pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 16

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D  

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip.

Cerita Sebelumnya:
"Naruto-kun, sebenarnya ada hal lain yang ingin kuceritakan. Dan ini hal yang lebih penting. Ini rahasia yang tadi aku bicarakan dengan Shion."
Naruto terlihat bingung. Jadi yang tadi bukan rahasia yang Hinata maksud?
Naruto menatap Hinata penuh tanya. Dan Hinata kembali menarik nafas dalam-dalam. Sekarang saatnya untuk memberitahu Naruto rahasia terbesarnya.
"Naruto-kun, takdir tidak bisa diubah. Aku akan mati 6 bulan lagi."
"Kamu tidak bisa melawan takdir. Kurasa Tuhan mengizinkanmu merubah waktu kematian seseorang, tapi tidak melebihi hari kematian aslinya. Intinya orang itu akan mati di hari yang sama."
"Jadi..."
"Jadi aku akan tetap mati di hari yang sama dengan masa lalu kita..."
Hari itu Gaara kembali dihidupkan dengan bantuan chakra Naruto. Sebagai gantinya, nenek Chiyo mati, sama seperti di masa lalu Naruto.
Dan itu berarti pendapat Hinata benar. Takdir kematian seseorang tidak bisa diubah. Begitu juga dengan kematian Hinata, ia akan tetap mati 6 bulan dari sekarang.
.
.
.
Chapter 16
- Membuatnya Senang –
Naruto menyandarkan dirinya di dinding luar Hyuuga Mansion. Ia sedang menunggu Hinata keluar dari rumah. Pandangannya kosong, memandang dedaunan yang ditiup angin. Pikirannya menerawang memikirkan kenyataan pahit yang dihadapinya sekarang. Hinata akan mati 6 bulan lagi. Naruto tidak bisa menerima itu, ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Hinata.
"Naruto-kun."
Naruto menoleh, mendapati Hinata sudah berada di sampingnya.
"Hinata-chan, ada yang ingin aku bicarakan."
Tanpa banyak bicara lagi, Naruto menggaet tangan Hinata dan menariknya. Membawa Hinata untuk ikut berjalan di sampingnya. Hinata tidak banyak protes dan lebih memilih untuk mengikuti kemana Naruto membawanya. Keduanya tak mengeluarkan sepatah kata pun setelah itu.
Hinata menyadari kemana Naruto mengajaknya ketika jalan yang mereka lewati terasa begitu familiar bagi Hinata. Naruto mengajak Hinata ke tempat rahasia mereka, danau dekat tempat latihan mereka. Kalau diingat, sudah lama juga mereka tidak kesini.
Naruto melepas pegangan tangannya dan berdiri di tepi danau, memandang ikan koi yang berenang kesana kemari.
"Gaara dibunuh oleh Akatsuki," ujar Naruto pelan tanpa menoleh ke arah Hinata. "Dan nenek Chiyo kembali mengorbankan nyawanya untuk menghidupkan Gaara."
Hinata mendekati Naruto, melakukan hal yang sama dengan Naruto, memandang ikan di danau.
"Sudah kubilang, takdir kematian itu tidak bisa diubah Naruto-kun."
"Ini tidak adil Hinata-chan." Naruto menoleh ke arah Hinata, Hinata yang menyadarinya ikut menoleh, pandangan mereka bertemu. "Kenapa Tuhan memberi kita kesempatan kedua kalau memang ujung-ujungnya kita akan mengalami hal yang sama?"
Hinata melepas tatapan matanya di mata shapire Naruto, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Naruto.
"Mungkin Tuhan hanya memutar kembali waktu kita saja. Memberi kesempatan agar kita bisa menghabis kan waktu berdua. Tanpa mengizinkan kita merubah takdir."
"Aku tidak bisa menerima ini. Kesempatan kedua ini tidak berguna kalau aku tidak bisa mengubah takdirmu Hinata-chan. Untuk apa aku ke masa lalu kalau akhirnya begini? Aku-"
"Jangan egois Naruto-kun," kata Hinata pelan, tapi cukup untuk menghentikan kalimat Naruto. "Kita lihat sisi baiknya. Bandingkan kita yang sekarang dengan kita 4 tahun lalu. Hubungan kita tidak akan seperti sekarang kalau kita tidak mendapatkan kesempatan kedua. Kesempatan kedua ini benar-benar telah mendekatkan kita, telah menyatukan kita."
"Iya aku tahu. Tapi..." Naruto mulai mengacak rambut pirangnya frustasi. "Ugh, apa kamu sadar? Kamu akan mati. Mati Hinata-chan. Apa kamu tidak takut mati?"
Hinata meresapi tiap kata yang diucapkan Naruto. Kalau boleh jujur, sebenarnya Hinata tidak mau mati. Memangnya siapa di dunia ini yang mau mati kalau kehidupannya menyenangkan? Apalagi kalau Hinata harus meninggalkan Naruto yang amat disayanginya. Tapi disini ia berusaha untuk tidak egois. Tuhan sudah berbaik hati memberikan kesempatan kedua baginya. Memberinya waktu untuk menghabiskan waktu dengan Naruto. Rasanya lancang sekali kalau sekarang ia meminta lebih dari itu kepada Tuhan. Ia harus belajar untuk berlapang dada.
Hinata tersenyum dan kembali menatap Naruto.
"Naruto-kun, kamu ingat kata-kataku ketika kita di akademi?"
"Yang mana?"
"Waktu itu kamu bertanya kepadaku apa aku takut mati. Dan aku menjawab kalau aku tidak takut mati. Selama cita-citaku sudah tercapai dan aku sudah bisa menyenangkan keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku akan senang dan tidak keberatan kalau harus mati. Setelah aku mengatakan itu kamu bertanya apa cita-citaku dan waktu itu aku tidak menjawab."
"Ah ya, aku ingat."
"Kamu tahu Naruto-kun, cita-citaku sebenarnya sangatlah sederhana." Pipi Hinata mulai memerah, tapi ia tetap berusaha untuk tetap menatap Naruto. "Cita-citaku adalah... jadi pacarmu dan menghabiskan waktu denganmu."
Naruto kaget mendengar kata-kata Hinata. Ternyata dari dulu Hinata memimpikan untuk jadi pacarnya dan menghabiskan waktu dengannya. Tatapan Naruto langsung melembut, ia tak menyangka kalau cita-cita Hinata begitu sederhana.
Naruto melangkah mendekati Hinata. Direngkuhnya tubuh mungil Hinata ke dalam pelukannya.
"Sekarang cita-citaku sudah tercapai," ujar Hinata dalam pelukan Naruto. "Jadi, tidak masalah jika kurang dari 6 bulan lagi aku akan mati. Karena memang itulah takdir kematianku."
Naruto sudah tak sanggup berkata-kata lagi. Dibalik tubuh mungil yang sedang dipeluknya ini, ternyata Hinata begitu kuat dan tegar. Hinata bisa menerima takdirnya dengan lapang dada.
Naruto mempererat pelukannya di tubuh Hinata. Ia tak bisa membayangkan kalau harus kehilangan Hinata.

"... rencananya sangat sederhana. Aku akan berusaha menangkap target. Jika aku gagal menangkap target dan terjadi pertarungan, aku akan memberikan sinyal kepada kalian bertiga untuk bergabung denganku dalam pertarungan. Dalam pertarungan itu kita akan bekerja secara berpasangan. Ketika yang satu menyerang, yang satu lagi akan memback up. Kerja sama sangat dibutuhkan disini. Karena itu akan ada dua pasang. Yang pertama Naruto dan Sai."
Yamato menghentikan penjelasannya ketika salah satu anggota timnya ketahuan melamun di tengah briefing. Padahal ini misi penting: misi menangkap mata-mata Akatsuki di jembatan Tenchikyou yang sebenarnya adalah Kabuto.
"Naruto?"
Sakura dan Sai ikut menoleh ke arah orang yang dipanggil.
"Eh? Ya ada apa?"
"Apa kau mendengarkan penjelasanku?"
Naruto menunduk. Sudah bisa ditebak kalau Naruto sama sekali tidak mendengarkan apa yang dijelaskan Yamato.
"Kulihat kau murung dan tidak fokus sejak kita berangkat dari Konoha. Ada apa?"
"Bukan apa-apa."
Naruto memalingkan mukanya ke arah lain. Masalah Hinata kembali memenuhi kepalanya. Sekuat apapun ia berusaha untuk menerima takdir Hinata, rasanya berat sekali untuk membayangkan kalau ia akan kehilangan Hinata.
"Tolong jangan sampai masalahmu mengganggu misi kita. Fokuskan dirimu."
"Gomen. Aku akan berusaha fokus."
Malam itu Yamato kembali mengulangi semua penjelasannya kepada Naruto. Kali ini Naruto berusaha untuk fokus memperhatikan semua penjelasan dan arahan Yamato. Yamato memang benar, Naruto harus bisa memisahkan masalah pribadi dan misi. Jangan sampai masalahnya mengganggu misi dan malah membuat semuanya jadi kacau.

Hari pertemuan dengan mata-mata Akatsuki akhirnya tiba. Naruto tahu akan seperti apa misi ini berakhir. Tapi dari pertama misi ini dimulai, Naruto lebih memilih untuk tidak banyak bicara. Ia khawatir Sakura akan kembali berharap kepada Sasuke.
Sasuke.
Ya, Uchiha Sasuke. Dulu, dalam misi ini Naruto begitu bersemangat. Begitu berambisi untuk membawa pulang Sasuke. Bagaimana ia dengan mudahnya bisa berubah jadi Kyuubi ekor 4 hanya karena Orochimaru tidak mau memberi tahu dimana Sasuke.
Tapi sekarang berbeda.
Naruto tidak terpancing oleh kata-kata dan sikap Orochimaru. Bahkan kali ini lebih baik, Team 7 berhasil menemukan Sasuke dengan cepat.
Dan sekarang Uchiha Sasuke kembali berada di hadapan mereka. Tapi nampaknya Naruto tidak terlalu senang seperti dulu. Bukankah sudah jelas alasannya? Dulu Naruto sempat diberikan pilihan oleh Ino.
'Kalau disuruh memilih siapa yang akan kau pilih? Hinata atau Sasuke?'
Jika kali ini Naruto diberikan pertanyaan yang sama, rasanya sudah jelas Naruto akan memilih yang mana.
Hinata, tentu saja.
Itulah kenapa Naruto tidak terlalu senang seperti dulu. Apalagi dengan masalah Hinata yang kini masih memenuhi kepalanya. Bukannya ia tidak mempedulikan Sasuke, ia ingin Sasuke kembali ke desa dan Team 7 bisa berkumpul seperti dulu. Hanya saja kali ini masalah Hinata lebih mendominasi isi kepala Naruto.
Tapi meskipun begitu, ia masih punya janji kepada Sakura. Dan itulah yang membuat Naruto masih punya kewajiban untuk berusaha membawa pulang Sasuke kali ini. Naruto melangkahkan kakinya dan mendongak, memandang Sasuke tajam.
"Sasuke, ayo kita pulang. Beruntung aku tidak membunuhmu saat di air terjun kematian. Tapi kalau kau menolak untuk pulang sekarang, aku tidak akan menahan diriku lagi untuk membunuhmu."
Sasuke tersenyum meremehkan. Secepat kilat ia mendekati Naruto, memegang leher Naruto.
"Cih. Ngomong-ngomong, bukankah jadi Hokage adalah cita-citamu? Jika kau punya waktu untuk mengejarku, lebih baik kau berlatih saja agar bisa mengejar cita-citamu. Terus tadi kau bilang akan membunuhku kalau aku tidak mau pulang? Jangan bercanda. Lihat dirimu, kau lebih lemah dari terakhir kita bertemu. Otakmu terlalu banyak berisi gadis Hyuuga lembek dan lemah itu."
Tangan Naruto mengepal mendengar kalimat terakhir Sasuke. Apa Sasuke membaca pikirannya sehingga tahu kalau ia sedang memikirkan Hinata?
"Sekarang lebih baik aku yang membunuhmu." Sasuke mengarahkan pedangnya kepunggung Naruto.
Sebelum Sasuke menusuk Naruto, Sai menahan tangan Sasuke. Naruto memanfaatkan kesempatan ini untuk memegang tangan Sasuke yang lain. Sasuke terkunci.
"Dulu aku sudah pernah bilang padamu. Kau boleh menghinaku, tapi jangan pernah sekalipun menghina Hinata-chan!" Pegangan tangan Naruto di tubuh Sasuke semakin bertambah kuat.
Yamato sudah siap dengan elemen kayunya untuk menangkap Sasuke.
"Chidori Nagashi!"
Naruto, Sai dan Yamato terlempar terkena Chidori Sasuke. Sakura tidak tinggal diam, ia ikut menyerang namun dihentikan Yamato. Sehingga pedang Sasuke yang tadinya diarahkan kepada Sakura menusuk dada Yamato. Yamato membalik keadaan dengan mengeluarkan elemen kayu dan mengurung Sasuke. Tapi Sasuke bisa lolos dengan mudah. Sasuke akan mengeluarkan jutsu lain sebelum Orochimaru menahannya dan menyuruh Sasuke untuk mundur. Sasuke awalnya menolak tapi setelah diberi penjelasan akhirnya ia menurut.
Sakura menangis dengan kepergian Sasuke. Ia kecewa, dengan kemampuannya yang sekarang pun, ternyata ia masih belum bisa membawa pulang Sasuke.
Naruto mendekati Sakura dan memegang pundaknya.
"Sudahlah Sakura-chan, menangis tak akan membawa Sasuke pulang. Kita pasti bisa membawa pulang Sasuke suatu saat nanti," ujar Naruto. Ucapan yang mirip dengan ucapan yang diucapkan Sakura kepadanya 4 tahun lalu.

"Asuma-sensei, kau harusnya mengetuk pintu dulu tahu!" gerutu Ino di depan pintu kamar inap Kakashi. Kakashi masih dirawat di rumah sakit sejak pulang misi dari Suna. Ia terlalu banyak menggunakan Mangekyou Sharingan ketika melawan Deidara. Di depan pintu tampaklah Asuma, Shikamaru, Chouji, dan Ino.
"Bagaimana keadaanmu Kakashi?" tanya Asuma.
Naruto memandang Asuma pilu. Rasanya sedih sekali saat mengetahui orang yang kau kenal baik akan mati. Apalagi melihat InoShikaChou yang saat ini masih bisa bersama sensei mereka. Naruto tak tega jika harus melihat mereka sedih , apalagi melihat sahabatnya Ino.
"Kalian duluan saja ke Yakiniku Q, jika kalian dari Team Kakashi mau kesana silahkan. Aku perlu bicara dengan Kakashi berdua, dan aku akan menanggung semua tagihan Yakiniku," ujar Asuma, disambut sorakan murid-muridnya (kecuali Shikamaru).
Naruto, Sakura dan Sai ikut ke Yakiniku Q bersama InoShikaChou. Tak lama kemudian mereka sampai di Yakiniku Q.
"Hei, kemana Shikamaru?" tanya Sakura.
"Katanya ia harus kembali untuk membantu ayahnya mengambil tanduk rusa untuk obat," jawab Chouji dengan mulut yang penuh dengan yakiniku.
"Huh? Padahal ia selalu datang saat briefing untuk misi. Ini aneh," timpal Ino.
"Baiklah, aku makan bagian Shikamaru juga," kata Chouji dan menyumpit potongan yakiniku milik Shikamaru.
"Chouji, sebelum kita makan, kita harus memperkenalkan diri kepada Sai terlebih dulu," sela Ino. Chouji sedikit kecewa. Tapi akhirnya menyetujui.
"Ah sepertinya kau benar. Um, aku Akimichi Chouji dari Clan Akimichi. Senang berkenalan denganmu Sai."
"Senang berkenalan denganmu juga, umm..."
Sai terlihat berfikir keras. Naruto dan Sakura menatap Sai horor. Jangan sampai Sai mengatakan kata 'gemuk' di depan Chouji. Bisa-bisa...
"Gem-" Naruto menutup mulut Sai cepat-cepat.
"Sai, jangan pernah bilang 'gemuk' di depan Chouji! Kau mengerti?" bisik Naruto.
"Apakah kau bilang sesuatu barusan?" tanya Chouji.
"Ahaha, itu bukan apa-apa." Sakura mengibas-ngibaskan tangannya.
"Ehem," Ino berdehem, membuat perhatian semua tertuju padanya. "Aku Yamanaka Ino, anak perempuan dari pemilik toko bunga Yamanaka. Senang berkenalan denganmu Sai."
"Senang berkenalan denganmu, umm..."
Naruto dan Sakura kembali menatap Sai curiga.
"Gadis cantik..."
Pipi Ino langsung merona merah. Sementara Sakura mengarahkan tinjunya ke arah Sai.
"Apanya yang 'cantik' dengan Ino? SHAANAROO."
Dan hari itu Sai kembali mendapatkan pukulan Sakura untuk kedua kalinya.
Setelah acara makan di Yakiniku Q selesai, semua orang pulang ke rumah mereka masing-masing. Naruto memutuskan untuk pulang berdua dengan Ino. Kalau dari arah Yakiniku Q, sebenarnya apartemen Naruto dan rumah Ino tidak searah. Tapi sejak bertemu dengan Ino di rumah sakit tadi, Naruto merasa perlu membicarakan sesuatu kepada Ino. Yaitu mengenai janjinya untuk merubah takdir, yang sekarang sudah jadi sekedar mimpi.
"Aneh sekali kenapa Sakura memukul Sai saat dia memanggilku 'gadis cantik'?" tanya Ino, jempol dan telunjuknya disimpan di dagu, terlihat sedang berfikir.
"Ah, itu... Karena sebelumnya Sai memanggil Sakura-chan 'jelek'," jawab Naruto.
"Hoho, Sai memang orang yang jujur." Ino tersenyum penuh kemenangan.
Naruto diam-diam menatap Ino yang sedang tersenyum. Ia tidak tega kalau harus menghilangkan senyuman itu dari wajah Ino. Tapi ini salah Naruto juga. Dulu ia sempat berjanji kepada Ino untuk mengubah takdir semua penduduk Konoha, termasuk Asuma. Dan sekarang ia tahu ia tak mungkin bisa menepati janjinya. Ia tak mau membuat Ino terlalu berharap. Ini memang kenyataan pahit, tapi cepat atau lambat Naruto harus memberitahukan ini kepada Ino.
"Ino, ada yang ingin aku bicarakan."
Ino menoleh ke arah Naruto, masih dengan wajah yang tersenyum.
"Aku mau minta maaf, aku tidak bisa menepati janjiku... Aku tidak bisa mengubah takdir."
Saat itu juga senyuman di wajah Ino langsung menghilang. Tergantikan oleh raut wajah yang bingung.
"Apa maksudmu?"
"Ikut aku." Naruto memberikan isyarat kepada Ino untuk mengikutinya. Ino pun menurut. Ia mengikuti Naruto masih dengan berbagai macam pertanyaan yang terlintas di kepalanya.
Ino sebenarnya sudah lama curiga dengan perubahan sikap Naruto yang tiba-tiba. Setelah masalah dengan Shion selesai, Naruto ceria lagi. Namun beberapa hari setelahnya, Naruto kembali murung. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Ino berulang kali menanyakan apa Naruto punya masalah, tapi Naruto selalu bilang kalau ia baik-baik saja. Ino tidak membahas masalah itu lagi karena menganggap Naruto belum siap bercerita kepadanya.
Tapi dengan kata-kata Naruto tadi, Ino punya firasat kalau sekarang Naruto akan menceritakan masalahnya. Ia merasa Naruto akan menceritakan hal yang sangat penting kepadanya.
Langkah mereka terhenti di depan Hyuuga Mansion. Ino tidak mengerti kenapa Naruto membawanya ke tempat ini. Naruto memberitahu penjaga untuk memanggil Hinata. Hinata datang tak lama setelah itu.
"Ino-chan." Pandangan Hinata beralih dari Ino kepada Naruto, ia memandang Naruto bingung.
Sebelumnya Naruto memang sudah menceritakan kepada Hinata kalau Ino mengetahui rahasianya. Ia juga menceritakan bagaimana cara Ino mengetahui kalau dirinya berasal dari masa depan.
"Hinata-chan, tolong kamu jelaskan semua rahasiamu kepada Ino. Juga tentang takdir kita. Aku rasa sekarang Ino berhak tahu."
Hinata akhirnya menjelaskan semuanya. Mulai dari dirinya yang juga sama dari masa depan seperti Naruto, sampai pada kenyataan bahwa takdir itu tidak bisa diubah. Khususnya takdir kematian seseorang.
Raut muka Ino langsung berubah lagi setelah itu, jadi kaget bercampur sedih.
"Ja-jadi?"
Hinata mengigit bibir bawahnya, berharap Ino bisa menerima kenyataan ini. "Gomen Ino-chan... Asuma-sensei... sebentar lagi akan mati oleh Hidan. Sama seperti di kehidupanku sebelumnya."
"Gomen, Ino," gumam Naruto sambil memegang pundak Ino.
Mata aquamarine Ino mulai berkaca-kaca. Kesedihannya sudah terlalu kuat untuk bisa ditahan. Ino kemudian berbalik dan berlari dengan tetesan-tetesan air mata yang mulai berjatuhan ke tanah. Kelihatannya ia langsung menemui Asuma-sensei.
"Ini memang berat, tapi kita tidak bisa menyembunyikannya," ujar Hinata, memandang sosok Ino yang semakin menjauh.
"Ya," balas Naruto. Ia tahu bagaimana perasaan Ino sekarang, karena ia juga merasakan hal yang sama. "Aku tidak boleh menjanjikan harapan kosong kepada Ino."

Beberapa hari kemudian, saat Naruto berlatih Rasen Shuriken bersama Kakashi dan Yamato, mereka mendengar berita kematian Asuma.
Ini membuat pendapat Hinata semakin kuat. Takdir kematian tak bisa diubah.
Dalam acara pemakanan Asuma, Naruto memeluk Konohamaru yang tengah menangis karena kehilangan pamannya. Naruto juga masih bisa melihat raut kesedihan yang mendalam di wajah Ino. Hinata yang berada di samping Naruto menyadari hal yang sama.
Setelah acara pemakaman selesai, Naruto mengantar Hinata pulang.
"Sakit sekali saat satu per satu orang yang kau kenal mati. Apalagi nanti..." Naruto menghentikan kata-katanya.
"Jangan pikirkan itu. Bisa bersama Naruto-kun selama ini... aku sudah senang. Apa kamu tidak senang bisa bersama denganku selama ini?"
"Bu-Bukannya begitu-"
"Kalau begitu aku tidak mau kamu sedih terus." Hinata menggenggam kedua tangan Naruto. "Aku ingin kamu berjanji sesuatu padaku."
Naruto memperhatikan Hinata, menunggu Hinata melanjutkan kalimatnya.
"Tolong lupakan kalau aku akan mati sebentar lagi. Aku ingin... Aku ingin kita seperti dulu, seperti saat kita belum mengetahui rahasia ini. Aku ingin melihat senyummu lagi. Karena itulah yang membuatku senang."
Naruto tertegun mendengar kata-kata Hinata. Senyumannyalah yang membuat Hinata merasa senang.

Hari itu Hinata sedang mengganti perban Naruto. Setelah membantu Team 10 mengalahkan Hidan dan Kakuzu, tangan kanannya mengalami luka yang cukup parah karena memakai jurus Rasen Shuriken. Tsunade bilang jika Naruto terlalu sering menggunakan jurus itu, jurus itu malah akan melukai tangannya, bahkan sampai tingkat sel.
Naruto tahu bahayanya jurus ini meskipun Tsunade dan Kakashi tidak secara langsung memberitahukan hal ini kepada Naruto. Tapi bukan Naruto namanya jika langsung menuruti apa kata orang lain, termasuk pacarnya sendiri.
"Ini jurus yang berbahaya Naruto-kun, sebaiknya kamu tidak memakainya lagi," ujar Hinata disela-sela kegiatannya mengganti perban Naruto.
"Tapi ini salah satu jurus terbaikku. Tenang saja tubuhku ini cepat sekali sembuh," balas Naruto dengan cengiran khasnya.
Hinata tersenyum memandangi pacarnya. Ia bersyukur, mungkinkah Naruto sudah tidak terus-menerus terlarut dalam kesedihan memikirkan kematiannya? 'Semoga saja,' batin Hinata.
"Mau menemaniku menemui Kaa-san?"
Naruto mengangguk dan mengikuti Hinata setelah itu.
Seperti biasa sebelum ke makam ibu Hinata, mereka berdua membeli bunga tulip di toko bunga Yamanaka. Dan saat mereka bertemu Ino disana, keadaan Ino sudah jauh lebih baik. Kelihatannya ia sudah bisa mengikhlaskan kepergian Asuma. Naruto harus belajar dari Ino, ia juga harus bisa mengikhlaskan kepergian Hinata jika nanti saatnya telah tiba.
Naruto menyimpan tulipnya di nisan ibu Hinata kemudian memperhatikan Hinata yang masih berdoa.
Ia jadi memikirkan kata-kata Hinata kemarin.
"Aku ingin kita seperti dulu, seperti saat kita belum mengetahui rahasia ini. Aku ingin melihat senyummu lagi. Karena itulah yang membuatku senang."
Waktu Hinata tidak lama lagi, hanya tinggal 4 bulan lebih yang tersisa. Naruto merasa sikapnya yang terlalu memperlihatkan kesedihan di depan Hinata adalah salah. Itu justru akan membuat Hinata ikut sedih. Padahal seharusnya Naruto membuat Hinata senang di sisa waktunya ini.
"Aku sudah selesai, ayo kita pulang Naruto-kun. Naruto-kun? Hei kenapa melamun?"
Sentuhan tangan Hinata di tangan Naruto membuyarkan lamunan Naruto. Membawanya kembali ke dunia nyata.
"Ah bukan apa-apa. Umm.. Hinata-chan?"
"Ya?"
"Gomen, seharusnya aku membuatmu senang di sisa waktumu ini. Aku janji tidak akan sedih lagi."
Hinata tersenyum lembut. Pipinya langsung merona merah.
"Arigato Naruto-kun."
Naruto membalasnya dengan cengiran.
Hinata mengapit lengan kiri Naruto, menuntun Naruto keluar dari area pemakaman untuk pulang.
"Ayo pulang Naruto-kun."
"Yosh!"
Hinata terkikik pelan melihat tingkah pacarnya yang sudah kembali bersemangat.

Hari ini tanggal 27 Desember. Tepat hari ulang tahun Hinata yang ke-16. Tapi ini merupakan hari yang melelahkan bagi Hinata. Dari kemarin ia mendapat misi mengawal ke desa lain dan baru pulang sekarang, malam hari di tanggal 27 Desember.
Hinata tidak mengharapkan apa-apa untuk hari ulang tahunnya. Keluarganya dari dulu memang tidak terlalu menganggap hari ulang tahun sebagai hari yang spesial. Dan untuk Naruto, Hinata tidak terlalu banyak berharap darinya. Masalah kemarin sudah cukup membebani Naruto.
Sekarang Hinata hanya ingin cepat sampai di rumah, makan, dan istirahat.
'Sudah hampir jam 8 malam, semoga makanan sisa makan malam masih tersisa,' pikir Hinata. Ia sudah terlalu lelah untuk memasak. Kalau menyuruh bibi pelayan atau koki pribadinya untuk memasak? Ah, Hinata bukan tipe majikan yang seenaknya saja menyuruh-nyuruh.
Tidak seperti biasa, ruang makan gelap sekali saat itu. Hinata menghidupkan lampu dan tiba-tiba...
"Selamat ulang tahun hime."
Tampaklah Naruto di pojok ruang makan sedang memegang kue ulang tahun, lengkap dengan lilin angka 16 di atasnya. Hanabi berada di samping kiri Naruto, tersenyum. Neji berada di samping kanannya, ekspresinya datar, Hinata berfikir mungkin Naruto memaksa Neji untuk ikut melakukan kejutan ini.
Hinata tidak bisa berkata apa-apa. Kedua tangannya disimpan di mulut saking kagetnya. Pipinya merona merah dan mata lavendernya berkaca-kaca. Ia tak percaya Naruto melakukan semua ini untuk ulang tahunnya. Ini tidak bisa dipercaya. Setahunya Naruto bukanlah tipe laki-laki yang bisa bersikap romantis. Dari mana Naruto belajar bersikap seperti ini? Apa orang yang di depannya bukan Naruto?
Tapi sorot mata shapire dan keceriaan yang ditampilkan bocah pirang di depannya mematahkan dugaan Hinata itu. Orang itu memang Naruto, pacarnya.
"Gomen, hanya ini yang bisa kulakukan. Kemarin aku terlalu sibuk dengan berbagai misi dan yah kamu tahu sendiri 'kan..." Hinata mengerti apa maksud Naruto. Dengan keberadaan Neji dan Hanabi di sampingnya, Naruto harus pintar memilih kalimat.
Permasalahan yang dihadapi Naruto dan Hinata kemarin-kemarin memang telah menghancurkan impian Naruto untuk memberikan hadiah yang bagus untuk Hinata. Usahanya mengumpulkan uang untuk hadiah terhenti di tengah jalan, dan beginilah akhirnya. Hanya sebuah kue ulang tahun sederhana yang bisa diberikannya kepada Hinata.
"Semoga kamu suka," tambah Naruto.
"A-aku suka. Sangat suka." Hinata mengusap air mata yang diam-diam telah mengalir di pipinya. Ia terharu.
Naruto menyalakan lilin ulang tahun Hinata. "Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya."
Hinata melangkah mendekati Naruto, memejamkan mata sejenak untuk membuat permohonan, kemudian meniup kue ulang tahunnya.
Setelah itu Hanabi menghambur memeluk Nee-sannya, diikuti Neji yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dan terakhir, giliran Naruto memeluk Hinata dan membisikkan ucapan selamat ulang tahun.
Hanabi menyadari keadaan dan menarik Neji untuk keluar ruangan, membiarkan Naruto dan Hinata berdua.
Setelah melepas pelukan, Hinata memotong kuenya dan memberikan potongan kue tersebut kepada Naruto.
"Arigato untuk kejutannya Naruto-kun. Kurasa ini hadiah terbaik yang pernah kuterima di hari ulang tahunku."
Naruto nyengir dan menerima kue dari Hinata. Setelah itu keduanya duduk di meja makan, memakan kue mereka masing-masing.
"Aku masih tidak percaya, kamu melakukan ini untukku Naruto-kun."
"Maha hih?" tanya Naruto dengan mulut yang penuh dengan kue.
"Hihi, kamu lucu. Telan dulu kuemu," Hinata tersipu. "Umm.. Kalau kamu sampai bisa menyiapkan ini semua, berarti kamu meminta izin Tou-san 'kan?"
"Begitulah. Aku meminta izinnya sejak kemarin. Aku sampai bersujud di depan Tou-sanmu segala hanya untuk mendapatkan izin untuk menyiapkan ini. Karena awalnya dia menolak dengan keras. Tapi aku terus membujuknya. Aku bilang kalau aku akan terus bersujud sampai dia mengizinkanku."
Hinata memperhatikan semua perkataan dan ekspresi wajah Naruto saat bercerita. Kadang kedua tangan Naruto digerakkan untuk memperagakan dan memperjelas ceritanya. Dan itu membuat Hinata ingin tertawa. Hinata tak bisa membayangkan bagaimana usaha Naruto untuk mendapatkan izin melakukan ini. Karena setahunya Tou-sannya orang yang keras kepala dan paling susah untuk mengalah. Naruto benar-benar nekat, sangat nekat.
Obrolan dan candaan pun bergulir di antara Naruto dan Hinata. Hingga tak terasa hari sudah semakin malam.
"Sudah malam Naruto-kun."
Naruto memandang jam dinding yang sudah menunjukkan jam 9 lebih.
"Ah, aku terlalu asyik bercerita sampai lupa waktu."
Hinata mengantar Naruto ke luar, tapi tiba-tiba dihentikan seseorang sebelum sampai di gerbang.
"Mengantarnya sampai sini saja Hinata, sekarang kau masuk," kata seseorang dengan nada datar nan dingin. Dialah Hyuuga Hiashi.
Hinata menurut.
"Arigato untuk malam ini Naruto-kun," kata Hinata sambil tersenyum.
Naruto mengangguk dan membalas senyuman Hinata. Setelah itu Hinata langsung masuk ke rumah. Sementara Naruto berjalan ke gerbang, ditemani Hiashi yang berjalan dua langkah di depannya.
"Aku ingin bicara sebentar denganmu," ujar Hiashi kepada Naruto saat mereka sudah berada di luar gerbang Hyuuga Mansion.
Naruto menelan ludahnya. Entah apa yang akan dilakukan Hiashi kepadanya.
"Dari sikap kalian berdua, aku sudah bisa menebak kalau ada sesuatu di antara kau dan Hinata. Terlebih dengan usaha kerasmu saat ingin memberikan kejutan kepada putriku. Jangan pikir selama ini aku tidak tahu kalau kalian dekat. Aku tahu kalau kalian sudah dekat dari dulu. Sekarang aku ingin bertanya dan kau jawab dengan jujur. Apa kalian pacaran?"
Hiashi mengatakan semua itu panjang lebar, seolah dengan sekali tarikan nafas. Tapi nyatanya semua kalimat Hiashi itu terasa begitu tegas di telinga Naruto.
Naruto tertegun. Ia menunduk, tak mampu menatap Hiashi secara langsung. Setiap rentetan kalimat Hiashi seperti pedang yang menusuk dada Naruto. Ini lebih parah dari kemarin, saat ia meminta izin untuk memberikan kejutan kepada Hinata.
Naruto yang terkenal hiperaktif sekarang sedang tak berkutik di hadapan Hiashi.
Naruto mencoba mengalahkan ketakutannya. Perlahan kepalanya mulai mendongak memandang Hiashi. Memang butuh keberanian untuk mengatakan ini.
"Y-Ya, kami pacaran."
Naruto sudah siap dengan segala resiko yang akan diterimanya. Mungkin sebuah Jyuuken? Tamparan atau pukulan?
"Kalau begitu, jaga putriku baik-baik."
Tanpa diduga, itulah tanggapan Hiashi. Naruto memandangnya heran, sementara Hiashi mulai berjalan meninggalkan Naruto.
Apakah Hiashi menerimanya sebagai pacar Hinata? Siapa tahu. Tapi mendadak itu jadi tak penting bagi Naruto.
Yang lebih penting dari kata-kata Hiashi adalah: Bisakah ia menjaga Hinata? Menjaganya dari takdir kematian yang siap menjemputnya?
Naruto mengepalkan kedua tangannya. Ini mustahil, Naruto tidak bisa menjaga Hinata dari takdir kematian. Ya, ini mustahil...

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan.
Naruto selalu berusaha menyenangkan Hinata dengan berbagai cara. Dan itu terbukti berhasil. Hinata selalu merasa senang ketika berada dekat dengan Naruto.
Sekarang hanya tinggal 2 minggu lagi sebelum penyerangan Pain. Naruto sedang dalam misi mencari Itachi dan Sasuke bersama Team 8.
Sementara di Konoha, Jiraiya berjalan di sebuah gang sempit. Pipinya sedikit merah karena mabuk. Semalaman ia minum sake dengan Tsunade. Ia pamit kepada Tsunade untuk pergi menyelidiki Pain.
Langkah Jiraiya terhenti saat samar-samar ia melihat seorang bocah pirang menghalangi jalannya. Jiraiya mengucek matanya, berusaha untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jelas ke sosok di depannya. Begitu ia mengenali sosok di depannya, ia sedikit kaget.
"Naruto? Bukankah kau sedang dalam misi mencari Itachi dan Sasuke?"
Naruto tidak menjawab, ia berjalan mendekati Jiraiya.
"Memang aku sedang dalam misi. Aku yang disini hanya bunshin."
"Oh." Jiraiya berjalan menepi, mendekati dinding gang dan bersandar disana.
"Kau menyuruhku pergi mencari Itachi karena kau sendiri akan pergi menyelidiki ketua Akatsuki 'kan?"
Jiraiya tertegun. Ia sudah yakin kalau ada yang salah dengan Naruto sejak dulu. Naruto yang sekarang 'terlalu banyak tahu'.
"Ayo jawab."
Jiraiya menghela nafas panjang.
"Ya, itu benar. Dari mana kau tahu?"
Naruto tidak menjawab, ia membuang mukanya.
"Naruto, kau ingat dulu kau pernah bilang ayahmu mengajarimu Rasengan? Asal kau tahu, identitas ayahmu sangat dirahasiakan dan tak mungkin ada yang tahu selain aku dan para tetua desa. Selain itu tidak mungkin ada orang lain yang memberitahumu karena ini rahasia desa."
Air muka Naruto berubah tapi tidak merespon apa-apa. Jiraiya melanjutkan kalimatnya.
"Kelihatannya sudah cukup aku bersandiwara di depanmu. Aku minta kau jujur sekarang. Katakan siapa kau sebenarnya?"
Naruto tersentak, kelihatannya sudah saatnya rahasianya diungkap kepada Jiraiya.
"Aku... Aku memang Naruto... hanya saja aku dari masa depan. Di masa depan, Tou-san sendiri yang memberitahuku kalau aku anaknya."
"Tidak mungkin, Minato sudah mati."
"Dia masih hidup dalam diriku. Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi lupakan dulu itu, sekarang tolong dengarkan aku. Pain akan membunuhmu. Jadi... Jadi tolong jangan pergi... Kau sudah kuanggap seperti kakekku sendiri Ero-Sennin."
Jiraiya diam tak merespon apa-apa.
"Aku tahu takdir tidak bisa diubah. Tapi setidaknya diamlah di desa. Dengan begitu kau bisa hidup lebih lama. Walaupun hanya beberapa jam saja."
"Tidak." Jiraiya menegakkan badannya. Ia tersenyum dan memandang patung Hokage. "Guruku dan muridku mati berkorban untuk desa. Mereka berdua pahlawan. Aku ingin mati seperti mereka."
Naruto mengepalkan tangannya, seharusnya ia tahu kalau membujuk Jiraiya tidak akan mudah.
"Kalau begitu aku bisa memberitahumu kelemahan Pain-" Jiraiya memegang kedua pundak Naruto, menghentikan kata-kata Naruto.
"Jangan memberitahuku Naruto. Biarkan semuanya terjadi seperti seharusnya."
Wajah Naruto semakin muram mendengar kata-kata Jiraiya.
"Sekarang dengarkan aku Naruto. Aku tidak peduli kau dari masa lalu atau masa depan. Tapi aku berpesan, teruslah berlatih meskipun nanti aku mati. Jadilah lebih kuat melebihi aku dan ayahmu. Dan yakinlah, meskipun nanti aku mati, aku akan selalu melihatmu, melihatmu jadi Hokage suatu saat nanti."
Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jiraiya memang keras kepala seperti dirinya. Ia memeluk Jiraiya untuk terakhir kalinya.
"Aku pergi." Jiraiya mengacak rambut Naruto dan kembali melangkahkan kakinya. Menuju desa hujan, mencari ketua Akatsuki.
Sementara itu, Naruto yang asli menghentikan langkahnya ketika memori dari bunshinnya memasuki kepalanya.
"Baka," umpat Naruto kesal.
"Naruto-kun?" Hinata yang berada di dekatnya jadi khawatir.
"Ero-sennin tetap pergi mencari Pain. Katanya ia ingin mati seperti gurunya Hokage ke-3, dan muridnya Hokage ke-4 yang gugur sebagai pahlawan Konoha."
Hinata mendekat dan mengusap pundak Naruto.
"Kamu harus menghargai keputusannya."
Naruto mendengus kesal, tapi kata-kata Hinata memang benar.

Berita kematian Jiraiya datang tak lama setelah Naruto kembali ke Konoha.
Naruto tahu kejadian ini pasti terjadi. Tapi air mata itu tetap saja mengalir dari mata shapirenya. Jiraiya adalah orang yang sudah sangat dekat dengannya. Sudah ia anggap seperti kakek sendiri. Wajar saja kalau sekarang ia merasa begitu kehilangan, 2 kali kehilangan tepatnya.
Iruka-sensei datang menenangkan Naruto. Disusul oleh Hinata yang juga datang setelahnya. Iruka pamit pulang dan berbisik kepada Hinata, menyuruh Hinata menghibur Naruto.
Hinata duduk di samping Naruto. Menarik wajah Naruto dan mengusap air mata yang masih berada di pipi Naruto.
"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dekat denganmu. Aku tahu rasanya sakit, tapi kamu harus tetap menjalani kehidupanmu."
"Kehilangan Ero-Sennin saja sudah membuatku sedih begini. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku harus kehilanganmu."
"Jangan sedih Naruto-kun, kamu sudah janji padaku 'kan?"
"Gomen." Naruto memegang tangan Hinata yang masih berada di pipinya dan berusaha tersenyum.

"Naruto-kun, pelan-pelan sarapannya," omel Hinata.
Tapi tampaknya Naruto tidak mempedulikan Hinata dan masih memakan sarapannya dengan terburu-buru.
"Aku harus menemui Fukasaku Jii-san, guru Ero-sennin sekarang juga. Aku harus berusaha untuk menguasai Sage Mode secepat yang aku bisa. Selain itu, aku harus membantu Shikamaru memecahkan kode dari Ero-Sennin."
"Iya tapi 'kan-"
Kata-kata Hinata terpotong saat tiba-tiba Naruto mengecup pipinya.
"Aku ke gedung Hokage sekarang."
Hinata masih mematung di ruang makan, memegang pipi merahnya yang tadi dikecup Naruto. Naruto memang selalu melakukan itu jika ingin kabur dari omelan Hinata. Hinata juga tak bisa berbuat banyak, selain tersenyum pasrah dan mengatur nafasnya yang tak beraturan karena detak jantungnya yang berdegup kencang.

"Fukasaku Jii-san!"
"Kalau masuk ketuk pintu dulu Naruto!" bentak Tsunade. "Dan sudah berulang kali kubilang untuk menjaga perkataanmu kepada Fukasaku-sama."
"Ada apa nak?" tanya kodok petapa yang bernama Fukasaku itu.
"Tolong ajari aku Sage Mode."
Kening sang kodok berkerut, memandang Naruto bingung. Masalahnya ia belum mengatakan apapun mengenai Sage Mode tapi Naruto sudah tahu.
"Kalau Ero-Sennin saja bisa kalah, berarti Pain sangatlah kuat. Aku ingin membalas kematian Ero-Sennin tapi aku tidak bisa menang dengan kekuatanku yang sekarang."
Fukasaku terseyum. 'Mungkin memang benar Naruto adalah sang anak yang diramalkan,' batinnya.
"Baiklah. Segera bersiap-siap. Kita bertemu di gerbang Konoha 30 menit lagi."

"Jadi?"
"Fukasaku Jii-san bersedia mengajariku Sage Mode. Aku akan siap-siap dulu Hinata-chan."
"Syukurlah kalau begitu."
Naruto berlari ke kamarnya untuk menyiapkan baju. Tak sampai 10 menit, Naruto sudah selesai siap-siap.
Kemudian Naruto mendekati Hinata dan memeluknya erat.
"Aku tahu takdir kematianmu tidak bisa diubah. Tapi sekarang aku sudah tahu kelemahan Pain, jadi aku akan tetap berusaha merubah jam kematianmu. Satu jam saja sangat berharga untukku. Jadi, tunggulah aku."
"Ya, aku akan menunggumu Naruto-kun."
Pelukan mereka terasa begitu lama. Tapi akhirnya Naruto melepas pelukannya dan mengecup kening Hinata.
"Aku pergi dulu."
"Hati-hati Naruto-kun."
Hinata melambaikan tangannya, menatap sosok Naruto hingga menghilang di tikungan. Hinata berjalan pelan memasuki apartemen Naruto, menuju sofa dan menjatuhkan dirinya disana. Tiba-tiba saja cairan bening mengalir keluar dari mata lavender Hinata. Tak terasa air mata itu keluar tanpa bisa dikontrol olehnya.
Seiring waktu yang kian sempit, semuanya menjadi jelas sekarang. Rasa egois itu mulai muncul lagi di hati Hinata. Ia belum mau mati, ia masih ingin bersama Naruto. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya bersama Naruto.
"Naruto-kun..."
"Hinata-chan..."
Naruto yang sudah dalam perjalanan menuju gerbang Konoha tiba-tiba merasakan kesedihan yang sama seperti Hinata. Air mata keluar dari mata shapirenya.
Naruto menghapus air matanya dengan kasar.
"A-aku sudah berjanji kepada Hinata-chan, agar tidak sedih," ujar Naruto meneguhkan hatinya.
Sementara itu di sebuah batang pohon besar tak jauh dari apartemen Naruto, sesosok manusia mirip tumbuhan berwarna hitam dan putih tengah menyeringai. Sisi tubuhnya yang berwarna hitam terlihat lebih mendominasi dan terkesan jahat. Kedua sisi warna itu seolah seperti satu tubuh dengan dua kepribadian yang berbeda.
"Takdir, kematian dan kelemahan Pain. Hmm... Jinchuuriki Kyuubi, nampaknya kau tahu banyak hal," ujar sosok yang berwarna hitam.
"Kita harus beritahu Pain secepatnya," balas sosok berwarna putih.

"Pain, aku tahu kau kuat. Tapi Jinchuuriki Kyuubi punya kejutan untukmu di Konoha. Aku ragu kau bisa mengalahkannya."
"Apa maksudmu Zetsu?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Tapi sebagai bantuan, aku bisa memberitahumu sedikit titik lemah bocah itu."
"Sebutkan."
"Carilah gadis Hyuuga berambut indigo yang bernama Hinata. Dia bisa jadi 'senjatamu' untuk melawan Jinchuuriki itu."
To Be Continue...Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip.

Cerita Sebelumnya:
"Naruto-kun, sebenarnya ada hal lain yang ingin kuceritakan. Dan ini hal yang lebih penting. Ini rahasia yang tadi aku bicarakan dengan Shion."
Naruto terlihat bingung. Jadi yang tadi bukan rahasia yang Hinata maksud?
Naruto menatap Hinata penuh tanya. Dan Hinata kembali menarik nafas dalam-dalam. Sekarang saatnya untuk memberitahu Naruto rahasia terbesarnya.
"Naruto-kun, takdir tidak bisa diubah. Aku akan mati 6 bulan lagi."
"Kamu tidak bisa melawan takdir. Kurasa Tuhan mengizinkanmu merubah waktu kematian seseorang, tapi tidak melebihi hari kematian aslinya. Intinya orang itu akan mati di hari yang sama."
"Jadi..."
"Jadi aku akan tetap mati di hari yang sama dengan masa lalu kita..."
Hari itu Gaara kembali dihidupkan dengan bantuan chakra Naruto. Sebagai gantinya, nenek Chiyo mati, sama seperti di masa lalu Naruto.
Dan itu berarti pendapat Hinata benar. Takdir kematian seseorang tidak bisa diubah. Begitu juga dengan kematian Hinata, ia akan tetap mati 6 bulan dari sekarang.
.
.
.
Chapter 16
- Membuatnya Senang –
Naruto menyandarkan dirinya di dinding luar Hyuuga Mansion. Ia sedang menunggu Hinata keluar dari rumah. Pandangannya kosong, memandang dedaunan yang ditiup angin. Pikirannya menerawang memikirkan kenyataan pahit yang dihadapinya sekarang. Hinata akan mati 6 bulan lagi. Naruto tidak bisa menerima itu, ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Hinata.
"Naruto-kun."
Naruto menoleh, mendapati Hinata sudah berada di sampingnya.
"Hinata-chan, ada yang ingin aku bicarakan."
Tanpa banyak bicara lagi, Naruto menggaet tangan Hinata dan menariknya. Membawa Hinata untuk ikut berjalan di sampingnya. Hinata tidak banyak protes dan lebih memilih untuk mengikuti kemana Naruto membawanya. Keduanya tak mengeluarkan sepatah kata pun setelah itu.
Hinata menyadari kemana Naruto mengajaknya ketika jalan yang mereka lewati terasa begitu familiar bagi Hinata. Naruto mengajak Hinata ke tempat rahasia mereka, danau dekat tempat latihan mereka. Kalau diingat, sudah lama juga mereka tidak kesini.
Naruto melepas pegangan tangannya dan berdiri di tepi danau, memandang ikan koi yang berenang kesana kemari.
"Gaara dibunuh oleh Akatsuki," ujar Naruto pelan tanpa menoleh ke arah Hinata. "Dan nenek Chiyo kembali mengorbankan nyawanya untuk menghidupkan Gaara."
Hinata mendekati Naruto, melakukan hal yang sama dengan Naruto, memandang ikan di danau.
"Sudah kubilang, takdir kematian itu tidak bisa diubah Naruto-kun."
"Ini tidak adil Hinata-chan." Naruto menoleh ke arah Hinata, Hinata yang menyadarinya ikut menoleh, pandangan mereka bertemu. "Kenapa Tuhan memberi kita kesempatan kedua kalau memang ujung-ujungnya kita akan mengalami hal yang sama?"
Hinata melepas tatapan matanya di mata shapire Naruto, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Naruto.
"Mungkin Tuhan hanya memutar kembali waktu kita saja. Memberi kesempatan agar kita bisa menghabis kan waktu berdua. Tanpa mengizinkan kita merubah takdir."
"Aku tidak bisa menerima ini. Kesempatan kedua ini tidak berguna kalau aku tidak bisa mengubah takdirmu Hinata-chan. Untuk apa aku ke masa lalu kalau akhirnya begini? Aku-"
"Jangan egois Naruto-kun," kata Hinata pelan, tapi cukup untuk menghentikan kalimat Naruto. "Kita lihat sisi baiknya. Bandingkan kita yang sekarang dengan kita 4 tahun lalu. Hubungan kita tidak akan seperti sekarang kalau kita tidak mendapatkan kesempatan kedua. Kesempatan kedua ini benar-benar telah mendekatkan kita, telah menyatukan kita."
"Iya aku tahu. Tapi..." Naruto mulai mengacak rambut pirangnya frustasi. "Ugh, apa kamu sadar? Kamu akan mati. Mati Hinata-chan. Apa kamu tidak takut mati?"
Hinata meresapi tiap kata yang diucapkan Naruto. Kalau boleh jujur, sebenarnya Hinata tidak mau mati. Memangnya siapa di dunia ini yang mau mati kalau kehidupannya menyenangkan? Apalagi kalau Hinata harus meninggalkan Naruto yang amat disayanginya. Tapi disini ia berusaha untuk tidak egois. Tuhan sudah berbaik hati memberikan kesempatan kedua baginya. Memberinya waktu untuk menghabiskan waktu dengan Naruto. Rasanya lancang sekali kalau sekarang ia meminta lebih dari itu kepada Tuhan. Ia harus belajar untuk berlapang dada.
Hinata tersenyum dan kembali menatap Naruto.
"Naruto-kun, kamu ingat kata-kataku ketika kita di akademi?"
"Yang mana?"
"Waktu itu kamu bertanya kepadaku apa aku takut mati. Dan aku menjawab kalau aku tidak takut mati. Selama cita-citaku sudah tercapai dan aku sudah bisa menyenangkan keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku akan senang dan tidak keberatan kalau harus mati. Setelah aku mengatakan itu kamu bertanya apa cita-citaku dan waktu itu aku tidak menjawab."
"Ah ya, aku ingat."
"Kamu tahu Naruto-kun, cita-citaku sebenarnya sangatlah sederhana." Pipi Hinata mulai memerah, tapi ia tetap berusaha untuk tetap menatap Naruto. "Cita-citaku adalah... jadi pacarmu dan menghabiskan waktu denganmu."
Naruto kaget mendengar kata-kata Hinata. Ternyata dari dulu Hinata memimpikan untuk jadi pacarnya dan menghabiskan waktu dengannya. Tatapan Naruto langsung melembut, ia tak menyangka kalau cita-cita Hinata begitu sederhana.
Naruto melangkah mendekati Hinata. Direngkuhnya tubuh mungil Hinata ke dalam pelukannya.
"Sekarang cita-citaku sudah tercapai," ujar Hinata dalam pelukan Naruto. "Jadi, tidak masalah jika kurang dari 6 bulan lagi aku akan mati. Karena memang itulah takdir kematianku."
Naruto sudah tak sanggup berkata-kata lagi. Dibalik tubuh mungil yang sedang dipeluknya ini, ternyata Hinata begitu kuat dan tegar. Hinata bisa menerima takdirnya dengan lapang dada.
Naruto mempererat pelukannya di tubuh Hinata. Ia tak bisa membayangkan kalau harus kehilangan Hinata.

"... rencananya sangat sederhana. Aku akan berusaha menangkap target. Jika aku gagal menangkap target dan terjadi pertarungan, aku akan memberikan sinyal kepada kalian bertiga untuk bergabung denganku dalam pertarungan. Dalam pertarungan itu kita akan bekerja secara berpasangan. Ketika yang satu menyerang, yang satu lagi akan memback up. Kerja sama sangat dibutuhkan disini. Karena itu akan ada dua pasang. Yang pertama Naruto dan Sai."
Yamato menghentikan penjelasannya ketika salah satu anggota timnya ketahuan melamun di tengah briefing. Padahal ini misi penting: misi menangkap mata-mata Akatsuki di jembatan Tenchikyou yang sebenarnya adalah Kabuto.
"Naruto?"
Sakura dan Sai ikut menoleh ke arah orang yang dipanggil.
"Eh? Ya ada apa?"
"Apa kau mendengarkan penjelasanku?"
Naruto menunduk. Sudah bisa ditebak kalau Naruto sama sekali tidak mendengarkan apa yang dijelaskan Yamato.
"Kulihat kau murung dan tidak fokus sejak kita berangkat dari Konoha. Ada apa?"
"Bukan apa-apa."
Naruto memalingkan mukanya ke arah lain. Masalah Hinata kembali memenuhi kepalanya. Sekuat apapun ia berusaha untuk menerima takdir Hinata, rasanya berat sekali untuk membayangkan kalau ia akan kehilangan Hinata.
"Tolong jangan sampai masalahmu mengganggu misi kita. Fokuskan dirimu."
"Gomen. Aku akan berusaha fokus."
Malam itu Yamato kembali mengulangi semua penjelasannya kepada Naruto. Kali ini Naruto berusaha untuk fokus memperhatikan semua penjelasan dan arahan Yamato. Yamato memang benar, Naruto harus bisa memisahkan masalah pribadi dan misi. Jangan sampai masalahnya mengganggu misi dan malah membuat semuanya jadi kacau.

Hari pertemuan dengan mata-mata Akatsuki akhirnya tiba. Naruto tahu akan seperti apa misi ini berakhir. Tapi dari pertama misi ini dimulai, Naruto lebih memilih untuk tidak banyak bicara. Ia khawatir Sakura akan kembali berharap kepada Sasuke.
Sasuke.
Ya, Uchiha Sasuke. Dulu, dalam misi ini Naruto begitu bersemangat. Begitu berambisi untuk membawa pulang Sasuke. Bagaimana ia dengan mudahnya bisa berubah jadi Kyuubi ekor 4 hanya karena Orochimaru tidak mau memberi tahu dimana Sasuke.
Tapi sekarang berbeda.
Naruto tidak terpancing oleh kata-kata dan sikap Orochimaru. Bahkan kali ini lebih baik, Team 7 berhasil menemukan Sasuke dengan cepat.
Dan sekarang Uchiha Sasuke kembali berada di hadapan mereka. Tapi nampaknya Naruto tidak terlalu senang seperti dulu. Bukankah sudah jelas alasannya? Dulu Naruto sempat diberikan pilihan oleh Ino.
'Kalau disuruh memilih siapa yang akan kau pilih? Hinata atau Sasuke?'
Jika kali ini Naruto diberikan pertanyaan yang sama, rasanya sudah jelas Naruto akan memilih yang mana.
Hinata, tentu saja.
Itulah kenapa Naruto tidak terlalu senang seperti dulu. Apalagi dengan masalah Hinata yang kini masih memenuhi kepalanya. Bukannya ia tidak mempedulikan Sasuke, ia ingin Sasuke kembali ke desa dan Team 7 bisa berkumpul seperti dulu. Hanya saja kali ini masalah Hinata lebih mendominasi isi kepala Naruto.
Tapi meskipun begitu, ia masih punya janji kepada Sakura. Dan itulah yang membuat Naruto masih punya kewajiban untuk berusaha membawa pulang Sasuke kali ini. Naruto melangkahkan kakinya dan mendongak, memandang Sasuke tajam.
"Sasuke, ayo kita pulang. Beruntung aku tidak membunuhmu saat di air terjun kematian. Tapi kalau kau menolak untuk pulang sekarang, aku tidak akan menahan diriku lagi untuk membunuhmu."
Sasuke tersenyum meremehkan. Secepat kilat ia mendekati Naruto, memegang leher Naruto.
"Cih. Ngomong-ngomong, bukankah jadi Hokage adalah cita-citamu? Jika kau punya waktu untuk mengejarku, lebih baik kau berlatih saja agar bisa mengejar cita-citamu. Terus tadi kau bilang akan membunuhku kalau aku tidak mau pulang? Jangan bercanda. Lihat dirimu, kau lebih lemah dari terakhir kita bertemu. Otakmu terlalu banyak berisi gadis Hyuuga lembek dan lemah itu."
Tangan Naruto mengepal mendengar kalimat terakhir Sasuke. Apa Sasuke membaca pikirannya sehingga tahu kalau ia sedang memikirkan Hinata?
"Sekarang lebih baik aku yang membunuhmu." Sasuke mengarahkan pedangnya kepunggung Naruto.
Sebelum Sasuke menusuk Naruto, Sai menahan tangan Sasuke. Naruto memanfaatkan kesempatan ini untuk memegang tangan Sasuke yang lain. Sasuke terkunci.
"Dulu aku sudah pernah bilang padamu. Kau boleh menghinaku, tapi jangan pernah sekalipun menghina Hinata-chan!" Pegangan tangan Naruto di tubuh Sasuke semakin bertambah kuat.
Yamato sudah siap dengan elemen kayunya untuk menangkap Sasuke.
"Chidori Nagashi!"
Naruto, Sai dan Yamato terlempar terkena Chidori Sasuke. Sakura tidak tinggal diam, ia ikut menyerang namun dihentikan Yamato. Sehingga pedang Sasuke yang tadinya diarahkan kepada Sakura menusuk dada Yamato. Yamato membalik keadaan dengan mengeluarkan elemen kayu dan mengurung Sasuke. Tapi Sasuke bisa lolos dengan mudah. Sasuke akan mengeluarkan jutsu lain sebelum Orochimaru menahannya dan menyuruh Sasuke untuk mundur. Sasuke awalnya menolak tapi setelah diberi penjelasan akhirnya ia menurut.
Sakura menangis dengan kepergian Sasuke. Ia kecewa, dengan kemampuannya yang sekarang pun, ternyata ia masih belum bisa membawa pulang Sasuke.
Naruto mendekati Sakura dan memegang pundaknya.
"Sudahlah Sakura-chan, menangis tak akan membawa Sasuke pulang. Kita pasti bisa membawa pulang Sasuke suatu saat nanti," ujar Naruto. Ucapan yang mirip dengan ucapan yang diucapkan Sakura kepadanya 4 tahun lalu.

"Asuma-sensei, kau harusnya mengetuk pintu dulu tahu!" gerutu Ino di depan pintu kamar inap Kakashi. Kakashi masih dirawat di rumah sakit sejak pulang misi dari Suna. Ia terlalu banyak menggunakan Mangekyou Sharingan ketika melawan Deidara. Di depan pintu tampaklah Asuma, Shikamaru, Chouji, dan Ino.
"Bagaimana keadaanmu Kakashi?" tanya Asuma.
Naruto memandang Asuma pilu. Rasanya sedih sekali saat mengetahui orang yang kau kenal baik akan mati. Apalagi melihat InoShikaChou yang saat ini masih bisa bersama sensei mereka. Naruto tak tega jika harus melihat mereka sedih , apalagi melihat sahabatnya Ino.
"Kalian duluan saja ke Yakiniku Q, jika kalian dari Team Kakashi mau kesana silahkan. Aku perlu bicara dengan Kakashi berdua, dan aku akan menanggung semua tagihan Yakiniku," ujar Asuma, disambut sorakan murid-muridnya (kecuali Shikamaru).
Naruto, Sakura dan Sai ikut ke Yakiniku Q bersama InoShikaChou. Tak lama kemudian mereka sampai di Yakiniku Q.
"Hei, kemana Shikamaru?" tanya Sakura.
"Katanya ia harus kembali untuk membantu ayahnya mengambil tanduk rusa untuk obat," jawab Chouji dengan mulut yang penuh dengan yakiniku.
"Huh? Padahal ia selalu datang saat briefing untuk misi. Ini aneh," timpal Ino.
"Baiklah, aku makan bagian Shikamaru juga," kata Chouji dan menyumpit potongan yakiniku milik Shikamaru.
"Chouji, sebelum kita makan, kita harus memperkenalkan diri kepada Sai terlebih dulu," sela Ino. Chouji sedikit kecewa. Tapi akhirnya menyetujui.
"Ah sepertinya kau benar. Um, aku Akimichi Chouji dari Clan Akimichi. Senang berkenalan denganmu Sai."
"Senang berkenalan denganmu juga, umm..."
Sai terlihat berfikir keras. Naruto dan Sakura menatap Sai horor. Jangan sampai Sai mengatakan kata 'gemuk' di depan Chouji. Bisa-bisa...
"Gem-" Naruto menutup mulut Sai cepat-cepat.
"Sai, jangan pernah bilang 'gemuk' di depan Chouji! Kau mengerti?" bisik Naruto.
"Apakah kau bilang sesuatu barusan?" tanya Chouji.
"Ahaha, itu bukan apa-apa." Sakura mengibas-ngibaskan tangannya.
"Ehem," Ino berdehem, membuat perhatian semua tertuju padanya. "Aku Yamanaka Ino, anak perempuan dari pemilik toko bunga Yamanaka. Senang berkenalan denganmu Sai."
"Senang berkenalan denganmu, umm..."
Naruto dan Sakura kembali menatap Sai curiga.
"Gadis cantik..."
Pipi Ino langsung merona merah. Sementara Sakura mengarahkan tinjunya ke arah Sai.
"Apanya yang 'cantik' dengan Ino? SHAANAROO."
Dan hari itu Sai kembali mendapatkan pukulan Sakura untuk kedua kalinya.
Setelah acara makan di Yakiniku Q selesai, semua orang pulang ke rumah mereka masing-masing. Naruto memutuskan untuk pulang berdua dengan Ino. Kalau dari arah Yakiniku Q, sebenarnya apartemen Naruto dan rumah Ino tidak searah. Tapi sejak bertemu dengan Ino di rumah sakit tadi, Naruto merasa perlu membicarakan sesuatu kepada Ino. Yaitu mengenai janjinya untuk merubah takdir, yang sekarang sudah jadi sekedar mimpi.
"Aneh sekali kenapa Sakura memukul Sai saat dia memanggilku 'gadis cantik'?" tanya Ino, jempol dan telunjuknya disimpan di dagu, terlihat sedang berfikir.
"Ah, itu... Karena sebelumnya Sai memanggil Sakura-chan 'jelek'," jawab Naruto.
"Hoho, Sai memang orang yang jujur." Ino tersenyum penuh kemenangan.
Naruto diam-diam menatap Ino yang sedang tersenyum. Ia tidak tega kalau harus menghilangkan senyuman itu dari wajah Ino. Tapi ini salah Naruto juga. Dulu ia sempat berjanji kepada Ino untuk mengubah takdir semua penduduk Konoha, termasuk Asuma. Dan sekarang ia tahu ia tak mungkin bisa menepati janjinya. Ia tak mau membuat Ino terlalu berharap. Ini memang kenyataan pahit, tapi cepat atau lambat Naruto harus memberitahukan ini kepada Ino.
"Ino, ada yang ingin aku bicarakan."
Ino menoleh ke arah Naruto, masih dengan wajah yang tersenyum.
"Aku mau minta maaf, aku tidak bisa menepati janjiku... Aku tidak bisa mengubah takdir."
Saat itu juga senyuman di wajah Ino langsung menghilang. Tergantikan oleh raut wajah yang bingung.
"Apa maksudmu?"
"Ikut aku." Naruto memberikan isyarat kepada Ino untuk mengikutinya. Ino pun menurut. Ia mengikuti Naruto masih dengan berbagai macam pertanyaan yang terlintas di kepalanya.
Ino sebenarnya sudah lama curiga dengan perubahan sikap Naruto yang tiba-tiba. Setelah masalah dengan Shion selesai, Naruto ceria lagi. Namun beberapa hari setelahnya, Naruto kembali murung. Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Ino berulang kali menanyakan apa Naruto punya masalah, tapi Naruto selalu bilang kalau ia baik-baik saja. Ino tidak membahas masalah itu lagi karena menganggap Naruto belum siap bercerita kepadanya.
Tapi dengan kata-kata Naruto tadi, Ino punya firasat kalau sekarang Naruto akan menceritakan masalahnya. Ia merasa Naruto akan menceritakan hal yang sangat penting kepadanya.
Langkah mereka terhenti di depan Hyuuga Mansion. Ino tidak mengerti kenapa Naruto membawanya ke tempat ini. Naruto memberitahu penjaga untuk memanggil Hinata. Hinata datang tak lama setelah itu.
"Ino-chan." Pandangan Hinata beralih dari Ino kepada Naruto, ia memandang Naruto bingung.
Sebelumnya Naruto memang sudah menceritakan kepada Hinata kalau Ino mengetahui rahasianya. Ia juga menceritakan bagaimana cara Ino mengetahui kalau dirinya berasal dari masa depan.
"Hinata-chan, tolong kamu jelaskan semua rahasiamu kepada Ino. Juga tentang takdir kita. Aku rasa sekarang Ino berhak tahu."
Hinata akhirnya menjelaskan semuanya. Mulai dari dirinya yang juga sama dari masa depan seperti Naruto, sampai pada kenyataan bahwa takdir itu tidak bisa diubah. Khususnya takdir kematian seseorang.
Raut muka Ino langsung berubah lagi setelah itu, jadi kaget bercampur sedih.
"Ja-jadi?"
Hinata mengigit bibir bawahnya, berharap Ino bisa menerima kenyataan ini. "Gomen Ino-chan... Asuma-sensei... sebentar lagi akan mati oleh Hidan. Sama seperti di kehidupanku sebelumnya."
"Gomen, Ino," gumam Naruto sambil memegang pundak Ino.
Mata aquamarine Ino mulai berkaca-kaca. Kesedihannya sudah terlalu kuat untuk bisa ditahan. Ino kemudian berbalik dan berlari dengan tetesan-tetesan air mata yang mulai berjatuhan ke tanah. Kelihatannya ia langsung menemui Asuma-sensei.
"Ini memang berat, tapi kita tidak bisa menyembunyikannya," ujar Hinata, memandang sosok Ino yang semakin menjauh.
"Ya," balas Naruto. Ia tahu bagaimana perasaan Ino sekarang, karena ia juga merasakan hal yang sama. "Aku tidak boleh menjanjikan harapan kosong kepada Ino."

Beberapa hari kemudian, saat Naruto berlatih Rasen Shuriken bersama Kakashi dan Yamato, mereka mendengar berita kematian Asuma.
Ini membuat pendapat Hinata semakin kuat. Takdir kematian tak bisa diubah.
Dalam acara pemakanan Asuma, Naruto memeluk Konohamaru yang tengah menangis karena kehilangan pamannya. Naruto juga masih bisa melihat raut kesedihan yang mendalam di wajah Ino. Hinata yang berada di samping Naruto menyadari hal yang sama.
Setelah acara pemakaman selesai, Naruto mengantar Hinata pulang.
"Sakit sekali saat satu per satu orang yang kau kenal mati. Apalagi nanti..." Naruto menghentikan kata-katanya.
"Jangan pikirkan itu. Bisa bersama Naruto-kun selama ini... aku sudah senang. Apa kamu tidak senang bisa bersama denganku selama ini?"
"Bu-Bukannya begitu-"
"Kalau begitu aku tidak mau kamu sedih terus." Hinata menggenggam kedua tangan Naruto. "Aku ingin kamu berjanji sesuatu padaku."
Naruto memperhatikan Hinata, menunggu Hinata melanjutkan kalimatnya.
"Tolong lupakan kalau aku akan mati sebentar lagi. Aku ingin... Aku ingin kita seperti dulu, seperti saat kita belum mengetahui rahasia ini. Aku ingin melihat senyummu lagi. Karena itulah yang membuatku senang."
Naruto tertegun mendengar kata-kata Hinata. Senyumannyalah yang membuat Hinata merasa senang.

Hari itu Hinata sedang mengganti perban Naruto. Setelah membantu Team 10 mengalahkan Hidan dan Kakuzu, tangan kanannya mengalami luka yang cukup parah karena memakai jurus Rasen Shuriken. Tsunade bilang jika Naruto terlalu sering menggunakan jurus itu, jurus itu malah akan melukai tangannya, bahkan sampai tingkat sel.
Naruto tahu bahayanya jurus ini meskipun Tsunade dan Kakashi tidak secara langsung memberitahukan hal ini kepada Naruto. Tapi bukan Naruto namanya jika langsung menuruti apa kata orang lain, termasuk pacarnya sendiri.
"Ini jurus yang berbahaya Naruto-kun, sebaiknya kamu tidak memakainya lagi," ujar Hinata disela-sela kegiatannya mengganti perban Naruto.
"Tapi ini salah satu jurus terbaikku. Tenang saja tubuhku ini cepat sekali sembuh," balas Naruto dengan cengiran khasnya.
Hinata tersenyum memandangi pacarnya. Ia bersyukur, mungkinkah Naruto sudah tidak terus-menerus terlarut dalam kesedihan memikirkan kematiannya? 'Semoga saja,' batin Hinata.
"Mau menemaniku menemui Kaa-san?"
Naruto mengangguk dan mengikuti Hinata setelah itu.
Seperti biasa sebelum ke makam ibu Hinata, mereka berdua membeli bunga tulip di toko bunga Yamanaka. Dan saat mereka bertemu Ino disana, keadaan Ino sudah jauh lebih baik. Kelihatannya ia sudah bisa mengikhlaskan kepergian Asuma. Naruto harus belajar dari Ino, ia juga harus bisa mengikhlaskan kepergian Hinata jika nanti saatnya telah tiba.
Naruto menyimpan tulipnya di nisan ibu Hinata kemudian memperhatikan Hinata yang masih berdoa.
Ia jadi memikirkan kata-kata Hinata kemarin.
"Aku ingin kita seperti dulu, seperti saat kita belum mengetahui rahasia ini. Aku ingin melihat senyummu lagi. Karena itulah yang membuatku senang."
Waktu Hinata tidak lama lagi, hanya tinggal 4 bulan lebih yang tersisa. Naruto merasa sikapnya yang terlalu memperlihatkan kesedihan di depan Hinata adalah salah. Itu justru akan membuat Hinata ikut sedih. Padahal seharusnya Naruto membuat Hinata senang di sisa waktunya ini.
"Aku sudah selesai, ayo kita pulang Naruto-kun. Naruto-kun? Hei kenapa melamun?"
Sentuhan tangan Hinata di tangan Naruto membuyarkan lamunan Naruto. Membawanya kembali ke dunia nyata.
"Ah bukan apa-apa. Umm.. Hinata-chan?"
"Ya?"
"Gomen, seharusnya aku membuatmu senang di sisa waktumu ini. Aku janji tidak akan sedih lagi."
Hinata tersenyum lembut. Pipinya langsung merona merah.
"Arigato Naruto-kun."
Naruto membalasnya dengan cengiran.
Hinata mengapit lengan kiri Naruto, menuntun Naruto keluar dari area pemakaman untuk pulang.
"Ayo pulang Naruto-kun."
"Yosh!"
Hinata terkikik pelan melihat tingkah pacarnya yang sudah kembali bersemangat.

Hari ini tanggal 27 Desember. Tepat hari ulang tahun Hinata yang ke-16. Tapi ini merupakan hari yang melelahkan bagi Hinata. Dari kemarin ia mendapat misi mengawal ke desa lain dan baru pulang sekarang, malam hari di tanggal 27 Desember.
Hinata tidak mengharapkan apa-apa untuk hari ulang tahunnya. Keluarganya dari dulu memang tidak terlalu menganggap hari ulang tahun sebagai hari yang spesial. Dan untuk Naruto, Hinata tidak terlalu banyak berharap darinya. Masalah kemarin sudah cukup membebani Naruto.
Sekarang Hinata hanya ingin cepat sampai di rumah, makan, dan istirahat.
'Sudah hampir jam 8 malam, semoga makanan sisa makan malam masih tersisa,' pikir Hinata. Ia sudah terlalu lelah untuk memasak. Kalau menyuruh bibi pelayan atau koki pribadinya untuk memasak? Ah, Hinata bukan tipe majikan yang seenaknya saja menyuruh-nyuruh.
Tidak seperti biasa, ruang makan gelap sekali saat itu. Hinata menghidupkan lampu dan tiba-tiba...
"Selamat ulang tahun hime."
Tampaklah Naruto di pojok ruang makan sedang memegang kue ulang tahun, lengkap dengan lilin angka 16 di atasnya. Hanabi berada di samping kiri Naruto, tersenyum. Neji berada di samping kanannya, ekspresinya datar, Hinata berfikir mungkin Naruto memaksa Neji untuk ikut melakukan kejutan ini.
Hinata tidak bisa berkata apa-apa. Kedua tangannya disimpan di mulut saking kagetnya. Pipinya merona merah dan mata lavendernya berkaca-kaca. Ia tak percaya Naruto melakukan semua ini untuk ulang tahunnya. Ini tidak bisa dipercaya. Setahunya Naruto bukanlah tipe laki-laki yang bisa bersikap romantis. Dari mana Naruto belajar bersikap seperti ini? Apa orang yang di depannya bukan Naruto?
Tapi sorot mata shapire dan keceriaan yang ditampilkan bocah pirang di depannya mematahkan dugaan Hinata itu. Orang itu memang Naruto, pacarnya.
"Gomen, hanya ini yang bisa kulakukan. Kemarin aku terlalu sibuk dengan berbagai misi dan yah kamu tahu sendiri 'kan..." Hinata mengerti apa maksud Naruto. Dengan keberadaan Neji dan Hanabi di sampingnya, Naruto harus pintar memilih kalimat.
Permasalahan yang dihadapi Naruto dan Hinata kemarin-kemarin memang telah menghancurkan impian Naruto untuk memberikan hadiah yang bagus untuk Hinata. Usahanya mengumpulkan uang untuk hadiah terhenti di tengah jalan, dan beginilah akhirnya. Hanya sebuah kue ulang tahun sederhana yang bisa diberikannya kepada Hinata.
"Semoga kamu suka," tambah Naruto.
"A-aku suka. Sangat suka." Hinata mengusap air mata yang diam-diam telah mengalir di pipinya. Ia terharu.
Naruto menyalakan lilin ulang tahun Hinata. "Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya."
Hinata melangkah mendekati Naruto, memejamkan mata sejenak untuk membuat permohonan, kemudian meniup kue ulang tahunnya.
Setelah itu Hanabi menghambur memeluk Nee-sannya, diikuti Neji yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dan terakhir, giliran Naruto memeluk Hinata dan membisikkan ucapan selamat ulang tahun.
Hanabi menyadari keadaan dan menarik Neji untuk keluar ruangan, membiarkan Naruto dan Hinata berdua.
Setelah melepas pelukan, Hinata memotong kuenya dan memberikan potongan kue tersebut kepada Naruto.
"Arigato untuk kejutannya Naruto-kun. Kurasa ini hadiah terbaik yang pernah kuterima di hari ulang tahunku."
Naruto nyengir dan menerima kue dari Hinata. Setelah itu keduanya duduk di meja makan, memakan kue mereka masing-masing.
"Aku masih tidak percaya, kamu melakukan ini untukku Naruto-kun."
"Maha hih?" tanya Naruto dengan mulut yang penuh dengan kue.
"Hihi, kamu lucu. Telan dulu kuemu," Hinata tersipu. "Umm.. Kalau kamu sampai bisa menyiapkan ini semua, berarti kamu meminta izin Tou-san 'kan?"
"Begitulah. Aku meminta izinnya sejak kemarin. Aku sampai bersujud di depan Tou-sanmu segala hanya untuk mendapatkan izin untuk menyiapkan ini. Karena awalnya dia menolak dengan keras. Tapi aku terus membujuknya. Aku bilang kalau aku akan terus bersujud sampai dia mengizinkanku."
Hinata memperhatikan semua perkataan dan ekspresi wajah Naruto saat bercerita. Kadang kedua tangan Naruto digerakkan untuk memperagakan dan memperjelas ceritanya. Dan itu membuat Hinata ingin tertawa. Hinata tak bisa membayangkan bagaimana usaha Naruto untuk mendapatkan izin melakukan ini. Karena setahunya Tou-sannya orang yang keras kepala dan paling susah untuk mengalah. Naruto benar-benar nekat, sangat nekat.
Obrolan dan candaan pun bergulir di antara Naruto dan Hinata. Hingga tak terasa hari sudah semakin malam.
"Sudah malam Naruto-kun."
Naruto memandang jam dinding yang sudah menunjukkan jam 9 lebih.
"Ah, aku terlalu asyik bercerita sampai lupa waktu."
Hinata mengantar Naruto ke luar, tapi tiba-tiba dihentikan seseorang sebelum sampai di gerbang.
"Mengantarnya sampai sini saja Hinata, sekarang kau masuk," kata seseorang dengan nada datar nan dingin. Dialah Hyuuga Hiashi.
Hinata menurut.
"Arigato untuk malam ini Naruto-kun," kata Hinata sambil tersenyum.
Naruto mengangguk dan membalas senyuman Hinata. Setelah itu Hinata langsung masuk ke rumah. Sementara Naruto berjalan ke gerbang, ditemani Hiashi yang berjalan dua langkah di depannya.
"Aku ingin bicara sebentar denganmu," ujar Hiashi kepada Naruto saat mereka sudah berada di luar gerbang Hyuuga Mansion.
Naruto menelan ludahnya. Entah apa yang akan dilakukan Hiashi kepadanya.
"Dari sikap kalian berdua, aku sudah bisa menebak kalau ada sesuatu di antara kau dan Hinata. Terlebih dengan usaha kerasmu saat ingin memberikan kejutan kepada putriku. Jangan pikir selama ini aku tidak tahu kalau kalian dekat. Aku tahu kalau kalian sudah dekat dari dulu. Sekarang aku ingin bertanya dan kau jawab dengan jujur. Apa kalian pacaran?"
Hiashi mengatakan semua itu panjang lebar, seolah dengan sekali tarikan nafas. Tapi nyatanya semua kalimat Hiashi itu terasa begitu tegas di telinga Naruto.
Naruto tertegun. Ia menunduk, tak mampu menatap Hiashi secara langsung. Setiap rentetan kalimat Hiashi seperti pedang yang menusuk dada Naruto. Ini lebih parah dari kemarin, saat ia meminta izin untuk memberikan kejutan kepada Hinata.
Naruto yang terkenal hiperaktif sekarang sedang tak berkutik di hadapan Hiashi.
Naruto mencoba mengalahkan ketakutannya. Perlahan kepalanya mulai mendongak memandang Hiashi. Memang butuh keberanian untuk mengatakan ini.
"Y-Ya, kami pacaran."
Naruto sudah siap dengan segala resiko yang akan diterimanya. Mungkin sebuah Jyuuken? Tamparan atau pukulan?
"Kalau begitu, jaga putriku baik-baik."
Tanpa diduga, itulah tanggapan Hiashi. Naruto memandangnya heran, sementara Hiashi mulai berjalan meninggalkan Naruto.
Apakah Hiashi menerimanya sebagai pacar Hinata? Siapa tahu. Tapi mendadak itu jadi tak penting bagi Naruto.
Yang lebih penting dari kata-kata Hiashi adalah: Bisakah ia menjaga Hinata? Menjaganya dari takdir kematian yang siap menjemputnya?
Naruto mengepalkan kedua tangannya. Ini mustahil, Naruto tidak bisa menjaga Hinata dari takdir kematian. Ya, ini mustahil...

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan.
Naruto selalu berusaha menyenangkan Hinata dengan berbagai cara. Dan itu terbukti berhasil. Hinata selalu merasa senang ketika berada dekat dengan Naruto.
Sekarang hanya tinggal 2 minggu lagi sebelum penyerangan Pain. Naruto sedang dalam misi mencari Itachi dan Sasuke bersama Team 8.
Sementara di Konoha, Jiraiya berjalan di sebuah gang sempit. Pipinya sedikit merah karena mabuk. Semalaman ia minum sake dengan Tsunade. Ia pamit kepada Tsunade untuk pergi menyelidiki Pain.
Langkah Jiraiya terhenti saat samar-samar ia melihat seorang bocah pirang menghalangi jalannya. Jiraiya mengucek matanya, berusaha untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jelas ke sosok di depannya. Begitu ia mengenali sosok di depannya, ia sedikit kaget.
"Naruto? Bukankah kau sedang dalam misi mencari Itachi dan Sasuke?"
Naruto tidak menjawab, ia berjalan mendekati Jiraiya.
"Memang aku sedang dalam misi. Aku yang disini hanya bunshin."
"Oh." Jiraiya berjalan menepi, mendekati dinding gang dan bersandar disana.
"Kau menyuruhku pergi mencari Itachi karena kau sendiri akan pergi menyelidiki ketua Akatsuki 'kan?"
Jiraiya tertegun. Ia sudah yakin kalau ada yang salah dengan Naruto sejak dulu. Naruto yang sekarang 'terlalu banyak tahu'.
"Ayo jawab."
Jiraiya menghela nafas panjang.
"Ya, itu benar. Dari mana kau tahu?"
Naruto tidak menjawab, ia membuang mukanya.
"Naruto, kau ingat dulu kau pernah bilang ayahmu mengajarimu Rasengan? Asal kau tahu, identitas ayahmu sangat dirahasiakan dan tak mungkin ada yang tahu selain aku dan para tetua desa. Selain itu tidak mungkin ada orang lain yang memberitahumu karena ini rahasia desa."
Air muka Naruto berubah tapi tidak merespon apa-apa. Jiraiya melanjutkan kalimatnya.
"Kelihatannya sudah cukup aku bersandiwara di depanmu. Aku minta kau jujur sekarang. Katakan siapa kau sebenarnya?"
Naruto tersentak, kelihatannya sudah saatnya rahasianya diungkap kepada Jiraiya.
"Aku... Aku memang Naruto... hanya saja aku dari masa depan. Di masa depan, Tou-san sendiri yang memberitahuku kalau aku anaknya."
"Tidak mungkin, Minato sudah mati."
"Dia masih hidup dalam diriku. Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi lupakan dulu itu, sekarang tolong dengarkan aku. Pain akan membunuhmu. Jadi... Jadi tolong jangan pergi... Kau sudah kuanggap seperti kakekku sendiri Ero-Sennin."
Jiraiya diam tak merespon apa-apa.
"Aku tahu takdir tidak bisa diubah. Tapi setidaknya diamlah di desa. Dengan begitu kau bisa hidup lebih lama. Walaupun hanya beberapa jam saja."
"Tidak." Jiraiya menegakkan badannya. Ia tersenyum dan memandang patung Hokage. "Guruku dan muridku mati berkorban untuk desa. Mereka berdua pahlawan. Aku ingin mati seperti mereka."
Naruto mengepalkan tangannya, seharusnya ia tahu kalau membujuk Jiraiya tidak akan mudah.
"Kalau begitu aku bisa memberitahumu kelemahan Pain-" Jiraiya memegang kedua pundak Naruto, menghentikan kata-kata Naruto.
"Jangan memberitahuku Naruto. Biarkan semuanya terjadi seperti seharusnya."
Wajah Naruto semakin muram mendengar kata-kata Jiraiya.
"Sekarang dengarkan aku Naruto. Aku tidak peduli kau dari masa lalu atau masa depan. Tapi aku berpesan, teruslah berlatih meskipun nanti aku mati. Jadilah lebih kuat melebihi aku dan ayahmu. Dan yakinlah, meskipun nanti aku mati, aku akan selalu melihatmu, melihatmu jadi Hokage suatu saat nanti."
Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jiraiya memang keras kepala seperti dirinya. Ia memeluk Jiraiya untuk terakhir kalinya.
"Aku pergi." Jiraiya mengacak rambut Naruto dan kembali melangkahkan kakinya. Menuju desa hujan, mencari ketua Akatsuki.
Sementara itu, Naruto yang asli menghentikan langkahnya ketika memori dari bunshinnya memasuki kepalanya.
"Baka," umpat Naruto kesal.
"Naruto-kun?" Hinata yang berada di dekatnya jadi khawatir.
"Ero-sennin tetap pergi mencari Pain. Katanya ia ingin mati seperti gurunya Hokage ke-3, dan muridnya Hokage ke-4 yang gugur sebagai pahlawan Konoha."
Hinata mendekat dan mengusap pundak Naruto.
"Kamu harus menghargai keputusannya."
Naruto mendengus kesal, tapi kata-kata Hinata memang benar.

Berita kematian Jiraiya datang tak lama setelah Naruto kembali ke Konoha.
Naruto tahu kejadian ini pasti terjadi. Tapi air mata itu tetap saja mengalir dari mata shapirenya. Jiraiya adalah orang yang sudah sangat dekat dengannya. Sudah ia anggap seperti kakek sendiri. Wajar saja kalau sekarang ia merasa begitu kehilangan, 2 kali kehilangan tepatnya.
Iruka-sensei datang menenangkan Naruto. Disusul oleh Hinata yang juga datang setelahnya. Iruka pamit pulang dan berbisik kepada Hinata, menyuruh Hinata menghibur Naruto.
Hinata duduk di samping Naruto. Menarik wajah Naruto dan mengusap air mata yang masih berada di pipi Naruto.
"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dekat denganmu. Aku tahu rasanya sakit, tapi kamu harus tetap menjalani kehidupanmu."
"Kehilangan Ero-Sennin saja sudah membuatku sedih begini. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku harus kehilanganmu."
"Jangan sedih Naruto-kun, kamu sudah janji padaku 'kan?"
"Gomen." Naruto memegang tangan Hinata yang masih berada di pipinya dan berusaha tersenyum.

"Naruto-kun, pelan-pelan sarapannya," omel Hinata.
Tapi tampaknya Naruto tidak mempedulikan Hinata dan masih memakan sarapannya dengan terburu-buru.
"Aku harus menemui Fukasaku Jii-san, guru Ero-sennin sekarang juga. Aku harus berusaha untuk menguasai Sage Mode secepat yang aku bisa. Selain itu, aku harus membantu Shikamaru memecahkan kode dari Ero-Sennin."
"Iya tapi 'kan-"
Kata-kata Hinata terpotong saat tiba-tiba Naruto mengecup pipinya.
"Aku ke gedung Hokage sekarang."
Hinata masih mematung di ruang makan, memegang pipi merahnya yang tadi dikecup Naruto. Naruto memang selalu melakukan itu jika ingin kabur dari omelan Hinata. Hinata juga tak bisa berbuat banyak, selain tersenyum pasrah dan mengatur nafasnya yang tak beraturan karena detak jantungnya yang berdegup kencang.

"Fukasaku Jii-san!"
"Kalau masuk ketuk pintu dulu Naruto!" bentak Tsunade. "Dan sudah berulang kali kubilang untuk menjaga perkataanmu kepada Fukasaku-sama."
"Ada apa nak?" tanya kodok petapa yang bernama Fukasaku itu.
"Tolong ajari aku Sage Mode."
Kening sang kodok berkerut, memandang Naruto bingung. Masalahnya ia belum mengatakan apapun mengenai Sage Mode tapi Naruto sudah tahu.
"Kalau Ero-Sennin saja bisa kalah, berarti Pain sangatlah kuat. Aku ingin membalas kematian Ero-Sennin tapi aku tidak bisa menang dengan kekuatanku yang sekarang."
Fukasaku terseyum. 'Mungkin memang benar Naruto adalah sang anak yang diramalkan,' batinnya.
"Baiklah. Segera bersiap-siap. Kita bertemu di gerbang Konoha 30 menit lagi."

"Jadi?"
"Fukasaku Jii-san bersedia mengajariku Sage Mode. Aku akan siap-siap dulu Hinata-chan."
"Syukurlah kalau begitu."
Naruto berlari ke kamarnya untuk menyiapkan baju. Tak sampai 10 menit, Naruto sudah selesai siap-siap.
Kemudian Naruto mendekati Hinata dan memeluknya erat.
"Aku tahu takdir kematianmu tidak bisa diubah. Tapi sekarang aku sudah tahu kelemahan Pain, jadi aku akan tetap berusaha merubah jam kematianmu. Satu jam saja sangat berharga untukku. Jadi, tunggulah aku."
"Ya, aku akan menunggumu Naruto-kun."
Pelukan mereka terasa begitu lama. Tapi akhirnya Naruto melepas pelukannya dan mengecup kening Hinata.
"Aku pergi dulu."
"Hati-hati Naruto-kun."
Hinata melambaikan tangannya, menatap sosok Naruto hingga menghilang di tikungan. Hinata berjalan pelan memasuki apartemen Naruto, menuju sofa dan menjatuhkan dirinya disana. Tiba-tiba saja cairan bening mengalir keluar dari mata lavender Hinata. Tak terasa air mata itu keluar tanpa bisa dikontrol olehnya.
Seiring waktu yang kian sempit, semuanya menjadi jelas sekarang. Rasa egois itu mulai muncul lagi di hati Hinata. Ia belum mau mati, ia masih ingin bersama Naruto. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya bersama Naruto.
"Naruto-kun..."
"Hinata-chan..."
Naruto yang sudah dalam perjalanan menuju gerbang Konoha tiba-tiba merasakan kesedihan yang sama seperti Hinata. Air mata keluar dari mata shapirenya.
Naruto menghapus air matanya dengan kasar.
"A-aku sudah berjanji kepada Hinata-chan, agar tidak sedih," ujar Naruto meneguhkan hatinya.
Sementara itu di sebuah batang pohon besar tak jauh dari apartemen Naruto, sesosok manusia mirip tumbuhan berwarna hitam dan putih tengah menyeringai. Sisi tubuhnya yang berwarna hitam terlihat lebih mendominasi dan terkesan jahat. Kedua sisi warna itu seolah seperti satu tubuh dengan dua kepribadian yang berbeda.
"Takdir, kematian dan kelemahan Pain. Hmm... Jinchuuriki Kyuubi, nampaknya kau tahu banyak hal," ujar sosok yang berwarna hitam.
"Kita harus beritahu Pain secepatnya," balas sosok berwarna putih.

"Pain, aku tahu kau kuat. Tapi Jinchuuriki Kyuubi punya kejutan untukmu di Konoha. Aku ragu kau bisa mengalahkannya."
"Apa maksudmu Zetsu?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Tapi sebagai bantuan, aku bisa memberitahumu sedikit titik lemah bocah itu."
"Sebutkan."
"Carilah gadis Hyuuga berambut indigo yang bernama Hinata. Dia bisa jadi 'senjatamu' untuk melawan Jinchuuriki itu."
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar