pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 3


A/N: 
Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D
Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR: seiring berjalannya cerita, mungkin akan ada beberapa kejadian yang berbeda dari yang pernah dialami Naruto sebelumnya (beda dari Anime/Manga), meskipun kebanyakan akan sama. Jadi disini Naruto tidak persis mengulang masa lalunya, tapi lebih ke 'membuat alur kehidupan baru'. AT: Time travel. Sedikit OOC, typo, bahasanya kadang baku kadang nggak.
Berhubung ada beberapa reviewer yang tanya: Bagaimana kemampuan Naruto sekarang? Apa sama dengan saat berusia 16 tahun?
Efek dari kembali ke masa lalu membuat jurus-jurus yang dikuasai Naruto menghilang, jadi dia harus mempelajari jurus-jurus itu dari awal, jadi jangan harap Naruto bisa pamer Rasengan ke teman-teman masa kecilnya :p. Saya kurang suka mari sue (chara yang kelewat sempurna).
Maksud menghilang disana bukan sepenuhnya menghilang. Dia sudah menguasainya tapi dia tidak bisa mempraktekannya. Kenapa?
Karena fisiknya tidak mendukung. Karena tubuhnya kecil, sedangkan jurus-jurusnya di masa depan membutuhkan stamina yang besar. Karena itu dia harus latihan lagi mempelajari jurus-jurus dari awal, menyesuaikan dengan fisiknya yang sekarang.
Cerita Sebelumnya:
Pandangannya beralih ke bibir mungil Hinata, bibir yang berwarna pink dan kelihatan lembab.
'Pasti akan terasa lebih lembut dibanding pipi Hinata...' pikir Naruto. Detak jantung Naruto kembali bereaksi dan berakselerasi makin kencang. Didekatkannya kembali wajah Naruto ke wajah Hinata. Nafasnya semakin memburu.
Namun tiba-tiba hati kecilnya berteriak. 'Apa yang kau lakukan baka?'
Naruto kemudian tersentak dan kembali ke posisinya semula.
'Ah, tidak-tidak! Aku tidak boleh egois! Kalau untuk ciuman di bibir, aku ingin Hinata menikmatinya juga!' batin Naruto. Naruto kemudian mengacak-acak rambut pirangnya frustasi. Kemudian digeleng-gelengkannya kepalanya mencoba menjauhkan pikiran-pikiran sesat di otaknya. Setelah pikiran-pikiran itu hilang, Naruto mulai tenang dan bisa mengendalikan dirinya.
"Aku akan menunggu..." Naruto memandang Hinata yang sedang terlelap di depannya dengan senyuman terbaiknya. "Aku yakin suatu hari nanti... Kamu pasti akan memberikan ciuman pertamamu untukku Hinata-chan."
Digenggamnya pelan tangan Hinata. "Sekarang cepatlah sadar, aku merindukanmu..."
.
.
.
Chapter 3
-Saat Kita Bersama-
Normal POV
Angin sore menelusuk memasuki jendela kamar kecil nan sederhana itu. Membuat gorden orange yang berada di jendela melambai-lambai seiring tiupan angin. Matahari yang sudah condong ke barat membuat ruangan kamar sedikit gelap. Tapi dua sosok anak manusia di kamar itu masih saja terlelap dengan tenang disana. Sosok pertama seorang gadis berusia 12 tahunan tengah terlelap di tempat tidur. Sementara sosok lainnya seorang anak laki-laki berusia sama terlelap di samping sang gadis, duduk di lantai sedangkan kepalanya di tepi tempat tidur dengan tangan kirinya sebagai bantal. Pegangan tangan anak laki-laki ke sang gadis masih belum lepas meskipun mereka tertidur pulas.
Tak lama kemudian sang gadis siuman. Ingatan tentang kejadian sebelumnya kembali berputar di kepalanya, dia melihat ke sekeliling mencari tahu dimana dia sekarang. Tempat yang asing baginya, dia sama sekali tidak tahu dimana dia sekarang, dia belum pernah kesini sebelumnya.
Tapi kebingungannya segera terjawab setelah dia merasakan kalau tangan kanannya dari tadi ada yang menggenggam. Dia menoleh dan melihat sosok anak laki-laki yang tertidur disampingnya. Tangan mereka saling terpaut, atau lebih tepatnya tangannya digengggam oleh sosok anak laki-laki disampingnya. Digenggam dengan erat seolah tidak mau kehilangan dirinya.
Berada di kamar orang yang disukainya, berdua, berpegangan tangan, itu semua sudah cukup membuat pipi sang gadis merona hebat. Belum lagi saat dia sadar kalau dia berada disini, berarti anak laki-laki itu menggendongnya kesini 'kan? Dia membayangkan bagaimana anak laki-laki itu menggendongnya kesini. Warna pipinya semakin matang membayangkan hal itu.
Sang gadis berusaha menenangkan dirinya. Kadang dia kesal kenapa dirinya selalu saja malu dan panik saat berada di dekat orang yang disukainya itu. Memang itu kebiasaan yang harus mulai dia hilangkan. Kalau dia malu terus, sampai kapanpun dia tidak akan bisa dekat dengan laki-laki pujaannya itu.
Butuh waktu 20 menit untuk menenangkan dirinya dan memberanikan diri untuk membangunkan sosok yang tertidur disampingnya.
"Na-Naruto-kun..." panggil sang gadis kepada anak laki-laki disampingnya yang bernama Naruto itu. Sosok itu masih saja tertidur dengan lelapnya.
"Naruto-kun... Naruto-kun?" ulang sang gadis, kali ini dengan lebih keras.
"Hmmm..." Akhirya Naruto terbangun, mengucek-ngucek matanya kemudian memandang orang yang membangunkannya. "Oh, kamu sudah bangun Hinata-chan?"
"Chan?" tanya Hinata, nama gadis itu, balik bertanya. Rona merah di wajahnya yang susah payah dia hilangkan tadi kembali muncul. Hinata tidak sadar kalau sebenarnya Naruto sudah memanggilnya dengan suffix 'chan' dari tadi siang.
"Boleh 'kan aku memanggilmu Hinata-chan?" tanya Naruto lagi, kali ini sambil tersenyum.
"Umm.. Boleh kok," jawab Hinata pelan, menyembunyikan rasa malunya.
"Mau minum?"
"Ti-tidak usah repot-repot."
"Tidak apa-apa, tunggu disini," kata Naruto sambil berlalu ke arah dapur. Tidak lama kemudian dia kembali dengan segelas air putih di tangannya.
"Minumlah."
"Terima kasih."
Sementara Hinata minum, Naruto hanya diam memperhatikan. Sesekali bibirnya membentuk seulas senyum. Tanpa disadarinya dia terus memandang Hinata meskipun Hinata sudah selesai minum.
"Naruto-kun ke-kenapa melihatku seperti itu?" tanya Hinata. Menyadari kalau dari tadi Naruto terus memperhatikannya, pipi Hinata kembali didominasi warna merah. Wah, Naruto memang kejam terus-terusan membuat Hinata malu begini.
"Ah, ti-tidak..." elak Naruto, malu juga rupanya dia ketahuan memperhatikan Hinata. "Oh ya, gomen, aku membawamu kemari. Aku bingung mau membawamu kemana lagi." Naruto menundukkan kepalanya. Biar bagaimanapun tindakannya membawa anak gadis ke apartemennya adalah tindakan yang salah. Karena itu, dia sudah siap dengan konsekuensinya. Dia sudah pasrah dan siap menerima kemarahan Hinata.
"Tidak apa-apa. Ma-maaf sudah merepotkan." Di luar dugaan Hinata sama sekali tidak marah. Naruto menghela nafas lega. "Umm.. Kalau begitu a-aku pulang sekarang."
"Secepat itu? Kamu baru saja sadar, tidak mau istirahat dulu?" tanya Naruto, ada nada kecewa disana.
Hinata menggeleng. "Pasti ayahku memarahiku kalau aku terlambat pulang."
Mendengar alasan Hinata, Naruto langsung mengerti. Dia tahu betul bagaimana sifat ayah Hinata itu. Yang jelas melanggar aturannya sama dengan cari mati. "Kalau begitu biar aku antar."
"Eh? A-apa tidak merepotkan?"
"Dari tadi kamu terus saja bilang 'merepotkan'. Tentu saja tidak, justru aku senang," jawab Naruto dengan menunjukkan cengirannya.
"Ba-baiklah," jawab Hinata malu-malu.

Sepanjang perjalanan ke rumah Hinata, Naruto dan Hinata sama-sama diam. Bahkan Naruto yang terkenal hiperaktif saja sekarang malah diam, bingung harus bicara apa lagi. Dari tadi dia terus yang mengajak ngobrol, Hinata hanya menanggapi seperlunya.
Bagaimana Hinata tidak diam? Selain dia bukan tipe orang yang suka memulai pembicaraan, dari tadi dia tengah sibuk menahan gejolak di hatinya saking senangnya bisa diantar pulang oleh Naruto. Jadi jangankan memulai topik pembicaraan baru, menenangkan dirinya saja Hinata sudah susah payah. Mimpi apa coba Hinata bisa diantar pulang oleh orang yang disukainya?
Tidak terasa mereka sudah sampai di depan Hyuuga Mansion. Salah satu mansion terbesar yang ada di Konoha. Tidak heran memang, mengingat Hyuuga adalah klan elit dan ternama di Konoha.
"Sudah sampai. Arigato Naruto-kun," kata Hinata di depan gerbang mansion.
"Sama-sama. Sampai ketemu besok ya," kata Naruto. Hinata menjawab dengan anggukan. Naruto tersenyum dan segera pulang.
Hinata memperhatikan Naruto yang semakin menjauh dan menghilang di belokan. Diam-diam Hinata tersenyum sendiri, tidak menyangka hari ini begitu menyenangkan.
Keesokan harinya, Hinata dibuat kaget oleh kelakuan Naruto. Ternyata yang dimaksud 'sampai ketemu besok' oleh Naruto benar-benar dipraktekkan. Saat Hinata keluar dari gerbang mansion untuk berangkat ke akademi, Hinata melihat Naruto sedang bersandar di pohon tidak jauh dari rumahnya.
"Pagi Hinata-chan," sapanya ceria seperti biasa.
"Pagi Naruto-kun. Ke-kenapa ada disini?" tanyanya gugup.
"Aku menunggumu. Kita berangkat ke akademi sama-sama ya?"
"Um.. boleh." Hinata sudah lama memimpikan hal seperti ini terjadi, berangkat ke akademi bersama Naruto. Biarpun secara tidak langsung itu menuntut Hinata untuk beberapa menit menenangkan hatinya di dekat Naruto.
Sesampainya di akademi, Naruto dan Hinata segera memasuki kelas. Dan Naruto melakukan satu lagi hal yang membuat pipi Hinata memanas.
"Aku duduk disampingmu ya? Boleh 'kan Hinata-chan?"
Hinata sudah tidak sanggup menjawab saking malunya, ia hanya mampu menganggukkan kepalanya. Tapi itu saja sudah cukup untuk mengizinkan bocah pirang pujaannya itu untuk duduk disampingnya.
Dengan semua hal yang dilakukan Naruto dua hari terakhir ini, Hinata sedikit merasa aneh. Sikap Naruto terhadapnya berubah drastis. Naruto lebih perhatian kepadanya. Bukannya dia tidak mau Naruto perhatian kepadanya, hanya saja Hinata masih kaget dengan perubahan sikap Naruto yang cepat ini.
Tapi Hinata menepis semua itu. Itu tidak penting. Dia sangat senang dengan sikap Naruto terhadapnya sekarang. Ini memang hal yang sudah lama diharapkan Hinata. Mungkin ini jawaban Tuhan atas doanya selama ini.

"Tumben kau datang pagi-pagi sekali?" tanya Kiba setelah Naruto bergabung bersamanya di pojok kelas. Disana juga ada Shikamaru dan Chouji. "Biasanya 5 menit sebelum masuk baru datang."
"Bosen kesiangan terus. Kalau datang pagi 'kan bisa santai. Lagipula ada banyak hal bermanfaat yang bisa kukerjakan kalau aku bangun pagi," jawab Naruto serius.
"Kau ini jadi seperti orang tua!" ejek Kiba.
"Oh, jadi menjemput Hinata itu bermanfaat ya?" tanya Shikamaru datar. Tapi pertanyaan Shikamaru itu telak mengenai dadanya. 'Ugh, dari mana Shikmaru tahu?' pikirnya.
"Eh? Jadi kau menjemput Hinata?" kali ini Chouji angkat bicara, menghentikan sejenak kegiatannya memakan snack.
"Itu..." Naruto bingung harus menjawab apa. Dia belum siap kalau harus jujur, pasti teman-temannya akan menggodanya. Dan itu akan sangat menyebalkan kalau sampai terjadi.
"Pagi anak-anak." Iruka-sensei memasuki kelas dan membuat seisi kelas berhamburan menuju tempat duduknya masing-masing. Tapi kali ini Naruto malah berterima kasih kepada Iruka-sensei. Karena kedatangannya, dia jadi bisa kabur dari kewajibannya menjawab pertanyaan Chouji. Berbeda dengan ketiga temannya yang kesal karena tidak mendapat jawaban memuaskan dari Naruto.
Sepulang dari akademi Naruto mengajak Hinata untuk pulang bersama. Gara-gara pernah kehilangan Hinata sebelumnya, Naruto jadi tidak mau jauh-jauh dari Hinata. Kalau Hinata sih senang-senang saja.

Seminggu sudah berlalu. Hampir setiap hari Naruto dan Hinata selalu berangkat dan pulang dari akademi bersama. Pulang dari akademi biasanya Naruto tidak langsung mengantar Hinata pulang. Kadang latihan bersama, pergi ke suatu tempat, atau hanya sekedar jalan-jalan mengelilingi Konoha.
Dan kali ini Naruto mengajak Hinata ke kedai ramen langganannya, Ichiraku Ramen.
"Kamu ga makan Hinata-chan?" tanya Naruto di sela-sela kesibukannya melahap ramen.
"A-aku ga pernah makan ramen." jawab Hinata jujur.
"Oh, benar juga. Pasti di rumahmu kalau makan ada yang menyediakan ya? Pasti selalu bergizi dan enak." Wajah Naruto berubah murung. "Mana mungkin ramen seperti ini."
"Bu-bukan begitu Naruto-kun," kata Hinata panik. "Ah, kalau begitu aku juga pesan satu."
"Bener mau?" tanya Naruto, wajahnya kembali ceria. Hinata mengangguk.
"Ramen satu lagi Ojii-san!" kata Naruto setengah berteriak kepada Teuchi Ojii-san.
Tidak sampai 5 menit, seporsi ramen sudah siap di hadapan Hinata. Hinata mulai memakannya, sedangkan Naruto melihatnya harap-harap cemas. Takut Hinata tidak suka.
"Enak?" tanya Naruto penasaran.
"Umm, enak..." jawab Hinata. Hinata juga tidak menyangka kalau ramen rasanya lumayan juga. Maklum, di rumahnya mana pernah koki pribadinya membuat makanan 'kurang menyehatkan' seperti ramen.
"Hehe. Bagus kalau kamu suka." Naruto bisa bernafas lega sekarang.
Tanpa Naruto dan Hinata ketahui, seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan.
'Naruto bersama Hinata? Berdua? Apa aku tidak salah lihat?' batin orang itu.

"Kamu duluan ke kelas ya," kata Naruto di suatu pagi. Seperti biasa pagi itu Naruto dan Hinata berangkat bersama. "Aku menemui Kiba dan yang lain dulu."
"Hai."
Kemudian Hinata memasuki kelas duluan dengan senyuman manis yang masih melekat di bibirnya. Seminggu terakhir ini berangkat ke akademi memang jadi hal yang sangat menyenangkan dan membuatnya senang. Apalagi kalau bukan gara-gara ditemani Naruto, begitu juga dengan pagi ini. Tapi baru beberapa langkah memasuki kelas, dia dikagetkan dengan gambar di papan tulis. Tangannya menutup mulutnya, matanya lavendernya membesar karena kaget. Pipinya mulai bersemu merah.
Di papan tulis ada gambar hati yang besar. Di dalam gambar hati itu, ada gambar laki-laki dan perempuan yang sedang berpegangan tangan. Yang laki-laki bertuliskan Naruto dan yang perempuan bertuliskan Hinata. Memang itu hanya hasil karya anak-anak 12 tahun yang iseng, tapi untuk orang yang sensitif seperti Hinata, gambar itu sukses membuat Hinata terpaku disana. Tubuhnya tidak bisa digerakkan. Akhirnya dia menunduk, poni berwarna indigonya menutupi matanya. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam dirinya sekarang. Malu, kesal, marah. Tapi apa daya? Hinata terlalu pemalu dan pendiam. Dia bukan tipe orang yang eksplosif, yang bisa berteriak marah dan membentak. Dia merasa lemah sekarang.
Tak lama kemudian Naruto memasuki kelas. Naruto kaget melihat Hinata tertunduk di depan kelas. 'Pasti ada apa-apa,' pikirnya.
"Hinata-chan, apa yang..." kata-kata Naruto terhenti. Tebakan Naruto terbukti setelah Naruto melihat papan tulis. Itu memang gambar sepele, tapi menjadi tidak sepele karena sudah membuat Hinata sedih. "Siapa yang menggambar ini?" bentak Naruto.
Tapi tidak ada satupun yang mengaku. Naruto merasa tidak ada gunanya juga dia membentak, tidak akan ada yang mengaku.
Digenggamnya tangan kiri Hinata. Hinata menengadah, matanya berkaca-kaca. Tapi sesaat setelah Naruto menggenggam tangannya, dia merasakan rasa nyaman dihatinya yang memaksa air mata yang dari tadi ingin keluar tidak jadi keluar.
"Ikut aku," kata Naruto. Naruto menarik Hinata keluar dari kelas. Hinata hanya bisa pasrah dan mengikuti kemana Naruto membawanya.
.
"Gomen Hinata-chan. Gara-gara aku, teman-teman sekelas jadi..." Naruto tidak menyelesaikan kalimatnya, merasa Hinata juga sudah tahu permasalahannya. Ia menyimpan dagunya di lutut, merasa bersalah karena gara-gara dirinyalah Hinata jadi sedih. Andai saja dia tidak terlalu dekat dengan Hinata, pasti ini semua tidak akan pernah terjadi.
Sekarang Naruto dan Hinata sedang bersandar di pohon besar di belakang akademi. Tangan mereka masih terpaut satu sama lain.
"Tidak apa-apa Naruto-kun," jawab Hinata sambil tersenyum. Hanya karena Naruto menggenggam tangannya seperti ini, dia jadi merasa nyaman. Dia merasa tenang dan merasa tidak sendirian. Rasa sedih dan kesalnya tadi sudah lenyap entah kemana.
"Benarkah?" tanya Naruto. Tidak menyangka ternyata Hinata tidak marah.
"Iya." jawab Hinata meyakinkan.
"Umm, kamu tidak akan menjauhiku 'kan gara-gara hal ini?" tanya Naruto masih ragu. Pandangannya tertuju ke batu-batu di depannya, tidak berani memandang Hinata.
"Tentu saja tidak, aku tidak peduli apa kata teman-teman. Aku malah takut kalau Naruto-kun yang akan menjauhiku gara-gara hal ini." kata Hinata menahan rasa malunya mengatakan hal itu, baru kali ini dia berbicara panjang lebar dan lancar di depan Naruto.
"Arigato Hinata-chan. Aku juga tidak akan menjauhimu. Tidak akan." Naruto mengeratkan pegangannya di tangan Hinata, menenangkan Hinata. Kemudian memandang Hinata dan tersenyum ke arahnya. Yang dipandang malah menoleh ke arah lain, menyembunyikan pipinya yang sudah memerah.
Untuk beberapa saat mareka diam disana. Tidak butuh banyak bicara, kehadiaran masing-masing saja sudah cukup membuat hati mereka senang.
"Hinata-chan..." kata Naruto memecah keheningan.
"Ya?"
"Sekarang kita bolos saja ya?"
"Ke-kenapa bolos?" Hinata agak kaget juga, di kamusnya tidak ada yang namanya bolos.
"Aku malas meladeni teman-teman," kata Naruto cuek.
"Tapi... Kalau aku bolos, aku..."
"Begini saja. Sebagai gantinya aku akan melatihmu taijutsu. Bagaimana?" bujuk Naruto.
"Umm.." Hinata terlihat berfikir keras.
"Ayolah, jadi meskipun kamu bolos, kamu tetap dapat ilmu dariku. Mau ya? Ya? Ya?" Naruto memasang muka memelas.
Melihat Naruto memohon begitu, Hinata tidak tega untuk menolak. "Baiklah," jawab Hinata sambil tersenyum.
Akhirnya hari itu mereka habiskan untuk latihan bersama. Naruto melatih Hinata taijutsu bukan tanpa alasan, dia tahu kalau Hinata lemah di sisi itu. Mudah-mudahan saja Naruto bisa membantu meningkatkan kemampuan taijutsu Hinata. Selain bisa berduaan denga Hinata tentunya.

Sementara itu di kelas...
Seorang kunoichi tengah memandang keluar jendela. Tidak jelas apa yang sedang dilihatnya, sepertinya dia sedang melamun.
"Hei, kenapa kau melamun?" tanya kunoichi lain yang merupakan sahabatnya. Sang kunoichi tersentak kaget, mungkin terlalu asyik melamun dan tidak memperhatikan sahabatnya itu datang.
"Ukh, berhenti mengagetkanku!"
"Salah sendiri kenapa kau melamun? Tidak biasanya."
"Ngomong-ngomong apa kau sadar kalau Naruto jadi aneh?"
"Aneh?" Kening sahabatnya itu menyernyit. "Maksudmu?"
"Kita 'kan tahu dulu dia itu sangat-sangat-sangat tidak sensitif terhadap perasaan perempuan. Bahkan Hinata menyukainya saja dia tidak sadar. Tapi kau lihat 'kan tadi pagi? Dia jadi sangat perhatian kepada Hinata. Kemarin juga aku melihat mereka berdua di kedai ramen. Selain itu beberapa hari terakhir ini kulihat mereka sering bersama. Kurasa Naruto berubah drastis. Malah terlalu drastis. Bukan hanya itu sikapnya juga berubah. Dia jadi lebih... ah susah kalau dijelaskan," katanya panjang lebar.
"Mungkin saja dia menyadari kalau Hinata suka padanya, makanya dia berubah. Bisa jadi 'kan?"
"Jadi kau percaya pada omongan teman-teman tadi pagi tentang gosip Naruto dan Hinata?"
"Aku tidak percaya 100%, tapi ada kemungkinan benar."
"Ia juga."
"Tapi kenapa kau jadi repot-repot memikirkan bocah itu?"
"Bukan begitu, hanya saja ini membuatku penasaran. Apa mungkin mereka pacaran?"
"Eh? Kita 'kan baru 12 tahun menuju 13 tahun. Mungkin memang ada beberapa dari kita yang sudah pacaran. Tapi kalau untuk Naruto... Aduh itu tidak mungkin."
"Siapa tahu."
"Terus apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mencari tahu kebenarannya. Aku punya rencana..."
"Rencana apa?"
"Rahasia. Akan kuceritakan kalau kau mau membantuku."
"Hah? Tidak! Terima kasih. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi bocah tidak berguna seperti dia. Banyak hal yang lebih berguna, seperti mendekati Sasuke-kun."
"Heee? Sasuke-kun milikku! Jangan harap kau bisa mendapatkannya. Ya sudah, aku akan melaksanakan rencanaku sendirian."
"Terserah. Aku tidak mau terlibat. Kalau ada apa-apa jangan bawa-bawa aku. Kyaaaaa! Itu Sasuke-kun! Sasuke-kuuunnn..."
Sang kunoichi kembali memandang keluar jendela.
'Ck, hari ini terpaksa aku mengalah dan tidak mendekati Sasuke-kun. Aku harus menyusun rencanaku. Tunggu saja Naruto, aku akan 'memaksamu' memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi,' batin sang kunoichi sambil menyeringai.
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar