pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 14

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D  

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak, OOC, dan typo yang kadang suka nyelip.

Cerita Sebelumnya:
"Aku ingin kita putus," kata Naruto tiba-tiba. Jujur saja, hatinya terasa hancur saat ia mengatakan hal itu. Ia tidak mau mengatakan hal itu. Tapi bagaimana lagi? Ini memang harus terjadi.
Saat itu juga bola mata lavender Hinata membulat. Kakinya melangkah mundur saking kagetnya. Tangannya disimpan di mulutnya, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku bukan laki-laki yang pantas untukmu," lanjut Naruto.
...
"Bukankah sudah kubilang jangan sakiti Nee-san?"
"Kau memang hebat karena tidak mati meskipun sudah menerima jurus Hanabi-sama. Tapi kupikir itu bagus karena jika langsung mati kau tidak akan merasa sakit. Tapi dengan keadaanmu sekarang, kau akan lebih menderita."
Naruto memandang langit yang mulai gelap.
'Kelihatannya aku memang pantas menerima siksaan Hanabi. Agar aku merasakan rasa sakit yang sama dengan Hinata-chan. Mungkin ini akan sedikit meringankan rasa bersalahku. Apa rasa sakit hatimu sama seperti rasa sakitku sekarang Hinata-chan? Sepertinya masih belum sebanding ya? Gomen,' kata Naruto dalam hati, bibirnya tersenyum kecut. 'Kalau begitu semoga saja tidak ada yang menemukanku dan aku mati di sini. Dengan begitu aku mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatanku...'
Setelah itu rasa sakit di tubuh Naruto semakin menjadi, tiap sendinya terasa sakit. Dan bersamaan dengan itu, kesadaran Naruto mulai menghilang...
.
.
.
Chapter 14
- Pangeran Bodoh dan Putri Yang Pemalu -
Naruto membuka matanya dan mendapati dirinya tengah berada di tempat yang dipenuhi kegelapan. Sejauh mata memandang, hanya warna hitam yang dilihatnya. Bahkan ia pun tidak tahu ia sedang berpijak pada apa saat itu, karena semuanya berwarna hitam kelam. Tubuhnya seperti melayang.
"Naruto-kun... hiks..."
Samar-samar Naruto mendengar tangisan seseorang. Ia sangat mengenal betul suara siapa ini. Ini suara Hinata, pacarnya. Um, maksudnya mantan pacarnya. Dan benar saja, saat Naruto menoleh ke sumber suara, ia melihat Hinata sedang menangis sesenggukan memeluk lututnya. Rambut indigonya berantakan dan terlihat begitu lusuh.
Melihat keadaan Hinata seperti itu, rasa bersalah Naruto kembali muncul. Ingin rasanya ia mendekap sosok rapuh itu dan menenangkannya.
Namun setiap langkah Naruto mendekati Hinata, sosok Hinata semakin menjauh. Naruto kemudian berlari sekuat tenaga. Tapi sosok itu terus saja menjauh.
Hingga akhirnya Hinata menghilang ditelan kegelapan...
Bersamaan dengan itu Naruto kembali membuka matanya. Ia terduduk, terbangun dari tidurnya.
'Ternyata hanya mimpi,' pikir Naruto. Namun mimpi itu sukses membuat detak jantungnya berpacu dengan cepat, keringatnya bercucuran membasahi punggung, leher serta dadanya. Rasa bersalahnya kepada Hinata muncul lagi gara-gara mimpi buruk itu.
Naruto kemudian melihat sekelilingnya. Ia sudah berada di tempat tidurnya, di apartemennya. Ia mengingat-ingat kembali kejadian sebelum dirinya pingsan. Seingatnya ia tergeletak di jalanan setelah diserang Hanabi dan Neji. Badannya nyaris tak bisa digerakkan waktu itu.
Naruto menggerak-gerakkan tangannya dan memperhatikan sekujur tubuhnya. Sekarang badannya sudah agak mendingan. Sendi-sendinya sudah bisa digerakkan.
"Akhirnya kau sadar juga."
Naruto menoleh ke sisi kanannya, ia melihat Kiba duduk di kursi. Akamaru terlihat sedang tidur tak jauh dari sang majikan.
"Kau yang membawaku kesini?" tanya Naruto.
Kiba menggeser kursinya, mendekat ke tempat tidur Naruto.
"Ya. Aku dan Shino tepatnya. Sepulang misi, kami melihatmu tergeletak di jalanan. Mulutmu mengeluarkan darah dan detak jantungmu lemah waktu itu."
"Oh," balas Naruto tak bersemangat. Ia menyandarkan diri di tempat tidurnya, bola mata shapirenya menatap langit-langit kamar.
"Hanya 'oh'? Mana ucapan terima kasihnya?" canda Kiba. Namun sayangnya Naruto sedang tidak bersemangat untuk diajak bercanda.
"Sebenarnya aku lebih berharap tidak ada yang menolongku dan aku mati disana."
"Hah?" Kiba sedikit tersentak dengan perkataan Naruto. "Baka! Bicaramu ngawur."
Naruto tersenyum kecut. Sekarang malah Kiba yang dibuat bingung oleh kelakuannya. Tidak biasanya seorang Uzumaki Naruto murung begini. Semangat hidupnya seperti menghilang, malah ingin mati segala.
"Apa yang terjadi?" selidik Kiba. Tatapannya berubah serius sekarang.
Naruto menghela nafas pelan.
"Hanabi dan Neji menghajarku karena aku membuat Hinata-chan menangis."
"Sudah kuduga." Kiba bersandar di sandaran kursinya dan menyimpan kedua tangannya di belakang kepala. "Ternyata benar perkiraan Sakura."
"Sakura-chan?" Naruto melihat-lihat sekelilingnya, mencari sosok yang dikatakan Kiba.
"Sekarang dia tidak disini. Dia sudah pulang dari semalam. Dia yang merawat lukamu dan juga menceritakan semuanya padaku."
Naruto tidak terlalu kaget mendengar Sakura yang menyembuhkan lukanya. Siapa lagi ninja medis yang cukup hebat untuk bisa menyembuhkan luka bekas Jyuuken selain Sakura? Tsunade dan Shizune terlalu sibuk untuk sekedar merawat lukanya. Kalau Ino, kemampuan medisnya belum sehebat itu.
Tak lama kemudian, pintu kamar Naruto terbuka. Menampakkan dua kunoichi berambut pink dan pirang pucat.
"Naruto?" Sakura terlihat kaget saat menyadari Naruto sudah bangun dan duduk di tempat tidur.
"Nah baru saja kita bicarakan, sekarang orangnya datang," kata Kiba sambil berdiri dan menyuruh Sakura duduk di kursi. Sakura segera duduk dan mengeluarkan peralatan medisnya. Sedangkan Ino duduk di sisi lain tempat tidur Naruto.
"Sakura-chan..."
"Jangan banyak bicara dulu, biar kulihat dulu keadaanmu." Sakura memeriksa luka totokkan di badan Naruto. "Hmm... Sudah tidak terlalu parah. Aliran chakramu sudah normal kembali. Sebagai ninja medis, aku takjub pada kecepatan penyembuhan lukamu yang begitu cepat."
Naruto anggap itu sebagai pujian dan membalasnya dengan senyuman.
"Ini obat pengurang rasa sakit, minumlah." Sakura menyimpan beberapa tablet obat di meja.
"Arigato Sakura-chan."
"Tidak, berterima kasihlah kepada Kiba dan Shino. Aku tidak yakin kau bisa selamat kalau Kiba dan Shino terlambat menolongmu. Sudah ya, aku harus kembali ke rumah sakit. Jangan lupa minum obatnya."
"Iya."
Setelah Sakura keluar, Ino duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Sakura. Kemudian tatapannya beralih kepada Kiba yang berdiri di dekatnya. Melihat bola mata Kiba yang merah, Ino segera tahu kalau bocah itu kurang tidur. Wajar saja, setelah pulang misi ia langsung menunggu Naruto disini. Tidak ada waktu untuk beristirahat.
"Sebaiknya kau juga pulang Kiba. Kau semalaman menunggu Naruto disini 'kan?" kata Ino.
"Baiklah." Kiba tidak menolak karena dia memang butuh istirahat saat ini. Ia kemudian membangunkan Akamaru dan pamit pulang. "Cepat sembuh Naruto."
Naruto membalas dengan anggukan dan seulas senyum.
Sementara itu Ino menyiapkan semangkuk bubur untuk Naruto.
"Aku membawakanmu bubur, sekarang makanlah. Nanti baru minum obat. Bisa makan sendiri?"
Naruto mengangguk dan mengambil mangkuk bubur yang diberikan Ino.
Setelah itu Naruto memakan buburnya dan Ino hanya diam memperhatikannya. Sebagai seorang sahabat yang tahu seberapa menderitanya Naruto, Ino juga merasa sedih kalau melihat keadaan Naruto sekarang. Naruto memang bisa dibilang bodoh, tapi dibalik kebodohannya, Naruto adalah orang yang baik. Sangat baik malah. Jadi rasanya tidak adil kalau sekarang Naruto menderita begini. Sejak kecil sudah banyak kesedihan yang dialaminya. Apa itu semua tidak cukup?
"Sial sekali nasibmu Naruto. Sudah putus, dikeroyok pula," kata Ino. Kalau Naruto jeli, sebenarnya ada kesedihan dan kekhawatiran dalam kata-kata Ino barusan.
"Begitulah," balas Naruto seadanya. Ia masih sibuk memakan buburnya.
"Tapi aku tidak bisa membayangkan reaksi Hinata saat ia tahu kau akan tunangan dengan Shion."
Gerakan tangan Naruto berhenti mendengar kata-kata Ino.
"Sebenarnya... Aku tidak bilang akan tunangan."
Ino kaget. Ia pikir kemarin Naruto sudah mengatakan semuanya kepada Hinata.
"Terus apa yang kau bilang?"
"Aku hanya bilang ingin putus karena aku bukan lelaki yang pantas untuknya, ia layak mendapat lelaki yang lebih baik."
"Hmm," Ino menghela nafas panjang. "Dasar baka."
"Memangnya aku salah? Aku hanya tidak ingin Hinata tahu yang sebenarnya. Kalau dia tahu, pasti ia akan sangat sedih."
"Kau memang benar. Tapi yang terpenting dalam sebuah hubungan itu kejujuran. Komunikasi, keterbukaan antara kalian berdua. Jadi harusnya kau ceritakan masalah yang sebenarnya kepada Hinata, seberat apapun masalahnya. Paling tidak meskipun kalian putus, Hinata tahu masalah yang sebenarnya."
Naruto meresapi baik-baik perkataan Ino. Ino memang ada benarnya, tapi sejujurnya, ia tidak bisa membayangkan seberapa sedih Hinata kalau tahu ia akan tunangan.
"Sudahlah, aku menghormati keputusan yang kau ambil. Tadi itu hanya pendapatku," kata Ino akhirnya. Ia kemudian berjalan ke balkon kamar Naruto dan bersandar di pagar.
"Jadi..." Ino menggantungkan kalimatnya. Naruto menatapnya untuk mencari tahu apa yang akan dikatakan Ino. "Besok kau akan tetap pergi ke Negara Iblis?"
"Aku sudah terlanjur berjanji." Naruto menunduk.
Ino menutup matanya, menikmati angin yang menerpa rambut ponytailnya.
"Aku tak menyangka kesempatan keduamu jadi kacau begini."

Sesuai rencana, keesokan harinya Naruto berangkat ke Negara Iblis. Luka-luka di badannya juga sudah sembuh. Memang keputusan yang berat, tapi Naruto harus menjalaninya. Ia harus menepati janjinya kepada Shion.
Sepanjang perjalanan Naruto berusaha menguatkan dirinya. Mungkin sejak awal memang Shionlah yang jadi jodohnya. Mungkin Tuhan hanya mempercepat prosesnya saja, jadi dia tunangan secepat ini.
Perjalanan dari Konoha ke Negara Iblis terasa singkat. Kini Naruto sudah sampai di depan istana yang merupakan kediaman Shion, sang pendeta tertinggi Negara Iblis.
Begitu sampai di istana, Shion langsung berlari dan memeluk Naruto. Tapi beberapa saat kemudian ia langsung melepas pelukannya. Naruto dan yang lain menatap Shion kaget.
"A-aku sudah lama menunggumu," kata Shion malu-malu.
Naruto memperhatikan Shion, ada yang berbeda dengan gadis ini setelah seminggu tidak bertemu. Apa Shion salah tinglah? Tak biasanya ia memperlakukan Naruto dengan 'lembut'. Kemana perginya Shion yang tsundere dan egois? Apakah rasa sayangnya kepada Naruto semakin bertambah kuat selama seminggu ini? Sampai-sampai membuat sikap gadis itu berubah saat berada di depan Naruto.
"Gomen Shion, aku terlambat."
"Tidak apa-apa. Istirahatlah dulu. Pelayan, antarkan para tamu ke kamar mereka masing-masing," kata Shion. Pelayan yang disuruh Shion membungkuk hormat. "Dan jangan lupa nanti malam kita makan malam bersama," tambahnya.
Naruto sadar kalau yang dimaksud 'para tamu' itu tidak termasuk dirinya. Karena sekarang Shion menariknya ke arah lain yang berlawanan dengan Kakashi dan yang lain. Ke kamar Shion 'kah? Ah yang benar saja!
Tapi Naruto bisa bernafas lega saat Shion mengantarnya ke sebuah kamar mewah. Dan yang jelas itu bukan kamar Shion.
Malam itu Shion menjamu ninja Konoha dengan makanan yang lezat.
"Pesta pertunangan akan dilaksanakan lusa," kata Shion di tengah jamuan makan malam. Kakashi dan yang lain mengangguk mengerti. Kemudian Shion menoleh kepada Naruto. "Besok kita harus mempersiapkan baju untukmu dan juga... cincin pertunangan kita."
Naruto menjawab dengan sebuah anggukan.

"Bagaimana kalau yang biru saja Naruto?" tanya Shion sambil memegang jubah biru di tangan kanannya dan jubah merah di tangan kirinya. Naruto sudah tidak mau ambil pusing, ia mempercayakan semuanya kepada Shion. Dan menurut Shion, kedua jubah itu sangat bagus jika dipakai Naruto. Sekarang Shion membutuhkan bantuan Naruto untuk menentukan jubah mana yang lebih bagus. Soalnya jubah inilah yang nantinya akan dipakai Naruto dalam pesta pertunangan mereka besok.
Menyadari tak ada jawaban, Shion menoleh ke belakang. Tapi disana hanya ada penjahit pribadinya. Ia melihat sekeliling ruangan untuk mencari calon tunangannya. Dan ternyata Naruto sedang berada di dekat jendela, sedang melamun.
Pikiran Naruto masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan kalau besok ia akan bertunangan. Ini terlalu mendadak baginya. Belum lagi bayangan Hinata yang kadang muncul dalam pikirannya.
"Hei? Naruto? Naruto!"
Naruto tersadar dari lamunannya. "Ya?"
"Kau memperhatikanku tidak sih?" tanya Shion, ia mulai kesal sekarang.
"Gomen, Shion."
"Ya sudah, untuk besok kau pakai jubah biru ini saja," kata Shion sambil memberikan jubah, baju serta celana untuk Naruto pakai besok.
Setelah kejadian itu, Shion tidak banyak bicara. Dalam perjalanan ke kamar Naruto, mereka hanya diam. Naruto tidak nyaman dengan keadaan ini. Akhirnya ia memutuskan untuk bicara.
"Kau marah?" tanya Naruto memastikan.
"Ck! Kau sama sekali tidak peka," kata Shion ketus.
"Gomen."
Keduanya kembali diam. Kemudian Shion yang berjalan di depan menghentikan langkahnya, Naruto ikut berhenti. Shion berbalik dan menatap Naruto. Naruto sedikit kaget karena saat tatapan mereka bertemu, ia tidak melihat kekesalan disana, melainkan kesedihan. Shion sedih? Pasti gara-gara Naruto yang tadi mengacuhkannya.
"Apa kau... menyayangiku?" tanya Shion tiba-tiba dengan suara bergetar. Ia terlihat mengigit bibir bawahnya.
Naruto jadi serba salah sekarang. Kalau jujur dan bilang ia tidak menyayanginya, ia sama saja dengan melanggar janjinya. Akibatnya akan banyak. Mulai dari Shion yang akan merasa sedih, keselamatannya yang terancam karena mempermainkan pemimpin tertinggi negara ini, dan yang tak kalah penting adalah hubungan Konoha – Negara Iblis yang akan merenggang, dan ujung-ujungnya bukan Tsunade saja yang akan marah, pemimpin Negara Api juga akan menyalahkannya jika itu terjadi.
Akhirnya Naruto tidak punya pilihan.
"Te-tentu saja," jawab Naruto pelan. Berusaha menenangkan hatinya yang berteriak sebaliknya.
"Kalau begitu buktikan."
"Eh?" Naruto menatap Shion penuh tanya.
"Cium aku," kata Shion. Tatapannya tidak lepas dari mata shapire Naruto meskipun pipinya sudah memerah hebat sekarang. Ia sudah berjuang mengalahkan rasa malunya untuk mengatakan itu. Ia sudah merendahkan harga dirinya sebagai pemimpin negara ini hanya untuk mengucapkan dua kata sederhana itu kepada seorang genin. Sekarang ia butuh kejelasan dari Naruto.
Naruto sudah tidak bisa menghindar lagi sekarang. Mau tidak mau ia harus mencium Shion kalau memang ingin menepati janjinya.
Naruto mendekatkan wajahnya ke wajah Shion. Shion yang menyadari ini memejamkan matanya, pipinya semakin memerah. Bibir Naruto sudah semakin dekat ke bibir Shion.
10 cm... 5 cm...
'Gomen... aku tidak bisa...'
Cup!
Shion membuka matanya saat sesuatu yang lembut menyentuh pipinya. Ia memegang pipi kanannya, yang beberapa saat lalu dicium Naruto. Sejujurnya Shion kecewa karena ternyata Naruto mencium pipinya, bukan bibirnya. Tapi ia merasa itu sudah cukup sebagai sebuah bukti rasa sayang Naruto padanya.
Shion memeluk Naruto dengan erat, melingkarkan kedua tangannya di tubuh Naruto.
Naruto menghela nafas lega, tadinya ia takut kalau Shion akan marah karena ia mencium pipinya, bukan bibirnya. Tapi syukurlah itu tidak terjadi.
Naruto membalas pelukan Shion.
'Tuhan, kalau memang Shion adalah gadis yang kau kirim untukku, tolong tunjukkan jalan untukku. Bantu aku melupakan Hinata-chan dan buat aku menyayangi gadis ini ..."
Hari pertunangan yang sangat ditunggu-tunggu – oleh Shion – akhirnya tiba. Naruto memakai celana panjang berwarna hitam, baju biru dan jubah biru yang kemarin dipilih Shion. Sedangkan Shion memakai gaun biru muda. Rambut pirangnya digerai saat itu, hingga terurai cantik melebihi pinggannya.
Sesaat Naruto terpana melihat Shion.
'Cantik. Tapi belum secantik Hina-' Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya, menghilangkan bayangan Hinata yang kembali muncul di otaknya. Kelihatannya Tuhan tidak mengabulkan doanya kemarin. Kenapa seolah-olah Hinata itu jadi 'standar' pembanding untuk gadis lain? Apakah sebegitu sempurnakah Hinata di mata Naruto?
Acara akhirnya dimulai, Naruto berdiri dengan canggung di samping Shion. Kakashi yang berada tak jauh dari Naruto membisikkan sesuatu. Kalau Naruto tidak salah dengar, Kakashi menyuruhnya tenang. Tapi percuma saja, Naruto tetap merasa tidak tenang.
Bagaimana ia bisa tenang kalau sebentar lagi ia akan tunangan dengan gadis yang tidak disayanginya?
"Saatnya pertukaran cincin," kata seorang tetua yang memimpin acara.
Naruto memegang cincin emas putih di tangan kanannya yang telah Naruto dan Shion siapkan kemarin. Tangan kirinya memegang jemari Shion. Tangan Naruto bergetar seiring detik demi detik yang kian berlalu. Susah payah ia mengatur nafasnya.
'Ikhlaskan Hinata-chan, sayangi Shion, ikhlaskan Hinata-chan, sayangi Shion...' kata Naruto berulang-ulang dalam hatinya. Berat sekali rasanya untuk melakukan ini.
Perlahan-lahan cincin itu semakin dekat ke jari manis Shion.
'Semoga keputusanku ini benar...'
...
"Hentikan pertunangan ini!"
TRING!
Cincin emas putih yang dipegang Naruto belum masuk ke jari manis Shion, dan malah jatuh ke lantai saking kagetnya Naruto mendengar teriakan tadi.
Semua yang hadir disana menoleh ke arah suara, ke pintu masuk singgasana yang terbuka secara paksa. Ini pertunangan pendeta tertinggi Negara Iblis, mereka penasaran siapa yang dengan beraninya berteriak menyuruh membatalkan pertunangan ini?
Di pintu masuk terlihat seorang gadis yang terengah-engah. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Jaketnya sobek di beberapa tempat dan rambutnya terlihat lusuh.
Mata Naruto dan shinobi Konoha lain terbelalak saat menyadari siapa gadis itu.
"Hinata-chan?"

"Hinata-chan?"
Hinata melihat Naruto berada di barisan paling depan bersama seorang gadis pirang yang ia yakini adalah Shion. Naruto terlihat gagah sekali dengan jubah birunya. Sedangkan Shion terlihat begitu anggun dengan gaun biru mudanya. Dari penampilan mereka yang mewah, ditambah lagi dengan hadirnya para tamu di ruangan ini, Hinata yakin Naruto dan Shion memang akan bertunangan.
Hinata menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sedih dan kecewa yang mulai muncul. Ia berusaha menahan rasa lemas yang tiba-tiba muncul menjalari tubuhnya.
Rupanya benar apa kata Ino 2 hari lalu.
Flashback
"Hei tulip, kasihan sekali ya kalian. Dua orang yang suka membeli kalian kali ini tidak datang," kata Ino berbicara pada dua tulip gesneriana kuning di etalase tokonya. Kedua tangan Ino menopang dagunya, pandangannya tak lepas dari dua tangkai bunga itu. Kalau ada pembeli yang memergokinya dalam keadaan begitu, sudah pasti ia akan dikira gila.
"Tulip, apa kau juga menangis seperti Hinata?" tanya Ino.
"Apa kau sedih dan menderita seperti Naruto?" tanya Ino pada tangkai tulip yang lainnya.
Tiba-tiba satu kelopak dari tulip yang lebih pendek jatuh, seolah menjawab pertanyaan Ino.
Ino segera berdiri dan memantapkan hatinya.
"Tou-san, aku keluar dulu." Ino terus berlari tak menghiraukan omelan ayahnya. Tujuannya hanya satu sekarang: Hyuuga Mansion.
...
Tok! Tok! Tok!
"Nee-san, ada seseorang mencarimu," kata Hanabi di depan kamar kakaknya.
"Bilang saja aku tidur," jawab suara dari dalam.
Ino yang sebenarnya berada di dekat Hanabi hanya bisa tersenyum mendengar Hinata.
"Hinata-chan, sejak kapan orang tidur bisa berteriak begitu?" tanya Ino.
Terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat dan kemudian pintu kamar Hinata terbuka. Menampakkan Hinata yang amat sangat kusut, matanya bengkak dan di pipinya masih terlihat air mata yang sudah mengering. Saat itu juga Hinata menghambur memeluk Ino dan terisak dalam pelukan Ino. Untuk beberapa saat, Ino menenangkan Hinata dan membiarkan beban di hati sang gadis lavender berkurang.
"Kau tahu Hinata-chan? Kau dan Naruto itu lucu," kata Ino setelah tangisan Hinata berhenti. Kini mereka sedang duduk di tempat tidur Hinata. "Sama-sama polos dalam masalah cinta. Tanpa sadar sebesar apa perasaan cinta di antara kalian."
Dahi Hinata berkerut, tak tahu arah pembicaraan Ino.
"Kau pemalu dan Naruto baka. Kalau saja satu diantara kalian mau sedikit saja mengurangi atau menghilangkan sikap kalian itu. Mungkin kejadian ini tidak akan terjadi."
Hinata semakin tidak mengerti kemana sebenarnya Ino mengarahkan pembicaraan ini.
Kemudian keduanya terdiam. Hinata memilih untuk diam menunggu Ino melanjutkan kalimatnya. Ia tahu Ino belum selesai bicara.
"Apa kau mau tahu alasan sebenarnya Naruto memutuskanmu?"
Deg!
Saat itu juga perhatian Hinata langsung tertuju kepada Ino. Apa maksudnya dengan 'alasan sebenarnya'? Jadi ada alasan lain kenapa Naruto memutuskannya?
Hinata semakin tertarik dan penasaran pada pembicaraan Ino. Ia semakin mendekat kepada Ino kemudian memegang tangan Ino.
"Ceritakan padaku."
Akhirnya setelah itu Ino menceritakan semuanya kepada Hinata. Ia menceritakan mulai dari awal misi Naruto ke Negara Iblis, sama persis seperti apa yang Sakura ceritakan padanya, hingga kepergian Naruto kemarin.
Mendengar cerita Ino, perasaan Hinata campur aduk. Ia sedih, ia kecewa, ia kesal, ingin marah kepada Naruto kenapa Naruto tidak jujur padanya.
"Sekarang kau sudah tahu alasan sebenarnya. Apa yang akan kau lakukan Hinata-chan? Membuang sedikit sikap pemalumu dan mengejar Naruto? Mengejar cinta sejatimu? Atau diam disini dan merelakan Naruto bersama gadis lain?"
Bayangan kehilangan Naruto langsung terbayang di pikiran Hinata, air matanya kembali mengalir...
Ia tidak sanggup kalau harus kehilangan Naruto.
Hinata mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar kemudian beranjak mengambil tas dan memasukkan beberapa baju ganti.
Ino tersenyum saat Hinata langsung berlari keluar setelah itu. Ino berlari mengikutinya. Senyumnya semakin lebar saat melihat Hinata berlari ke luar desa, menyusul pangerannya...
End of Flashback
Hati Hinata sakit melihat laki-laki yang sangat disayanginya bersama perempuan lain. Terlebih lagi mereka akan bertunangan. Tapi Hinata tak mempedulikan rasa sakit dan perih di hatinya. Hinata berjalan semakin mendekati singgasana tempat Naruto dan Shion berada. Mengacuhkan tatapan marah dan mencemooh para tamu undangan.
Sekarang sudah terlambat untuk menyerah dan kembali ke Konoha. Ia sudah sejauh ini, ia sudah berulang kali meneguhkan hatinya, untuk apa menyerah jika sudah sedekat ini? Ia sudah sangat dekat dengan laki-laki pujaannya.
Seisi ruangan – kecuali shinobi Konoha – menatap Hinata bingung, apa sebenarnya yang diinginkan gadis ini? Berani sekali menghentikan acara pertunangan ini. Apa dia cari mati? Para penjaga di dalam ruangan sudah mulai bersiaga di dekat Shion.
Tiba-tiba ada penjaga yang berlari dari luar, langkahnya sedikit tergopoh-gopoh. Tangan kanannya berpegangan pada pintu masuk, menopang tubuhnya yang hampir rubuh.
"Gomen Shion-sama, gadis ini menerobos masuk padahal kami sudah mencegahnya, bahkan dengan cara kasar."
Saat itu juga seluruh penjaga di dalam ruangan yang berjumlah 30 orang, dengan tanpa diperintah segera melindungi pemimpin mereka. Dua puluh orang segera menghadang Hinata, dan sisanya berjaga di dekat Shion.
Melihat keadaan yang memanas, Neji melompat ke dekat Hinata.
"Cukup! Dia bersamaku, jangan sakiti dia lagi," kata Neji kepada pasukan yang menghadang Hinata. Kemudian Neji berbalik kepada Hinata. "Hinata-sama sebaiknya anda pulang. Apa yang anda lakukan disini?"
"Menjemput Naruto dan membatalkan pertunangan ini," kata Hinata mantap sambil melanjutkan langkahnya. Perkataan Hinata membuat semua orang kaget.
Naruto menatap Hinata tak percaya. Tadi saja dirinya masih belum percaya kalau Hinata menghentikan acara ini. Sekarang Hinata mengatakan hal yang semakin membuat Naruto tak percaya. Kenapa Hinata jadi senekat ini? Naruto tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ini di luar pemikirannya.
Sepuluh prajurit yang menghadang Hinata mulai menyiapkan busur dan anak panah mereka. Dan sepuluh lagi menyiapkan tombak mereka. Para tamu mulai panik dan menjauh.
"Turunkan panah kalian!" teriak Neji dan berdiri di hadapan Hinata.
"Minggir atau kau akan kami tembak juga," kata salah seorang pemanah.
"Wow, jangan buru-buru. Kita bisa bicara baik-baik." kata Lee. Ia dan Sakura bergabung bersama Neji.
"Hinata-chan, ayo kita pulang. Kalau kau tetap keras kepala, akan terjadi keributan disini," bujuk Sakura.
Tapi seolah tuli, Hinata tetap berjalan, tidak mendengarkan kata-kata Sakura. "Tolong ja-jangan menghalangiku Sakura-chan."
"Hei berhenti!" teriak sang pemanah lagi. Melihat Hinata yang masih saja berjalan, ia memberikan aba-aba kepada pemanah lain. Kesepuluh pemanah itu menarik anak panah mereka. Hinata tidak mempedulikan itu semua, ia terus berjalan. Sementara Neji, Lee dan Sakura mendahului Hinata dan memasang kuda-kuda di depan Hinata. Mereka berusaha melindungi Hinata dari ancaman sepuluh pemanah yang siap menembak kapan saja.
Kakashi yang merasa keadaan sudah semakin kacau, memutuskan untuk melompat bergabung bersama Neji, Lee dan Sakura. Kunai sudah disiapkan di tangan kanannya.
"Turunkan panah kalian. Kita bicarakan ini baik-baik," seru Kakashi.
"Hinata-chan, ayolah hentikan ini. Keadaan semakin kacau," bujuk Sakura lagi. Hinata tetap berjalan.
"Berhenti!"
"Turunkan panah kalian!"
"Suruh dia berhenti dulu!"
"Kalian yang turunkan panah dulu!"
"Pemanah bersiap!"
"Turunkan panah kalian!"
"Bidik sasaran!"
Keadaan sudah sangat tegang. Para pemanah tidak mau menurunkan panah mereka, Hinata juga tidak mau mengalah. Sekarang jarak para shinobi Konoha sekitar 10m dari para pemanah, jarak yang sempurna untuk jadi sasaran tembak.
Naruto yang dari tadi melihat dari kejauhan tidak tahan lagi. "Ugh, Shion lakukan sesuatu!"
Shion terlihat ragu.
"Aku mohon," kata Naruto sambil memegang kedua pundak Shion.
"BERHENTIII!" teriak Shion akhirnya. Semua yang hadir disana memandang Shion.
"Pengawal, beri jalan," lanjut Shion tegas. "Dan kau gadis lavender, mendekatlah."
Para pengawal saling bertukar pandang. Bingung dengan keputusan pemimpin mereka.
Hinata mendekat, hanya menyisakan beberapa meter saja dengan Shion dan Naruto.
"Kenapa kau menghentikan acara ini? Siapa kau sebenarnya?" tanya Shion. Jelas sekali kalau ia sedang kesal.
"Aku pacar Naruto," kata Hinata tanpa ragu sedikitpun. Sontak saja membuat Naruto dan Shion kaget untuk kesekian kalinya, begitu juga semua yang hadir di ruangan itu.
"A-apa?" Shion mengalihkan pandangannya kepada Naruto. "Naruto, apa itu benar?"
Naruto tidak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa. Sejujurnya ia bingung kenapa Hinata melakukan ini. Apa ia tidak tahu kalau Naruto melakukan semua ini karena sudah berjanji?
Melihat Naruto menunduk diam, Hinata berjalan mendekati Naruto. Shion menyadarinya dan berdiri di samping Naruto, menggenggam tangan kanan Naruto, seolah tidak ingin kehilangan Naruto.
Hinata merasakan dadanya semakin sakit melihat pemandangan di depannya. Tapi ia tetap melanjutkan kata-katanya. Ia harus menyampaikan perasaannya sekarang juga. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Buat apa ia berlari sekuat tenaga ke Negara Iblis selama 2 hari? Buat apa ia menerobos para pengawal pintu gerbang istana kalau ia harus menyerah begitu saja?
Hinata menatap Naruto dan tersenyum lembut.
"Naruto-kun, walaupun kamu memutuskanku, aku ingin tetap jadi pacarmu. Aku tidak peduli berapa kalipun kamu memutuskanku, aku ingin tetap jadi pacarmu. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku tidak ingin melepasmu lagi," kata Hinata dengan pipi yang memerah. Ia mengatakannya begitu lancar tanpa beban, juga tanpa tergagap sedikitpun.
Naruto langsung mengangkat kepalanya. Memandang bola mata lavender Hinata. Ia sangat familiar dengan kalimat yang diucapkan Hinata. Ya, ia ingat sekarang. Ia pernah mengucapkan kalimat yang mirip dengan kalimat Hinata barusan. Ia mengatakan kalimat itu di hari dirinya dan Hinata jadian 3 tahun lalu.
Sekarang Naruto merasa dirinya seperti pecundang.
Hinata berani melawan semua yang menentang hubungan mereka, menentang Shion dan Tsunade, bahkan mungkin pemimpin Negara Api jika masalah ini semakin besar nantinya. Tapi apa yang dilakukan Naruto? Ia tidak punya keberanian untuk menentang seperti Hinata. Ia lebih memilih untuk menuruti Tsunade dan menepati janji bodohnya.
Bukankah orang yang seperti itu pengecut?
Ya! Pengecut!
Tidak berani mengambil resiko dan penakut!
Kalau Hinata saja yang pemalu bisa memberanikan dirinya untuk melakukan ini? Kenapa Naruto tidak bisa?
Shion memandang Naruto, yang saat itu sedang memandang Hinata. Shion melihat tatapan yang begitu lembut, tatapan rindu Naruto kepada Hinata.
"Naruto? Apa benar yang dikatakannya?" ulang Shion. Hatinya diliputi rasa ketakutan, pegangannya di tangan Naruto semakin erat.
Tapi tak lama kemudian Naruto melepas pegangan tangan Shion dan juga melepas jubahnya. Shion menatap Naruto penuh tanda tanya.
"Sebenarnya sekarang dia bukan pacarku lagi," kata Naruto. Hinata sempat tercekat mendengar perkataan Naruto itu. "Tapi apa itu penting? Hubungan kami lebih dari sekedar apa yang sering kalian sebut 'pacar'. Itu hanya status. Sekarang kami tidak butuh istilah itu untuk menggambarkan hubungan kami. Selama kami bisa menunjukkan rasa sayang dan cinta kami satu sama lain itu sudah cukup."
Saat itu Hinata merasa hatinya berbunga-bunga. Dari semua kata-kata yang pernah Naruto ucapkan, kata-kata Naruto barusanlah yang terasa paling indah didengar oleh telinga Hinata. Begitu menenangkan dan membuat hatinya lega. Akhirnya usahanya tidak sia-sia.
Naruto berjongkok dan memungut cincin emas putih yang tadi jatuh kemudian menyimpan cincin itu di genggaman Shion.
"Gomen, aku tidak bisa tunangan denganmu, " kata Naruto. Ia mendekati Hinata dan menggenggam tangannya. Hinata memandang Naruto terharu. Naruto menenangkan Hinata dengan menautkan jari-jari mereka.
"Apa... apa kau bilang? Beraninya kau!" Shion melotot. Tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Gomen, aku sudah berjanji dan tidak menepatinya. Kita salah paham. Aku tidak tahu maksud kata-katamu waktu itu. Aku terlambat menyadarinya. Sekarang kalau kau mau, kau boleh menghukumku karena aku tidak bisa menepati janjiku. Tapi jangan libatkan Konoha dan teman-temanku dalam masalah ini. Ini hanya masalah antara kita berdua."
"Aku... aku juga rela mendapatkan hukuman," kata Hinata. Pegangannya di tangan Naruto semakin erat, entah hukuman apa yang akan mereka terima dari sang pemimpin Negara Iblis.
Shion semakin kesal dan menatap tajam mata shapire Naruto. Tatapan itu begitu menusuk, Naruto tahu Shion sangat kecewa padanya. Kemudian tatapan Shion beralih ke mata lavender Hinata. Dua bola mata lavender saling memandang.
Namun saat mata lavender Shion menatap tajam mata lavender Hinata, menyelami dalamnya mata clan Hyuuga itu, sesuatu terjadi...
"Ugh..." Shion memegang kepalanya. Bayangan-bayangan aneh muncul di kepalanya saat ia memandang mata lavender Hinata. Ia pusing dan terhuyung, beruntung Shion bisa bertumpu pada kursi di dekatnya.
"Shion? Ada apa?" Naruto panik dengan reaksi Shion yang tiba-tiba.
"Shion-sama?" Para pengawal ikut panik. Dan salah satu di antara pengawal itu memegang tangan Shion.
Namun Shion menggeleng. "Aku tidak apa-apa."
Kemudian Shion kembali menatap Naruto.
"Kalau memang itu maumu, aku tidak akan memaksa. Dan aku tidak sejahat yang kau pikirkan, aku tidak akan menghukum kalian." Naruto dan Hinata tersenyum menanggapi kata-kata Shion. Ada rasa lega yang tidak bisa digambarkan di hati mereka.
"Pengawal, batalkan acara ini!" perintah Shion.
"Ta-tapi yang mulia-"
"Ini perintah!"
Sang pengawal menurut dan menyuruh para tamu untuk membubarkan diri. Tak lupa mereka juga meminta maaf karena ketidak nyamanan ini. Tamu undangan mulai berbisik-bisik, tapi tetap membubarkan diri dengan tertib.
"Oh ya, sediakan juga 1 kamar kosong untuk gadis lavender ini," tambah Shion.
Naruto tak tahu apa yang merasuki jiwa Shion, tapi yang jelas ia senang dengan keputusan Shion ini.
"Arigato Shion," kata Naruto sambil membungkuk hormat. Shion hanya mengibaskan tangannya sambil berlalu meninggalkan ruangan.
"Senang sekali semuanya berakhir bahagia. Benarkan Hinata-ch-"
PLAAKK!
Kata-kata Naruto terhenti saat Hinata menampar pipi Naruto dengan keras. Sakura dan Lee mati-matian menahan tawa mereka. Kakashi melongo sedangkan Neji mendengus puas. Naruto memang pantas dihadiahi sebuah tamparan.
"Baka!" bentak Hinata, tapi tak lama kemudian Hinata langsung memeluk Naruto. "Kenapa tidak jujur saja padaku mengenai masalah ini?"
"Aku tidak ingin membuatmu sedih," jawab Naruto. Ia membalas pelukan Hinata dan mengusap-usap puncak kepala Hinata.
Pipi Hinata memerah mendengar alasan Naruto. Naruto memang selalu memikirkan dirinya, yah meskipun kadang perhatian Naruto itu disampaikan dengan cara atau sikap yang salah.
"Aku justru lebih sedih saat aku tahu kamu membohongiku."
"Gomen," kata Naruto pelan, lebih terdengar seperti bisikan.
"Jangan pernah bohong padaku lagi." Hinata semakin membenamkan kepalanya di dada Naruto.
"Ya, aku janji." Naruto mengecup kepala Hinata dengan lembut kemudian memeluk Hinata semakin erat. "Karena aku tidak ingin melihatmu berbuat nekat lagi seperti ini."

Hinata terbangun saat seseorang memasuki kamarnya. Untunglah luka-lukanya sudah diobati oleh Sakura sehingga ia bisa beringsut dan duduk di tempat tidurnya.
"Shion-sama."
"Panggil saja aku Shion," kata Shion sambil duduk di tepi tempat tidur Hinata.
Terjadi keheningan setelah itu. Hinata yang merasa tidak nyaman berusaha memulai pembicaraan tapi Shion mendahuluinya.
"Saat pertama aku melihatmu, aku sedikit kaget menyadari kalau kita mirip. Gaya rambut kita, warna kulit kita, dan terutama mata kita."
Hinata tersenyum. Ya, mereka memang mirip. "Tapi menurutku, matamu lebih cantik."
Shion menoleh ke arah lain, menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Malu sekali kalau ketahuan Hinata. Biar bagaimanapun Hinata itu kekasih dari mantan-calon-tunanganmu, dia itu kekasih dari orang yang dicintainya! Seharusnya ia membencinya dan tidak boleh tersenyum hanya karena Hinata memujinya!
"Sebenarnya aku masih sakit hati padamu. Tapi ada hal yang mengganggu pikiranku dari kemarin," lanjut Shion. "Dan kurasa ini menjadi salah satu alasan kenapa aku membatalkan pertunanganku dengan Naruto."
Hinata tertegun, ternyata Shion mengunjunginya malam-malam memang ada hal penting yang ingin disampaikannya. Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa ia dibiarkan menginap di istananya malam ini. Hinata memperhatikan Shion, menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya.
"Saat aku menatap matamu, aku melihat bayangan-bayangan. Aku melihat pandangan masa depan. Apa kau tahu kalau aku bisa mengetahui kematian seseorang?"
Hinata mengangguk.
"Tapi ini beda dengan pandangan masa depanku yang lain. Biasanya aku hanya akan mengetahui orang yang mati untuk melindungiku. Tapi kemarin berbeda, aku melihat kematian orang yang melindungi Naruto. Bayangan-bayangannya lebih samar dari biasanya, tapi aku masih bisa melihat siapa orang yang mati untuk melindungi Naruto."
Hinata mulai menyadari arah pembicaraan Shion.
"Orang itu adalah kau Hinata. Dalam bayanganku, kau mati saat melindungi Naruto."
Hinata tersenyum. Ya, ternyata benar obrolan Shion mengarah kesana.
"Kenapa tersenyum?" tanya Shion heran.
"Aku memang akan mati 6 bulan lagi," gumam Hinata tanpa melepas senyumannya.
"Apa?" Shion kaget sekaget-kagetnya. Apa maksud gadis lavender di depannya ini? Apa ia juga bisa melihat masa depan? Atau ia hanya gadis yang sama bodohnya dengan Naruto? Yang tidak takut mati mendengar ramalan Shion? Pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul di benak Shion.
Hinata menghela nafas panjang.
"Kita sudah terlanjur membahas masalah ini. Kalau begitu akan kuceritakan semuanya," ujar Hinata, kali ini tatapannya berubah serius. "Asalkan Shion mau berjanji untuk menjaga rahasia ini."
"A-aku janji, ceritakan semuanya padaku."
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar