pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Today, my live is begins Chapter 4, Memories

A/N: Fic ini dibuat oleh ahaine-sama dengan pairing sasusaku semoga kalian suka ;D  


Today, My Life Begins
NARUTO © Masashi Kishimoto
Genre: Frienship/Romance
Chapter 4: Memories
Rated: T
.: oOo :.

Beberapa tipe persahabatan:
1.) Forever enemies
2.) From friends to enemies
3.) From enemies to friends
4.) Forever friends
5.) From friends to lover

.: Chapter 4 :.
Memories are the only thing that remains the same, even when feelings fade, places change and everyone walks away
.
Sakura, Sasuke, Hinata, dan Ino adalah teman masa kecil. Sekarang? Tidak. Sakura dan Sasuke yang dulu sangat akrab diantara mereka berempat pun memanggil satu sama lain dengan nama marga keluarganya. Belum lagi sejak kedatangan Ino, teman masa lalu mereka yang tiba-tiba pindah ke sekolah mereka. Dia menantang Sakura, gadis paling jelek disekolah untuk bersaing dengannya di sebuah kontes kecantikan paling besar di Negara itu.
.
.
Langit sore hari itu semakin gelap, burung-burung yang melintasi cakrawala pun semakin sukar ditangkap mata, terhalang oleh lembayun senja.
Tiliklah sejenak nuansa pantai saat ini, penuh dengan helaian merah kelopak mawar. Siapapun pasti menyangka mendapat giliran maju setelah peserta sebelum mereka menebarkan 'sampah' tentu sangat merugikan.
Contoh nyata; Karin yang menyisakan ribuan kelopak bunga di pantai untuk Sakura.
Sakura berjalan pelan melewati pasir pantai yang putih tanpa alas kaki. Kaki putih mulusnya seolah tak terpengaruh kerang ataupun kerikil yang terkadang hinggap menusuk kulitnya. Rambutnya dikucir ekor kuda dengan sebuah pita putih yang tampak lusuh, seperti sudah sering digunakan. Ia tak memakai kacamata tebalnya, namun juga tak menyingkirkan poni yang menutupi wajahnya, sehingga tak seorangpun bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya bibir berwarna buah plum dan hidung mancungnya yang terlihat. Pandangannya lurus menghadap gelombang laut yang datang ke arahnya.
Tak seperti peserta lain yang berdandan heboh, atau paling tidak mengenakan lip-gloss atau bedak, tak tampak tanda-tanda Sakura mengenakan make-up.
Natural, sama sekali tanpa make-up.
Malahan, penampilannya cenderung terkesan berantakan.
Apalagi baju yang dikenakannya.
Sakura hanya mengenakan sebuah dress selutut, panjang lengan dress-nya hanya seperempat sikunya. Dress itu berwarna putih; tanpa renda, tanpa campuran warna lain, tanpa motif terukir, tanpa campuran yang lain.
Hanya putih.
Bahkan dress putih itu jauh lebih sederhana dari dress putih yang dikenakan para kontestan pertama kali saat tiba di sini.
Tangan kiri Sakura membawa setangkai mawar merah besar yang warnanya senada dengan mawar yang sudah tercerai-berai di laut, kemungkinan Sakura menemukan setangkai mawar yang kelopaknya belum terpisah dari putiknya. Seruling Hinata ikut tersemat di tangan kirinya. Tangan kanannya membawa seekor burung yang ia temukan di pinggir hutan, dibawanya hewan itu dengan hati-hati.
"Sakura-chan, tunggu!" Anko berlari ke arah Sakura, lalu tanpa peringatan mengalungkan sebuah selendang berwarna violet yang cantik dan tampak berkilau terkena pantulan cahaya.
"Ini kupinjamkan, tadi aku sudah memakainya saat giliranku, dan aku jamin itu akan mempercantik penampilanmu. Aku tak tau apa yang kau pikirkan, tapi aku percaya padamu," bisik Anko sambil mendorong Sakura ke depan.
Hinata lalu meminjamkan Anko sebuah jaket, karena pakaian yang Anko kenakan tampak terlalu tertangkap mata.
.: oOo :.
Sakura kini sudah ada di depan kedua juru kamera, mukanya membelakangi orang-orang yang menatapnya. Tak ada manusia di pantai itu yang berbicara, semua perhatian tertuju pada Sakura dan penampilannya yang lain daripada yang lain.
"Apa-apaan gadis itu?" Tanya Tsunade sambil memincingkan matanya.
Hokage hanya tersenyum. "Tenang dan lihat saja, Tsunade."
Si dokter jenius itu menghela nafas panjang sambil menatap heran ke arah Hokage.
"Uhm... Bisa kumulai, Haruno-san?" Tanya Iruka ragu-ragu, wajahnya sangat amat jelas menunjukkan ketidakpercayaan-nya bahwa Sakura adalah kontestan nomor 1.
Iruka mulai kehilangan kesabaran ketika mendapati Sakura hanya diam sambil menunduk ke bawah bagai patung.
Apalagi Sakura belum juga memperlihatkan wajahnya, dia masih ada di pinggir pantai, namun kali ini dalam posisi menghadap hutan di pinggiran pantai, sehingga yang terlihat adalah sebagian tubuhnya yang terlihat dari samping.
Tentu saja semua heran akan sikap Sakura. Dia hanya memakai pakaian biasa, tanpa riasan muka, dan ekspresi mukanya sama sekali tak terlihat. Para peserta lain mulai ribut membicarakan betapa bodohnya tindakan Sakura. Suasana pantai jelas tak menguntungkan Sakura.
Tepat saat Iruka mengatakan "MULAI!", saat itu pula tiba-tiba atmosfer disana terasa berat. Angin sepoi-sepoi yang sebelumnya berhembus seolah terhenti pergerakannya, menciptakan ruang kecil berupa kehampaan.
.: oOo :.
Aura di sekitar Sakura kini berubah, seolah mengubah dirinya menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang mampu merubah suasana meski hanya dengan pakaian sederhana, dress putih dengan ujungnya yang bergelombang serta sebuah selendang sutra.
Walaupun Sakura hanya menengadahkan kepalanya ke arah langit senja yang diikuti dengan kedua tangannya ditenggelamkan dalam dadanya seolah dia sedang berdoa, namun gerak langkah sederhananya itu nampak anggun, kibasan rambutnya yang dikuncir ponytail memberikan nilai tambah tersendiri.
Membuat setiap penonton terpesona dan membisu.
Ringo, salah seorang peserta disana, kehilangan kata-kata. Entah kenapa, ia merasakan rasa sakit, kepedihan yang amat sangat di hatinya. Bukan sakit secara fisik. Dia merasa hatinya cemas tanpa alasan. Kenapa?
"Kenapa ya, kok tiba-tiba hatiku merasa sesak?" Kata seorang gadis bermata lime green.
"Bukan, bukan. Daripada sesak, lebih ke perasaan cemas." Sahut yang lain.
"Bukan cemas. Perasaan ini… seperti kesedihan yang tertahan." Kata gadis di samping mereka.
"Nggak, seperti doa yang tak tersampaikan." Seorang gadis berambut keriting ikut ambil pendapat.
"Bukan, ah. Menurutku lebih seperti kesedihan dan kerinduan mendalam!" bantah gadis bermata coklat.
"Tapi kau lihat tangannya kan, dia sedang berdoa." Gadis berambut keriting mempertahankan pendapatnya.
"Tapi matanya menatap langit! Dia pasti sedang sedih karena rindu." Gadis bermata coklat memberi argumen-nya.
Begitulah, pembicaraan yang sebelumnya mencemooh dirinya terganti oleh asumsi-asumsi tentang apa yang sedang di lakukan oleh Sakura.
Seolah hanyut dalam dunianya sendiri, Sakura lalu memainkan serulingnya. Orang-orang yang tadinya berbicara pun sekarang ditarik perhatiannya oleh nada-nada yang terdengar sedih itu.
Sedih...
Sedih...
Sedih, putus asa, sampai rasanya ingin mati.
Segelintir airmata pun mengalir dari pelupuk mata beberapa gadis yang terlalu larut dalam suasana yang dibawa Sakura, apalagi ketika bunga di tangannya itu ia remat dengan sebelah tangannya.
Menggambarkan perasaan kecewa yang mendalam.
Sakura mau tak mau memikirkan pemuda itu. Memikirkan tentang mereka. Tentang semua yang berakhir begitu saja. Dan yang gadis itu benci, pemuda itu tak enyah dari hidupnya.
—dan yang lebih menyesakkan, ia tak bisa benar-benar bersikap acuh terhadap sang pemuda stoic itu.
Kehidupan itu selalu berjalan maju, bukan mundur. Batin Sakura. Kini ia setuju dengan pendapat itu.
Seiring waktu, nada yang lemah itu berubah, semakin kuat. Sedikit demi sedikit seolah menguatkan hati, beranjak tegar dengan kaki sendiri.
Sakura memeluk burung yang di bawanya, dan seolah terkena sihir, burung itu pun bisa mengepakkan kedua sayapnya dengan bebas dan terbang menuju angkasa nan luas. Kedua tangan Sakura terangkat ke atas ketika burung itu seolah sedang memberikan dorongan, semangat serta harapan. Jika seorang pelukis melihatnya, pasti sang pelukis segera mengambil kuasnya dan melukis pemandangan yang dilihatnya.
Ikat rambut yang mengikat rambut Sakura terlepas, memperlihatkan warna merah jambu berkibar yang berkilau keemasan karena tertempa sinar mentari senja.
Dengan selendang berwarna violet yang memperelok penampilannya, Sakura kini nampak seperti seorang putri, auranya begitu kuat, seolah ingin mengatakan, 'Aku kuat, setelah terluka.'
Tentu saja pemandangan ini membuat semua orang kehilangan kata-kata.
Dan yang lebih hebatnya lagi, Sakura bahkan belum sekalipun menghadap penonton, memperlihatkan wajahnya.
Namun nampaknya tak ada yang menyadarinya.
Mereka terlalu takjub.
Takjub dengan pemandangan seindah itu. Sosok secemerlang itu. Penampilan seunik itu.
"AH!" Seru seorang gadis, membuat beberapa orang di dekatnya memperoleh kembali kesadarannya.
"Kenapa?" Tanya gadis di sebelahnya.
"Haruno Sakura… dia… kukira dia orang yang berbeda. Tapi… Rambut itu… Kemampuan seperti itu… Itu dia! Dulu aku fansnya. Dia cantik sekali, aku suka semua gayanya dan posenya yang ada di majalah." Katanya, mengingat memori masa lalu.
"Hah?" Temannya tak percaya.
"Dia terkenal sekali di Suna, dulu sih. Entah kenapa kabar tentang dirinya langsung menghilang dari media setahun yang lalu. Lenyap begitu saja." Lanjutnya dengan nada agak kecewa.
"Tapi wajahnya kan jelek sekali! Kalian lihat sendiri!" Gadis lain ikut ambil suara.
"Apa mungkin dia itu orang yang sama dengan Haruno Sakura si model?" Tanya suara lain dengan nada sedikit mencemooh.
Kebanyakan dari mereka langsung berkata tidak.
Sementara sebagian kecil dari mereka yang mengiyakan adalah orang-orang yang cukup berani untuk mengakui kata hatinya.
.: oOo :.
Angin bertiup, menerbangkan kelopak mawar. Burung-burung melewati orange senja ketika nada musik permainan seruling Sakura mulai berubah lagi, menjadi lebih konstan, bersemangat, seolah sedang berharap ke arah masa depan. Hanya untuk sesaat, untuk sepersekian detik, ia menolehkan wajahnya ke belakang.
Sebelum orang-orang sempat mencerna wajah gadis yang bagaikan seorang malaikat dari langit itu, Sakura sudah mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Ia kembali menatap mentari senja.
Rambutnya tertiup gemelintir angin, warna merah jambu berpadu dengan emas mentari. Ditemani dengan puluhan kelopak mawar yang mengapung bebas di sekitarnya yang kini tampak berwarna orange karena pantulan cahaya, memberikan hasil sebuah foto sempurna untuk di ambil, untuk di abadikan.
Sebuah background sempurna sebagai penutup, akhir dari penampilan Sakura.
Dan ketika bunyi kata "SELESAI!" terdengar di telinga Sakura, auranya yang bersinar itu pupus, menghilang dan di gantikan dengan aura gadis jadul yang biasa ia pakai.
Menyisakan tanda tanya di hati semua orang.
Apakah tadi itu nyata?
.: oOo :.
Rembulan bersinar dengan gemilang, memberi warna diantara awan yang berwarna hitam pekat, membentuk sebuah pola berbentuk bulat sempurna seperti sebuah donat.
Bulan purnama.
Sasuke duduk termenung sambil memandang bintang. Tangannya mengepal sambil menopang dagunya. Dia memandang bintang dengan sorot mata yang menunjukkan rasa kebingungan dan ketidakpastian, lalu ia memejamkan matanya seolah sedang menenangkan hati, kemudian kembali membukanya dan sebuah tekad mulai terukir di kedua onyx itu.
"Sedang apa, Sasuke-kun?" Sebuah suara membuyarkan entah apa yang sedang dipikirkannya itu.
Dia mendongakkan kepalanya, heran karena biasanya dia selalu bisa merasakan hawa keberadaan orang lain di dekatnya. Hanya beberapa orang yang hawa-nya sulit terdeteksi olehnya.
"Rupanya kau, Hinata. Ada apa?" Tanya Sasuke, bangun dari posisi duduknya dan menolong Hinata yang tampaknya sulit duduk di atas batu seperti ini.
Hinata memang termasuk dari sedikit orang yang bisa mendekat tanpa disadari oleh Sasuke.
"Terima kasih." Hinata tersenyum.
Tak ada jawaban.
Keduanya larut dalam keheningan, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Perhatian Hinata teralih ke Sasuke ketika ia menyadari Sasuke sudah menghela nafas tiga kali dalam lima menit ini.
Hinata terus memandang Sasuke sampai akhirnya si empunya wajah merasa risih.
"Ada apa?" Tanya Sasuke dengan nada tak suka sambil memandang Hinata.
Hinata hanya tersenyum sambil terus menatap Sasuke.
Hinata cantik juga dilihat dari samping seperti ini, apalagi sekarang sinar bulan menyinari wajahnya yang putih bening itu. Jika Sasuke tak mengenal Hinata dari dulu, tentu ia akan menganggap Hinata seperti gadis-gadis kebanyakan yang tertarik padanya dan selalu tersenyum untuk menarik perhatiannya. Tapi tidak... Sasuke sudah sering melihat senyum ini.
"Nggak ada apa-apa kok." Sasuke berkata sambil mengalihkan pandangannya.
"Lho? Aku kan belum bertanya apa-apa, Sasuke-kun. Memangnya ada apa?" Hinata sukses membalikkan pertanyaan Sasuke.
"Tch." Sasuke mendengus pelan.
"Hmm?" Hinata kembali tersenyum ke arah Sasuke.
Sasuke kembali menghela nafas. Sejak mereka kecil, Hinata selalu bisa memaksanya menceritakkan apa yang sedang mengganggu pikirannya. Hal ini mengganggu Sasuke, karena ayolah, ada kata selalu.
Sasuke menggaruk kepalanya. Hal yang biasanya amat sangat tidak mungkin dilakukan oleh seorang Uchiha Sasuke.
"Mungkin sudah seharusnya aku ceritakan padamu. Tapi aku bingung harus cerita darimana." Bisik Sasuke pelan sambil memandang dalam ke arah air laut.
Ingatannya kembali ke memori-memori masa lalunya. Jika ia menceritakan soal Ino, maka otomatis dia juga harus menceritakan soal asal mula masalah ini, prosesnya—semuanya. Dari awal hingga masalahnya jadi sekompleks ini.
Tapi ia benar-benar tak tau harus memulai darimana. Semua sudah menjadi terlalu rumit untuk diuraikan.
Ketika lagi-lagi ia tenggelam dalam lamunannya, ia merasakan sebuah tangan—bukan miliknya—ada di atas kepalanya. Lebih tepatnya, mengusap-usap kepalanya.
"Hentikan itu," namun ia sendiri tak menepis tangan kecil itu. Entah sadar atau tidak, Sasuke memejamkan matanya.
"..."
"..."
"...Kau sudah tenang?" Tanya Hinata dengan nada suara yang lembut setelah beberapa saat berlalu.
"Hn," Sasuke masih memejamkan matanya, namun jelas sekali nada suaranya sudah lebih tenang.
Ketika akhirnya kedua onyx itu kembali terlihat, Sasuke menatap ombak yang datang bergelombang, menata pikirannya, sampai akhirnya kata demi kata pun mulai keluar dari bibirnya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Uchiha Sasuke berbicara sepanjang ini. Sasuke sendiri bisa merasakan kerongkongannya yang kini merasa kelu dan menginginkan air, walaupun hanya seteguk.
Selama Sasuke berbicara, Hinata sama sekali tak menyelanya. Ia memberikan waktu bagi sang Uchiha untuk mencurahkan semua pikirannya.
Semakin lama Sasuke bercerita, semakin berubah juga air muka Hinata. Saat akhirnya cerita itu selesai, saat itu meneteslah air mata Hinata. Tetes per tetes, tak bisa berhenti.
"Hiks... Sasuke-kun bodoh... Kenapa... Kenapa tak dari dulu kau ceritakan?" Air mata Hinata deras sekali mengalir.
"Sudahlah. Jangan menangis." Sasuke lalu menyeka air mata Hinata yang masih saja mengalir.
Sebelum tangan Sasuke sempat menjauh, Hinata menggenggam tangan itu dengan kedua tangannya. Pipinya ditempelkannya di samping tangan itu. Kedua mata Hinata terpejam, mulutnya komat-kamit. Seperti orang yang sedang berdoa.
"Sabar ya Sasuke-kun. Jangan khawatir, Mama akan mendoakanmu." Seandainya raut muka Hinata tak seserius ini, Sasuke akan tertawa. Ya, tertawa. Namun karena Hinata terlihat tulus sekali ketika mengatakannya, ia mengurungkan niatnya itu.
"Bodoh. Mana ada Mama secengeng ini?" Kata Sasuke sambil kembali menepis air mata Hinata.
Hinata membuka matanya. "Tapi bukannya dulu Sasuke-kun yang memulai sebutan itu?"
"Itu saat kita masih tujuh tahun, Hinata. Itu sudah dulu sekali. Lagipula, bagaimana kau bisa masih ingat? Merepotkan." Sasuke berusaha membela diri dengan memasang suara dan tampang secuek mungkin. Padahal dalam hatinya ia sudah malu sekali.
"My baby boy tampaknya sudah dewasa. Mama senang." Hinata nyaris tertawa melihat tampang Sasuke.
"Hentikan." Kerut di dahi Sasuke yang melegenda kembali nampak.
"Ha... —Hahahahaha..." Sudah lama Hinata tak tertawa selepas ini.
Tak jauh dari sana, tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang memandang mereka dalam diam. Sosoknya seakan tertelan di antara rimbunan dedaunan. Si pemuda mengangkat sebelah tangannya menuju ke atas jantungnya, merasakan adanya suatu perasaan asing yang kini menggerogoti relung hatinya.
"...Perasaan apa ini?"
Cemburu?
Tidak, pasti bukan.
Uzumaki Naruto tak mengenal kata cemburu.
.: oOo :.
Saat itu, di saat bersamaan namun di tempat yang berbeda, Sakura berusaha untuk tidur. Tubuhnya berkali-kali bergerak mencari posisi yang nyaman, namun tetap saja percuma.
Di ruangan yang seharusnya ditempati empat orang itu, hanya Sakura yang sudah anteng di atas ranjangnya. Mau bagaimana lagi, saat itu memang masih pukul tujuh malam. Bukan waktu yang lazim untuk tidur.
Sakura mengerling jam dinding bundar dengan tatapan mata sayu. Aneh, biasanya dirinya bisa terbawa ke alam mimpi hanya dalam waktu tujuh menit setelah ada di atas kasur. Jika dihitung, sudah lima belas menit berlalu sejak waktu sewajarnya.
Sakura mengalihkan pandangannya dari jam dinding yang menurutnya berjalan terlalu pelan. Tatapannya kini teralih ke langit-langit kamar.
Putih.
Seperti warna kamar itu.
Pandangannya kembali kosong.
Sakura memejamkan matanya, tangan kanannya ada di atas dahinya. Tidak terasa adanya jejak tanda-tanda demam disitu. Namun entah kenapa kepala Sakura terasa sakit.
Kalau bukan demam, kenapa kepalaku rasanya berat sekali?
.: oOo :.
"Sacchan…"
Suara siapa itu?
"Sacchan… Jangan menangis."
Sakura bangun dari posisi tidurnya, kedua tangannya memegangi kepalanya.
Sakit.
Rasa sakit di kepala itu mulai mempengaruhi kerja tubuh Sakura. Nafasnya mulai tak teratur. Sakura tak mengerti apa yang terjadi padanya. Saat ia mencoba mengingat suara siapa itu, entah kenapa, kepalanya sakit. Suara yang membuatnya merasa sakit, sedih, dan merasa… rindu?
Jauh di dalam lubuk hatinya, entah kenapa, Sakura merasakan ada sesuatu yang janggal.
Sesuatu yang terlupa, namun tak seharusnya ia lupakan.
Semakin Sakura berusaha mengingat, semakin sakit pula kepalanya. Walaupun ingin mengingat, tapi sekujur tubuhnya serasa menolak untuk melakukan hal itu.
Saat akhirnya Sakura merebahkan dirinya kembali di kasur dan menutup kedua kelopak matanya, yang terbayang dalam benaknya hanyalah kegelapan dan... sebuah senyuman?
Sebelum Sakura sempat mengenali siapa pemilik senyum itu, ia dikagetkan dengan sebuah suara sirine panjang dan keras. Setelah suara sirine itu berhenti, ternyata masih disambung oleh sebuah pengumuman bahwa semua orang, baik peserta maupun staff, harus berkumpul di depan villa sekarang.
Sakura mengepalkan tangannya untuk mengumpulkan kesadarannya yang tadi terpecah, lalu berdiri, mengambil nafas panjang, mengambil kacamata-nya dan memakainya, lalu berjalan keluar kamar.
Rasa sakit itu terhenti seiring dengan Sakura yang berhenti mencoba mengingat apa yang terlupa.
.: oOo :.
Rupanya ada juga gadis lain selain Sakura yang menghabiskan waktunya di dalam kamar, karena ketika Sakura keluar kamar ia berpapasan dengan beberapa peserta lain.
"Hati-hati!" Sakura mempercepat langkah dan menarik pundak seorang gadis berambut coklat panjang. Gadis ini sepertinya masih mengantuk, karena ia berjalan sambil memejamkan matanya dan hampir saja menabrak dinding.
Gadis ini menatap Sakura dengan tatapan bingung, lalu ia mengucek matanya beberapa kali, baru matanya yang tadi tampak sayu sekarang tampak cerah.
Iris matanya berwarna merah legam, cantik sekali.
Seakan akhirnya mengerti situasi, ia membungkukkan badan. "Terimakasih banyak. Maaf tadi aku masih mengantuk, hehe."
"Nggak papa kok. Jangan membungkuk seperti itu, eer…" Kata-kata Sakura terhenti. Gadis crimson? Gadis rambut pendek? Eh, aku harus memanggilnya apa?
Gadis itu mengangkat tubuhnya dan tersenyum renyah. "Aku Akane Mizusawa, tapi panggil saja Akane, Haruno Sakura."
Sakura sedikit kaget. "Kau kenal aku?"
"Tentu saja semua mengenalmu, kau kan si Kontestan Nomor 1!" Jawab Akane dengan riang.
Sakura nampak salah tingkah. "Eer... Panggil saja Sakura...?"
"Oh oke! Ah, Farisha-chan!" Akane melambaikan tangannya ke arah gadis berambut warna ungu.
Gadis bernama 'Farisha-chan' itu melihat Akane dan langsung memeluknya. "Akane-chan! Kemana saja kamu?"
Akane mengelus-elus kepala Farisha. "Aku ketiduran, Farisha-chan. Dan oh ya, kenalkan, itu Sakura. Sakura, ini Farisha!"
Farisha langsung menjabat erat tangan Sakura sambil tersenyum lebar. "Salam kenal! Boleh kupanggil Sacchan?"
Akane menjitak kepala Farisha. "Jangan seenaknya mengganti nama orang!"
Sakura tak bisa menghentikan tawanya menghadapi mereka berdua. "Haha... Sudahlah, nggak papa kok. Akane-chan, Farisha-chan, salam kenal."
Dalam hati, Akane dan Farisha berpikir, walau Sakura memakai baju lengan pendek biasa, rambutnya diurai tak teratur, serta memakai kacamata tebal, kesannya berbeda bila mereka melihat Sakura dari dekat. Kulitnya yang putih mulus, bibirnya yang semerah buah strawberry, serta barisan giginya yang putih seakan mengatakan hal lain soal dirinya. Kok bisa?
.: oOo :.
"Lama sekali! Kau yang disana, cepat kemari! Kepala duren, jangan ngantuk! Cewek ceking disitu, berhenti makan! Hei kau kepala salak disana-..." Tsunade terus saja mengkritik setiap orang yang tertangkap oleh kedua matanya. Kabar dirinya pun sontak langsung tersebar, konon katanya sake pesanan Tsunade tak bisa datang karena lokasi pantai yang terlalu jauh. Karena sake yang menurut Tsunade adalah benda terbaik tak ada, maka mood terbaik Tsunade pun otomatis tak ada.
"Jangan galak-galak seperti itu ah, nanti keriputnya nambah lho nek," Naruto berkata dengan santai sambil menepuk pundak Tsunade.
Yah, Naruto pasti tak pernah menyangka si nenek cukup sehat untuk melemparkan pisau ke arahnya, sukses mengenai ujung rambut Naruto. Tak berhenti sampai di situ, Tsunade menarik kerah Naruto dan membuat pemuda yang lebih tinggi darinya itu berada tiga puluh senti di atas tanah—hanya dengan menggunakan jari telunjuknya.
Dan hal itu rupanya cukup untuk membuat Naruto pucat pasi.
'Rupanya nenek Tsunade setipe dengan okaasan,' pikir Naruto sambil menelan ludah. Memori tentang ibu tercintanya yang sering menggebrak meja karena Naruto mengkritiknya tentang makanan kembali memenuhi otaknya. Menyeramkan. Persis seperti seekor kingkong tanpa pisang.
"Aku cuma bercanda, maaf ya? Eer... Hehe?" Ucap Naruto ragu-ragu.
"Hah? Mana sopan santunmu?" Protes Tsunade, masih tetap mengangkat Naruto dengan jari lentiknya.
"Selamat malam, Tsunade-san?" Jawab Naruto segera. Naruto sebenarnya bingung maksud Tsunade.
"Selamat malam, katamu? Jadi kau tak mengharapkan aku selamat di pagi, siang, dan sore hari, hah?" Gurat-gurat emosi mulai muncul di dahi Tsunade.
Mungkin, sih. Pikir Naruto datar.
"Selamat pagi, siang, sore, dan malam, Tsunade-san." Naruto mencoba tersenyum penuh penyesalan sementara kakinya benar-benar mencoba menggapai tanah.
"Panjang sekali! Belum pernah kudengar salam sepanjang itu!" Teriak Tsunade sambil melempar Naruto ke tanah. Untungnya Naruto memiliki respon refleks yang baik, sehingga tubuhnya tak jatuh dalam posisi yang menggelikan.
Mengerikan. Apa semua wanita lanjut usia seperti itu, ya? Pikir Naruto sambil memandang Tsunade yang kembali mencari mangsa baru.
"Nah, sudah berkumpul semua? Kalau begitu mari kita mulai." Ujar Sarutobi, pemimpin para juri TB, sambil mengedarkan senyumnya ke semua orang.
Tsunade, yang sepertinya menganggap ini terlalu bertele-tele, merebut microphone sang Hokage dan melanjutkan pembicaraan. "Kalian uji nyali! Ambil undian! Baca perintahnya! Kembali sebelum pukul 3 pagi! Ada pertanyaan?"
Ada.
Begitulah pikiran semua orang di pantai saat itu, namun melihat raut muka Tsunade yang jelas sekali tak menginginkan adanya pertanyaan, tak ada yang cukup bodoh untuk menyia-nyiakan nyawa mereka.
Walaupun dengan muka kebingungan, namun para kontestan mulai mendekati kotak undian, dan mengambil kertas di dalamnya.
"Hei kalian semua, sedang apa kalian? Cepat antri!" Teriakan Tsunade kembali membahana. Jari telunjuk legendarisnya menunjuk ke arah para staff yang sedari tadi hanya berdiri dengan manisnya.
"Kami juga ikut?" Tanya seorang staff dengan nada tercekat, seakan menganggap Tsunade itu adalah sebuah bom yang bisa meledak kapan saja bila mendengar suara darinya.
"Tentu saja, kan? Untuk apa kalian berkumpul di sini? Hahaha." Kentara sekali nada ejekan dari Maito Gai.
"Kau juga ikut!" Bentak Tsunade.
"He?" Gai melongo.
"Kau, Uchiha, dan Uzumaki! Hanya aku, Hokage, dan beberapa staff yang sudah kami beri instruksi saja yang tidak ikut! Masa hal seperti ini saja kalian tak mengerti?" Tanya Tsunade sambil meletakkan kedua tangannya di samping pinggangnya.
"Kenapa tampangmu seperti itu? Kau kaget?" Tanya Tsunade.
"Eer... Iya, sedikit." Menurutmu?
Ada satu hal yang disetujui semua orang di situ; Tsunade tanpa sake benar-benar mengerikan.
.: oOo :.
Sakura POV
Aku tahu ada dewa yang mengutuk kehidupanku.
Apalagi salahku hari ini? Oke, kuakui aku memakan kue milik Ayah yang ada di kulkas, kuakui aku menyimpan uang lima ribu yang kutemukan di jalan, kuakui aku diam-diam mencoba parfum milik Hinata, kuakui... eem... semuanya! Tapi bukan itu masalahnya. Oh oke, kuakui aku salah. Aku menyesal!
Karena itu...
Makanya...
Jauhkan aku dari mereka.
"Berhenti menggerutu, Haruno! Kau memperlambat waktu." Kurasa kalian semua bisa menebak suara siapa ini, kan? Hanya ada satu makhluk di dunia ini yang sangat egois, tak bermoral, sok ganteng, besar mulut, dan semua sifat menjengkelkan lainnya yang ada, hanya dia.
"Cepatlah," ujar sang Uchiha Sasuke sambil menarik lenganku, membangunkanku dari posisi jongkokku di samping pohon.
"Sakura bisa berdiri sendiri!" Tak pernah kubayangkan akan datang hari dimana aku bisa setuju dengan perkataan Ino lagi seperti saat ini.
Aku sudah mendapat feeling tak enak saat akan mengambil kertas undian itu. Dan surprise! Benar saja, aku mendapat angka 3 dan sekelompok dengan dua orang yang paling ingin kuhindari.
Ino mendekati Sasuke, lalu menggandeng tangannya dengan mesra sambil terus saja tersenyum. Uchiha menepis tangan itu, dan menyelipkan aku di antara mereka, menjadikanku tameng bagi mereka. WOW. Sungguh pilihan yang bijak, Uchiha.
Kami bertiga lalu berjalan. Gah, aku benar-benar terlihat seperti obat nyamuk. Kenapa aku harus ada di tengah, mendengarkan Ino yang selalu berusaha menarik perhatian Uchiha. Dan Uchiha yang mengacuhkannya. Ah tidak, ia mulai menanggapi. Oh, Ino terlihat sangat senang. Uchiha tampak menyesal. Ew, Ino terus berusaha. Dan wow, kenapa aku seperti jadi seorang reporter? Oh Zzz.
Awalnya kami bertiga jalan berbarengan, namun perlahan-lahan aku memelankan langkahku, hingga akhirnya aku ada di belakang mereka. Toh, mereka tak sadar.
Gelap juga di dalam hutan. Sialan, sepertinya semua kelompok sengaja disebar ke tempat yang berjauhan, karena aku—kami—tak bertemu kelompok lain.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling hutan. Gelap sekali.
Nampaknya Tsunade-sama itu tipe orang yang perhitungan sekali. Bayangkan saja, tiap kelompok hanya diberi sebuah lampion, yang bahkan nyalanya sudah tak terlalu besar. Pelit sekali kan?
Sudah begitu, di disini dingin sekali. Sial sekali aku, hanya memakai kaos lengan pendek tanpa jaket. Untungnya aku memakai celana panjang, sehingga kakiku sedikit hangat. Tapi tanganku... sedingin es! Beruntung sekali baik Uchiha maupun Ino memakai jaket. Nasib mereka memang diliputi keberuntungan.
Aku mencoba mengamati tempat ini lebih seksama. Pemandangan lurus ke depan—hanya ada dua makhluk hitam kuning, ke samping—hutan nyaris angker, ke bawah—tanah ber cacing. Cih.. Tragis sekali nasib Haruno Sakura.
Ah! Biasanya pemandangan langit di malam hari indah, kan? Aku lalu mendongak ke atas.
Gelap.
Sial, rupanya langit pun tak berpihak padaku.
"Cepatlah, Haruno." Uchiha lagi-lagi ambil suara.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali.
Kenapa kau selalu bersikap kasar padaku?
Aku cuek saja, tak sudi di perintah olehnya.
"Kau bisa mendengarku, kan?" Uchiha memandangku sesaat, lalu menghela nafas.
Dasar kurang ajar!
Aku berjalan ke arahnya dan mengangkat kaki kananku ke atas, lalu menginjak kaki Uchiha sekeras yang aku bisa.
Dia beruntung sekali karena aku memakai sandal ber-hak rendah.
Mukanya yang dicetak kerut permanen di dahinya itu tak berkutik. Apa mungkin aku yang masih kurang kuat menginjaknya atau dia saja yang terlalu kuat? Atau mungkin kombinasi keduanya? Egh. Memikirkannya saja sudah membuatku sebal.
"Oke, oke! Pengganggu akan menghilang!" Di dorong oleh rasa emosi, aku berlari lebih jauh ke dalam hutan.
Sendirian.
Kau puas, Uchiha?
Bilang saja kau mau berduaan bersama Ino, dasar pengecut.
Sakura kembali merasakan perasaan aneh itu menyelip ke dalam hatinya.
Perasaan sakit hati.
Tidak suka.
Dan—
Sakura mempercepat langkahnya.
cemburu?
.: oOo :.
Normal POV
"Haruno!" Sasuke berteriak, jarang-jarang seorang Sasuke berteriak.
Terlambat. Sakura sangat pandai dalam bidang olahraga apapun, termasuk berlari. Sekarang ini sosok Sakura sudah tak terlihat, tertelan dalam rimbun kegelapan malam.
"Tch," Sasuke mengumpat pelan ketika kakinya tergesek ranting dedaunan kering, yang terasa seperti orang menusukkan pulpen di kakinya.
"Sasuke, sudahlah. Kalau kau pergi, kita semua akan terpencar. Lagipula ini sudah malam, baha—" Belum sempat Ino meneruskan kata-katanya, Sasuke menyelanya.
"Itu masalahnya. Dia kan penakut. Padahal sudah kusuruh ia cepat-cepat agar ia tak harus terlalu lama di sini. Tch." Dan sang Uchiha pun masuk lebih dalam ke hutan, hanya mengikuti kemana langkah kaki itu mau membawanya. Mengikuti naluri-nya.
Langkah kaki Ino terhenti, ia hanya memandang punggung Sasuke yang semakin menjauh dengan tatapan sayu.
.: oOo :.
Tau nggak, katanya –beep- itu paling sering ada di dekat pohon yang rimbun daunnya.
Tau nggak, katanya –beep- itu ada bergerombol di deket pohon kelapa lho.
Tau nggak, katanya –beep- itu selalu ada di tempat sepi.
Kenapa saat Sakura sedang sendirian, memori yang langsung terlintas di otaknya adalah perkataan teman-temannya soal makhluk yang tak kasat mata, alias… hantu.
Tubuh Sakura merinding.
Bagaimana jika perkataan mereka benar? Lagipula di sini gelap. Ah stop, Sakura. Berhenti mengeluh.
Dengan mencoba menguatkan hati, Sakura meneruskan langkahnya. Ia memejamkan matanya ketika mengambil sebuah dahan pohon tua yang sudah hampir terpisah dari inangnya. Dalam hati, Sakura merapal segala jenis doa yang terlintas di pikirannya, sambil berusaha meyakinkan diri bahwa jika ia membuka mata, yang ia jumpai bukanlah sesosok wajah asing berkulit putih, mata merah yang memelototi dirinya, lalu membawa dirinya ke—STOP.
Sakura menyerah, ia takut dengan imajinasinya sendiri. Ia menghempaskan dirinya di tanah, bokongnya geli ketika ranting-ranting pohon kering seolah menusuk-nusuk dirinya.
Di sini nggak mungkin terlalu jauh dari villa. Paling lama pasti hanya setengah jam.
Mungkin aku harus berteriak? Mungkin saja yang menjawabku adalah makhluk itu.
Mungkin aku harus pura-pura mati? Jangan bodoh, tak ada beruang disini…. kan?
Aku lapar. Ah, itu bukan solusi.
Sakura membuka matanya perlahan-lahan, namun menutupnya kembali karena pemandangan di sekitarnya begitu gelap. Ia takut.
Baru sekali ini ia berada di tengah hutan sendirian, tanpa penerangan, padahal hampir tengah malam.
Tapi rasanya dulu ia pernah merasakan perasaan seperti ini. Tapi kapan?
Ah, kepalanya kembali sakit seakan ia mencoba mengingat sesuatu.
"Sacchan… Jangan sedih."
Suara itu lagi. Suara siapa itu? Perlahan-lahan, potongan-potongan memori yang terlupakan itu melintasi benak Sakura, membuatnya seolah menonton sebuah film yang disetel sangat cepat, hingga hanya beberapa kejadian saja yang bisa ditangkapnya.
Memori tentang keluarganya masih utuh, memori tentang keluarga yang hangat. Memori tentang bunga Lavender. Memori tentang dirinya yang menangis. Memori tentang… darah? Darah siapa?
Walaupun hutan tempat Sakura sekarang ini berpijak sangat gelap dan dingin, jauh di dalam diri gadis itu, sebuah pintu memori yang terkunci rapat hingga saat ini mulai sedikit bergesek terbuka, menyeret sang pemilik dalam kegelapan dan perasaan sedih yang sangat mendalam.
"…-no! Haruno!" Ah, suara siapa ini? Kenapa suaranya terdengar begitu cemas?
Dan kehangatan kembali datang, membawa kembali sang gadis menuju realita.
Sakura merasakan ada dua buah tangan ada di pundaknya, bukan miliknya, karena tangan itu lebih besar dari tangan mungilnya.
Walaupun merasakan kehangatan dair kedua tangan itu, pikiran Sakura sudah penuh dengan asumsi-asumsi negatif mengerikan, seperti jika saat ini yang ada di depannya itu makhluk yang akan segera menyeretnya ke…—hah, Sakura terlalu takut, hingga dia hanya bisa menelungkupkan dirinya dan membentuk sebuah bulatan seperti sebuah bola besar.
"Haruno, buka matamu." Uchiha? Pikiran itu dibuangnya jauh-jauh karena Sasuke saat ini pasti sedang bersama Ino.
"Haruno." Nada bicara sang pemuda melembut, namun sang gadis masih menolak membuka matanya.
Hening beberapa saat. Hanya suara jangkrik bersahut-sahutan yang tertangkap indra pendengar keduanya.
Sakura merasakan ada sebuah tangan yang mengelus rambutnya dengan lembut, begitu lembut seakan sang pemilik tangan menganggap Sakura begitu rapuh, begitu mudah hancur. Sakura tak suka. Ia tak lemah.
Sakura membuka kedua matanya.
"Ah, syukurlah." Uchiha Sasuke menarik kembali tangannya dari kepala Sakura, dan memandang gadis itu dengan tatapan mata yang tak bisa Sakura artikan.
"Apa?" Sakura memandang Sasuke dengan pandangan mata curiga, penuh selidik.
Di bawah cahaya remang-remang HP milik Sasuke yang kini merupakan satu-satunya sumber cahaya di situ, keduanya saling bertukar pandang. Onyx dan emerald bertemu, seolah mencoba menyelami lebih dalam pikiran satu sama lain.
Sakura tak sadar mata emerald-nya kini bisa terlihat tertembus cahaya melewati kacamatanya.
"Mau apa kau ke sini?" Tanya Sakura setelah beberapa saat.
"Jalan-jalan." Padahal keringat masih jelas terlihat di keningnya, membuat jalan kecil menyusuri telinganya, dan akhirnya terjun bebas tertarik gravitasi ke bawah.
"Ayo bangun." Sambung Sasuke. Saat cowok tampan itu hendak menegakkan tubuhnya, tangan Sakura refleks menarik baju Sasuke.
"Ah," Sakura menarik kembali tangannya ketika tersadar akan apa yang dilakukannya.
Hening.
Sasuke duduk lagi dan mensejajarkan matanya dengan mata Sakura, mengamati pemilik wajah itu. "Takut, ya?"
"Nggak." Mana mungkin Haruno Sakura mengatakan takut di depan orang ini, kan?
"Tanganmu gemetaran." Sakura merutuki tajamnya mata sang pemuda, bahkan dalam kondisi penerangan yang seperti ini. Sakura bersyukur ia memakai kacamata tebal, jika tidak saat ini pemuda bermata onyx itu sudah melihat mukanya yang kebingungan.
"Bukan urusanmu." Setelah Sasuke menyebut-nyebut tangannya, akhirnya Sakura kembali menyadari betapa menusuknya udara dingin yang terus menyerang kulitnya malam itu. Sakura menyilangkan kedua tangannya dan menggosok-gosok lengannya, mencari sedikit kehangatan.
Tanpa disangkanya, Sasuke menyerahkan HP miliknya itu ke tangan Sakura dan menggumamkan, "Pegang dulu."
Dan beberapa detik kemudian, jaket berwarna abu-abu itu mendarat di punggung Sakura, mengusir udara dingin yang berusaha untuk masuk. Sakura bisa merasakan nafas Sasuke di lehernya ketika pemuda itu mengalungkan jaket miliknya sendiri ke tubuh Sakura. Wajah Sakura memerah ketika mencium bau Sasuke dari jaket yang dipakainya itu. Harum yang membuatnya nyaman, mengusir rasa takut dari hatinya.
"Kau memang masih anak kecil." Sasuke menghela nafas, mengambil kembali HP-nya dan menyinari sekitar mereka untuk mengetahui dimana mereka sekarang, mencoba menerka jalan mana yang harus dipilih.
Sakura menggelembungkan pipinya. "Berhenti menyebutku anak kecil!"
"Heh. Aku kan memang lahir lebih dulu daripadamu."
"Hoo… Itu sebabnya di umur segini kau sudah punya keriput permanen di dahimu?"
Permainan lempar kata itu terus berlanjut. Burung malam yang saat itu berkoar-koar suaranya nyaris tak tertangkap indra pendengaran mereka. Suara gesekan antara rerantingan serta dedauan dengan alas kaki mereka yang kini berjalan selaras seperti menghasilkan irama nada tersendiri, dan saat keduanya berjalan bersebelahan, sang rembulan yang sebelumnya tertutup oleh awan-awan colombus sehingga cahayanya teredam kini cahayanya kembali bersinar terang, menyinari jalan yang tengah Sasuke dan Sakura tempuh.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, waktu seakan mengalir begitu saja, hingga akhirnya mereka tiba di tempat itu.
Tempat dengan berjuta bintang di atasnya.
Kilauan cahaya kelap-kelip itu memukau mereka, membuat keduanya mensyukuri kebesaran Sang Pencipta yang telah menciptakan pemandangan seindah ini.
Dan diseluruh lahan luas itu, dengan disinari oleh pantulan cahaya dari atas, Sasuke dan Sakura baru menyadari, sekarang yang ada di sekitar pergelangan kaki mereka bukan lagi dedaunan dan ranting kering, melainkan ratusan tumbuhan clover.
Mereka telah menyelesaikan perintah.
Cari dan bawa sebuah daun clover.
Yang mereka temukan bukan hanya satu, melainkan ratusan.
"Indah sekali!" Ucap Sakura. Sasuke yang ada di dekatnya menganggukkan kepalanya.
Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, Ino datang menyusul mereka, seluruh pakaiannya kotor, penampilannya berantakan. Dia menerobos di antara mereka. Ino segera memetik sejumput tumbuhan itu sampai ke akarnya karena emosi, lalu memaksa Sasuke segera kembali bersamanya.
"Lepaskan." Ujar si pemuda.
Ino tak menanggapinya, hingga akhirnya mereka bertiga kembali ke pantai dekat villa, sama sekali tak ada kata terucap dari mereka selama perjalanan.
Ino melihat ke arah Sakura. "Ternyata kau masih berani mengejar-ngejar Sasuke, eh?"
Sakura menaikkan alisnya dari balik kacamatanya. "Hah? Aku bukan kau, Ino."
"Lalu kenapa kau menggandeng tangannya? Kau masih suka padanya, Sakura?" Tanya Ino dengan nada mencibir.
Sasuke menatap Sakura dan Ino bergantian. Onyx itu tertutup sesaat.
Sebelum Sakura sempat meneriakkan kata 'Tidak!' dengan lantang, Sasuke mendahuluinya.
"Salah." Ucap Sasuke pelan.
Kedua gadis di dekatnya melihatnya dengan tatapan mata bingung.
Sasuke menatap mata Ino sekilas, ia lalu kembali menetapkan tekad, dan matanya beralih ke gadis berambut merah jambu di depannya. Sasuke memandang Sakura dengan pandangan mata yang begitu serius dan dalam, sehingga Sakura sedikit bergidik saat bertemu pandang dengannya.
"Salah, bukan Saku—Haruno yang menggenggam tanganku lebih dulu, tapi aku."
Ino dan Sakura tak berkomentar.
Sasuke menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan, "Aku yang menyukainya. Aku, Uchiha Sasuke, menyukai Haruno Sakura."
Semua terdiam.
Dunia seolah berhenti bergerak, waktu seolah berhenti mengalir. Sakura menatap mata Sasuke penuh selidik.
Seandainya Sakura mendengar kata-kata ini satu tahun yang lalu, mungkin saja situasinya akan berbeda. Mungkin saja ia akan menangis karena haru. Menelan kata-kata Sasuke bulat-bulat. Mereka akan pergi ke Lala Land. Seperti dalam novel-novel percintaan yang pernah Sakura baca. Tapi itu dulu.
Sakura sudah menganggap Sasuke musuh abadinya.
Sakura menampar Sasuke, keras. "Lelucon macam apa ini, Uchiha?"
Dengan pandangan mata menusuk, Sakura membalikkan tubuhnya, meninggalkan Sasuke dan Ino yang memandangnya sampai sosoknya itu menghilang.
"Apakah ini berarti kau membatalkan janji kita?" Tanya Ino dengan nada emosi yang tinggi.
Sasuke menatap mata aquamarine itu dengan sama menantang. "Kau tau kan apa yang juga bisa kulakukan?"
Sasuke memandang Ino tak suka.
Mata Ino memerah. Bayangkan saja, orang yang kau sukai menatapmu dengan penuh kebencian. Apa yang kau rasakan? Sakit.
Tatapan mata itu…
Seperti satu tahun yang lalu, saat Sasuke memarahi Ino habis-habisan setelah Ino mendorong Sakura dan membuat gadis berambut merah muda itu koma di rumah sakit.
.: oOo :.
Waktu berjalan dengan cepat, dan kini Sakura kembali pada aktivitasnya semula. Belajar. Sakura kembali menguap lebar untuk kesekian kalinya hari ini. Ia bosan karena jawaban matematika yang ia hitung tak ada di pilihan jawaban yang disediakan dan akhirnya menyerah.
"Kau itu bodoh ya, Haruno? 3 dikali 2 itu 6, bukan 5." Bisik Sasuke setelah melihat sekilas hitungan Sakura.
"Kau itu bodoh ya, Uchiha? Tak ada fungsi logaritma berupa games HP." Cibir Sakura balik. Sasuke hanya mengangkat bahu sambil kembali asik dengan HP-nya, tak peduli akan sensei yang memelototinya sedari tadi. Toh ia memang secara teknis sudah menguasai semua materi pelajaran yang diberikan sensei-nya itu. Biasa, satu dari sejuta keberuntungan keluarga Uchiha, menurut Sakura.
Sakura mendengus keras. Sasuke memang identik dengan badut. Eh salah, maksudnya identik dengan HP. Sejak dulu—sejak Sasuke diberikan HP oleh kedua orangtuanya ketika mereka masih SD—Sasuke tak pernah lepas dari HP. Entah saat ia sedang mengobrol, saat pelajaran, atau saat sedang makan di kantin.
Hanya Tuhan yang tau mengapa mata Sasuke tak juga rusak akibat sinar radiasi.
Sakura mengalihkan pandangannya dari soal yang tak kunjung bisa dipecahkannya itu, ia memandang pemuda itu dari celah matanya. Sejak kejadian 'lelucon pengakuan' itu, Sasuke tak menunjukkan adanya perubahan sikap, tetap cuek dan menyebalkan di mata Sakura. Sakura sendiri tak mau ambil pusing, ia tak peduli. Ia mendengus pelan. Apa yang kau harapkan sih, Sakura?
Gadis itu menerawang memandang langit biru, tak menyadari mata onyx yang kini gantian menatapnya dengan lekat.
Ino mematahkan pensil yang digenggamnya menjadi dua, kedua tangannya gemetar. Ia benci Sasuke yang selalu menatap Sakura dengan pandangan mata lembut saat Sakura tak melihatnya. Ino tau, mungkin Sasuke sendiri tak sadar bahwa pandangan matanya melembut saat melihat Sakura.
Kenapa, Sasuke? Bukankah Sakura itu jelek? Bukankah dulu kau menyukai Sakura karena wajahnya?Kenapa… bukan aku?
Ino kembali menatap Sasuke dan Sakura yang sepertinya kembali mengejek satu sama lain. Ino tersenyum miris.
Atau mungkin saja…
Barangkali, memang bukan takdirku bersamamu, eh, Sasuke?
Ino memandang ke arah papan tulis dengan pandangan kosong. Sejak dulu, dirinya selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, karena ia anak tunggal dari orangtuanya yang kaya raya, tinggal tunjuk akan dibelikan.
Tapi ada satu hal yang tak dapat di beli, yaitu perasaan.
Nampaknya sang nona Yamanaka belum pahal betul akan hal ini.
.: oOo :.
Bel pelajaran berdentang keras, menandakan pergantian jam pelajaran. Sepuluh menit setelahnya, Hatake Kakashi masuk ke dalam kelas sambil tersenyum inosen sambil minta maaf karena terlambat. Semua murid memutar kedua bola mata mereka. Kakashi-sensei memang sudah terkenal akan jam mengajarnya yang selalu berkurang karena ia adalah seorang pengguna jam karet, alias selalu datang terlambat. Entah alasannya karena ia ketiduran, lupa kalau ia mengajar, bahkan alasan konyol seperti ia terkena diare sehingga mencret pun sudah dipakainya.
Kali ini, alasannya karena jam wekernya mati, sehingga ia terlambat. Para murid tak percaya, namun diam saja. Ralat, mereka menatapnya dengan pandangan mata 'Guru konyol'.
Tak suka dengan reaksi muridnya, Kakashi yang menggantikan Kurenai—ia kembali ijin—mengajar pelajaran Bahasa pun menyuruh muridnya membuat karangan bebas dalam sepuluh menit dan langsung maju membacakannya, dan jika jelek, mereka akan disuruh membuat huruf kanji setebal 30 halaman dan tak boleh ada huruf yang sama. Melihat wajah panik dan ketakutan muridnya, Kakashi tersenyum puas dari balik masker yang menutupi separuh wajahnya.
Dasar setan.
Itulah pemikiran sebagian besar siswa di kelas XI A 1 yang kini mulai menyobek selembar kertas, ada pula yang sudah menulis, bahkan beberapa ada yang sudah meminjam tip-ex karena salah menulis.
Ino yang sebelumnya terlihat hanya memainkan pulpen di tangannya dan tidak ada satu kata pun di kertas miliknya itu tiba-tiba menulis dengan kecepatan luar biasa setelah sebuah ide tercetus di otaknya.
Hei Ino, bukankah satu menit sebelumnya kau sudah mulai berpikir untuk melepaskan Sasuke dan Sakura? Bukankah kau sudah mulai berpikir untuk menyerah? Kalau begitu, bisakah kau jelaskan maksud dari… seringai-mu itu?
.: oOo :.
Kakashi memanggil nama murid di kelas itu secara acak. Sudah lebih dari setengah murid di kelas itu yang ia panggil. Karangan muridnya itu ternyata bervariasi, mulai dari makanan, hobi, keluarga, hingga cinta. Mereka bercerita seperti sedang curhat saja. Kakashi menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan anak zaman sekarang yang selalu berwajah tanpa dosa.
Like teacher, like students, duh.
"—Jadi, kalau kau mau jadi temanku, kau harus memastikan kau tak akan pernah meminta makananku! Dan aku tak akan menolak kalau kalian memberikanku makanan. Aku sih suka makan apa saja, seperti mi, coklat, kue, ataupun—"
Kakashi terkekeh pelan mendengarkan celotehan muridnya. Ia mulai meragukan apakah murid-murid di sini benar-benar murid SMA.
"—Aku ingin bisa menyicipi semua jenis rasa yang ada selagi aku masih muda, sehingga nantinya ketika aku dewasa aku bisa menjadi seorang koki yang hebat dan membuat orang-orang bahagia saat makan masakanku kelak."
Kakashi tersenyum. Yah, mereka memang anak didikku.
"Bagus sekali, Choji-kun." Kata Kakashi ketika muridnya yang gemuk itu menghampirinya dan menyerahkan kertas karangannya. Kakashi memang tak langsung mengumpulkan kertas karangan itu, dia memanggil nama mereka, dan baru setelah mereka membacakan karangan mereka, kertas itu dikumpulkan ke dirinya.
"Selanjutnya—" Kakashi menyapu pandangannya ke seluruh kelas, beberapa murid masih curi-curi kesempatan memperbaiki dan mengganti kata-kata dalam karangan mereka.
"—Uchiha Sasuke." Matanya berhenti pada sang Uchiha yang menatapnya dengan pandangan mata mencela.
Sasuke tak bergeming dari tempatnya duduk, ia cuek saja duduk di kursi kayunya itu.
Sampai Haruno Sakura menendang kursinya dan membuatnya hampir jatuh dengan posisi kepala rambut ayamnya yang lebih dulu menghantam lantai.
Sasuke mendecak kesal ke arah Sakura yang dibalas Sakura dengan hentakan tangan yang mengisyaratkan supaya ia pergi. Sasuke menyambar pulpen yang sedang dipakai Sakura dan menuliskan beberapa kalimat di kertasnya yang masih putih polos. Setelah selesai, ia menarik rambut kepang Sakura dan berbisik di telinganya, "Kau akan bayar ini, Pink."
"Oh coba saja." Sakura menepiskan tangan Sasuke dari rambutnya dan mendelik dari balik kacamata tebalnya.
Walaupun dari dekat kentara sekali aura permusuhan mereka, tapi hal itu berbeda dengan pandangan mata teman-teman mereka.
Bagi mereka, jika dibuat slow motion, kejadian tadi tampak seperti Sasuke sedang melamun sehingga Sakura menyadarkannya, namun karena gugup Sasuke malah terlempar. Lalu Sasuke meminjam pulpen Sakura sekedar untuk menarik perhatian Sakura, dan keduanya menepiskan tangan karena terlalu malu. Sang 'pangeran' lalu berbisik di telinga sang 'putri' dan membuat wajah si 'putri' bersemu merah. Kedua sejoli itu lalu saling berpandangan lama dengan wajah 'putri' semerah tomat dan 'pangeran' tersenyum kecil memandang gadis di depannya, seolah waktu berhenti mengalir.
Seandainya saja murid-murid di kelas itu tak terlalu banyak menonton sinetron, mungkin saja mereka masih bisa membedakan ilusi dan kenyataan. Kenyataannya, Sasuke sadar sepenuhnya saat didepak paksa Sakura dari kursinya, begitu pula Sakura. Mereka menepiskan tangan bukan karena malu, tapi karena tak suka bersentuhan lama-lama. Sakura bukan bersemu merah karena Sasuke berbisik di telinganya, ia kesal pada Sasuke karena seenaknya memakai pulpen miliknya. Mereka bukan saling menatap, mereka saling memelototi. Wajah Sakura semakin memerah karena ia semakin jengkel, dan Sasuke bukan tersenyum, ia menyeringai seolah mengejek Sakura.
Akhirnya, setelah 'menatap' sang 'putri' untuk terakhir kalinya, pemuda itu berjalan ke depan kelas, sambil sesekali merutuk pelan ke arah sensei-nya itu.
Sasuke mendengus keras sebelum mengangkat kertas di tangannya itu dan membacakannya dengan nada datar sambil menatap tajam Kakashi.
"…Heh. Tugas konyol apa ini? 'Menulis bebas' katamu? Sayang sekali, aku tak tertarik. Tapi kurasa aku butuh nilai darimu walaupun terpaksa. Jadi aku akan menceritakan tentang dirimu.Lebih baik kau membeli masker baru, maskermu itu kurasa sudah mulai mengeluarkan bau aneh. The End."
Kakashi cengo, tak tau harus bersikap seperti apa. Sementara para murid perempuan di kelas berteriak histeris. Yah, apapun yang Uchiha Sasuke lakukan di mata mereka memang selalu spektakuler, walaupun Sasuke hanya berdiri di situ tanpa ekspresi.
"Apa-apaan ini, Sasuke-kun?" Kakashi tersenyum, namun auranya berbeda. Lebih menakutkan.
Sasuke mengangkat kedua bahunya, lalu menyeringai kecil. "Pendapatku tentangmu. Atau kau mau mengatakan kau tak menerima pendapatku tentangmu yang seorang guru, sensei?"
Mereka kembali beradu mata dengan sengit.
"…Duduklah." Kakashi menghela nafas. Kakashi sekarang mengerti mengapa Uchiha dan licik sering disandingkan dalam satu kalimat.
Pembacaan karangan muridnya itu terus berlanjut, sampai akhirnya…
"Yamanaka Ino." Kata Kakashi sambil melirik sekilas gadis berambut pirang panjang itu.
Tanpa banyak basa basi, Ino berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan sambil menenteng selembar kertas folio yang telah terisi goresan-goresan tinta yang ditorehkannya di situ.
Ino berdehem pelan sambil mengangkat kertasnya, dan membacanya pelan namun cukup keras untuk didengar orang-orang di kelas itu.
"Dahulu kala, ada sepasang suami istri kelinci yang hidup dengan bahagia. Sampai suatu saat, mereka mempunyai seorang anak. Bayi kecil mereka ini berwarna hitam, tak seperti mereka yang berwarna putih. Sejak itu, kehidupan mereka memburuk."
Ino mengambil nafas sambil melirik ke arah Sasuke yang nampaknya sudah bisa menebak isi ceritanya. Ia melanjutkan.
"Suatu hari, saat ulang tahun pernikahan mereka, sang ayah membawa mereka ke puncak gunung. Sang kelinci hitam kecil itu sangat bodoh, ia tak mendengarkan larangan sang ayah yang melarangnya masuk ke dalam hutan. Ia pergi diam-diam. Akibatnya, ia tersesat. Dasar kelinci dungu. Ia pergi karena ingin mencari buah plum, buah yang disukai ibunya. Hanya karena hal sepele itu, ia masuk ke dalam jebakan pemburu. Sang ibu yang menemukannya pertama kali menyelamatkannya, namun dirinya sendiri malah terjebak dalam perangkap itu menggantikan anaknya. Kelinci hitam itu menurut saja ketika disuruh ibunya tak cemas dan mencari ayahnya. Ia pergi meninggalkan ibunya. Saat kembali bersama ayahnya, perangkap besi itu telah kosong, kembali terbuka dan menyisakan bercik darah yang masih baru. Sang anak yang tak mengerti terus saja bertanya kepada ayahnya tanpa menyadari bahwa dirinya yang menyebabkan sang ibu tiada. Mereka kemudian hidup dalam dunia yang ambigu."
Ino menekuk kertasnya menjadi dua lalu menyerahkannya ke Kakashi, lalu kembali duduk di kursinya, otaknya sibuk berpikir langkah apa yang sebaiknya diambil selanjutnya.
Rasa penat kembali menyerang kepala Sakura. Entah hanya ilusinya atau bukan, ia merasakan Sasuke menatapnya dengan pandangan… cemas?
Kenapa rasanya Sakura kenal benar cerita barusan?
.: oOo :.
"Haruno." Sasuke mengikuti Sakura keluar kelas setelah bel pelajaran selesai berdentang.
"Hn?" Sakura benar-benar sedang nggak mood menghadapi Sasuke. Ia ingin merilekskan kepalanya di atas bantal di kamarnya sesegera mungkin.
Dari jauh, murid-murid cewek hanya bisa mencibir. Mereka tak pernah bisa mengerti alasan sang pangeran sekolah yang terkenal dingin itu bisa selalu ada di samping gadis yang menurut mereka adalah gadis terjelek di sekolah. Sasuke selalu memperhatikan Sakura—mereka sadari itu—tapi sampai sekarang mereka tak juga mengerti apa yang dilihat Sasuke dalam diri Sakura.
Sakura tak cantik, tak pintar, ataupun bukan seorang idola.
Namun karena Sasuke nampaknya nyaman di sisi Sakura, para gadis itu akhirnya pasrah saja.
Biarlah, asal dia bahagia.
Itulah pikiran mereka.
"Ino-chan, jangan berwajah seperti hampir menangis dong!" Ujar Tenten. Ino mengalihkan pandangannya dari sesosok pemuda berambut hitam dan gadis berambut pink. Ia menatap lapangan sekolah mereka yang hijau sambil menghempaskan dirinya di sebuah bangku panjang tak jauh dari situ.
"Sepuluh tahun." Ujarnya pelan.
"Ha?" Tenten duduk di sampingnya sambil menatapnya penuh tanda tanya.
Ino tak menjawab.
Sepuluh tahun sudah kita bertemu.
Sepuluh tahun sudah aku menyukaimu.
Dan selama sepuluh tahun jugalah aku bertepuk sebelah tangan.
Ino membenamkan wajahnya di dalam kedua tangannya. Rasanya pedih mengintip masa lalu. Pedih rasanya mengingat orang yang disukai menyukai orang lain, terlebih orang yang kau kenal baik. Ino hanya bisa menyaksikan Sasuke dan Sakura saling tertarik satu sama lain. Ia hanya bisa menjadi saksi hidup cinta yang mulai hidup di antara mereka. Sampai akhirnya ia berontak. Ia lelah terus tersenyum palsu. Kenapa bukan dirinya? Kenapa lagi-lagi Sakura? Ia cemburu pada takdir mereka. Dan cemburu selalu berakhir dengan kebencian. Sedangkan kebencian selalu berakhir dengan perbuatan drastis—atau orang biasa menyebutnya dengan kejahatan. Ia sakiti Sakura. Sasuke kembali melindunginya, bahkan setahun yang lalu ia bersedia menjadi pacarnya dengan syarat Ino tak menyentuh Sakura, atau lebih tepatnya memberitahu kenangan gadis itu yang hilang dari ingatannya. Ino kira, ia bisa membalikkan perasaan sang Uchiha itu ketika mereka menjadi sepasang kekasih. Ternyata lagi-lagi tebakannya salah. Sama saja. Sasuke tak menggubrisnya, matanya hanya tertuju pada Sakura. Bahkan setelah kecelakaan yang membuat wajah Sakura menjadi jelek pun, keadaan tak berubah.
Dan sekarang, ia sudah tak bisa berbalik. Semua sudah kepalang basah.
Dan ia tak ingin jatuh sendirian.
.: oOo :.
"Oke, oke. Aku yang salah. Puas kau?" Sakura mengambil penghapus dari tempat pensilnya. Sementara pemuda di dekatnya hanya menyeringai kecil seakan mengatakan 'apa kataku'.
Sekarang ini mereka berdua sedang berada di ruang rekreasi di rumah keluarga Uchiha—tidak, tidak, jangan berpikiran mereka berduaan karena sedang berpacaran, karena Sakura akan langsung mengantarmu ke gerbang ke neraka kalau kau berani memikirkannya—mereka berdua sedang mengerjakan tugas kimia. Mereka berdua duduk bersebelahan, jadi mau tak mau mereka sering mendapatkan tugas kelompok bersama.
Sakura tak menyadari Sasuke yang diam-diam menatapnya. Bagi Sasuke, melihat wajah Sakura dengan ekspresi wajah campuran antara marah, malu, dan kebingungan adalah hiburan tersendiri.
Tik.. Tik..
Waktu terus mengalir. Mereka sudah mengerjakan tiga puluh dari lima puluh nomor yang ada—Sasuke mampu mengerjakan 20 dari 30 nomor dalam waktu singkat. Dan hal ini tak membuat Sakura senang. Ia mengacak-acak rambutnya karena frustasi, dan justru membuat kepangannya semakin berantakan. Ia membenarkan posisi kacamatanya yang agak miring.
"Mau kemana kau?" Tanyanya ketika Sasuke beranjak berdiri dari kursi.
"Mandi." Sakura melirik jam besar di ruang berwarna serba orange itu. Sudah jam tiga sore.
"Aku pulang saja." Sakura mulai memasukkan barang-barangnya, namun Sasuke menghentikannya.
"Nanti kuantar." Ujarnya singkat, dan tanpa menunggu jawaban Sakura, ia pergi melesat ke kamar mandi.
Sakura bangkit dari kursi mahoni di situ dan melihat berkeliling. Ia tak mengeluh. Toh kalau menunggu ia tak perlu mengeluarkan ongkos pulang, kan?
Sakura terus berputar-putar sambil sesekali berhenti di beberapa tempat yang menarik perhatiannya. Sampai akhirnya kakinya membawanya ke tempat itu. Pintu kayu berukiran gambar elang yang besar. Warna pintu coklat yang sama. Lukisan kecil dedaunan di kanan kiri pintu yang sama. Kamar yang sama.
Kamar Uchiha Sasuke.
Entah terdorong oleh hal apa, Sakura memberanikan masuk ke ruangan yang sudah lama sekali tak ia kunjungi itu.
Ruangan itu masih sama seperti dulu. Kasur berukuran King Size berwarna biru doker di tengah ruangan. Plasma TV lengkap dengan PS dan kaset game yang sedikit berantakan. Ruangan dengan warna dinding biru langit yang indah, disertai gambar-gambar awan, pohon, serta laut yang terlalu nyata untuk disebut sebuah wallpaper kamar. Sakura berjalan pelan menuju cermin besar di samping meja tulis di kamar itu. Bayangan dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala terpantul dengan sempurna.
Sakura menarik ikat rambutnya, membiarkan kepangan itu terurai. Rambut berwarna pink yang tampak mencolok namun indah. Ia mengepang ulang kepangannya yang tadi telah kusut. Setelah selesai, mata Sakura mendarat pada boneka kecil berbentuk wajah Sasuke yang tampak chibi di atas meja. Itu hadiah ulang tahunnya untuk Sasuke beberapa tahun yang lalu. Kalau Sasuke membencinya, kenapa barang pemberiannya tak dibuang saja? Sakura mendengus.
"Kau yang memulai, aku yang mengakhiri. Ironis." Sakura mengambil boneka itu. Memori lama kembali mengalir. Sebuah rasa yang sudah lama Sakura kunci jauh di dalam hatinya sedikit mengalir keluar.
Sakura menggelengkan kepalanya, menarik nafas, kemudian meletakkan boneka itu. Matanya kembali menjelajah meja belajar itu. Tumpukan buku dengan berbagai macam sampul tersusun rapi. Sakura mengambil satu buku, dan sedikit kaget mendapati semua soal di situ sudah dikerjakan. Dia buka buku lain, lain, dan lainnya pun sama saja. Di semua buku Sasuke sudah ada jejak tulisannya, baik itu berupa coretan-coretan, penggaris bawahan bab-bab yang penting, serta ringkasan materi yang di tulis tangan. Tentu saja, isinya bukan hanya berkisar pada pelajaran sekolah, namun pelajaran untuk kelas di atas mereka, serta ilmu tentang perusahaan dan saham.
Sakura tersenyum kecil. Ternyata sikap Sasuke yang ini tetap tak berubah; dia seorang pekerja keras.
Sakura beralih dari atas meja menuju laci-lacinya. Tanpa ia sadari, ia menikmatinya. Baginya, lucu juga mengintip sisi lain Sasuke.
Dan di laci terbawah di meja itu, Sakura menemukannya. Buku bersampul warna abu-abu yang sejak SD selalu Sasuke bawa, namun tak pernah diperlihatkannya ke orang lain. Bahkan dulu Sakura-pun tak diijinkan mengintip halaman pertama buku itu. Saat Sakura hendak membukanya, pintu kamar itu terbuka. Sasuke mendapatinya ada di kamarnya tanpa ijin. Uh-oh.
"Buku itu..." Sasuke dengan cepat menyambar buku tebal itu dari tangan Sakura.
Sasuke menatap Sakura dalam. "Kau melihatnya?"
"A-apa?"
"Kau buka tidak?"
"Belum sempat, kau masuk saat aku hampir membukanya." Sakura menjawab jujur sambil menatap Sasuke. Sakura belum pernah melihat Sasuke sepanik ini.
.: oOo :.
"Ng… Makasih." Sakura amat sangat canggung mengucapkan terima kasih pada Sasuke. Mulutnya kelu. Tapi Sasuke sudah mengantarkannya, dia harus berterima kasih.
"Hn," Sasuke tak lekas pergi dengan motornya, ia memastikan Sakura sudah masuk ke rumahnya terlebih dahulu.
Saat Sasuke hendak memacu motornya, ia mendengar ayah Sakura memanggilnya dan menyuruhnya mampir sebentar.
"Terima kasih sudah mengantarkan Sakura ya, Sasuke." Ujar Takano sambil tersenyum, sementara Sakura menghidangkan teh kepada mereka.
"Bukan masalah, Paman." Jawab Sasuke.
Takano lalu memulai obrolan-obrolan singkat, berusaha mendekatkan kembali putrinya dan pemuda Uchiha itu. Sampai akhirnya, Sakura menanyakan hal yang sudah berhari-hari ini ingin ditanyankannya.
Ia mempunyai asumsi-asumsi dalam pikirannya.
"Ayah…" Sakura memulai sambil meneguk pelan teh miliknya.
"Hm?"
Sakura meletakkan gelas teh-nya. "Apa yang sebenarnya terjadi saat aku berusia tujuh tahun?"
Hening.
"Apa yang kau bicarakan?" Takano menyeruput teh miliknya.
"Ayah tau maksudku." Jawab Sakura tenang. Dia tak sebodoh itu sampai tak sadar ada sesuatu yang terjadi—atau disembunyikan. Dia harus tau.
Sejak dulu, ayahnya tak pernah banyak bicara soal apa yang terjadi pada tahun itu. Dan Sakura ingin tau.
"Sakura…"
Sasuke menatap Sakura dalam diam. Tubuh gadis itu bergetar, namun sorot matanya tampak tegar. Sasuke menghela nafas.
Ia bertaruh pada dirinya sendiri. Apa kau akan menangis?
" Ceritakan saja, Paman." Sasuke angkat bicara dan menatap ayah Sakura itu.
"Sasuke?" Pria berambut hitam itu memandang Sasuke tak mengerti. Ia dan Sasuke dulu sudah berjanji tak akan mengungkit-ungkit soal wanita itu setelah melihat Sakura kecil yang depresi berat.
"Sakura berhak tau." Sasuke menatap mata Takano dalam. Sakura sedikit merinding nama kecilnya dipanggil Sasuke.
Takano menatap Sasuke dan Sakura bergantian. Dia menarik nafas panjang.
Kemudian di ceritakannya tentang kisah itu.
Tentang Maria, istrinya yang telah tiada. Enam tahun lalu, saat Sakura berusia tujuh tahun, keluarga mereka pergi berlibur di puncak gunung. Saat itu, menurut Takano, ia dan Maria lalai dan membiarkan Sakura berjalan sendirian ke dalam hutan, padahal hari sudah gelap. Sakura tersesat. Maria dan Takano panik dan mencarinya secara terpisah agar cepat. Maria menemukan Sakura, namun mereka berdua terpeleset tebing dan jatuh ke jurang. Saat ditemukan, semua sudah terlambat. Maria meninggal karena melindungi Sakura.
Sakura menitikkan air mata. "Maaf… Maaf…"
Ternyata begitu. Sekarang semua ingatannya kembali. Dia ingat, saat itu ia menyelinap dari vila demi mencari bunga lavender, bunga kesukaan ibunya yang pernah ia lihat di dalam hutan. Ia ingat suara siapa yang akhir-akhir ini selalu terngiang di kepalanya. 'Sacchan, jangan menangis. Semua akan baik-baik saja.' Itu perkataan yang terus menerus di ulang ibunya ketika mereka terperangkap di dalam bebatuan dan tanah saat kecelakaan itu. Darah ibunya yang menghangatkannya ketika itu. Tubuh ibunya yang melindunginya saat itu. Semua salahnya. Andai saja ia tak sok tau, semua tak akan begini.
Ia sekarang paham maksud cerita Ino. Itu ejekan untuknya yang tak kunjung sadar akan apa yang sebenarnya terjadi.
Kami-sama, ialah penyebab ibunya meninggal.
"Sakura, dengarkan ayah." Takano memeluk putrinya itu. Sakura tetap menangis.
Ia melanjutkan. "Sebenarnya, Maria itu tubuhnya lemah. Umurnya di-vonis tak akan lebih dari tiga tahun lagi karena jantungnya yang lemah ketika ia menikah denganku."
Sakura menatap ayahnya tak percaya.
Takano tersenyum. "Kemudian Tuhan menghadiahkanmu kepada kami, anugerah terbesar bagi aku dan ibumu. Kau mampu membuatnya bertahan hidup bukan hanya selama tiga tahun, melainkan sampai tujuh tahun. Sakura, putri kecil kami. Kalau aku adalah Maria, aku juga tak akan ragu memberikan nyawaku sendiri demi putriku."
Sakura mengguncangkan tubuh ayahnya. "Kenapa? Kalian tak bisa bersikap seperti itu!"
Takano lagi-lagi tersenyum. "Itulah tugas orangtua, sayangku."
Sang ayah memeluk tubuh kecil putrinya itu. "Terima kasih telah hadir dalam kehidupan kami."
.: oOo :.
Sakura bangun keesokan harinya masih dengan hati berat. Walaupun ayahnya berkata ini bukan salahnya, Sakura tetap berpikir semua salahnya. Sakura melirik kalender di rumahnya. Hari Minggu.
Dengan kata lain, sekolah libur.
Sakura keluar kamar, berjalan dengan pelan sambil memandang pemandangan rumahnya perlahan-lahan. Di rumah kecil itu, ia sendirian. Ayahnya sudah pergi kerja, walaupun ini hari Minggu. Bos ayahnya itu memang terkenal sadis. Sakura menghela nafas panjang.
Ia terkejut ketika mendapati bel rumahnya berbunyi. Tak biasanya ada tamu di rumahnya.
Saat ia baru saja membuka pintu kayu itu, sesosok cewek berambut merah langsung memeluknya. "Sakura-chaaaan!"
Sakura mengerjap bingung. "Takahebi Karin? Sedang apa kau di sini?"
Karin melepaskan pelukannya dan menggembungkan pipinya. "Kau tak senang melihatku?"
Sakura tambah tak mengerti. Memang sejak kapan hubungan mereka seperti ini?
Karin menggandeng tangan Sakura dan membawanya masuk ke dalam. "Sudahlah, ayo masuk."
Lho? Memang ini rumah siapa?
Sakura hanya bisa melongo ketika Karin sibuk menjelajah dapurnya, sibuk membuat teh.
"Ini, Sakura-chan. Minumlah. Enak lho!" Karin duduk di samping Sakura sambil tersenyum manis.
"Apa maumu?" Sakura mendelik dari balik kacamatanya—yang untung saja sudah ia pakai.
"Kok apa? Sudah jelas mengakrabkan diri dengan sahabat, kan, Sakura-chan!" Karin mencubit pipi Sakura. Dan selama tiga jam penuh Sakura dipaksa mendengarkan omongan Karin yang seperti tak ada habisnya.
Karin merasa tertarik pada gadis itu. Awalnya, kesan pertama Karin pada Sakura adalah ia gadis yang tak bisa apa-apa dan gampang ditindas. Ternyata semua salah. Sakura mempunyai sesuatu, suatu kharisma tersendiri.
"Ne, Haruno-san, maaf ya." Karin berucap pelan.
Sakura mengerjapkan matanya satu kali. dua kali.
"Untuk?"
Karin menatap gadis itu. "Kau benar-benar tak tau?"
Sakura terdiam.
Ia ingat betul, saat pertama kali mereka bertemu, Karin hampir menamparnya. Kedua kali mereka bertemu, Karin ikut protes mengapa Sakura bisa meraih peringkat pertama. Pertemuan ketiga, Karin meninggalkan jejak mawar di lepas pantai. Dan di pertemuan ke-empat, Karin masuk begitu saja ke rumahnya.
what. the. heck?
Karin tertawa pelan menghadapi sikap Sakura.
Sakura mengerucutkan bibirnya.
Karin tersenyum simpul. "Aku coba bertaruh pada diriku sendiri,"
"Ha?"
"Boleh aku jadi temanmu, Haruno?"
Sakura kembali terdiam. "Ada apa ini?"
Wajah Karin memerah sedikit. "Kau itu hebat, Haruno-san. Aku tau, saat memainkan seruling itu, kau mengingat memori yang menyakitkan, kan? Aku tersentuh,"
Belum sempat Sakura berkomentar, Karin melanjutkan. "Kapan-kapan, ajari aku ya?"
Sakura awalnya kaget juga, gadis yang saat pertama berjumpa hampir menamparnya kini berusaha mengakrabkan diri dengannya. Kaku, Sakura akui itu. Tapi Sakura tau Karin berusaha membuka dirinya. Menurut Sakura, Karin itu gadis yang sedikit manja, namun tegas dan kritis sikapnya. Ia mengkritik, namun juga memuji penampilan Sakura.
Entah sejak kapan, keduanya berteman.
Pertemanan yang aneh, batin Sakura.
"Haruno—"
"'Sakura' saja, Karin."
"Ne, Sakura-chan, siapa pemuda yang kau pikirkan itu?"
Gadis beriris emerald itu akhirnya salah tingkah.
"Bukan siapa-siapa."
Karin hanya bisa tersenyum simpul ketika menyadari perubahan wajah Sakura.
"Ne, Sakura-chan,"
"Em?"
Karin menatap gadis itu.
"Jangan menutup hatimu terlalu lama."
.: oOo :.
Beberapa jam kemudian, Karin pulang.
Sakura merasa bosan hingga berjalan-jalan bosan di dalam rumahnya sendiri dan berhenti di depan ruang kerja ayahnya. Ia masuk perlahan.
Entah sudah berapa tahun ia tak masuk ke sana. Ruangan kecil berukuran 4x5 meter itu sedikit berdebu, dan tumpukan kertas setinggi paha Sakura menghiasi setiap sudut ruangan itu. Sakura berhenti ketika menemukan foto-foto yang berjajar rapi di dinding. Sebuah foto dirinya ketika kecil dan kedua orangtuanya yang sedang bergandengan tangan penuh bahagia yang dibingkai dengan bingkai warna emas indah dan besar, mendominasi foto-foto di sana. Di sebelahnya ada foto ibunya ketika muda, seorang wanita berambut pink panjang seperti dirinya, dan di sebelahnya… foto dirinya sendiri. Sakura ingat foto itu. Itu foto dirinya saat ulang tahunnya yang ke-16—itu adalah pesta rahasia antara dirinya, ayahnya, dan Hinata—dan saat itu Hinata memainkan lagu kesukaan Sakura dengan harmonika-nya. Sakura bahkan tak sadar ayahnya memotonya. Di dalam foto itu, Sakura tersenyum bahagia dengan wajahnya yang tanpa kacamata dan kepangan anehnya, rambutnya digerai panjang dan sinar matahari menyinari rambutnya, membuatnya berkilau keemasan. Dan di bawah foto itu, terdapat sebuah kalimat yang di tulis dengan tinta hitam.
Putriku, malaikat kecilku.
Sakura kembali menangis. Ia tak pernah sadar ayahnya begitu menyayanginya. Selama ini, ia dan ayahnya tak banyak bertegur sapa, hanya berbicara kalau ada perlu saja. Dan ia menyesali hal itu.
Sakura berjalan ke kamarnya, membuka lemarinya, dan mengutak-atik koleksi baju imut yang kini sangat jarang di kenakannya.
.: oOo :.
"Siapa gadis itu?" Begitulah pertanyaan yang terlontar di antara pegawai—terutama para pria—sore hari itu di gedung perusahaan tekstil di pinggir jalan raya itu.
Sakura berjalan pelan, tak menghiraukan bisak-bisik orang di sekitarnya. Ia tak memakai kacamata jumbo dan kepangan-nya yang biasa. Malahan, kali ini ia memakai bedak, maskara, dan sapuan lipglosstipis di bibirnya. Rambutnya di kucir dua dengan kucir ber-aksen kupu-kupu besar berwarna ungu yang indah. Dress perpaduan warna pink, ungu dan perak selutut dikenakannya. Membuat dirinya semakin cantik. Sandal perak ber-hak tinggi nya itu membuat nada 'tik tak tik tak' seiring langkahnya, semakin menarik perhatian.
Tak jauh dari situ, Takano baru saja keluar dari ruangan kerjanya dengan beberapa pegawai sepantaran umurnya. Bajunya lusuh dan tampangnya kuyu. Proposalnya di tolak atasannya, dan ia harus membuat dari awal lagi.
"Sendirian lagi, Takano?" Shuji, seorang pria berusia 47 tahun meledeknya. Takano hanya tersenyum kecut. Ia memang sering di ejek karena semenjak kepergian istrinya, dirinya tak membuka hati untuk wanita lain. Dan bukannya memujinya, orang-orang di kantornya malah menyebutnya pengecut.
"Hei, hei. Siapa itu?" Shuji membelalak tak percaya. Takano mengikuti pengelihatan temannya itu.
"Sakura?" Nama itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Sakura, yang sedari tadi hanya bersikap acuh kepada orang yang menyapanya, tersenyum lebar ketika menemukan ayahnya, dan senyum itu sanggup membuat orang lain yang melihatnya mabuk kepayang karena terlalu manis.
Sakura menggandeng tangan ayahnya dan melangkahkan kaki bersama keluar dari sana.
"Kau itu siapanya Takano?" Hotsukawa, salah satu pegawai di sana, berteriak. Masa Takano mendapat daun muda nan cantik sedangkan dirinya masih jomblo?
Sakura melirik ayahnya dan mengeratkan pegangannya. "Dia itu ayahku, pahlawanku tersayang."
Takano tersenyum lembut. Mereka kembali berjalan, sementara yang lain menatap Takano dengan pandangan iri. Ternyata itu alasannya ia tak melirik wanita lain; ia punya anak perempuan yang cantik dan perhatian.
Sebagian besar para pekerja yang seorang ayah pun iri karena anak mereka tak pernah menjemput mereka.
.: oOo :.
Kakashi tersenyum ketika membaca karangan milik muridnya keesokan harinya. Ia sangat menyesal karena hari ini ia langsung meminta semua karangan dikumpulkan tanpa membacakannya.
Selama ini, aku hidup dalam duniaku sendiri.
Aku melupakan hal yang penting.
Halo, Tuhan.
Tuhanku, terima kasih kau sudah mengingatkanku.
Bahwa aku punya seseorang yang selalu ada untukku dan bersedia menerimaku apa adanya, menghadapi semua keegoisanku.
Ayah, maafkan putrimu ini.
Terima kasih karena terus bekerja tanpa lelah demi menghidupiku yang sering mengeluh ini.
Tuhanku, sempatkan waktuku tuk bisa membalas jasa ayahku.
Tuhanku, jika kau mendengarku,
Tolong sampaikan rasa terima kasihku pada ibuku karena telah melahirkanku, merawat, bahkan mengorbankan nyawanya demi diri ini.
Sampaikan padanya betapa aku menyayanginya.
Tuhanku, terima kasih karena sudah mempertemukanku dengan ayah dan ibu.
.: oOo :.
"Uchiha." Sakura memanggil Sasuke ketika Sasuke baru saja masuk ke dalam kelas pagi itu. Entah karena apa, mereka berdua yang biasanya datang dengan waktu pas-pasan kali ini datang paling awal.
"Hn?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Sasuke meletakkan tasnya di samping meja Sakura dan hampir keluar ruangan kelas jika Sakura tak memanggilnya.
"Kau sudah tau semuanya ya?" Tanya Sakura lagi.
"Soal apa?" Sasuke tetap berdiri, sehingga ia menundukkan kepalanya agar bisa menatap gadis pink yang duduk di depannya.
"Soal ibuku. Kenapa kau menyembunyikannya?" Sakura bertanya dengan agak kesal. Ia baru menyadari bahwa di antara mereka, hanya dirinya yang tak tau apa-apa.
"Lalu?" Sasuke balas bertanya dan membuat Sakura semakin kesal.
"Lalu kenapa kau tak memberitauku, ayam!" Sakura berdiri dan menggebrak meja.
"Memang kau bertanya, jidat?" Sasuke tak suka dirinya dipanggil 'ayam' dan membalas Sakura.
"Jidat apaan, hah?" Sakura tambah emosi.
Sasuke menyeringai sambil menyibakkan poni Sakura dengan tangannya. "Jidat yang lebar, Haruno."
Muka Sakura seketika itu menjadi merah padam. Entah karena malu karena Sasuke menyentuhnya atau karena marah karena jidatnya yang sedikit lebar di ungkit-ungkit.
"Dasar kurang ajar," Sakura menghempaskan tangan Sasuke.
Sakura menyipitkan matanya. "Lalu apa alasanmu sebenarnya, Uchiha?"
Sasuke terdiam. Gadis itu tampak serius. "Kalau aku berkata karena aku tak ingin kau menangis, apa kau percaya?"
Sakura terdiam. Sasuke hanya bisa menghela nafas pelan. Pemuda itu akhirnya mundur selangkah, berbalik, dan mengayunkan kakinya menjauh dari gadis itu.
Tepat sebelum ia keluar pintu, ia berbalik. "Haruno."
Sakura tetap membisu.
"Jangan salahkan dirimu terus." Sasuke lalu pergi setelah mengucapkan satu kalimat itu dengan nada lembut, meninggalkan Sakura sendiri di dalam kelas.
Jantung Sakura berdetak cepat.
Entah kenapa, ada bagian dari hati Sakura yang merasa senang ketika mendengar perkataan pemuda itu. Sakura, jangan mudah tersentuh seperti ini! Sebagian hatinya coba mengingatkan. Sakura menggigit bibir bawahnya.
Ia tak boleh terlalu dekat dengan pemuda itu.
Ia tak boleh terlalu menganggap ada pemuda itu.
Ia tak boleh merasakan perasaan itu lagi.
Jangan bersikap lembut padaku.
Sakura menatap pintu yang tadi dilewati pemuda itu. Ia berkata pelan, sangat pelan, hingga telinga-nya sendiri pun sulit mendengar apa yang ia ucapkan.
"Kumohon, jangan buat aku menyukaimu lagi."
.: oOo :.
Pada hari yang sama, saat siang hari, di ruangan teratas gedung C KHS seorang pegawai membawakan minuman dan meletakkannya di atas meja di situ, lalu kembali keluar dari ruangan itu setelah sebelumnya sedikit mencuri pandang ke Kepala Sekolah dan tamunya.
Yamato, Kepala Sekolah KHS memandang sekali lagi berkas-berkas surat di depan mejanya. Ruang Kepala Sekolah itu sepi, hanya ada dua orang di ruangan itu.
"Keputusanmu untuk pindah sekolah ini sudah final?" Suara berat sang kepala sekolah terdengar di ruangan itu.
"Ya."
"Sangat disayangkan sekolah ini harus kehilangan salah satu murid terbaiknya lagi." Ujar sang kepala sekolah sambil menatap lurus muridnya itu.
Yamato menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafas.
Hari ini terasa panas.
.: oOo :.
~To be Continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar