenangkan.
Naruto berpikir andai saja semua orang berpikiran seperti Ino, pasti di masa kecilnya Naruto tidak akan dijauhi. Kadang orang-orang memang suka menilai dan menghakimi orang lain tanpa memperhitungkan bagaimana perasaan orang tersebut, tidak pernah memandang suatu hal dari sudut pandang orang tersebut. Tapi Naruto menghilangkan pikiran-pikiran itu, tidak ada gunanya dia memikirkan masa lalu. Itu semua sudah terjadi.
"Tetap saja aku merasa bersalah," kata Ino disela tangisannya, "baiklah, sebagai permintaan maafku, aku bersedia membantumu mendekati Hinata."
"Eh?"
"Jangan kaget begitu. Aku sudah membaca pikiranmu, aku sudah tahu semuanya." Ino menghapus air matanya dan berusaha tersenyum.
"Hehe." Naruto nyengir lebar. Sekarang dia sudah tidak bisa menutup-nutupi perasaannya kepada Hinata, Ino sudah tahu semuanya.
"Kalau butuh bantuan, datang saja padaku. Aku akan membantumu semampuku."
"Benarkah?" Ino mengangguk semangat, jadi mak comblang memang salah satu hobinya. "Arigato Ino."
"Haaah, tenang rasanya. Sekarang aku jadi tidak merasa bersalah lagi," seru Ino.
"Aku juga sudah bisa tenang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Hinata mengetahui kalau dia mati di masa depan, di usianya yang masih muda. Tapi syukurlah rahasia ini tidak akan sampai kepadanya."
"Hn. Jangan khawatir, aku akan menjaga rahasia ini baik-baik. Kau bisa percaya padaku."
"Arigato."
"Kau dari tadi berterima kasih terus. Kalau begitu aku juga mau berterima kasih sekali lagi. Ehem, arigato Naruto."
"Kalau yang barusan ucapan terima kasih untuk apa?"
"Karena aku jadi tahu kalau ternyata 4 tahun lagi aku tambah cantik. Hehe."
"Ah dasar kau ini, hahaha."
"Hahaha."
"Naruto."
"Ya?"
"Apa sekarang kita... jadi teman?" tanya Ino ragu.
"Ya, tentu saja. Kita teman," jawab Naruto, memamerkan cengiran yang jadi ciri khasnya, menandai dimulainya pertemanan di antara mereka berdua.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar