pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Kesempatan kedua chapter 13

A/N: Fic ini dibuat oleh Rifuki-sama dengan pairing naruhina semoga kalian suka ;D 

Kesempatan Kedua
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Fantasy
Rate: T
Summary: Apa yang akan kau lakukan jika Tuhan memberimu kesempatan kedua dan mengembalikanmu ke masa lalu?
Warning: AR, AT: Time travel. Bahasanya kadang baku kadang nggak.

Cerita Sebelumnya:
"Dan kekuatanku harus diturunkan kepada pendeta selanjutnya. Apa kau mau membantuku Naruto?" tanya Shion sambil menoleh ke arah Naruto. Senyuman masih terkembang di wajahnya.
Semua orang disana kaget. Terutama Neji, hanya saja ia pintar menyembunyikan kekagetannya.
Menurunkan kekuatan kepada pendeta selanjutnya berarti menurunkan kekuatan kepada generasi selanjutnya, dengan kata lain kepada putrinya. Karena sekarang Shion belum menikah dan belum punya anak, itu sama saja dengan meminta Naruto untuk menjadi ayah dari anak-anaknya!
Neji harap-harap cemas menunggu jawaban Naruto.
'Berikan jawaban yang tepat Naruto!' batin Neji.
"Tentu," Naruto nyengir dan mengangkat jempolnya. "Aku akan melakukan apa pun untuk membantumu."
Semua yang disana semakin kaget. Sedangkan kedua tangan Neji mengepal kuat mendengar jawaban Naruto.
'Naruto, kau memang bodoh!', pikir Neji. Mau dikemanakan sepupunya Hinata?
"Be-benarkah?" tanya Shion tidak percaya.
"Ya," jawab Naruto mantap.
"Aku pegang kata-katamu," kata Shion sambil mengalihkan pandangannya ke pegunungan di hadapannya, menyembunyikan pipinya yang merona merah.
.
.
.
Chapter 13
- Gomen, Hinata-chan -
Normal POV
DZIGH!
Naruto tersungkur setelah menerima bogem mentah dari Neji. Pipinya langsung memerah dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Naruto mengusap darah yang keluar dari mulutnya dengan punggung tangannya. Rupanya Neji memukul Naruto tanpa membatasi kekuatannya, ia serius dan tidak main-main. Naruto belum sempat berdiri saat Neji menarik kerah jaketnya dengan paksa.
"K-kenapa kau memukulku?" tanya Naruto bingung. Respon Naruto itu hanya membuat Neji semakin kesal. Tangan kanan Neji mengepal kuat dan beberapa urat muncul disana.
"Kau masih bertanya kenapa aku memukulmu? Sadarkah apa yang kau bilang kepada Shion tadi?" bentak Neji penuh amarah.
Neji mengguncang-guncang badan Naruto dan bersiap memukul wajah Naruto lagi sebelum Lee dan Shikamaru menahan tangan Neji. Yang lain ikut panik dan mendekati Neji dan Naruto.
"Hentikan Neji!" Shikamaru dengan susah payah menahan tangan kanan Neji yang akan memukul wajah Naruto. Sedangkan Lee berusaha melepas pegangan tangan kiri Neji di kerah jaket Naruto.
"A-apa? Yang mana maksudmu?" tanya Naruto lagi, belum sadar akan kesalahan besar yang telah dilakukannya. Neji menghempaskan badan Naruto, membuat Naruto kembali tersungkur di tanah.
"Kau akan membantu Shion menurunkan kekuatannya kepada generasi selanjutnya!"
"Apa ada yang salah dengan itu?" Yang lain hanya geleng-geleng kepala. Perasaan mereka campur aduk antara kasihan dan kesal melihat kebodohan Naruto. Kasihan karena melihat Naruto tidak menyadari masalah besar apa yang sedang dihadapinya. Dan kesal karena Naruto kelewat bodoh untuk remaja seusianya. Untung saja yang lain tahunya Naruto masih remaja, kalau tahu Naruto sudah 20 tahun pasti mereka tambah kesal.
Di samping Naruto, Sakura menunduk sedih menyadari kesalahan yang diperbuat sahabatnya. Apalagi sekarang ia jadi ingat kepada Hinata. Sakura tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Hinata mengetahui perbuatan Naruto ini. Sedangkan di samping Sakura, ada Kakashi yang menatap Neji dan Naruto bergantian dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Mungkin sedih, mungkin juga kesal. Ia menghela nafas panjang, tak menyangka perjalanan pulang mereka menuju Konoha akan sekacau ini.
Sebenarnya Neji sudah berusaha untuk tetap tenang, tapi mendengar kebodohan Naruto ia jadi tidak tahan dan kembali memberontak. Ia ingin memukul wajah tanpa dosa itu. Tapi Shikamaru dan Lee menahannya semakin kuat.
"Tentu saja baka! Itu sama saja dengan kau menyetujui untuk jadi ayah dari anak-anaknya!" Neji menunjuk muka Naruto kesal.
Naruto kaget, mulutnya terbuka tapi tak sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya saking kagetnya. Naruto mengingat kembali perkataan Shion. Kata demi kata.
"Dan kekuatanku harus diturunkan kepada pendeta selanjutnya. Apa kau mau membantuku Naruto?"
Kekuatan, diturunkan, pendeta selanjutnya, membantu. Membantu menurunkan kekuatan kepada pendeta selanjutnya, kepada anak perempuan Shion. Dan sekarang Shion tidak punya anak. Itu berarti...
Mata Naruto membesar saat menyadari apa makna dibalik kata-kata Shion. Badannya langsung lemas, sekujur tubuhnya bergetar, kepalanya menunduk.
'A-apa yang baru saja kuperbuat?' batin Naruto.
"Kau itu bodoh! Tolol! Sekarang kau boleh lebih besar dan tinggi tapi otakmu masih sama seperti 3 tahun lalu," bentak Neji lagi.
"Neji, tenangkan dirimu," kata Shikamaru.
Neji berusaha menangkan dirinya lagi. Bahkan seorang Neji yang terkenal stoic dan kalem bisa berubah drastis seperti itu. Ia jadi emosi saat berkaitan dengan masalah Hinata. Yang lain juga kaget, seorang Neji yang sebelumnya selalu berfikir jernih di setiap suasana bisa marah besar. Hari itu mereka melihat sosok Neji yang lain, dengan sikap sister complex yang berusaha melindungi adik kesayangannya.
Setelah beberapa saat Neji melepas pegangan Lee dan Shikamaru. Ia merapikan bajunya kemudian menatap Naruto tajam.
"Naruto!"
Naruto mendongak ke arah Neji.
"Kalau sampai kau membuat Hinata-sama menangis, kau akan tahu akibatnya!"
Naruto memandang Neji dengan perasaan bersalah yang kian memenuhi hatinya. Hinata sudah pasti akan sedih dan menangis mendengar kabar ini. Memangnya perempuan mana yang tidak akan sedih ketika pacarnya menghianatinya? Naruto menelan ludah, dengan begini Neji juga sudah PASTI akan menghajarnya. Ia harus siap, hanya tinggal masalah waktu.
Naruto menatap punggung Neji yang kian jauh meninggalkannya.
'Aku lebih parah dari pemikiranmu Neji, aku 20 tahun sekarang dan telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Kesalahan yang tidak pantas diperbuat lelaki berumur 20 tahun.' batin Naruto.
Sekarang Naruto menyadari sepenuhnya apa yang membuat Neji marah besar tadi. Respon yang wajar untuk seorang kakak yang merasa adiknya telah dihianati. Apalagi Hinata sangat-sangat tidak pantas untuk dihianati. Ia terlalu baik dan polos.
Bayangan Hinata langsung memenuhi kepala Naruto saat itu. Bayangan-bayangan Hinata yang sedang tersenyum hangat. Naruto tidak mau kehilangan senyuman itu. Ia tak mau membuat Hinata sedih. Kedua tangan Naruto mengepal karena kesal, meyadari kesalahannya sendiri.
Setelah menyadari kesalahannya, Naruto lebih banyak murung. Sepanjang perjalanan dari Negara Iblis hingga Konoha, ia hanya diam. Raut mukanya sedih. Beberapa kali Sakura mencoba menenangkan Naruto, tapi tidak berhasil.
Naruto merasa kesalahannya terlalu besar. Bayangkan saja, Naruto bersumpah untuk melindung Hinata karena tidak mau membuat Hinata sedih atau menangis. Dan sekarang malah dirinya yang melakukan hal yang bisa membuat Hinata menangis. Neji benar, dirinya memang tolol. Orang tolol yang menghianati orang yang seharusnya dilindunginya.
'Sekarang apa yang harus kukatakan kepada Hinata-chan?' batin Naruto.

Perjalanan dari Negara Iblis ke Konoha terasa singkat, tidak seperti yang diharapkan Naruto. Padahal ia berharap perjalanan akan lama sehingga tidak segera bertemu Hinata. Ia bingung apa yang harus ia katakan ketika bertemu Hinata.
Tapi Naruto harus kembali menenangkan dirinya saat sampai di apartemen. Karena ternyata di apartemennya, Hinata sedang menunggu kedatangannya.
"Tadaima," kata Naruto saat memasuki apartemen.
"Okaeri," balas Hinata.
Naruto mengistirahatkan badannya di sofa, diikuti Hinata yang duduk disampingnya. Hinata memperhatikan Naruto yang sedang memejamkan matanya. Kemudian Hinata menggenggam tangan Naruto dan mengelusnya pelan.
Naruto menggigit bibir bawahnya. Setiap sentuhan Hinata di tangannya membuatnya merasa begitu nyaman. Ia tak bisa membayangkan kalau harus kehilangan Hinata.
"Naruto-kun? Kamu lelah?" tanya Hinata saat menyadari Naruto hanya diam saja.
Naruto tidak menjawab.
"Kalau begitu biar aku masak makanan untukmu. Bahan makanan masih banyak, mau aku masakan apa?"
Naruto tidak juga menjawab. Ia hanya membuka matanya dan memandang wajah Hinata lekat. Naruto melihat senyum manis Hinata. Saat itu juga dada Naruto terasa sakit. Ia tak tega kalau harus bicara jujur kepada Hinata tentang Shion. Ia takut kehilangan Hinata, takut kehilangan senyum manis itu. Tapi tetap menyembunyikan masalah ini juga bukan merupakan pilihan yang tepat.
"Sepertinya kamu sangat lelah ya? Baiklah, aku akan buatkan donburi saja," kata Hinata dan segera berdiri, bersiap untuk memasak.
"Hinata-chan." Naruto menarik tangan Hinata dan langsung memeluknya.
"Eeh?" Hinata kaget melihat perlakuan Naruto yang tiba-tiba ini. "Naruto-kun kenapa?" tanya Hinata.
Hinata merasa aneh, tidak biasanya Naruto seperti ini.
Naruto menggeleng. "Aku hanya ingin memelukmu saja."
"Apa ada masalah saat misi?"
Naruto tertegun, badannya menegang. Apa sikapnya begitu jelas memperlihatkan kalau dia sedang punya masalah? Atau memang Hinata sudah terlalu hapal sikapnya ketika sedang mendapat suatu masalah? Entahlah, yang jelas sekarang ia tak tahu harus menjawab apa.
"Ada ya?" tanya Hinata yang melihat Naruto hanya diam saja.
"Bisakah kita tidak membahas itu dulu?" Naruto mempererat pelukannya kepada Hinata. Seolah tak ingin kehilangan sang gadis.
"Baiklah." Hinata mengangguk kemudian membalas pelukan Naruto. Ia tak tahu apa masalah yang dihadapi Naruto. Ia hanya berusaha untuk menenangkan pacarnya itu. Karena di saat-saat seperti ini, Naruto sedang membutuhkan dirinya.

Setelah Naruto tenang, Hinata kembali menawari Naruto makan malam tapi Naruto menolak. Naruto malah menyuruh Hinata pulang, karena memang hari sudah malam.
Dan saat Hinata pulang, tanpa Hinata ketahui kesedihan dan kekesalan kembali menghampiri diri Naruto. Masalah mengenai Shion kembali memenuhi tiap sudut pikiran Naruto.
"Sial!" Naruto membanting pintu kamarnya dan merutuk dirinya sendiri.
Ini adalah hal yang sama dengan 4 tahun lalu. Tapi keadaan sekarang beda, ia sudah punya pacar sekarang. Menerima ajakan Shion adalah kesalahan besar. Ia jadi membenci dirinya sendiri kenapa dirinya begitu bodoh untuk sekedar tahu makna ajakan Shion?
Sekarang sudah terlambat. Shion sudah terlanjur menaruh harapan pada diri Naruto. Apalagi Naruto sudah berjanji kepada Shion. Naruto bukanlah orang yang segampang itu melanggar sebuah janji. Itu bukanlah 'jalan ninja' yang sering dijunjung tinggi olehnya.
Naruto menjatuhkan dirinya di kasur. Ia teringat kembali wajah khawatir Hinata beberapa saat sebelumnya.
'Gomen, Hinata-chan. Aku belum siap menceritakan masalah ini. Entah kapan aku siap,' batin Naruto.
Naruto mencoba untuk tidur dan menenangkan pikirannya. Berharap setelah itu pikirannya bisa jernih kembali dan mendapat solusi yang tepat untuk masalahnya.
Akhirnya malam itu Naruto bisa tertidur. Tanpa makan, tanpa mandi, dan tanpa ganti baju. Pikirannya terlalu kacau untuk mempedulikan hal-hal kecil seperti itu.
Hari berganti dengan begitu cepat saat matahari pagi menyinari kamar Naruto. Ia bangun dengan mata merah dan kepala yang terasa pusing. Ternyata walaupun matanya tertutup, sebenarnya tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya tetap melayang-layang memikirkan kejadian kemarin.
Naruto bangun dan pergi ke kamar mandi, mudah-mudahan mandi di pagi hari bisa menenangkan pikirannya. Naruto mengguyur kepalanya dengan air dingin. Dinginnya air pagi itu membuat rasa pusing di kepala Naruto sedikit berkurang. Setelah mandi, ia pergi ke balkonnya. Menghirup udara pagi dan melihat para penduduk Konoha yang mulai sibuk memulai aktifitas mereka masing-masing.
Naruto kemudian bersandar di pagar balkon dan memandang langit pagi Konoha. Sambil berusaha mengingat kembali kejadian 4 tahun lalu. Mengingat setiap detail kejadian di saat misi ke Negara Iblis.
Empat tahun lalu Naruto juga menyetujui ajakan Shion. Tapi sampai penyerangan Pain, Shion tidak menghubunginya lagi. Mungkinkah Shion lupa?
Naruto mulai menghitung rentang waktu misi Negara Iblis dengan penyerangan Pain. Setelah dihitung, ternyata rentangnya sangatlah lama, lebih dari 6 bulan. Wajarkah ketika 'melamar' seseorang kemudian tidak melakukan apa-apa lagi selama itu? Tanpa komunikasi sedikitpun? Apakah dulu, 4 tahun lalu Shion ingin Naruto yang mengambil inisiatif untuk menemuinya ke Negara Iblis? Atau memang Shion melupakan janji Naruto?
'Ya, pasti Shion lupa! Pasti dia lupa!' pikir Naruto menangkan diri. Walaupun rasa khawatir tetap saja ada dalam hati kecilnya.
'Lupakan Shion, lupakan Shion!' kata Naruto dalam hati.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu apartemen menyadarkan pikirannya yang sibuk. Naruto bergegas membukakan pintu.
"Pagi Naruto-kun."
Naruto melihat Hinata berdiri di depan pintu apartemennya.
"Pagi Hinata-chan." Naruto berusaha tersenyum kali ini.
"Pikiranmu sudah tenang?" tanya Hinata.
"Lumayan," jawab Naruto.
"Ayo aku buatkan sarapan." Hinata menarik tangan Naruto ke dalam.
Naruto tersenyum.
'Aku harus melupakan Shion. Kehidupanku harus berjalan normal kembali,' pikir Naruto.

Hari-hari Naruto berjalan normal setelah itu. Ia sudah mulai bisa melupakan masalah Shion. Hari ini hari Kamis, 5 hari setelah kepulangan Naruto dari Negara Iblis. Seperti biasa, sebelum Naruto pergi bekerja di toko bunga Yamanaka, Hinata membuatkan Naruto sarapan.
Butuh waktu 30 menit untuk Hinata menyelesaikan masakannya. Selama itu bola mata Naruto tidak lepas memperhatikan tiap gerak Hinata. Sesekali Naruto tersenyum melihat Hinata yang sedang memasak.
"Makanan sudah siap Naruto-kun," kata Hinata sambil menyiapkan makanan di meja makan.
"Arigato Hinata-chan."
Hinata mengambilkan nasi untuk Naruto. Baru saja Naruto akan memakan sarapannya, seseorang mengetuk pintu apartemennya lagi.
"Masuk," seru Naruto, terlalu malas untuk membukakan pintu.
Tak lama Sakura muncul dari balik pintu dengan terburu-buru.
"Naruto!"
"Ada apa Sakura-chan?"
"Tsunade-taichou memanggil kita."
"Sekarang juga?" tanya Naruto.
"Ya, katanya ini sangat penting, terutama untukmu." Naruto mengerutkan keningnya kemudian memandang Hinata.
"Tidak apa-apa Naruto-kun. Aku akan menunggu disini."
"Gomen, aku akan pulang secepatnya," kata Naruto, sesaat memandang Hinata, kemudian segera menyusul Sakura ke luar.
"Masalah apa ya? Tidak biasanya aku dianggap penting begini."
Sakura menggeleng. "Aku juga tidak tahu."
"Perasaanku tidak enak," ujar Naruto pelan.
Sakura menatap Naruto sejenak. Ya, memang tidak biasanya Tsunade memanggil Naruto dan menganggap Naruto penting. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Saat Naruto dan Sakura tiba di ruangan Hokage, disana sudah ada Kakashi, Neji, dan Lee.
Naruto memandang Tsunade bingung, ia melihat ekspresi serius di wajah sang Hokage berwajah cantik itu. Tsunade menyadari kebingungan Naruto, ia menyimpan selembar kertas di meja kerjanya. Semua mata tertuju kesana.
"Hei bocah," kata Tsunade yang tentu saja ditujukan kepada Naruto. Naruto mengalihkan pandangannya dari kertas itu kembali kepada sang Hokage. "Langsung saja pada intinya. Ini surat undangan dari Negara Iblis, khususnya dari Shion. Isinya Shion ingin menagih janjimu dan melangsungkan pertunangan denganmu secepatnya."
Semua yang hadir disana kaget. Terutama Naruto. Ia merasa jantungnya nyaris meledak. Apa-apaan ini? Pertunangan? Secepat ini?
Sedangkan Neji mati-matian menahan amarahnya. Kedua tangannya mengepal kuat.
"Sekarang coba kau jelaskan apa arti semua ini?" lanjut Tsunade.
Naruto mematung, tak mampu menjawab. Analisisnya 5 hari lalu salah besar. Ternyata Shion tidak melupakan kejadian waktu itu, malah pertunangan ini sama sekali tidak diduga oleh Naruto. Ini terlalu mendadak.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Tsunade lagi.
Tsunade melirik Neji.
"Neji? Dalam misi minggu lalu kau ketuanya. Jelaskan apa yang terjadi."
Neji berhasil menahan amarahnya, ia menarik nafas panjang dan mulai bercerita.
"Baik Tsunade-sama. Setelah kami berhasil menyelesaikan misi kami, pendeta tertinggi Negara Iblis, Shion-sama, merasa perlu mewariskan kekuatannya kepada pendeta selanjutnya, atau dengan kata lain kepada putrinya kelak. Kemudian beliau meminta Naruto untuk membantunya. Dan Naruto dengan BODOHNYA menyetujui. Naruto terlanjur berjanji dan Shion-sama juga sudah terlanjur senang waktu itu. Dan akhirnya, jadilah seperti ini."
Tsunade memegang kepalanya dan bertumpu ke meja. "Kenapa jadi kacau begini," keluhnya.
Hening beberapa saat, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebelum akhirnya Tsunade menegakkan badannya dan memandang semua yang hadir disana bergantian. Kemudian pandangannya terhenti di wajah Naruto.
"Tidak ada jalan lain. Demi menjaga hubungan bilateral Negara Api, khususnya Konoha dengan Negara Iblis, kau harus menepati janjimu kepada Shion. Kuperintahkan kau untuk berangkat lusa. Neji, Lee, dan Sakura, kalian juga ikut karena dalam misi kemarin kalian ikut serta. Kakashi, kuminta kau jadi wali Naruto, mengingat kau juga ikut ke Negara Iblis waktu itu. Selain itu kau lah orang yang paling dekat dengan Naruto."
Semua disana mengangguk tanda mengerti, kecuali Naruto. Ia tidak siap menghadapi ini, ia tidak siap meninggalkan Hinata.

Naruto mengacak rambut pirangnya bingung. Sekarang semuanya tambah rumit. Berarti Shion sama sekali tidak lupa.
Tapi ia heran, 4 tahun lalu Shion tidak mengirim surat undangan ini. Kenapa sekarang ia mengirim ini? Apakah ada hal atau perbuatan dari Naruto yang sekarang yang membuat Shion menagih janjinya secepat ini? Apakah karena kali ini Naruto tidak berbuat konyol separah dulu?
Saking kesalnya, Naruto memukul pohon di pinggir jalan hingga tumbang. Sepasang anak muda yang sedang pacaran tidak jauh dari sana, berbisik-bisik tidak jelas melihat kelakuan Naruto.
Naruto mendengus kesal, ia memilih tidak mempedulikan mereka dan kembali ke apartemennya melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
Tapi kembali ke apartemen juga tidak membantu menenangkan pikirannya. Masalah Shion terus saja menghantuinya. Mempengaruhi sikap dan nafsu makannya. Hinata menyadari perubahan sikap Naruto.
"Naruto-kun. Kenapa makannya sedikit? Apa makanannya tidak enak?"
Naruto langsung panik mendengar perkataan Hinata.
"Bu-bukan, a-aku... Aku... Aku sedang tidak nafsu makan."
Sebelum Hinata merespon, Naruto melanjutkan kalimatnya. "Aku langsung ke toko bunga Yamanaka saja."
"Ta-tapi, kamu baru makan sedikit. Naruto-kun, Naruto-kun!"
Naruto tidak mempedulikan panggilan Hinata. Hanya melihat wajah Hinata saja membuat dadanya terasa sakit. Kenapa ia menghianati gadis sebaik Hinata? Naruto tidak tega kalau harus berpisah dengan Hinata. Hinata akan sedih, apalagi dirinya.

Perubahan sikap Naruto yang drastis pagi tadi membuat Hinata sangat khawatir pada pacarnya. Sehingga sore itu Hinata memutuskan untuk menunggu Naruto di depan toko bunga Yamanaka. Ia yakin ada sesuatu yang salah dengan pacarnya.
Tepat jam 5 sore, sosok remaja pirang yang dari tadi ditunggunya akhirnya keluar.
"Naruto-kun!" panggil Hinata.
Naruto kaget melihat Hinata sudah menunggunya.
"Ayo pulang Naruto-kun," kata Hinata sambil tersenyum. Tapi ia harus kecewa, karena Naruto-kunnya tidak membalas sedikitpun senyumannya. Malah lebih parah, Naruto memalingkan mukanya dan mulai berjalan menjauhi Hinata.
"Gomen, sekarang aku mau ke rumah Kiba. Tadi pagi dia menyuruhku ke rumahnya," kata Naruto tanpa menghentikan langkahnya.
Tapi sebelum Naruto jauh, Hinata memegang tangan Naruto.
"Cukup Naruto-kun..." kata Hinata, suaranya bergetar. "Aku tahu kamu bohong. Kiba sedang ada misi bersama Shino dari kemarin. Aku yakin kamu sedang punya masalah. Aku mohon ceritakan saja padaku. Setelah kita pacaran, bukankah kita sudah berjanji untuk saling membantu saat kita punya masalah? Tolong jangan menghindariku terus."
Naruto sedikit kaget, tidak biasanya Hinata berkata panjang lebar seperti itu.
"Gomen." Naruto kembali membuang mukanya.
"Kenapa? Apa ini ada hubungannya denganku?"
"..." Naruto hanya diam tak menjawab.
"Kenapa kamu menghindariku? A-apa aku punya salah padamu?" tanya Hinata. Kata-katanya begitu pelan dan bergetar. Begitu pilu saat terdengar oleh telinga Naruto.
Naruto mengigit bibir bawahnya. "Bukan bukan, bukan itu."
"Kalau begitu ayo ceritakan. Aku tidak mau kamu menghindariku seperti ini. Apa masalahnya memang besar?"
"Begitulah."
"Aku tidak peduli seberapa besar masalahnya, kalau kita tanggung berdua akan lebih ringan."
Naruto kembali terdiam, ia bingung harus melakukan apa sekarang. Kalau jujur dan bilang akan tunangan dengan Shion, ia yakin akan menyakiti hati Hinata.
"Naruto-kun?" Hinata mengguncang-guncang pundak Naruto.
"Aku ingin kita putus," kata Naruto tiba-tiba. Jujur saja, hatinya terasa hancur saat ia mengatakan hal itu. Ia tidak mau mengatakan hal itu. Tapi bagaimana lagi? Ini memang harus terjadi.
Saat itu juga bola mata lavender Hinata membulat. Kakinya melangkah mundur saking kagetnya. Tangannya disimpan di mulutnya, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku bukan laki-laki yang pantas untukmu," lanjut Naruto.
"Ke-kenapa bilang begitu?" tanya Hinata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Hanya... Hanya Naruto-kun yang kusayangi. A.. Aku menyayangimu apa adanya. Kenapa bilang ka-mu tidak pantas untukku? Ke... Kenapa? Hiks..."
Sekarang Hinata sudah benar-benar menangis. Mata lavender cantik itu sudah menurunkan tetesan-tetesan air mata, mengalir menganak sungai di pipi putih Hinata.
Melihat kondisi Hinata, hati Naruto langsung kembali terasa sakit. Setiap tetes-tetes air mata Hinata yang jatuh, seakan merupakan jarum yang menusuk-nusuk hati Naruto. Naruto sudah tidak kuat, ia berbalik dan bersiap untuk pergi.
"Kamu layak mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku. Selamat tinggal." Itulah kalimat terakhir Naruto sebelum ia pergi meninggalkan Hinata yang terduduk sambil menangis tersedu-sedu.
'Gomen, Hinata-chan. Ini memang berat. Tapi ini yang terbaik,' batin Naruto sambil megusap air mata yang juga mulai keluar dari mata shapirenya.

Halo Naruto
Kau sudah baca surat undanganku 'kan?
Gomen kalau ini sangat mendadak. Tapi setelah kau pulang, pikiranku jadi tidak enak. Dengan jarak kita yang sangat jauh, aku khawatir kau melupakan janjimu. Bukannya aku meragukan janjimu, hanya saja aku takut, sangat takut kalau aku akan kehilanganmu.
Karena kau sosok yang baik, dan kupikir hanya kaulah yang cocok jadi pasanganku. Jadi kuharap pertunangan ini akan mengikat kita. Dengan begitu pikiranku bisa tenang walaupun jarak kita berjauhan.
Kau tahu? Aku rela menurunkan harga diriku untuk menulis ini, tapi aku hanya ingin kau tahu kalau aku... aku menyayangimu Naruto. Aku serius tentang itu.
Cepatlah datang.
Shion
Naruto meremas kertas surat dari Shion. Surat itu datang bersama surat undangan pertunangan yang ada di Tsunade tadi pagi.
Ia sudah terlanjur berjanji kepada Shion. Nama baik Negara Api, khususnya Konoha sekarang ada di pundaknya. Ia harus bertunangan dengan Shion lusa. Pertunangan yang sebenarnya tidak diiginkan olehnya.
Kalau dipikir, Naruto telah menyakiti keduanya. Menyakiti Hinata dan juga Shion. Menyakiti Hinata karena telah menghianatinya, menduakannya dengan gadis lain. Menyakiti Shion karena telah berjanji tanpa tahu betul maksud sebenarnya dari janji tersebut. Selain itu ia juga harus bertunangan dengan Shion padahal ia tidak mencintainya. Dan berterus terang kalau kata-katanya dulu hanya salah paham, justru akan semakin meyakiti hati Shion yang tulus menyayanginya.
PRANG!
Naruto memukul cermin di kamar mandinya hingga pecah. Darah bercucuran dari tangannya.
"BAKA!" teriak Naruto, memaki dirinya sendiri.

"Aku dan Hinata-chan putus kemarin," ujar Naruto pilu. Jangan tanya seberapa sedih Naruto. Kalau ia seorang perempuan, mungkin sekarang ia sudah menangis dan mengurung diri di kamar. Tapi kenyataan kalau dia adalah seorang lelaki membuatnya tetap bersabar dan menguatkan dirinya. Karena itu, hari ini Naruto tetap masuk kerja.
"Yang sabar Naruto." Ino mengelus pundak Naruto. Ia tahu betul Naruto sedang amat sedih. Dari beberapa hari lalu, Sakura sudah menceritakan semua masalah Naruto kepadanya. Ino pun tak bisa berbuat banyak kali ini, masalahnya terlalu besar.
"Aku tidak ingin memojokkanmu kali ini. Mungkin ini memang jalan yang terbaik. Cepat atau lambat ini pasti akan terjadi," tambah Ino.
Naruto mengangguk.
"Sudah jam 5, pulanglah dan istirahat Naruto."
Naruto menurut dan pamit pulang.
Pikirannya masih kacau, dadanya terasa sakit. Ia tidak menyangka rasa sayangnya kepada Hinata sebesar ini. Terlalu besar sehingga saat ia memutuskan Hinata, seperti ada lubang besar di hatinya. Saking kacaunya pikiran Naruto, ia tidak sengaja menabrak seseorang. Naruto mendongak dan ternyata orang yang ditabraknya adalah Neji.
"Apa yang kau katakan kepada Hinata-sama?"
"Aku tidak bilang aku akan bertunangan. Aku bilang aku tidak layak untuk jadi pacarnya."
Neji menarik kerah jaket Naruto. "Kau tahu? Kemarin ia pulang sambil menangis. Sampai sekarang ia tidak mau keluar dari kamarnya."
Naruto memalingkan mukanya ke arah lain. Kata-kata Neji tadi membuatnya tambah sedih. Gara-gara putus dengannya, Hinata jadi mengurung dirinya seperti itu.
"Gomen, jika aku berkata jujur malah akan membuatnya tambah sedih. Aku tidak tega."
"Itu karena sejak awal kaulah yang salah dengan menyetujui ajakan Shion!"
Naruto tidak membantah, karena memang kata-kata Neji benar. Sejak awal dirinyalah yang salah.
Neji mengarahkan telapak tangannya yang lain ke perut Naruto. Mata Naruto membulat, sudah hapal betul gerakan tangan Hyuuga yang seperti itu. Dengan sigap ia menepis tangan Neji yang memegang kerah jaketnya. Menerima Jyuuken Neji dengan telak di perut bisa saja membuatnya tidak bisa lagi melihat dunia. Apalagi dengan kuatnya chakra di tangan Neji. Tampaknya ia serius ingin membunuh Naruto.
Naruto berhasil menghindar dan menjauh dari Neji.
"Gomen Neji, aku benar-benar tidak punya pilihan. Apapun keputusanku, Hinata-chan pasti akan sedih. Gomen, aku-"
"Jyuuken Hou, Hakke Rokujuuyonshou!" Naruto menoleh ke belakang dan melihat Hyuuga lain yang sudah melesat ke arahnya.
"Hanabi?"
'Sial!' batin Naruto. Naruto tidak sempat menghindar saat Hanabi menyerang 64 titik chakra miliknya. Membuat tubuhnya terlempar dan mati rasa.
"Bukankah sudah kubilang jangan sakiti Nee-san?" tanya Hanabi sambil mendekati tubuh Naruto yang tak berdaya. Pandangannya penuh kebencian. Neji ikut mendekat.
"Kau memang hebat karena tidak mati meskipun sudah menerima jurus Hanabi-sama. Tapi kupikir itu bagus karena jika langsung mati kau tidak akan merasa sakit. Tapi dengan keadaanmu sekarang, kau akan lebih menderita."
Setelah itu kedua Hyuuga itu meninggalkan Naruto sendiri. Membiarkan sang bocah Jinchuuriki yang tergeletak tak berdaya di jalan yang sepi sore itu.
Naruto memandang langit yang mulai gelap.
'Kelihatannya aku memang pantas menerima siksaan Hanabi. Agar aku merasakan rasa sakit yang sama dengan Hinata-chan. Mungkin ini akan sedikit meringankan rasa bersalahku. Apa rasa sakit hatimu sama seperti rasa sakitku sekarang Hinata-chan? Sepertinya masih belum sebanding ya? Gomen,' kata Naruto dalam hati, bibirnya tersenyum kecut. 'Kalau begitu semoga saja tidak ada yang menemukanku dan aku mati di sini. Dengan begitu aku mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatanku...'
Setelah itu rasa sakit di tubuh Naruto semakin menjadi, tiap sendinya terasa sakit. Dan bersamaan dengan itu, kesadaran Naruto mulai menghilang...
To Be Continue...
-Rifuki-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar