pendahuluan

Assalamualaikum. Wr. Wb
Seperti namanya blog ini akan menampilkan beberapa fanfic Naruto terbaik *menurut saya* secara copas oleh karena itu anda tidak perlu kaget bahwa isi blog ini pernah anda lihat ditempat lain. Sekian dari saya Terimakasih.
enjoy my blog :D

Jumat, 14 Desember 2012

Today, My life is begins Chapter 1, Friends are

A/N: Fic ini dibuat oleh ahaine-sama dengan pairing sasusaku semoga kalian suka ;D  


Today, My Life Begins
NARUTO © Masashi Kishimoto
Genre: Frienship/Romance
Chapter 1: friends are
Rated: T
.: oOo :.

Beberapa tipe persahabatan:
1.) Forever enemies
2.) From friends to enemies
3.) From enemies to friends4.) Forever friends
5.) From friends to lovers

.: oOo :.
F.R.I.E.N.D.S = (F)ight for you. (R)espect you. (I)nvolve you. (E)ncourage you. (N)eed you. (D)eserve you. (S)ave you.
.
Haruno Sakura, 16 th. Seorang gadis dengan wajah yang selalu ditutupi oleh kacamata setebal lima senti dan rambut yang dikepang berantakan. Sebenarnya orangnya supel dan jago olahraga, namun penampilannya membuat orang-orang lebih dahulu menjauhinya.
Uchiha Sasuke, 17 th. Cowok terpopuler seantero sekolah. Tampan, kaya, pintar, dan serba bisa walaupun orangnya cuek. Banyak misteri tentang dirinya. Tak pernah bisa akrab dengan Sakura.
Hyuuga Hinata, 16 th. Cewek terpopuler seantero sekolah. Baik, pemalu, dan sangat cantik. Dia dan Sakura bersahabat baik.
Yamanaka Ino, 17 th. Murid baru disekolah Sakure, Sasuke, dan Hinata. Nampaknya mereka berempat tidak akur sama sekali. Ino adalah gadis yang secantik Hinata, namun sifatnya tidak.
.
Sakura, Sasuke, Hinata, dan Ino adalah teman masa kecil. Sekarang? Tidak. Sakura dan Sasuke yang dulu sangat akrab diantara mereka berempat pun memanggil satu sama lain dengan nama marga keluarganya. Belum lagi sejak kedatangan Ino, teman masa lalu mereka yang tiba-tiba pindah ke sekolah mereka. Dia menantang Sakura, gadis yang dikenal paling jelek disekolah untuk bersaing dengannya di sebuah kontes kecantikan paling besar di Negara itu.
.
.
Angin berhembus lembut, meniupkan udara kehidupan yang baru bagi semua orang.
Sore berganti malam, malam pun berganti pagi. Bulan dan bintang bersembunyi, terganti keberadaannya oleh matahari. Sinar mentari mulai menyinari bumi. Gemerisik dedaunan yang diiringi dengan kicau burung mewarnai pagi itu. Mengusir udara malam yang beku, membawa kehangatan. Awal dari sebuah hari yang baru. Membangunkan semua orang dari istirahat panjangnya.
Seperti yang terjadi di sebuah kompleks pemukiman di kota Konoha, sebuah kota damai di negeri Jepang.
Orang-orang di kompleks pemukiman Konoha memulai kegiatan pagi mereka seperti biasa. Ada yang mengawali hari mereka dengan jogging pagi, ada yang membuka toko, ada yang memasak, ada yang membersihkan rumah, atau ada pula yang hanya sekedar membuka jendela rumah dan menikmati udara pagi.
Namun, tak begitu yang terjadi pada aktivitas seorang gadis berambut pink yang tinggal di sebuah rumah mungil di gang itu. Nampaknya panggilan sang mentari tak sampai padanya.
Gadis berambut pink panjang sebahu itu tampak tidur dengan pulas. Matanya terpejam. Kedua tangannya memeluk guling kesayangannya. Wajahnya nampak begitu nyaman di atas ranjang miliknya. Hanya sedikit sinar mentari yang mampu menerobos ruangan karena semua gorden berwarna putih di ruangan itu tertutup dengan rapat, seolah menolak masuknya sinar mentari. Lampu di kamar berukuran minimalis itu pun padam, membuat pencahayaan di ruangan itu menjadi remang-remang. Selimut putih tebal menyelimuti tubuh sang gadis berambut merah muda. Sungguh kondisi yang cocok untuk tidur. Kententraman di ruangan itu menghilang ketika sebuah jam weker berbentuk bintang yang tiba-tiba bersinar dan berbunyi "Kriiiiiiiiinnngg"
Dan hal itu nampaknya sukses mengagetkan dan membangunkan sang gadis. Iris matanya terbuka, memperlihatkan warna hijau zamrud yang menawan. Jari lentik tangannya naik menuju wajahnya, dan mengucek-ucek matanya yang masih menawar untuk kembali tertutup. Hampir saja kedua bola mata itu tertutup kembali jika kedua telinganya tak menangkap suara jeritan sang weker malang. Dengan malas tangannya meraih jam weker yang terus berbunyi "Kriiiiiiiiiinnngg" itu dan mematikannya.
Sang gadis kembali menguap lebar sambil meregangkan tangannya ke atas, mengumpulkan kesadarannya yang masih terpecah. Dengan sedikit rasa kantuk yang tersisa, ia memaksa tubunya untuk beralih dari kasurnya, dan dengan gontai ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak persis di samping kamarnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu yang terayun terbuka lalu tertutup, suara derap langkah, dan disusul suara gemericik air yang berasal dari shower yang baru saja dinyalakan.
Setelah kurang lebih dua puluh menit berlalu, sang gadis pun keluar. Gadis itu sudah mengenakan seragam sailor sekolahnya nya, lalu berjalan ke arah meja riasnya sambil menepuk-nepuk rambutnya yang masih basah dengan handuknya yang berwarna putih.
Sang gadis mengeringkan rambutnya dengan hair-dryer sambil memandangi pantulan dirinya di cermin. Ia menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya. Ia lalu mengepalkan tangannya dan tersenyum ke arah cermin, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
"Apa kabar diriku? Kau tampak bersemangat hari ini." Gumamnya sambil tersenyum kecil.
Ia lalu mengambil sebuah sisir, lalu tangannya menata rambutnya yang berwarna merah muda indah itu menjadi kepangan yang sengaja dibuat berantakan. Rambutnya yang sebelumnya tergerai dengan cantik itu berubah menjadi sebuah gaya rambut jadul yang berantakan dan lusuh.
Aktivitas sang gadis tak berhenti sampai disitu. Poni rambutnya kini menutupi dahi dan matanya. Seakan itu bukan hal yang cukup memprihatinkan, sang gadis bermata emerald itu kini mengambil kacamata dari sebuah kotak di meja riasnya, lalu mengenakan kacamata kotak setebal lima senti yang dengan segera mentransformasikan dirinya menjadi sosok berbeda, seorang gadis yang di mata orang yang melihatnya nampak cupu.
Sakura POV
Em, hai? Kurasa kalian tau aku siapa, ya, namaku Haruno Sakura. Umurku 16 tahun dan aku adalah murid SMA Konoha. Seperti hari-hari biasanya, aku sekarang sedang mengamati diriku di depan kaca untuk waktu yang cukup lama. Oh waw, jangan salah, bukannya aku genit, ganjen atau apapun itu. Yieeks, aku anti hal-hal seperti itu. Aku sekarang sedang merapikan baju seragam sailor yang kupakai, seragam dengan warna dominan putih, dengan sapuan warna biru tua, dan scraft merah menantang. Dengan penampilan seperti ini, aku benar-benar seperti seorang pecundang. Haha, aku tak peduli. Aku bukan tipe orang yang menganut azas 'Semakin banyak teman semakin baik'. Itu hanya berlaku jika mereka benar-benar teman sejati, namun jika bukan? Surprise! Kau akan mendapat banyak musuh dalam selimut. Dan akan berakhir dengan kau sakit hati, terluka, menangis, dan blablablah. Better safe than sorry, right? Dunia tak sebaik itu. Lagipula, jenis pertemanan seperti itu kebanyakan terjadi dalam kasus anak populer, kaya, atau anak yang dianugerahi wajah yang rupawan. Dan karena aku tidak memenuhi semua klasifikasi diatas, kurasa cukup aman untuk mengatakan bahwa aku cukup bahagia dengan teman-teman yang kumiliki.
Di kelas, aku termasuk cewek yang tinggi. Soal nilai? Ah, yang penting tuntas semua. Jangan protes. Aku tak menyolok—tapi juga tak terasing di kelas. Dengan kata lain : cewek standar pada umumnya.
Do you have any problem with that? No? Good.
Walaupun orang-orang cenderung menghindariku ketika melihat wajahku yang jelek, bagiku, ada satu hal yang kubanggakan tentang diriku—aku pandai dalam cabang olahraga apapun. Hei, bukannya menyombongkan diri, tapi begitulah kenyataannya. Aku cewek paling jago dikelas baik dalam basket, voli, lari, senam, berenang, atau apapun. Energik? Haha mungkin.
Setelah memastikan seragam yang kupakai sudah rapi, aku melihat jam di kamarku menunjuk angka 06.50 . Eh eew uups... Telat deh. lagi-lagi.
Aku bergegas mengambil tasku, keluar kamar, menyambit sebuah roti bakar dari meja makan, pamit, lalu langsung bergegas ke sekolah.
.: oOo :.
"Haruno-san, kau tau? Aku ingin sekali membelikanmu sebuah jam agar kau bisa tau jam berapa kita memulai pelajaran setiap harinya." Kata Hatake Kakashi-sensei sambil menggelengkan kepalanya. Murid-murid di kelas pun ikut tertawa. Yaya, tertawa karena temannya terlambat. Haha. Lucu sekali.
Aku berjalan menuju kursiku yang terletak di baris belakang kelas, sebuah kursi yang terletak di pojok samping jendela. Semilir angin selalu berhembus lembut dari situ. Tempat yang sangat strategis untuk tidur di sela-sela jam pelajaran. Belum, Sakura, jangan tidur dulu, kataku pada diriku sendiri. Aku kembali memfokuskan pandanganku ke depan, berjalan menuju kursiku. Teman-teman, seperti biasa, kebanyakan mengalihkan pandangan ketika menatapku, bahkan ada yang tertawa mengejek. Awalnya, diperlakukan seperti ini memang menyakitkan. Kau tau, orang-orang berkumpul di sekelilingmu, membicarakan hal jelek didepan dirimu seakan dirimu tak ada disitu, dan menertawakanmu? Seperti itulah perasaanku setahun yang lalu saat masuk ke sini. Untungnya, hal itu hanya berlangsung di minggu pertamaku bersekolah disini, dan beberapa dari mereka bahkan berteman denganku sekarang.
Aku berjalan melewati meja-meja yang terbuat dari besi itu, menolak untuk berjalan menunduk, melainkan balas mentatap menyalang kepada mereka yang menatapku, dan menuju tempat dudukku. Seperti biasanya, orang itu sedang tidur dengan buku menutupi wajahnya, kedua kakinya menjalar bebas di atas meja. Ya, Uchiha Sasuke adalah teman sebangku-ku.
Tidak, tidak. Jangan lihat aku dengan tatapan 'Aaw... So sweet!' itu. Sebelum kalian mengambil kesimpulan sendiri, mari kujelaskan hubunganku dengan Uchiha Sasuke yang sok hebat ini.
Uchiha Sasuke adalah cowok paling terkenal di SMA ini. Sebagai seorang Uchiha, dia tentu saja kaya. Bagaimana tidak, perusahaan Uchiha adalah salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Cabang perusahaannya dimana-mana, dan perusahaan Uchiha unggul di sektor industri, makanan, teknologi, bahkan mode. Dan Uchiha Sasuke ini adalah calon penerus posisi pimpinan disitu bersama dengan kakaknya, Uchiha Itachi. Semua orang berpikir dia pantas menjadi pewaris karena dia seorang jenius—dia cowok paling pintar di angkatanku. Eew. Dia juga kapten klub sepakbola dan basket. Bisa segala jenis olahraga—tentu saja, duh, semua orang bisa melakukan olahraga. Otot-ototnya sixpack. Okay, WOW. Ah, dia (kata cewek-cewek—bukan kataku untuk kalian semua ketahui) adalah cowok paling tampan disini. Perlu kugarisbawahi sekali lagi, bukan kataku. Secara garis besar, dia sempurna. Semua orang mengaguminya.
Well, semua... kecuali aku tentu saja. Haha.
Kecuali jika kau mengartikan kata sempurna disini sebagai sansak tinju yang sempurna, ataupun objek pukul yang sempurna, maka ya, aku akan sangat setuju.
"Minggir, Uchiha." Kataku sambil berkacak pinggang. Dia menarik buku yang menutupi wajahnya, mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan meremehkan, Dia memeletkan lidahnya, dan dengan cuek kembali menutup sebagian wajahnya dengan buku, lalu beranjak tidur lagi.
Hal paling penting yang lupa kusebutkan mengenai Uchiha Sasuke : AKU BENCI DIA. Lihat penggunaan font yang kupakai? Ya, sebesar itulah kebencianku padanya. Walaupun aku sebenarnya lebih suka menulisnya dengan huruf yang berlumuran lumpur atau sesuatu yang kotor, namun karena aku tak menemukan alternatif untuk menunjukkan font seperti itu, aku harap kalian memahami maksudku.
Uchiha itu sombong, angkuh, pelit, jahat dan mempunyai segala sifat jahat lain yang bisa kutuliskan setebal buku pelajaran! Herannya, tak ada orang yang membencinya. HA! Kecuali aku, seperti yang tak pernah bosan kukatakan pada kalian.
Kembali ke persoalan semula. Aku duduk disebelahnya bukan karena aku menginginkannya, tapi karena undian bodoh yang dilakukan pada saat pergantian semester kemarin. Tak ada cinta terlibat disini, OK?
Aku mendorong kakinya sekuat tenaga hingga dia mengernyit sedikit dan dia memandangku dengan kesal. He? Siapa peduli.
Aku lalu melewatinya dan ketika aku akan duduk, dia menarikku dengan sebelah tangan, menyebabkan aku jatuh ke arahnya, jari-jarinya menekan pinggangku dengan kuat. Aku bisa merasakan nafasnya dileherku, bibirnya nyaris menyentuh kupingku.
"Jangan cari gara-gara denganku, Haruno." Bisiknya dengan nada mengancam. Dia lalu mendorongku.
Hal lain yang lupa kusebutkan mengenai Uchiha Sasuke : MESUMPervert sejati!
"Ehem. Mari kembali ke pelajaran semula." Kata Kakashi-sensei, menarik kembali perhatian dikelas yang semula tertuju pada Sasuke dan aku. Sudah kubilang kan, Uchiha memang suka mencari perhatian.
Hatake Kakashi adalah guru matematika di sekolah. Ia masih muda, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, dan mulai mengajar di sekolah ini sejak dua tahun yang lalu. Kuakui, cara mengajarnya asik dan dia juga ramah. Tapi aku tak pernah suka pada hobinya yang tak akan mengajar saat dia baru membaca buku kesukaannya yang berjudul Teknik Ixa-Ixa, Icha-Icha Tictac, atau sesuatu yang terdengar seperti itu.
Tapi apa yang dilakukan seorang guru Matematika disini? Maksudku, sekarang kan pelajaran Bahasa Jepang.
Entah karena sensei bisa membaca pikiranku atau apa, dia mengucapkan apa alasannya.
"Seperti yang kubilang tadi, Kurenai-sensei, guru Bahasa Jepang kalian, berhalangan hadir. Jadi aku menggantikannya. Kurenai-sensei memberi tugas pada kalian untuk membuat lukisan bertema 'Cinta'. Partner kalian adalah teman sebangku kalian—tidak ada pengecualian, Haruno. Kembali ke kursimu. Kalian sendirilah yang akan menjadi objek dalam lukisan ini. Tugas ini akan dikumpulkan akhir November nanti. Ada pertanyaan?"
Tanganku langsung teracung ke atas.
Hatake Kakashi menengok seisi ruangan, mungkin saja dalam hatinya ia berharap ada anak lain yang mengacungkan tangan, namun nihil. Dengan amat pelan kepalanya mengarah ke arahku.
"Ya? Haruno?"
"Pertama : bukankah hak setiap murid untuk bebas berpendapat. Kenapa hak ku untuk tidak bersama Uchiha diabaikan? Kedua : Aku benci Uchiha. Bagaimana mungkin aku mengerjakan tugas bersamanya? Ketiga : Ini pelajaran Bahasa Jepang. Apa hubungannya dengan lukisan?" Ujarku dengan sewot. Sebagian teman-teman di kelas ada yang mengangguk setuju (terutama para gadis di kelas—well, segala hal yang menyangkut Uchiha akan selalu menarik perhatian mereka), sebagian ada yang tak peduli, bahkan ada orang yang bisa dengan cueknya tidur—seperti dia. Eh? Atau sepertiku, katamu? He?
Kakashi-sensei menjawab dengan santai, mengalihkan kembali pandanganku pada dirinya. "Khh... Pertama : karena guru bebas menentukan partner agar semua saling bersosialisasi. Kedua : ehm... itu tergantung usahamu. Ketiga : Karena Kurenai-sensei berpendapat kalau berbahasa itu banyak bentuknya. Ada yang verbal, ada yang non-verbal. Melalui lukisan, kalian diajarkan untuk menyampaikan maksud kalian tanpa kata-kata."
No no no. Jawaban apa itu. Bukan Haruno Sakura namanya kalau menyerah.
"Tapi sensei—"
"Tak ada tapi."
"Hak setiap murid—"
"Kau sudah mendapat hak mu, kami yang memutuskan."
"Tapi—"
"Tak ada tapi-tapian, Haruno. Atau aku terpaksa menghubungi ayahmu." Kata Kakashi-sensei sambil tersenyum kecil.
Great. Apa yang bisa kukatakan? Kakashi-sensei adalah saudara jauhku dari pihak ayah. Ayah paling tidak suka jika ada orang yang bermusuhan. Serius.
Jika sensei memberitahu, ayahku akan tahu. Jika ayahku tahu, dia akan menceramahiku sampai aku berbaikan dengannya. Jika tak segera berbaikan, ayah akan mengikutiku 24 jam—termasuk di kelas. Jika ayah mengikutiku dan dia di sekolah, akan ada gosip bahwa aku dan Uchiha pacaran—atau gossip lain yang lebih parah, seperti menikah dan hampir punya anak. Jika gosip itu menyebar, berakhirlah hidupku. Jika hidupku berakhir, berarti dia menang. Jika dia menang, berarti aku yang kalah.
Oh wow, otak Haruno Sakura bekerja luar biasa hari ini.
"Oh ya Uchiha, hal sama juga berlaku untukmu." Kata sensei sambil melirik Uchiha. Setahuku, sensei dan ayah Uchiha adalah teman lama. Dan Uchiha tampak sangat tak senang.
Nol-nol. Seri, Uchiha.
.: oOo :.
"...-chan! Sakura-chan!" Teriak Hinata, mengagetkanku. Aku akhirnya sadar dari lamunanku.
"A-ada apa, Hinata?" Tanyaku, kaget Hinata ada didepanku dengan membawa box bento ditangangannya.
"Hu-uh. Aku sudah memanggil Sakura-chan selama lima menit penuh. Nggak melebih-lebihkan. Ini sudah isitirahat lho. Ada apa sih?" Kata Hinata sambil menggembungkan pipinya seperti seorang anak kecil. Dia lalu menghempaskan dirinya di kursi di sampingku sambil terus cemberut. Cute sekali. Aku dan Hinata berbeda kelas. Walaupun begitu, ia selalu mau menghampiriku saat istirahat dan makan siang bersama. So sweet, kan?
"Hehe. Maaf Hinata, tadi aku tadi melamun. Begini..." Lalu tanpa diminta aku pun menceritakan semuanya. Seperti biasa.
Saat bercerita, aku bisa merasakan, banyak pasang mata menatap kami dari segala arah. Yah, lebih tepatnya Hinata. Jika cowok terpopuler adalah cowok Uchiha itu, maka cewek terpopuler adalah Hyuuga Hinata. Yey! Selamat untuk sahabatku tersayang!
Mau tau kenapa Hinata adalah gadis yang paling terkenal dan diincar di sekolah? Pertama, dia cantik. Lelaki paling nggak tahan dengan gadis cantik kan? Kedua, dia kaya. Hinata itu keturunan bangsawan. Hinata sih selalu berpenampilan biasa saja dan sederhana orangnya, namun karena nama keluarga Hyuuga-nya yang kondang seantero Jepang, siapapun tahu dia kaya raya. Tentu saja tak hanya itu yang membuatnya terkenal. Dia baik, pintar, pemalu, dan selalu membuat orang disekelilingnya entah kenapa jadi ingin melindunginya. Tipikal seorang putri sejati. Dia sahabatku sejak kecil. Cobalah mencoba melukai Hinata dan kau berurusan dengan Haruno Sakura dan tenaga brutalnya.
Setiap kali berjalan atau berada disebelah Hinata, aku selalu ingin ketawa. Mau tau kenapa? Karena saat mereka menatap Hinata, mereka otomatis akan menatapku. Aku dengan kacamata setebal lima senti, jelek, dan beraura suram. Mereka jadi ragu, apakah terus menatap kami atau tidak. Haha. Seperti sekarang ini. Oh ya, sebenarnya, Hinata juga bukan murid dari daerah sini. Dia ikut pindah ke sekolah ini menemaniku setahun yang lalu.
"Huwaa... Apa yang harus kulakukan, Hinata? 'Cinta'? Tema konyol macam apa itu?" Teriakku dengan histeris, sengaja untuk membuat orang-orang yang menatap Hinata takut dan mengalihkan pandangannya. Dan nampaknya sukses.
Hinata tersenyum lembut menghadapi tingkahku. Cantik sekali.
"Hihi. Tenanglah Sakura-chan. Sasuke-kun nggak seburuk itu. Apa kamu mau setahun lebih lama belajar disini? Apa salahnya melukis bersama satu kali saja? Lagipula, bukankah dulu kau dan Sasuke-kun akrab sekali?"
Aku mengeluarkan nasi yang sedang dalam setengah perjalanan ke kerongkonganku.
"Aku tidak ingat pernah akrab dengan cowok rambut ayam itu." Tepisku sambil mendengus panjang. Sangat tidak dianjurkan sebenarnya untukku yang notabene memakai kacamata setebal lima senti, karena ketika mendengus sebagian uap nya akan membuat kacamata berembun. Huuft... Oke, tarik nafas, satu.. dua..
"Lalu foto apa ini, Sakura-chan?" Hinata mengeluarkan dompetnya lalu menunjukkan padaku fotoku dan dia saat berusia lima tahun. Di dalam foto itu, aku memeluknya dari belakang, kami berdua tersenyum lebar. Yieeks.
"Itu foto rekayasa." Kataku sambil merebut foto itu.
"Hihi. Bicara apa kamu, Sakura-chan? Bukankah aku sendiri yang mengambil foto kalian?"
Hening.
Krik.
"Oke, oke. Dulu kita bertiga pernah saling kenal." Kataku sambil melanjutkan makan bento. Oke, keisengan Hyuuga Hinata nggak lucu.
"Pernah kenal? Sangat kenal, maksudmu?" Kata Hinata sambil ikut makan bento. Koreksi, nggak lucu sama sekali.
"Haha." Jawabku asal saja.
"Sakura-chan..." Dia memandangku dengan tatapan aneh.
"...heem?"
"... Ehm... Bukan hal penting kok," Kata Hinata dengan nada riang yang dipaksakan. Dia menunduk memandang bekalnya.
Aku berhenti makan, merasakan bahwa ada yang aneh. Hinata merasa tak enak padaku. Aku tersenyum ke arahnya.
"Aku akan selalu jadi sahabatmu, kan?"
Hinata sejenak kaget mendengar kata-kataku. Kami saling berpandangan.
"Aku juga akan selalu jadi sahabatmu, kan?"
Kami berdua tertawa.
Aku dan Hinata bertukar pandang, saling mengerti. Inilah yang kusuka dari Hinata; bukan karena rupanya, bukan karena latar belakangnya, hanya sebuah alasan sederhana yang membuatku menyukainya.
Dia selalu berada disisiku.
.: oOo :.
Teng… Teng… Teng…
Suara lonceng raksasa membahana ke seluruh sekolah, menandakan pelajaran hari ini usai sudah.
Akhirnya, pelajaran matematika selesai. Kami-sama, apa salahku hingga aku tak bisa mengerti apa itu sin cos tan? Istilah apa itu? Hell, bukankah matematika itu angka? Kemana perginya angka-angka satu sampai sepuluh itu? Apa orang-orang jaman dahulu tiba-tiba merasa frustasi dengan angka-angka dan rumus-rumus gila yang mereka ciptakan sendiri, dan tiba-tiba mendapat ide jahil, 'Shit, aku bosan dengan angka-angka ini. Mari masukkan sesuatu yang baru. Bagaimana jika kita masukkan beberapa kata aneh diantara angka ini dan lihat, bagaimana lucunya ekspresi anak cucu cicit buyut kita yang polos ini seribu tahun dari sekarang ketika mencoba memecahkan kode ini?'
F to the u to the c to the k.
Aku memasukkan buku-buku ke tasku dengan cepat, lalu berjalan menuju pintu. Dan dia ada di depan pintu itu.
"Apa masalahmu, Uchiha? Minggir." Kataku tak sabar menghadapi tatapannya yang tak enak padaku itu. Mood-ku sedang jelek karena pelajaran laknat barusan.
"…Ibu mengundangmu makan malam." Jawabnya singkat, padat, dan cuek.
Bayangan suram tentang tante costan lenyap dari benakku. Sebuah senyum pun merekah diwajahku. Mikoto-san, ibu cowok Uchiha ini, sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ibuku sendiri meninggal saat aku berusia tujuh tahun. Sejak kecil, setiap ada waktu, Bibi Mikoto selalu merawatku. Paman Fugaku dan Itachi-nii juga orang yang baik. Tentu saja, dalam setiap keluarga tak semuanya orang baik. Salah satunya di keluarga Uchiha yang sayang sekali mempunyai anak bernama Uchiha Sasuke ini. Cowok paling menyebalkan yang kukenal.
"Jangan melamun, baka." Teriak si rambut pantat ayam.
Nah.
Dia benar-benar menguasai ilmu bagaimana cara merusak mood seseorang.
"Geez. Apa urusanmu, Uchiha?" Jawabku sama cueknya.
Kami berjalan tanpa kata selama perjalanan ke rumahnya menaiki limousine perak milik keluarganya. Dan para gadis yang melihat kami terus berteriak kesal. "Kenapa cewek jelek itu selalu dekat-dekat Sasuke-sama?" Oh nona, kau kira AKU mau dengan sukarela berjalan di samping Uchiha Sasuke?
.: oOo :.
Normal POV
Tsubasa, supir keluarga Uchiha ini selalu merasakan aura aneh antara tuan mudanya dan nona muda disebelahnya. Walaupun sudah lama mereka bersama, aura permusuhan itu masih terasa kental sampai sekarang. Ditambah lagi perbedaan penampilan fisik yang mencolok diantara keduanya. Sasuke mencerminkan anak muda jaman sekarang yang modern, mengikuti mode dan tidak peduli dengan sekelilingnya serta cuek, sementara Sakura adalah gadis yang tampak berantakan, jelek, dari luar benar-benar terlihat seperti orang pendiam yang kutu buku, tapi kenyataannya dia orang yang supel, cerewet, dan nilainya tak tergolong istimewa seperti majikannya.
Tetapi... Seandainya Sasuke-sama dan Sakura-sama akrab, menurutnya, mereka sangat cocok sebagai pasangan. Keduanya akan bisa saling melengkapi. Sasuke yang rupawan, jenius, namun tak banyak bicara dan Sakura yang tergolong jelek, tak terlalu mencolok, namun sangat kritis dalam mengungkapkan sesuatu. Pernah sekali dia mengusulkan hal itu, lalu tiba-tiba saja dirasakannya sebuah pisau virtual langsung terlempar ke arahnya, nyaris mengenai lehernya. Nyaris. Tak hanya itu, disekeliling Sakura terasa ada aura orang yang siap membunuh. Dan dengan suara yang sangat menakutkan, Sakura menjelaskan padanya seperti apa hubungannya dengan Uchiha Sasuke. Sasuke tak membantah. Dia malah cuek mendengarkan musik lewat headphone, membiarkan Sakura menceritakan 'dongeng' kepada supirnya.
Tsubasa merinding mengingat kenangan itu. Tak akan pernah lagi deh menyinggung Sakura-sama mengenai hubungannya dengan Sasuke-sama.
Tak akan.
Hari ini, tak seperti biasanya, Tsubasa melirik dari balik spion dan terlihat Sakura tertidur saat perjalanan. Sasuke, seperti biasanya, sibuk mengutak-atik iPad baru nya.
Sebuah ide terlintas dipikiran supir berusia 35 tahun itu.
Di tikungan yang sebenarnya tidak terlalu tajam, ia berbelok dengan kecepatan tinggi dan mengerem, menyebakan penghuni mobil bergeser spontan.
Kepala Sakura sekarang bersandar di pundak Sasuke. Lucu sekali melihat wajah tuan muda-nya yang kaget.
Sasuke hampir saja mendorong Sakura dengan cuek agar ia terbangun—jika ia tidak melihat wajah Sakura yang nampak lelah. Ia menghela nafas. Sasuke lalu mengalihkan pandangannya ke langit sore. Tak ada yang tahu apa yang ada dipikirannya.
Sang supir tersenyum kecil.
.: oOo :.
Sakura POV
Kenapa ya? Terasa harum yang enak sekali. Harum yang sudah lama kukenal. Harum yang selalu membuatku nyaman. Perlahan-lahan, aku membuka mataku. Sepertinya, bantalku agak keras hari ini. Dan sosok yang pertama kulihat adalah Uchiha Sasuke yang saat itu juga sedang menatapku. Terlalu dekat.
"OHMYGOD. Apa yang kau lakukan dikamarku? Keluar!" Teriakku dengan muka merah padam, mencari bantal, guling, atau apapun untuk dilemparkan ke muka si pervert itu.
Anehnya, aku tak menemukan benda apapun.
Anehnya, kasurku berwarna hitam, padahal seingatku berwarna biru muda.
Anehnya, kamarku sempit sekali.
Dan lebih anehnya, aku terjatuh kebawah... jok mobil?
Eh? Eh? Eh?
"Tch. Ngomong apa kau, Haruno. Ini di dalam mobilku, baka. Dan baru kali ini aku melihat orang yang bisa jatuh dari atas kursi mobil." Kata Uchiha sambil bertepuk tangan. Melihat mukanya membuatku ingin melemparkan durian ke wajahnya. Berkatnya, kini aku ingat dimana dan sedang apa aku sekarang.
"Si-siapa yang jatuh, Uchiha? Mobilmu terlihat kesepian dan tiba-tiba seperti memerlukan sebuah pelukan dariku." No comment. Aku tahu ini alasan konyol.
Dan, lebih konyolnya lagi, dia tertawa.
God, he is handsome.
"Berhenti tertawa. Ini nggak lucu!" Teriakku dengan muka merah padam dan gigi bergemelutuk.
"Siapa yang tertawa? Mobilku memang terlihat kesepian dan tiba-tiba seperti ingin mendengarkan suara merduku." Jawab si penyanyi jalanan Uchiha.
"Itu kata-kataku, Uchiha. Cari kata-katamu sendiri." Balasku sambil berusaha berdiri—dan jatuh lagi dengan mengerikan karena menatap atap mobil. Aku benar-benar terlihat bodoh.
Mental note : Bunuh Uchiha Sasuke sesegera mungkin. Dan dengan cara setragis mungkin.
.: oOo :.
Normal POV
Limousine itu berjalan cepat dan memasuki sebuah rumah—lebih tepatnya mansion—yang mewah. Disekeliling rumah megah itu terlihat rimbunan pepohonan yang ditata elegan. Tepat di depan rumah terdapat sebuah kolam air mancur yang dihiasi oleh sepasang cupid mungil yang terbuat dari perunggu. Patung yang indah. Setiap kali Sakura kesini, dia tak pernah bosan memandang kedua patung ini. Patung perlambangan cinta yang cantik, menurut Sakura.
Patung cupid cilik yang sempurna.
.: oOo :.
Sakura POV
Patung yang sangat indah. Begitu penuh romansa, mengundang rasa kagum bagi siapa saja yang menatapnya, termasuk aku. Patung itu tambah berkilauan saat terkena cahaya matahari sore.
Aku tak menyadari ada orang lain yang sejak tadi menatapku.
"Tch. Dilarang mencuri, Haruno." Bisik Uchiha di kupingku. Lagi-lagi.
Eh, tunggu.
Apa katanya barusan?
Mencuri?
"Haha. Lucu sekali, Uchiha. Perlu kau ketahui, aku tak tertarik dengan benda apapun yang telah kau sentuh." Ujarku sambil melotot padanya. Heran aku, ada juga orang se-PD dia di dunia ini.
"Ha? Benarkah? Bukankah hobimu mengumpulkan benda apapun yang pernah kupakai, Haruno?" Uchiha benar-benar perlu kubawa ke psikiater khusus penyakit otak.
Sebelum aku sempat mengutarakan apapun, sebuah tangan menepuk pundakku. Tanpa menoleh pun aku bisa menebak siapa orang ini.
"Bibi," aku tersenyum sambil menyambut pelukan Bibi Mikoto. Entah kenapa, berada di dekat orang ini membuatku merasa sangat nyaman.
Bibi Mikoto tersenyum lebar. "Sakura… Sudah lama sekali tante tak bertemu denganmu. Tante sangat kesepian hanya dikelilingi oleh lelaki. Apalagi kedua anak tante sekarang marah kalau tante peluk. Misalnya saja kemarin, Sasuke—"
"Cukup, Ibu. " Kata Uchiha. Memberi penekanan pada kata 'Ibu' dengan tatapan mengancam.
Cih... Anak seperti apa yang mengancam ibunya sendiri, Uchiha?
Hem, apakah sudah kuberi tahu kalau Uchiha itu sebenarnya lemah terhadap keluarganya? Dan diantara keluarganya, Bibi Mikoto inilah yang sebenarnya paling menguasai dan sulit dilawan. Walaupun mungkin sulit dipercaya, bahkan dia takut kepada ibunya.
Setelah sedikit ngobrol, kami lalu masuk. Dan, uhm, rumahnya memang bagus, luas, dan mewah sekali. Aku bingung bagaimana harus menderskripsikannya. Yang jelas, aku bisa tersesat jika berjalan sendirian di rumah ini. Lampu canderlair menggantung indah diatas hall rumah itu, lukisan-lukisan berbingkai berjajar di dinding rumah, begitu pula dengan perabot-perabot lainnya. Warna rumah disini didominasi oleh warna emas, putih, dan perak. Lantai pertama isinya ruang tamu, ruang keluarga, ruang tamu, kamar pelayan, kamar tamu, blablabla. Lantai kedua isinya kamar para Uchiha, perpustakaan, dan ruangan-ruangan lain yang bersifat tertutup untuk umum. Lantai tiga isinya buku-buku, dokumen-dokumen, dan alat-alat bekerja Paman Fugaku. Ah, diatap ada kolam renang, alat untuk membuatbarbeque, dan teropong bintang. Enak sekali kan menjadi seorang Uchiha?
Intinya? Pikirkan saja sendiri.
Dan jika kau ingin tahu kenapa aku bisa tahu sedetil itu tentang rumah Uchiha, coba saja kau bayangkan jadi aku yang sejak kecil sudah mengenal mereka, dan kau tau kan seberapa besar rasa ingin tahu ketika kita masih kecil. Jadi... Yah, begitulah.
Kami pun berjalan ke arah ruang makan, dan disana telah duduk Paman Fugaku, Itachi-nii dan... ayahku?
"Ayah? Sedang apa ayah disini?" Kataku sambil menghampiri ayahku dan memeluknya.
"Tentu saja untuk makan bersama." Kata ayahku sambil tersenyum dan balik memelukku. Biasanya, walaupun aku diundang makan disini, itu berarti ayahku bekerja sampai larut dan tak bisa menemaniku, makanya biasanya dia meminta Paman dan Bibi untuk mengundangku. Tapi toh aku senang bisa makan bersama, jadi aku tak menanyakannya lebih jauh.
Kami pun makan bersama dengan diselingi cerita masing-masing dari kami.
.: oOo :.
Normal POV
Mikoto memandang Sakura yang sedang makan dihadapannya itu, dan mau tak mau ia harus mengakui bahwa sekarang Sakura lebih tertutup kepada semua orang setelah ia pindah sekolah disini. Mikoto berhenti makan dan berbicara, "Sakura..."
Dan gadis itu menatapnya dan menjawab dengan mulut yang masih penuh makanan, "Hyaa, Bihbi?"
Sasuke yang duduk disebelah Sakura menggelengkan kepalanya, "Tsk, tsk. Kau makan seperti babi."
Dan terdengar bunyi 'duagh' keras dari bawah meja.
Mikoto tersenyum melihat pemandangan di depannya. Yah, setidaknya Sakura masih akrab dengan Sasuke.
"Sakura, Sasuke, apa menurut kalian sekolah kalian sekarang lebih baik daripada yang dulu?"
Sakura tersedak makanannya sementara Sasuke hanya mengangkat sebelah alisnya. Jarang-jarang topik seperti ini diangkat saat makan.
"Biasa saja kok, Bibi." Jawab Sakura dengan sedikit kaget.
"..." Sasuke hanya diam.
"Ayolah, anak-anak. Ini sudah setahun berlalu kan. Terutama kamu, Sakura..." Kata-kata Mikoto terhenti saat Sasuke menatapnya dengan tajam. Sementara Sakura hanya menunduk menatap steak di piringnya. Fugaku, Itachi, dan ayah Sakura mengerling ke arah Sasuke dan Sakura. Suasana seketika itu berubah drastis, dari suasana hangat menjadi tegang.
Aneh.
Setelah beberapa saat, Mikoto menarik nafas panjang, dan menusuk-nusuk daging didepannya dengan garpu, mengalihkan pandangannya dari Sakura dan Sasuke.
Ayah Sakura menatap orang-orang didepannya dengan perasaan tak enak. Pikirannya kembali melayang ke kenangan lamanya. Kalau bukan karena Sakura yang saat itu menangis dan memohon padanya untuk tak menceritakan apapun ke siapapun saat dia sadar, ia pasti sudah menceritakan semuanya ke keluarga Uchiha. Sejak Sakura masuk di sekolah barunya, ia begitu sulit untuk mempercayai orang lain. Memang, seperti kata Sakura saat mengatakan tujuannya masuk sekolah baru, Sakura hanya ingin hidup tenang tanpa perselisihan. Dan anaknya pun menjadi tak mencolok di sekolah barunya. Teman-temannya tak ada yang tahu soal masa lalu Sakura, kecuali Sasuke dan Hinata yang bahkan ikut menemani Sakura pindah sekolah. Yah, mungkin ini saat yang tepat untuk berkata jujur?
Sang ayah berdehem, "Ehm... Sebenarnya, soal Sakura..."
Sang ayah melirik ke arah putrinya.
"Aku baik-baik saja dengan kondisiku sekarang." Kata Sakura dengan sedikit panik karena mendapat feeling jika ayahnya akan berbicara tentang hal yang tak ingin didengarnya.
Sakura menatap ayahnya dengan pandangan 'tolonglah-ini-belum-saatnya'. Dan sang ayah pun terdiam.
"Sudahlah, kita lupakan dulu soal pembicaraan ini." Kata Fugaku sambil melanjutkan makan. Yang lain setuju.
"Er, jadi, siapa yang mau tambah nasi?" Sang Nyonya Uciha berusaha membuka topik pembicaraan.
.: oOo :.
Setelah makan selesai, Fugaku, Mikoto, dan ayah Sakura menuju ke ruang kerja Fugaku untuk membicarakan soal bisnis. Itachi sendiri kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas kuliah-nya. Sakura yang tak mau berduaan dengan Sasuke pun meninggalkan ruangan. Ia berjalan menaiki tangga, menyusuri ruangan-ruangan dan tiba di tempat favoritnya di rumah Uchiha, dimana lagi kalau bukan di atap rumah. Dari sini bulan dan bintang terlihat indah dan berkilau. Kolam renang, pepohonan, dan bangunan lain juga terlihat dari sini.
Dari semua itu, yang Sakura paling sukai yaitu saat ia bisa tiduran di atas kursi pantai beratapkan bulan bintang yang terlukis di awan dengan sangat indah. Semilir angin pun berhembus lembut. Sakura merasa tenang di tempat ini.
Sakura memejamkan matanya, menikmati semilir angin, dan hampir tertidur jika sebuah benda tak terlempar ke arahnya—ke muka-nya dengan kasar.
".HA. Apa maumu?" Kata Sakura tanpa menoleh ke arah datangnya lemparan.
"Wah, wah. Hebat. Kau bisa langsung tahu ini aku." Kata Sasuke dengan nada mengejek.
Sasuke mendengarkan Sakura menggumamkan kata-kata seperti "Tentu saja", "Kau orang paling kasar", "jahat", atau semacamnya tapi tak ia dengarkan.
Ia lalu duduk di kursi di samping Sakura dan meletakkan dua buah gelas di atas meja di tengah mereka.
"Tuh, mimum. Dari ibu." Kata Sasuke cuek, namun matanya nampak sedikit khawatir saat melihat Sakura yang sedikit menggigil kedinginan. Sayang sang nona berambut merah muda itu tak menyadarinya.
Sakura bangun dari kursi nya dan berkacak pinggang.
"Dan kau kira aku mau melakukan apapun yang kau suruh?" Kata Sakura sambil memainkan kacamatanya yang tebal; berlagak seperti seorang detektif.
Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, dan sukses membuat Sakura menggigil kedinginan. Sekedar informasi, Sakura masih memakai seragamnya.
Tuh kan, batin Sasuke.
Sasuke menghela nafas, berdiri dan berjalan mengambil benda yang tadi dilemparkannya kearah Sakura. Dia lalu menatap Sakura dan mendekatinya.
"A...-Apa?" Kata Sakura sambil mundur selangkah, matanya menunjukkan kepanikan.
Sasuke menghela nafas. Lagi.
"Kau memang masih anak-anak..."
Dia memakaikan benda yang dienggamnya, yang ternyata selimut berwarna abu-abu, ke Sakura yang ia tahu kedinginan.
Ketika Sasuke berada di hadapannya, Sakura baru menyadari, Sasuke kini tak lagi mengenakan seragamnya. Ia sudah berganti baju dengan kaos warna putih dan jeans hitam. Rambut dan wajahnya diterangi cahaya rembulan, dan kadang-kadang angin menghembus rambutnya dengan lembut.
Siapapun gadis yang melihatnya pasti akan meleleh, apalagi jika ditatapnya. Onyx hitam itu tampak begitu dalam, begitu mengintimidasi. Namun sulit untuk mengalihkan pandangan dari iris mata indah itu.Dia tampan juga, pikir Sakura.
Sakura mengerjapkan mata berkali-kali.
Sakura! Apa yang kau pikirkan, sih? Batinnya mengingatkan.
Sakura berdiri tiba-tiba, kemudian ia menginjak kaki Sasuke dengan keras sebelum berkata dengan lantang, "Kau dilarang menatapku dengan tatapan mesum-mu itu!"
Sasuke kembali duduk di kursinya, sedikit mengernyit kesakitan akibat injakan Sakura. Sakura benar-benar serius menginjaknya. Gadis kecil itu ternyata energik sekali.
"Mesum? Jangan salah, kecil. Kau masih belum cukup umur." Ia tersenyum kecil.
Muka Sakura langsung memerah. "Berhenti mengejekku! Kembalilah ke alammu, baka. Kembalikan ketenanganku. Hush Hush!"
Sakura tak bisa membalikkan kata-kata Sasuke yang menyebutnya kecil, karena faktanya ia memang lebih pendek dari Sasuke.
Dan Sasuke menyadari hal ini.
"Kau tak menyangkal bahwa kau memang kecil. Apa salahnya anak kecil minum susu? Berusahalah supaya jadi lebih tinggi."
"Ikkh! Apa maksudmu? Kau yang terlalu tinggi, Uchiha. Diantara cewek-cewek di kelaspun kau tau aku itu termasuk tinggi. Kau itu ya, sombong, belagu—" Kata Sakura sambil kembali mengoceh tentang kejelekan-kejelekan Sasuke yang lain.
Cukup lama juga Sakura berbicara, sebenarnya.
Sakura masih terus berbicara sampai ia menyadari Sasuke tak lagi mendengarkannya, melainkan sibuk bermain dengan HP-nya. Namun iris onyx itu masih sedikit curi-curi pandang ke arah sang gadis melalui pantulan cahaya ponselnya.
"…—Dan kau bahkan tak punya sopan santun untuk mendengarkan orang yang bicara padamu!"
Sasuke hanya mengangkat bahu dan tiduran membelakangi Sakura, sehingga Sakura tak menyadari Sasuke yang tertawa kecil atas tingkahnya.
Sialan kau, Uchiha.
Sakura akhirnya menyadari percuma saja berbicara dengan Sasuke. Ia duduk di kursinya dan mengakui bahwa memakai selimut bukan ide yang terlalu buruk. Dan barangkali, minum susu hangat dalam kondisi kedinginan juga bukan ide yang terlalu buruk? Hmm...
Sakura memandangi kedua gelas didepannya, aroma susu coklat itu menggodanya. Sakura lalu mengambil gelas biru yang berada di kanan, dan merasakan kehangatan ketika tangannya menyentuh gelas itu. Sakura memandang susu coklat dihadapannya, lalu diteguknya perlahan-lahan. Ternyata, rasanya sesuai dengan tampaknya. Lezat sekali. Gadis berkacamata itu baru menyadari rasa laparnya ketika meneguk cairan hangat itu, dan bersyukur kini ada yang mengganjal perutnya.
Sakura memandang Sasuke yang memunggunginya dari balik gelasnya saat ia meneguk susu coklat. Kacamata-nya berembun karena kepulan uap dari susu coklat-nya, membuat matanya tak jelas untuk melihat dan dilihat. Bibir mungilnya terbuka sedikit dan hanya sebuah kata yang berhasil keluar, "...Makasih,"
Sasuke menatap Sakura sekilas, sukses membuat gadis itu sedikit salah tingkah.
"...Hn,"
.: oOo :.
Keesokan harinya, tersebar kabar bahwa di kelas XI-A-1, kelas Sasuke dan Sakura, akan kedatangan murid baru. Berita ini berasal dari Shikamaru, sang ketua OSIS SMA Konoha. Saat itu dirinya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan para guru ketika akan menemui Pembina OSIS untuk membicarakan proker yang akan datang. Ia benar-benar menyesali mengatakan hal itu pada Lee, karena selanjutnya dalam sekejap berita itu meluas, dan semua orang mengerubungi Shikamaru untuk meminta keterangan yang lebih mendetail.
"Lalu, seperti apa orangnya? Cewek atau cowok?" Tanya seorang gadis dengan logat Cina-nya yang masih sedikit terbawa saat ia berbicara. Tenten namanya.
"Dia benar. Ceritakan pada kami. Jangan pelit info dong!" Lanjut Lee, cowok dengan alis tertebal seantero sekolah.
Shikamaru menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak suka keramaian. Dia sangat sangat amat menyesali mengatakan pembicaraan para guru yang tak sengaja didengarnya itu pada teman-temannya.
Shikamaru menyangga kepalanya dengan tangannya sambil menatap bosan ke arah teman-temannya. Jelas sekali pikiran mereka; 'Cepat-katakan!'
Kemudian, dia kembali menceritakan tentang si murid baru dengan nada amat sangat terpaksa.
Tubuh ramping.
Rambut pirang panjang.
Mata aquamarine.
.: oOo :.
Sakura berlari dengan kecepatan kuda dari rumahnya. Jika hari ini dia datang terlambat lagi, Kakashi-sensei mengancam akan 'berbicara' dengan ayah Sakura—yang uh oh, tak akan bagus bagi masa depan Sakura.
Gadis berambut pink itu melewati jalan pintas menuju ke sekolahnya, yaitu melewati halaman belakang rumahnya, lurus melewati tiga rumah tetangganya, belok kanan memasuki taman di sudut kompleks perumahan itu, dan berjalan melewati pohon-pohon yang berdiri tegak menjulang ke arah angkasa, dan dibalik sebuah pohon ginko tua yang cukup tua, ada sebuah lubang di dinding bangunan yang menembus ke bagian samping sekolah, sehingga Sakura yang unggul dalam bidang olahraga hanya perlu berlari ke kelasnya yang terletak di lantai dua. Jika dihitung, hanya memerlukan waktu lima menit dari rumahnya. Menghemat waktunya sebanyak lima belas menit. Benar-benar jalan pintas.
Sakura berhenti berlari ketika bayangan dirinya terpantul di kaca yang memang dipasang di tangga. Ia belum mengucir rambutnya, kacamata pun terlupakan olehnya. Sakura menepuk jidatnya dengan keras. Dengan panik ia menengok ke kanan dan kiri, bersyukur tak ada yang melihatnya.
Ia membuka tasnya, jari-jemarinya mencari karet atau benda apapun yang bisa digunakan untuk mengucir rambutnya. Setelah mendapatkan benda yang dicarinya, tangannya kini sibuk mengepang rambutnya, mengakibatkan rambutnya lebih berantakan dari biasanya. Ia lalu mencari kacamata-nya yang untungnya terbawa juga dalam tas dan memakainya. Terakhir, ia menutupi sebagian wajahnya dengan poni panjangnya. Lalu ia kembali berjalan cepat—di dalam sekolah dilarang berlari—dan sampailah Sakura di depan kelasnya. Terdengar suara Kakashi-sensei dari dalam.
Sakura melihat jam tangan hitam-nya sekali lagi, dan berpikir, sedang apa sensei di kelas? Pelajaran harusnya baru dimulai lima belas menit lagi.
Sakura tersenyum dengan gugup. Aku nggak telat kan? Pikirnya.
"Oi, minggir." Sebuah suara datang dari belakang Sakura.
Uchiha. Ia langsung mengenali siapa pemilik suara baritone itu. Sakura memutar kedua bola matanya dengan malas. "Merasa berkuasa, Uchiha?"
Sasuke mengangkat bahu, "Memang seperti itu."
Sakura memutar kedua bola matanya lagi.
Sasuke lalu mendahului Sakura dan membuka pintu kayu didepannya.
.: oOo :.
"Cantik sekali."
"Apa dia sudah punya pacar?"
"Aku ingin berteman dengannya!"
"Siapa tadi namanya?"
"Apa dia blasteran?"
Bisik-bisik langsung menyebar dikelas saat Kakashi-sensei masuk bersama si murid baru. Dan seluruh murid dikelas langsung terdiam memandang si murid baru. Apalagi setelah ia selesai memperkenalkan diri, semua cowok langsung mengacungkan tangan ingin bertanya, sementara para cewek mendengus kesal.
Kakashi-sensei sampai harus menggedor papan tulis untuk menenangkan kelas. Tapi hal itu tak cukup untuk menghentikan para cowok dari melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk si gadis berambut lurus panjang itu.
"Apa kau sudah punya pacar?"
"Maukah kau main bersamaku sepulang sekolah nanti?"
"Hei gadis, boleh minta nomer HP?"
Seperti itulah kebayakan pertanyaan yang dilontarkan. Si gadis hanya tersenyum dan tak menjawab, sampai sebuah pertanyaan menarik perhatiannya.
"Untuk apa kau pindah sekolah disini?"
Si gadis menghempaskan rambut panjangnya yang terurai kebelakang, menegakkan dadanya, dan tersenyum penuh rasa percaya diri, membuat cowok-cowok kembali terpesona.
"...Aku mencari seseorang,"
Sebelum ada yang bisa menanggapi, pintu kelas terbuka, dan Sasuke serta Sakura masuk ke dalam kelas.
Sasuke menaikkan alisnya, "Apa? Ini belum bel masuk."
"Sasuke." Kata si murid baru dengan ekspresi bahagia. Dia berjalan ke arah Sasuke sambil tersenyum.
Para murid kelas itu langsung mematung ketika melihat Sasuke, belum pernah pemuda berambut hitam itu raut wajahnya segusar kali ini. Mereka semua mundur satu langkah ke belakang.
"Uchiha, minggir!" Kata sebuah suara dari belakang Sasuke. Sakura harus mendorong Sasuke dulu baru akhirnya ia bisa masuk.
Sang murid baru menghentikan langkahnya. Matanya kembali terbelalak, "...Sakura?"
Sakura bingung melihat ekspresi Sasuke yang tampak marah, ia baru berbalik ketika mendengar suara seseorang yang sepertinya dikenalnya memanggilnya, dan berbalik.
Mata dan mulutnya menganga lebar, dan sebelum ia bisa memproses apa yang dilihatnya, sebuah tamparan mengarah kearahnya.
Plak!
Pipi kanan Sakura langsung terasa panas, dan bekas jari-jari si murid berambut pirang tertempel dengan jelas disitu. Jelas, ia menampar Sakura dengan sungguh-sungguh.
Sakura sekarang menunduk, kacamata-nya terlempar dan tergeletak tak berdaya di atas lantai.
Si murid baru maju dan menarik kerah baju Sakura, dan saat ia kembali membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu pada Sakura, Kakashi-sensei menyelanya.
"Yamanaka Ino, cukup. Duduklah disamping Temari, gadis berkuncir dua di baris kedua dari meja depan itu." Suara Kakashi-sensei tetap tenang, tapi jelas aura disekitarnya tak menerima adanya bantahan.
"Tch," Ino, si murid baru, melepaskan Sakura yang masih menunduk—dan sedikit gemetaran.
Sasuke mengambil kacamata Sakura, lalu tanpa peringatan apa-apa menarik tangannya, dan berjalan keluar kelas.
Tak menghiraukan panggilan Kakashi-sensei dan decakan kaget teman-temannya serta Yamanaka Ino yang melihat dengan muka horror.
.: oOo :.
Mereka terus berjalan melewati koridor-koridor kelas yang sepi karena pelajaran sudah dimulai. Sakura akhirnya tersadar dari lamunannya ketika tiba-tiba Sasuke berhenti dan Sakura menabraknya. Sakura mengerjap, kenapa aku mau saja mengikutinya?
Mereka sekarang ada dihalaman belakang sekolah yang cukup sepi, maklum disisi lain tempat itu ada sebuah tong sampah besar. Untung saja hari ini isinya kosong sehingga tak ada bau tak enak yang tertangkap hidung mereka. Dan dibelakang mereka ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu yang agak tua.
"Kau nggak papa?" Kata Sasuke setelah beberapa saat.
"…"
"Hei?"
"…"
"Haruno, jawab aku." Kata Sasuke yang mulai kesal.
Sakura mengambil kacamatanya yang masih dipegang Sasuke, dan melepaskan tangannya yang juga digenggam olehnya. Matanya sedikit berkaca-kaca saat memori masa lalu itu kembali melintas di benaknya.
"Benar kan, datang juga hari ini. Apa kataku?" Kata Sakura tanpa menatap Sasuke. Dan tanpa menunggu jawaban, ia lari sekuat tenaga.
Sasuke hanya menatap Sakura, tak mengejarnya. Dia menghela nafas panjang. Dia mengerti apa yang sedang dibicarakan Sakura. Soal hari itu.
Sakura kembali ke kelas dengan memasang ekspresi seperti tak ada apa-apa, minta maaf, dan kembali duduk—tak mendengarkan penjelasan pelajaran apapun hari itu. Sementara Sasuke, kembali setelah istirahat pertama dengan raut muka yang kembali stoic.
.: oOo :.
Hinata berjalan menuju kelas Sakura dan mengajaknya pulang bersama seperti biasanya. Sepanjang perjalanan, banyak murid yang menyapanya—terutama para cowok. Awalnya, ia merasa risih dan tertekan, namun sekarang tidak. Bahkan, sekarang ia bisa balas menyapa dan tersenyum.
Shikamaru menghampirinya dan menyerahkan sebuah buku.
"Eh? Apa ini, Shikamaru-kun?" Tanya Hinata kebingungan. Dia dan Shikamaru berteman karena Sakura mengenalkan mereka beberapa bulan yang lalu.
"Ah, ini? Ini dari kenalanku, Hinata. Sebuah kontes kecantikan. Nanti yang menjadi juaranya akan menjadi maskot atau model untuk produk-produk yang mereka sponsori. Dan lomba ini berskala nasional, jadi kalau menang kau pasti akan terkenal. Dan kenalanku itu memaksaku untuk menyebarkan ini, tch. Mendokusai. Sudah ya Hinata, masih ada dua puluh buku lagi yang harus kusebarkan." Kata Shikamaru sambil menghela nafas panjang, lalu kembali berjalan dan berusaha membagikan kertas itu.
Hinata iseng-iseng membacanya saat menuju kelas Sakura. Benar kata Shikamaru, pemenangnya akan mendapat kontrak eksklusif untuk menjadi model dari produk-produk perusahaan itu. Seleksi pertama adalah seleksi dokumen yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Hmm…
Hinata menutup bukunya saat tiba dikelas Sakura. Dia melongo saat mendapati sosok yang juga sangat dikenalnya, "…Ino?"
Ino yang sedang memasukkan buku-buku ke tasnya mendongakkan kepala dan menatap Hinata. Sebuah senyum kecil tersungging diwajahnya.
"Yo, Hinata."
"Se-sedang apa kau disini?" Balas Hinata dengan nada sedikit marah dan mendekatinya. Orang-orang menatap mereka. Tak biasanya Hinata yang kalem seperti ini.
"Hmm… Menurutmu?" Jawab Ino, berdiri dari kursinya.
Hinata menatap Ino dengan tatapan kesal dan mengepalkan jari-jarinya. "Jangan ganggu kehidupan kami lagi."
"Sudahlah, Hinata." Kata Sakura yang auranya sebelumnya tak terasa sama sekali. Ia berjalan menuju ke arah Hinata, dan menariknya keluar dari kerumunan orang.
Ino berkata cukup keras, "Malu dengan wajahmu sekarang, Sakura?"
Orang-orang disekitar mereka tertawa mengikuti Ino.
"Diam!" Teriak Hinata sambil menatap marah ke semuanya—terutama gadis berambut pirang panjang didepannya. Kerumunan orang disekitar mereka berkurang karena merasakan hawa yang tak enak. Sakura menyerah dan keluar kerumunan. Sasuke sendiri sudah pergi sejak bel berbunyi.
Ino maju selangkah, walaupun sedikit kaget karena sahabat lamanya itu tiba-tiba bersikap yang sangat tidak seperti dirinya yang dulu. Sakura, kau jahat sekali mengambil semuanya dariku.
Aku…
"Kenapa, Hinata? Wajah Sakura sekarang sudah sangat menjijik—"
Kata-kata Ino terputus karena Hinata menamparnya.
Mata aqua marine Ino melebar, "Beraninya kau…"
"Cukup!" Kata Sakura sambil menggedor papan tulis dengan emosi tinggi.
Aku…
Sakura menuju kearah Hinata dan Ino, lalu menampar Ino disisi pipi lain yang belum disentuh Hinata.
"Itu bayaran untuk yang tadi, Ino. Selamat datang di sekolah ini. Dan Hinata, ayo pergi. Biarkan saja orang seperti itu." Kata Sakura, sudah kembali menjadi dirinya yang biasanya.
sangat membencimu.
Ino menghentakkan kakinya di atas lantai, "Orang seperti itu? Hah? Orang secantik itu maksudmu, kan?"
Hinata kembali menatap Ino, nada suaranya tampak mengejek. "Sakura-chan jauh lebih cantik darimu."
Ino tertawa tanpa henti, begitu pula orang-orang dikelas itu.
"Oh hahaha. Yayaya, Hinata. Di saat zaman berubah dimana kuda memakan besi. Hahaha."
"Wajah itu menipu, Ino. Sifat kita lebih berharga dari wajah kita. Wajah rupawan dengan sifat jelek tak berarti." Kata Hinata, benar-benar tak seperti dirinya yang biasanya.
"Haha. Itu hanya pembelaan bagi orang-orang berwajah jelek seperti Sakura."
Keduanya kembali beradu mata, saling memelototi satu sama lain.
Hening beberapa saat.
"Oh, ya? Kenapa tidak kita buktikan?" Tanya Hinata dengan nada menantang. Suara tawa pun padam. Sementara Sakura mulai merasakan feeling tak enak. Uh-oh, ini tak akan baik.
"Sudahlah, Hinata. Ayo kita—"
"Ayo kita buktikan." Kata Ino memotong kata-kata Sakura. Kentara sekali aura permusuhan dari Hinata dan Ino.
Ino menatap Hinata, lalu buku yang digenggamnya. Sebuah ide terlintas di pikiran gadis berambut pirang itu.
"Bagaimana kalau kita bertiga mengikuti kontes itu?" Kata Ino, jari telunjuknya yang lentik mengarah ke buku yang dibawa Hinata. Semua sorot mata mengarah ke arah buku itu.
Hinata menatap ke arah buku yang dibawanya. Benar juga.
"Boleh saja. Kita buktikan disitu." Kata Hinata sambil mengangguk, mengabaikan teriakan horror Sakura.
"Deal?"
"Deal!"
"NOOOOO!"
.: oOo :.
~To be Continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar